Tuesday, August 27, 2013

Legenda Asal-Usul Ikan Kayu



Mengapa kayu mulai digunakan dalam ibadah Buddhis Tiongkok ? Mengapa bentuknya ikan dan apa arti dari itu? Inilah legenda asal mulanya.

Kisah ini dicatat dalam buku Xuanzang Zhi Gui Qu. Sepulang dari ziarah ke India, Biksu Buddha Xuanzang bertemu dengan seorang Bapak tua ketika ia melewati Shu (sekarang Provinsi Sichuan).
Saat Bapak tua itu sedang berburu, istrinya (yang merupakan ibu tiri) melemparkan anaknya yang berusia 3 tahun ke sungai. Demi berkabung bagi anaknya, bapak tua menawarkan makanan vegetarian untuk biksu itu. Namun demikian, Xuanzang bersikeras ingin makan ikan. Oleh karena itu, bapak tua membelikannya seekor ikan besar di pasar nelayan terdekat.
Saat bapak tua memotong dan membuka perut ikan, ternyata di dalamnya ada anaknya yang masih hidup.
Xuanzang berkata kepadanya: "Ini adalah buah pahala perbuatan baik anakmu karena ia mematuhi ajaran tidak membunuh dalam kehidupan sebelumnya. Oleh karena itu, ia mampu bertahan hidup meskipun ia ditelan ikan; ikan ini tidak membunuhnya, malah menyerahkan diri kepada nelayan untuk ditangkap."
Bapak ini bertanya kepada Xuanzang bagaimana dia bisa membalas budi baik ikan. Xuanzang menjawab: "Ikan berkorban untuk menyelamatkan anak. Harus ada sepotong kayu diukir menjadi bentuk ikan, dan tergantung di kuil. Ketuklah ikan kayu ketika menyediakan makanan. Dengan demikian, bantuan besar ini dapat dibayar kembali." Ini adalah salah satu legenda tentang asal-usul ikan kayu dalam Buddhisme Tiongkok.
Di atas adalah legenda turun temurun, namun kisah lain mengatakan arti sebenarnya dari penggunaan ikan kayu adalah merupakan salah satu aturan di Bai Zang Qing Gui, Tata Tertib Guru Bai Zang: biksu Buddha Mahayana harus mengetuk ikan kayu saat melafalkan (kitab suci) sutra.
Mengapa harus ikan yang dijadikan simbol? alasan peraturan ini adalah ikan tidak pernah menutup mata mereka, yang berarti bahwa para bhiksu harus selalu waspada untuk menjaga kebajikan dan belajar dengan rajin, tidak boleh lengah, juga melambangkan kesadaran, perhatian yang murni. Dengan kata lain, ikan kayu merupakan instrumen penting digunakan sebagai pengingat bagi para bhiksu selalu rajin dan senantiasa sadar.

Wednesday, August 21, 2013

Lagu Indonesia Raya Asli (1928)

Lirik Modern INDONESIA RAYA
I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg'riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s'lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P'saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N'jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S'lamatlah rakyatnya,
S'lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg'rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain :
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.

NB : Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Republik Indonesia. Lagu ini pertama kali diperkenalkan oleh komponisnya, Wage Rudolf Soepratman, pada tanggal 28 Oktober 1928 pada saat Kongres Pemuda II di Batavia. Lagu ini menandakan kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara di Indonesia yang mendukung ide satu "Indonesia".
Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia_Raya
https://www.youtube.com/watch?v=PrlSmi734Zs

Tragedi Rahwana Mencintai Shinta I

Pada suatu ketika di Zaman Era Millenium sekitar tahun 2015 – 2020 di bagian arah utara benua Asia, terdapat Negara Mantili, yang terkenal memiliki banyak pesilat tangguh berilmu tinggi. Negara itu dipimpin oleh seorang Raja bernama Prabu Janaka, yang mempunyai seorang Putri yang sangat cantik jelita bernama Dewi Shinta.

Saat Putri mulai menginjak dewasa, Raja pun berupaya untuk mencarikan jodoh yang terbaik dan terhebat bagi Putrinya dari seluruh Negara Kerajaan di dunia persilatan. Untuk itulah Raja akhirnya membuat sayembara pertarungan hebat yang dihadiri oleh para pesilat (Ksatria) tangguh dari berbagai cabang ilmu bela diri dan kungfu di berbagai Negara dan siapapun yang berhasil memenangkan pertandingan akan mendapat berbagai hadiah, seperti : Hadiah Utama berupa Rumah senilai 99 Milyar, Hadiah peringkat kedua mendapat Mobil Lamborghini-Gallardo dengan design dan type terbaru, Hadiah peringkat ke tiga mendapat Motor Ducati (merk terkenal yang sering dipakai buat balapan motor sejagat) dan Terakhir sebagai Hadiah Harapan Utama akan bersanding menjadi calon suami bagi Dewi Shinta alias menjadi menantu Kerajaan Mantili.Pertarungan sengit terjadi antar para ksatria tangguh dan berakhir dimenangkan oleh Putera Mahkota dari Negara Kerajaan Ayodya, yang terkenal sangat tampan, rupawan (ketampanannya termasuk saingan berat Arjuna, yang jadi bintang “cover boy” di majalah sampul kisah perwayangan Mahabharata) dan berilmu silat tinggi (Gelarnya Sabuk Hitam / DAN Level 9). Akibat kegantengannya itu ternyata telah banyak menarik hati para gadis muda belia hingga para janda dan tante girang sejagat benua Asia, dialah Raden Rama Wijaya. Seselesainya acara pertandingan, Dewi Shinta langsung ditunangkan dengan Raden Rama Wijaya.


Terdengarlah berita tersebut yang terlambat tersebar ke telinga Prabu Rahwana, Raja dari Negara Alengka, sebuah Negara kecil yang telah berkembang sedikit lebih maju dalam bidang perekonomian, perdagangan, perindustrian maupun kepariwisataannya. Letaknya sedikit jauh ke arah selatan benua Asia, berada di seberang samudera, namun rakyatnya hidup sangat berkecukupan, makmur dan sejahtera serta sangat menghormati dan mencintai Rajanya yang adil dan bijaksana.


Saat mendengar berita itu, Sang Prabu yang terlambat menerima berita hanya dapat datang untuk menghadiri Undangan pesta acara pertunangan dari Raden Rama Wijaya dengan Dewi Shinta (Putri Raja Prabu Janaka di Negara Mantili). Setelah melihat wajah dari Dewi Shinta, Prabu Rahwana terkejut karena dipandangan matanya adalah sosok perempuan titisan Dewi Widowati, istri Prabu Rahwana yang telah meninggal dunia 25 tahun yang lalu akibat persalinannya kekurangan banyak darah saat melahirkan puteranya, Indrajid. Dan selama itu pula Rahwana menderita, hidup menduda, tidak menikah dengan siapapun lagi karena di hatinya, hanya untuk satu nama, Widowati.., yang terukir abadi selamanya. Selama acara pesta berlangsung, Rahwana hanya dapat melamun, terus teringat kembali pesan Dewi Widowati kepadanya di saat-saat sekarat menjelang ajalnya agar Rahwana tetap setia menunggunya datang menitis kembali ke kelahiran berikutnya.


Sang Prabu terus menahan air matanya, menangis pedih, perih dalam hatinya, saat melihat kenyataan pahit dihadapannya karena Dewi Shinta akan menjadi milik Raden Rama Wijaya. Dengan hati hancur, Sang Prabu pun berangkat pulang kembali ke Negara Alengka, sepanjang perjalanan di Kapal pelayaran melewati samudera, Sang Prabu hanya dapat terdiam, melamun, mengenang kembali kisah cintanya di masa lalu dengan kepedihan di hati, sambil menatap mendung di langit yang berubah murung, seolah ikut merasakan kenyerian yang luar biasa di hati Rahwana.


Sekembalinya Rahwana ke Negara Alengka, tidak seperti biasanya Rahwana yang energik, cerah ceria dan bersemangat hingga sering berpatroli keliling desa menemui para penduduk dan memantau keprajuritan, namun malah berubah seketika terus berdiam diri lama mengurung diri di ruang baca dalam Istananya. Hampir lewat 5 (lima) bulan lamanya, Kumbokarno (Ketua Pimpinan Keprajuritan), Indrajid (Putera Rahwana), Wibisana (adik bungsu Rahwana sebagai Penasehat Kerajaan sekaligus Sekertaris Kerajaan), Patih Prahasta (Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan) serta para Gubernur, Walikota, Bupati dan Kepala Desa pun kebingungan, akhirnya mereka semua berkumpul bersama di Pendapa Kerajaan Alengka untuk memberikan laporan dan menunggu perintah selanjutnya dari Sang Prabu sambil bertanya-tanya mengenai keadaan Prabu Rahwana, yang akhir-akhir ini jarang keluar Istana.


Tiba-tiba datanglah Sarpakenaka, adik perempuan satu-satunya saudara kandung Prabu Rahwana, berlari tergopoh-gopoh, penuh kecemasan menuju Pendapa Istana, berteriak-teriak meminta tolong para prajurit Istana agar memanggil segera Prabu Rahwana untuk menemuinya di Pendapa karena ada laporan penting yang ingin disampaikan olehnya.


Akhirnya Prabu Rahwana datang menampakkan diri ke Pendapa Istana. “Ada apa Adikku, Sapakenaka, Mengapa begitu cemas?”. “Mohon maaf Kakanda Prabu, bila hamba mengganggu Prabu yang tengah beristirahat. Duh, Prabu Tolong hamba!!!” (sambil menangis meminta tolong). “Masalahnya apa? Kok tiba-tiba minta tolong?!” sahut Rahwana.


Oooh..Kakanda Prabu, selama hamba berada di pedesaan Hutan Dandaka, hamba tertarik pada seorang Satria. Dia sangat tampan, rupawan dan gagah, namanya Leksmana, hamba berusaha mendekatinya tapi ternyataaa…,dia sungguh kejam tak berperasaan, kasar, menyakitkan, penuh kebencian, menampar dan memukul hamba hingga hidung hamba, lihatlah kakanda, darah mengucur dari hidung hamba, patah seperti ini…”Haduuuh Adikku…, sudahlah…, pergi aja ke dokter kerajaan, saya ini udah cukup sibuk dengan urusan Negara, bukankah kamu juga sudah punya kekasih? Gimana dengan perasaan Karadusana dan Kalamarica? Apa belum cukupkah kamu dicintai oleh mereka?”Dooh (kesal dan jengkel) Kakanda Rahwana!?, mengapa sama sekali tidak mengerti perasaanku, aku tidak mencintai mereka, aku hanya ingin Leksmana, adik Rama Wijaya itu, bahkan kakaknya si Rama Wijaya juga setuju dan mendekatkan hamba pada Leksmana, karena dia kan sudah tunangan sama Shinta, sedangkan Leksmana kan masih jomblo.”Hah!! Apa katamu?! Ngapain Si Rama Wijaya sama Shinta beserta Leksmana ke pedesaan Hutan Dandaka?”, ucap Rahwana yang sangat penasaran setelah mendengar tentang keberadaan Shinta.Memangnya Kakanda gak tau apa?, Ayahnya Rama Wijaya (Paduka Raja Ayodya) kan belum menyetujui pernikahan Rama dan Shinta, makanya Beliau memberi tugas penting untuk membangun Desa Hutan Dandaka, sekaligus melatih Leksmana menjadi Kepala Pasukan Sniper Kerajaan untuk meningkatkan kekuatan keprajuritan Kerajaan Ayodya dan Mantili. Bila tugasnya berhasil, barulah Ayahnya Rama itu mengizinkan melangsungkan pernikahan Rama dan Shinta, sekaligus kenaikan tahta bagi Rama menggantikan posisi Ayahnya menjadi Raja Ayodya.”Kalo kamu gak jelaskan, saya mana tau…”, jawab Rahwana dengan ketusnya.Lah salah Kakanda sendiri, setiap hari hanya mengurung diri gak jelas di ruang baca, bahkan adik sendiri pun gak dipedulikan sama sekali!!!”Yaaa sudah udaah…, baiklah, saya akan pergi ke sana untuk membuat perhitungan dengan Leksmana dan meminta penjelasan Rama mengenai hal ini. Kumbokarno!!! Cepat, Tolong kau suruh Kalamarica temani saya pergi kesana!!!”. Sesegera Jenderal Kumbokarno memanggil Kalamarica (Kepala Prajurit Baret Merah, pelindung Raja) untuk mempersiapkan keselamatan dan keberangkatan Raja Rahwana menuju Hutan Dandaka.


Di Hutan Dandaka, Rama Wijaya, Putera Mahkota Kerajaan Ayodya bersama adiknya Leksmana dan calon istrinya, Shinta. tengah beristirahat di Villa Pondokan Dandaka Indah, rumah milik seorang pedagang kaya yang mempunyai pabrik kayu ukiran, mebel dan furniture terkenal.
Sepanjang perjalanan, Rahwana hanya memikirkan Shinta, perasaan cintanya pada Shinta yang berwajah begitu mirip dengan Dewi Widowati telah membuatnya tidak nyenyak tidur, tidak berselera makan (nafsu makan menurun), pikirannya menjadi gelap, semakin kacau, emosinya menggebu, jantungnya berdegup kencang, ingin hatinya mendekati dan berbicara langsung, mengungkapkan perasaannya pada Shinta, namun pastilah Rama dan Leksmana akan merasa terganggu, mencurigai dan menghadang keinginannya itu. Sesampainya di dekat Villa Pondokan Rama Wijaya, Rahwana menghentikan niatnya yang semula untuk bertemu muka dengan Rama dan Leksmana. Keraguan dan Kekacauan pikiran Rahwana meminta Kapten Kalamarica dan pasukannya untuk memata-matai dan memantau gerak-gerik Rama, Shinta dan Leksmana.


Dari kejauhan, Kapten Kalamarica memantau bersama Prabu Rahwana diikuti beberapa pasukan penyamar memberikan situasi laporan menggunakan nirkabel Bluetooth ditempel di kuping (walkie talkie modern ala detektif agent terkenal). Prabu Rahwana meminjam salah satu binocular milik pasukan Kalamarica, meneropong jarak jauh, Rahwana melihat perempuan yang dicintainya itu sedang duduk di ayunan Pondokan, wajah Shinta tampak bosan, dia pun beranjak pergi menuju kebun pekarangan halaman belakang memperhatikan tanaman bunga mawar yang tumbuh beraneka macam warna-warni sedang bermekaran sangat indah. Saat itu pula timbul niat Rahwana untuk mendekati dan menemui Shinta yang sedang murung dan kesepian.


Rahwana pun menyusun strategi bersama Kapten Kalamarica untuk membuat Raden Rama Wijaya dan Leksmana terusir jauh dengan membuat keadaaan seolah-olah menyibukkan mereka, mengacaukan konsentrasi mereka agar meninggalkan Shinta sendirian. Kapten Kalamarica memerintahkan pergi bersama beberapa pasukannya menggunakan Mobil Kijang Innova melempari Mobil Alpard milik Rama Wijaya dengan botol dan batu hingga pecah kaca spionnya, serta menembak ban mobilnya dengan Baretta M9 hingga kempes semua. Mendengar kejadian itu Rama Wijaya pun terpancing amarah, namun sebelum berangkat bersama Leksmana, dia meminta Leksmana menyuruh beberapa pengawal sniper (penembak jitu) pasukan terbaiknya menjaga ketat dan melarang Shinta keluar selangkah jengkalpun dari Villa Pondokan tanpa seijin dari Rama Wijaya. Setelah itu, Rama Wijaya dan Leksamana bergegas mengejar Mobil Kijang Innova menggunakan Motor Kawasaki Ninja GT 250R milik beberapa pasukannya. Terjadilah keributan, kejar-kejaran di jalan-jalan dalam pedesaan Hutan Dandaka.


Sementara itu Rahwana terus memperhatikan Shinta dari jauh, meminta beberapa pasukan detektifnya menyamar menjadi tukang buah, sayuran dan tukang kayu, yang semuanya gagal terus saat mencoba masuk ke Pondokan karena diusir dan dipukuli oleh pasukan Sniper Leksmana. Akhirnya Rahwana mencari akal lain agar pasukannya mencari model baju yang mirip seorang pertapa tua di desa dan Rahwana menyamar menggunakan baju lusuh compang-camping, jenggot dan alis panjang palsu menggunakan kapas, kepala ditutup topi jerami dan tangannya menggunakan tongkat bamboo, berjalan bungkuk tertatih-tatih menunju Villa Pondokan.


Permisi tuan-tuan dan nyonya…, mohon sedikit sedekah, makanan dan minumannya,.. Kasihanilah hamba, yang sudah tua ini, berjalan jauuuh…, sangat lelah sekali..., mohon ketulusan hati tuan dan nyonya…”(sambil suaranya Rahwana dibuat berakting menjadi serak menyedihkan seperti seorang kakek yang tua renta). “Heeeh!!! Pengemis tua, pergi sana!!! Di sini Bukan Panti Jompo Tau!!!” ujar salah seorang sniper itu sembari mencoba mengusir si kakek tua. “Aduh Gusti Allah, uhuk-uhuk… uhuk(terbatuk-batuk sambil ngelus-ngelus dada)…kasihanilah hamba, Tuan-tuan…hamba mohon tolonglah hamba...” (dengan gaya memelasnya). “Haallaaaah! Udah deh, pergi aja!!! Reseh banget sih!!! Udah Tua renta makin Gak tau diri, bukannya diem di rumah aja, malah keluyuran kemana-mana!!! Pulang aja deh kerumahmu Pa Tua!!!”. Kata prajurit yang satunya lagi menyahut si kakek sembari menarik paksa si kakek hingga terjatuh tersungkur ke tanah agar pergi menjauh dari rumah pondokan. “Haduuuh…aduuh..(terjatuh), Yaaa.. Allah…, kasihanilah hamba…, rumahku jauh sekali nak, masih 200 kilometer dari sini, mohon kasihanilah hamba…”.


Melihat kejadian itu dari jendela, Shinta menjadi sangat iba, hatinya pedih dengan kelakuan kasar para pengawal Leksmana terhadap seorang kekek tua. “Apa-apaan kalian ini!!! Keterlaluan!!! Beginikah cara kalian memperlakukan orang tua kalian di rumah!!!” kemarahan Shinta memuncak memaki-maki para pengawal snipernya sambil melangkah keluar dari pagar Pondokan seraya melihat si kakek. “Taaa.. pii, tap..(ii)..Puteri, perintah Komandan Leksmana untuk…”. “Haaaah, UDAH CUKUP!!! (plaakk.., plookk..., sambil menampar satu-satu pasukan sniper yang sedari tadi ngoceh dan berprilaku kasar itu), Perintah lagi, perintah lagi, dari Leksmana lagi, terus mau berapa banyak lagi penduduk desa lainnya yang jadi korban kalian gara-gara demi perintah Leksmana!!!.” “Tapii…Puteri..”. Shinta tidak perduli lagi omongan dan ucapan pengawalnya, Shinta terus berjalan dan meraih tangan si kakek yang terjatuh lalu memapahnya berdiri sambil membersihkan bajunya yang kotor. “Koong…, Engkong baik-baik aja kan? Ada yang luka gak? Aduh, Engkong…, saya Mohon maafkan semua perkataan dan kelakukan para pengawal sinting yang gak tau diri itu, yah…”, ucap Shinta yang tersenyum manis sangat cantik, bersuara lembut dan hatinya penuh kasih sayang itu. “Terima kasih…yah nak, gak apa-apa wong ayu…(sambil menyentuh lembut pipi Shinta yang tersenyum).”
Kalimat terakhir Rahwana itu ternyata sebuah sandi khusus, Rahwana segera menarik Shinta dengan cepat dalam pelukannya agar tidak terkena peluru nyasar pasukannya yang serentak keluar tiba-tiba dari semak-semak di sekeliling Pondokan, gerakannya secepat kilat, mengagetkan, menakutkan dan langsung melumpuhkan para pengawal sniper yang bersenjata M93 dan Remington 700 (didikan Leksmana itu) dengan pisau lempar mereka (gaya pasukan katak angkatan laut) dan peralatan senjata M16 yang dilengkapi alat kedap suara. Shinta kaget, ingin teriak tapi tidak berani, lemas karena takut mati setelah melihat pisau lempar yang berterbangan beberapa inci hampir saja mengenai rambut dan hidungnya, sambil samar-samar melihat pengawal snipernya lumpuh seketika (jatuh terkulai kesakitan tanpa menghilangkan nyawa satupun sesuai titah Prabu Rahwana) ditembaki pasukan yang tidak terlihat dari arah semak-semak hutan. Pasukan Rahwana segera melucuti senjata mereka, mengikat dan menutup mulut para pasukan sniper itu agar tidak berteriak lagi.


Rahwana juga langsung menutup mulut dan mata Shinta, serta mengikat tangan Shinta, lalu membopong Shinta masuk ke Mobil anti peluru Jeep Wrangler SAHARA 1998 miliknya, dikawal beserta iring-iringan Mobil Suzuki Escudo dan Katana yang membawa para pasukan pelindung Raja berangkat kembali pulang menuju Negara Alengka.


Di pedesaan dalam Hutan Dandaka, kejar-kejaran Motor Kawasaki Ninja Rama Wijaya dan Leksmana dengan Mobil Kijang Innova yang dibawa Kalamarica masih terus berlangsung. Terjadilah tembak-tembakan pasukan Kapten Kalamarica dari dalam mobil Kijang mengarah ke motor Leksmana, sementara motor Rama Wijaya berhasil mengecoh pasukan Kalamarica dan menyusul di depan Mobil Kijang Kalamarica, sekejap Motor Rama Wijaya pun ngesot berbalik arah dan berhenti mencegah Mobil Kijang lalu menembak dengan shotgun AA12 automatic tepat ke kaca sopirnya (Kapten Kalamarica), tembakan kedua ke arah salah satu ban mobilnya dan terakhir ke mesin depan mobil, seketika Kalamarica kaget terkena tembak dan hilang kendali, mobil terguling lalu meledak. Booomm.. (Tewaslah Kapten Kalamarica). Setelah kejadian itu, Komandan Leksmana hendak memberitakan (lewat telepon selular) keadaan kepada Kepala pasukan snipernya di Pondokan ternyata berulang-ulang kali dicoba tidak mendapat jawaban sama sekali. Firasat Leksmana mengatakan kejadian ini adalah siasat jebakan Kapten Kalamarica dan memastikan situasi dalam bahaya telah terjadi di Pondokan. Dengan cepat Komandan Leksmana langsung mengajak Putra Mahkota Rama Wijaya untuk kembali pulang ke Pondokan.


Perjalanan Prabu Rahwana membawa Dewi Shinta tidaklah berjalan mulus, pada saat melakukan penyeberangan dengan Kapal Vicem Yachts 92 (Luxury Yachts) keluar pulau Hutan Dandaka menuju Negara Alengka, saat itu Rahwana hendak memberi minum dan makanan untuk Shinta, dibukanya penutup mata dan mulut Shinta, ternyata Shinta malah berteriak ketakutan, “Toloooong!!! Toloong!!! Tolong!!! Saya dicuu…(lik)!!!” dengan sigap dan cepat kedua tangan kokoh Rahwana langsung menutup mulut Dewi Shinta selama berada di kapal, namun ternyata teriakan Shinta itu sedang berada di tengah garis perbatasan wilayah perairan laut continental Negara Kepulauan lain, terdengarlah teriakan Shinta oleh seorang nelayan dari negara lain dan mencoba mengirim pesan singkat (sms) darurat melalui handphone ke nomer telepon Pangkalan Kapal Udara Patroli Penyelamatan nelayan terdekat di kepulauan kecil tengah-tengah samudera, sebelah arah tenggara (jika dilihat dari peta, letaknya sedikit ke utara tenggara Negara Alengka). Kapten Pesawat Helikopter Patroli Penyelamatan (Tim SAR), Jatayu yang sedang bertugas menerima pesan dari nelayan, langsung berangkat menuju lokasi TKP (tempat kejadian perkara). Dilihatnya dari jauh dalam Kapal tersebut terdapat seorang tawanan, Dewi Shinta, Puteri dari Prabu Janaka, sahabat karibnya waktu seangkatan kuliah di Universitas Leiden, Amsterdam tahun 1990.


Pesawat Helikopter Kapten Jatayu langsung mencegah Kapal Rahwana dan meminta untuk segera melepaskan tawanannya, Dewi Shinta. Terjadilah perang sengit tembak-tembakan antara Helikopter Jatayu dan Kapal Vicem Yachts 92 milik Rahwana, salah seorang prajurit Rahwana menembakkan senjata Bazooka M1 (Rocket Launcher) ke arah Badan Ekor Helikopter Jatayu. Seketika itu juga Helikopter Jatayu kehilangan kendali, Kapten Jatayu melompat dari helicopter terjun bebas ke lautan. Booomm… (helikopternya meledak di laut), Jatayu berenang di tengah-tengah lautan sekuatnya, lalu diselamatkan kapal nelayan yang lewat.


Setibanya di Pondokan, Rama Wijaya dan Leksmana terkejut melihat pasukan snipernya telah diikat, tidak berkutik di dalam Villa Pondokan. Setelah melepaskan ikatan mereka, dilaporkan kejadian sebenarnya di Pondokan. Rama Wijaya merasa tertipu oleh jebakan Kalamarica dan Rahwana. Dengan perasaan kesal, Pasukan Rama Wijaya dan Leksmana terus mencoba melacak jejak kepergian Mobil Jeep Rahwana. Sesampainya di pelabuhan kapal terdekat, dilihatnya seorang nelayan tengah membawa Kapten Jatayu.


Rama Wijaya dengan emosi meledak-ledak mengira Kapten Jatayu berkomplot menculik Dewi Shinta. Rama Wijaya menyuruh Leksmana dan pasukannya menangkap, menginterogasi dan menghajar habis babak belur Kapten Jatayu sambil menanyakan dibawa kemana lokasi Dewi Shinta disembunyikan.


Kapten Jatayu yang malang nasibnya, belum sempat menceritakan apapun masih terus dipukuli hingga sekarat akibat amukan para pasukan Leksmana. Sesaat akan dibunuh oleh Rama Wijaya, Leksmana mencegah kakaknya. Leksmana mencoba menenangkan amarah Rama Wijaya dan meminta gilirannya untuk menginterogasi Kapten Jatayu. Akhirnya Kapten Jatayu diberi kesempatan untuk menceritakan semua kejadian sebenarnya hingga nafasnya berhenti (kematiannya). Putera Mahkota Rama Wijaya merasa bersalah dan memberi penghormatan terakhir dengan menguburkan Jenazah Kapten Jatayu secara kemiliteran kerajaan.


Rombongan Putera Mahkota Rama Wijaya dan Komandan Leksmana berjalan pulang ke Negara Kerajaan Ayodya dengan perasan kacau (bĂȘte, galau abiz..), sedih dan hampa setelah kehilangan jejak Dewi Shinta. Mereka bersiap membuat strategi untuk mengumpulkan kekuatan pasukan demi melanjutkan misi pencarian dan penyelamatan Dewi Shinta.


Setibanya di Pendapa Istana Ayodya, Putera Mahkota Rama Wijaya mendapat laporan telah kedatangan tamu agung, Mayor Hanoman dari Desa Persilatan di Pegunungan Kiskenda.


Baiklah, panggilkan Mayor Hanoman menghadap saya sekarang juga”, titah Rama Wijaya kepada seorang pengawal istana. Sesaat itu juga datanglah Mayor Hanoman menghadap Rama Wijaya. “Salam Hormat hamba, Hanoman, kepada Paduka Putera Mahkota”, (sambil berlutut dan memberikan salam hormat). “Ada apakah maksud dari kedatangan Mayor Hanoman ke Istana Ayodya?”.Mohon maaf Paduka Putera Mahkota Rama Wijaya, hamba datang diutus oleh Paman Sugriwa memohon bantuan pertolongan untuk menyelamatkan isterinya, Dewi Tara, yang direbut oleh Kakaknya yang sangat sakti dan berilmu tinggi bernama Paman Subali akibat perebutan tahta kekuasaan Kerajaan.”Maaf Mayor Hanoman, saya sendiri pun sedang berduka dan mengalami masalah besar yang sama, kehilangan calon isteri saya, Dewi Shinta”, ujar Rama Wijaya menceritakan (curhat) kesedihannya. “Begini deh, Bila Paduka Putera Mahkota bersedia membantu hamba, maka sebagai balasannya hamba berjanji akan setia mengabdi pada Negara Ayodya dan meminta Paman Sugriwa beserta pasukannya untuk bekerja sama menolong masalah Paduka Putera Mahkota, tapi ini semua terserah kepada Paduka Putera Mahkota, gimana baiknya aja?!”.


Rama Wijaya yang hendak beranjak pergi dari Pendapa, tiba-tiba kembali memikirkan tawaran bantuan Mayor Hanoman, dikarenakan terkenalnya Hanoman yang berilmu silat lumayan tinggi serta ahli dalam segala bidang kemiliteran di Pegunungan Kiskenda, yang juga terkenal dengan Kecanggihan Pesawat tempurnya F-35 (type terbaru dari F-16 yang terkenal sebelumnya) dan Pesawat Siluman F-117 (Stealth Aircraft / Nighthawk) yang mampu menghilang dan memata-matai dari jarak ketinggian yang tidak mampu dijangkau oleh radar pelacak manapun milik musuh. “Hmmm…,(menghela nafas sejenak) Baiklah kalau begitu, saya akan coba membantu semampunya.”
Berangkatlah rombongan Mayor Hanoman mengantar Rama Wijaya dan Leksmana beserta pasukannya dengan menggunakan Pesawat Hercules menuju kediaman Paman Sugriwa. Tanpa menunggu terlalu lama, setelah rombongan tiba di Lapangan Terbang Pegunungan Kiskenda, langsung diterima oleh Paman Patih (PM/Perdana Menteri) Sugriwa, rombongan pun langsung diantarkan Sugriwa ke lokasi TKP di salah satu dari banyaknya Goa dalam Pegunungan Kiskenda, rumah tinggal Kakaknya Subali menyimpan isterinya Sugriwa, Dewi Tara bersama puteranya Anggada.


Dengan kecanggihan pasukan sniper M93 dan Remington 700 didikan Leksmana beserta pasukan laras panjang AK47 milik pasukan Rama Wijaya, dalam hitungan beberapa detik seluruh pasukan penjagaan rumah Subali tewas seketika di tempat. Subali keluar beserta prajuritnya dari dalam rumahnya terkejut karena telah dikepung oleh pasukan Leksmana, terjadi tembak-menembak senjata laras pendek revolver antara pasukan Hanoman dan Subali, namun karena pasukan inti Subali dilengkapi baju anti peluru, tidak mudah mengalahkan pasukan Subali. Sugriwa dan Hanoman pun melawan Subali dan pasukannya dengan tangan kosong, sementara rombongan pasukan Rama Wijaya dan Leksmana menyusup ke dalam goa untuk menyelamatkan Dewi Tara dan Anggada. Setelah berhasil membawa keluar mereka dari dalam goa, pasukan Leksmana dan Rama Wijaya mengepung pasukan Subali, dalam hitungan beberapa detik dapat melumpuhkan dan menewaskan pasukan Subali. Dengan cepat Subali pun ditangkap dan diikat oleh gabungan pasukan Rama Wijaya dan Leksmana. Namun saat Rama Wijaya menodongkan senjata ke kepala Subali hendak membunuh Subali, Sugriwa mencegahnya, Sugriwa meminta agar Subali cukup dipenjarakan di bawah tanah saja.


Subali dibawa pasukan Hanoman menuju penjara bawah tanah, sementara rombongan Rama Wijaya dan Leksmana pun pamitan kepada Raja Sugriwa, (setelah menjatuhkan kekuasaan Subali, Sugriwa menjadi Raja di Kiskenda), Permaisuri Dewi Tara dan Anggada untuk kembali ke Negara Ayodya bersama Mayor Hanoman.


Sebulan sudah waktu yang terlewati semenjak kejadian penculikan calon istrinya (tunangannya), Dewi Shinta di Desa Hutan Dandaka. Rama Wijaya tidak nyenyak tidur, terus gelisah memikirkan dimana keberadaan Dewi Shinta. Mayor Hanoman diutus terus mencari jejak keberadaan Dewi Shinta dan titah Rama Wijaya, Mayor Hanoman tidak boleh pulang menemui Rama Wijaya maupun Leksamana sebelum mendapat kabar bukti keberadaan Dewi Shinta. BERSAMBUNG… ke Sesion II. Written by: Kepik Romantis / Padma Varsa A.). NB : Cerita ini fiksi, khayalan dan imajinasi belaka.


Tuesday, August 20, 2013

Tragedi Rahwana Mencintai Shinta II

Sementara di dalam Pendapa Istana Alengka, Rahwana masih berduka. 
Setelah mendengar berita kabar tewasnya Kapten Kalamarica dari para agent detektif di desa Hutan Dandaka, dengan membawa pulang serta abu jenazah Kapten Kalamarica yang telah dikremasi di lokasi kejadian sebagai bukti kepada Prabu Rahwana.

Sedangkan nasib Dewi Shinta begitu mujur dan beruntung setelah tiba di Istana Keputren Alengka, langsung diperlakukan dayang-dayang dan para pengawal Istana seperti seorang Ratu. Diberikan suguhan makanan seperti Steak tenderloin daging domba, Sop buntut dan kaki domba, Bebek Peking panggang, Ayam Turkey panggang, Telur Burung Onta rebus, Soup Asparagus dengan Sirip Hiu, Lobster dan Kepiting rebus, Kue Tiramisu, Kue Black Forest ditaburi buah cherry, Pudding Chocolate lapis Vanila, Blueberry dan Strawberry dengan irisan sari buah kelapa, buah leci, buah kiwi (yummy…), minumannya dari Susu Yogurt dari semua ekstrak jenis buah, Es Kelapa hijau, Es Shanghai, Sop semua jenis buah, Royal Jelly Madu terbaik, Susu Kambing/domba, hingga Susu kuda liar. Pakaiannya (baju, celana, rok, gaun, topi, sepatu dan tas) diberikan untuk semua jenis kegiatan selama Empat (4) musim setiap minggu (7 hari) tersimpan dalam tujuh (7) lemari penuh, peralatan make-up artis kecantikan lengkap disertai dengan ratusan jenis parfum mahal yang terkenal di dunia dan kemewahan mandi dengan 20 galon air susu sapi murni ditaburi bunga mawar dan lavender setiap harinya, creambath, luluran, sauna, spa, totok wajah, pijat siatshu, pijat refleksi, manicure dan pedicure (mantabe…), yang hampir kesemuanya sangat jarang Dewi Shinta dapatkan selama bersama Rama Wijaya.

Dewi Shinta menjadi gundah, bingung dan bimbang hatinya teringat bersama Rama Wijaya, ia sangat jarang diperhatikan apalagi diperlakukan dengan istimewa, karena Rama Wijaya terlalu sibuk dengan berbagai urusan kenegaraan dan pemerintahan karena begitu luasnya wilayah Negara kerajaan Ayodya dengan banyaknya jumlah penduduk yang kurang mendapat perhatian nasibnya (masih banyak penduduk yang hidup jauh dibawah garis kemiskinan), sehingga tingkat kejahatan meningkat setiap harinya selalu mendapat ratusan laporan dari berbagai masalah di daerah pedesaan. Shinta selalu merasa bosan, capek dan lelah harus mendampingi Rama Wijaya yang lebih banyak mementingkan urusan-urusan lainnya dan hampir jarang tidak pernah ada waktu untuk bersamanya, apalagi memperhatikannya, karena Shinta lebih sering ditinggal sendirian di istana keputren, villa pondokan ataupun di rumah pribadi, sedangkan Rama Wijaya lebih banyak bepergian ke luar kota dan daerah bersama Leksmana, jarang mengajak Shinta hanya sesekali kecuali berangkat keluar negeri saja, di luar negeri pun, Shinta jarang diajak keluar berjalan-jalan bersama, lebih banyak ditinggal sendirian di hotel ataupun villa.

Berbeda dengan perlakuan Prabu Rahwana, dia selalu memanjakan, memperhatikan dan mengajak Shinta kemanapun Rahwana pergi keluar memantau keseharian penduduk di daerah negaranya yang teramat diperhatikan dengan baik oleh Rahwana, begitu aman, sejahtera, nyaman, tenang, dan tentram sehingga jarang terjadi masalah yang serius hingga berlarut-larut. Sekalipun Rahwana sibuk bekerja setiap harinya selalu meluangkan waktu untuk melihat Shinta meskipun sebentar dan terkadang bila pergi mendadak pun di setiap kegiatan, Shinta selalu ditemani oleh Trijata, keponakan Prabu Rahwana, sehingga Shinta tidak pernah merasa bosan, sendirian, kesepian maupun merasa takut, sebab Trijata selalu ikut bersama menemani Shinta dan Rahwana. Tidak pernah sekalipun Rahwana memukul, mengatakan hal yang buruk apalagi menyindir, memaki-maki, memarahi dengan kasar sekalipun Shinta bersikap dingin (cuek, bĂȘte dan cemberut) dan masa bodoh terhadap kebaikan dan ketulusan hati Rahwana.

Pada suatu pagi menjelang siang yang cerah di Taman Argasoka dalam Istana Alengka, saat itu daun-daun berjatuhan, pohon-pohon pun mulai memerah kekuningan seiring tanda memasuki awal musim gugur diterpa suasana angin semilir dengan suara gemiricik air mancur dalam kolam yang dipenuhi puluhan ikan Koi yang indah, Trijata sedang menyanyi (Lagu terkenal favorite berjudul “Cintaku” dari Maestro Chrisye) dan menari untuk menghibur Dewi Shinta yang sedang menangis merindukan Rama Wijaya. “Sudahlah Trijata, tak perlu menghiburku lagi, biarkan aku sendiri.” Trijata pun berhenti bernyanyi dan bertanya, “Maafkan saya Kakak Shinta, tapi saya tidak mengerti kenapa Kakak begitu bersedih? Bukankah Paman Rahwana begitu baik, perhatian dan sangat menyayangi Kakak? bahkan saya pun telah menganggap Kakak Shinta sebagai saudara saya sendiri.” Shinta pun akhirnya menjelaskan perkataan Trijata, “Adikku Trijata, saya tidak menyalahkanmu, saya tetap menganggapmu sebagai saudara, tapi saya ini sudah bertunangan (sambil menunjukkan cincin emas 24 karat, yang terukir nama Rama dan Shinta di jari manis tangan kiri Dewi Shinta), telah jadi calon istri dari Putera Mahkota Kerajaan Ayodya, Rama Wijaya.”


Iya saya ngerti Kak Shinta, Paman pernah menceritakan hal ini padaku, dan saya juga sudah berusaha menasehatinya agar mengembalikan Kakak kepada Raden Rama Wijaya, namun Paman tetap bersikeras tidak mau, entah mengapa Paman berkata bahwa ini semua demi kebaikan Shinta, karena Paman ingin membahagiakan Kak Shinta, mungkin karena Kak Shinta sangat mirip dengan wajah mendiang almarhumah Tante, Dewi Widowati, mungkin Paman mengira Kakak adalah titisannya Tante Widowati.”


Duuuh…., sudahlah Trijata, Terserah dia mau menganggapku sebagai apa, tetap aja aku berkata jujur padamu, aku gak bahagia, meskipun semua kemewahan ini dapat menggiurkan banyak perempuan lainnya, tapi saya tidak menginginkan semua ini, saya tidak mencintai Pamanmu Rahwana, saya malah menjadi sangat membenci dan marah padanya, kenapa dia memisahkan saya dari Raden Rama Wijaya?”. Ternyata semua pembicaraan antara Trijata dan Shinta ini telah disimak oleh Prabu Rahwana yang lama berdiam mengamati dan memperhatikan mereka dari jauh di balik pohon Willow dan pohon buah Delima di Taman Argasoka.


Shinta, maafkan aku, aku terpaksa melakukan semua ini demi kebaikanmu juga”, jawab Prabu Rahwana sambil berjalan mendekati Shinta dan Trijata. Setelah melihat Pamannya datang, para pengawal dan Trijata memberi hormat sambil berjalan perlahan mulai pergi menjauh dari Shinta dan Prabu Rahwana, membiarkan mereka hanya berdua di Taman.


Apa maksudmu demi kebaikanku? Aku tidak bahagia, aku juga tidak menyukaimu, aku sangat marah dan membencimu, mengapa kau tega memisahkan aku dengan Raden Rama Wijaya? Tolong kembalikan aku kepadanya!!!”.

Rahwana terdiam melihat wajah Dewi Shinta yang menahan amarahnya, begitu besar kebencian dalam hatinya namun ketidak mampuannya sebagai perempuan hanya dapat mengeluarkan air mata, menangis di hadapannya karena merindukan Rama Wijaya. “Shinta, maafkan aku…, janganlah menangis…” (Tangan Rahwana mencoba menghapus air mata Shinta yang membasah di pipinya). Namun Shinta menampik tangan Rahwana dan membuang muka, berjalan menjauhi Rahwana.

Shintaa…, kalaupun kujelaskan.., kau tidak akan pernah mau mengerti, saya melakukan semua ini terpaksa demi kebaikanmu dan suatu saat nanti kau akan percaya, mengapa aku melakukan semua ini, karena aku menyayangimu, mencintaimu…(Tangan Rahwana yang kuat langsung merengkuh Shinta dengan erat memeluknya, hingga Shinta tak mampu melepaskan pelukannya yang kuat), tau gak kamu, aku cinta sama kamu, sepenuh hatiku, apapun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia, meskipun aku harus mati demi mendapatkan cintamu…(mengatakan di telinga Shinta sambil merengkuhnya dalam dekapan yang kuat dan ciuman paksa di bibir Shinta, yang takkan mampu dilepaskan oleh Shinta).” Shinta berusaha melepaskan dekapan dan ciumannya, namun kekuatannya tak berdaya menghadapi Rahwana, Shinta meronta marah dan menggigit bibir Rahwana sekencangnya hingga berdarah, rasa sakit dan luka dari gigitan Shinta membuat Rahwana menyerah dan melepaskan pelukannya, Shinta pun menampar pipi kanan Rahwana dengan kencang (Plaaak…) lalu berlari menjauhi Rahwana. Sementara Rahwana terdiam tidak melawan apalagi membalas tamparan Shinta, namun malah berjalan menjauhi… meninggalkan Shinta sendirian di Taman Argasoka, kembali masuk ke dalam Istana sambil mengusap bibirnya yang terus mengeluarkan banyak darah.

Di Kejauhan, Mayor Hanoman sedang mengintai Kerajaan Alengka dengan menggunakan Pesawat Siluman miliknya, dilihatnya Kapal Vicem Yachts 92 seperti penjelasan Kapten Jatayu kepada Leksmana sesaat sebelum dia meninggal dunia, Kapal Vicem Yachts 92 menjadi barang bukti penting melacak jejak penculikan Dewi Shinta. Mayor Hanoman pun mendaratkan Pesawat Silumannya di perbukitan Kerajaan Alengka yang masih sepi jauh dari rumah penduduk, sehingga tidak ada penduduk yang mengetahui kedatangannya. Hanoman berjalan mengendap-endap melewati rumah penduduk dan mencuri beberapa baju penduduk yang sedang dijemur di depan rumahnya, dengan menggunakan pakaian penduduk, Hanoman dapat menyamar sambil mencari informasi keberadaan Dewi Shinta. Sesampainya di dekat pelabuhan, dimana Kapal Vicem Yachts 92 berada, Hanoman menanyakan kepada nelayan sekitar mengenai siapa pemilik Kapal Vicem Yachts 92 tersebut. Diketahuilah oleh Hanoman, ternyata Rahwana yang telah menculik Dewi Shinta. Hanoman pun berangkat menuju Istana Alengka. Dengan keahlian kungfunya, sangat mudah baginya menyelinap ke dalam Istana dan masuk ke kamar prajurit pengawal Istana untuk mencuri pakaian pengawal Istana Alengka. Penyamaran Hanoman pun dimulai, dia menyelinap mengamati keadaan Istana Alengka dan mendapati Dewi Shinta (sesuai dari foto wajah Shinta pemberian Putera Mahkota Rama Wijaya padanya) sedang melamun berada di Taman Argasoka sambil marah dan melempar semua makanan dan minuman pemberian dayang-dayang, serta mengusir semua dayang untuk pergi meninggalkannya sendiri.

Saat Shinta sedang sendirian dalam sedih dan menangis, sambil melihat situasi, setelah sepi jauh dari para dayang dan pengawal, Mayor Hanoman mendekati Dewi Shinta. Dari balik pepohonan Hanoman melantunkan puisinya : “Dewi yang cantik jelita…., sungguh menderita batinnya, menangis dalam duka nestapa…., merindukan sang kekasih Rama Wijaya. Di Negeri Ayodya, Putera Mahkota sangat menderita, terus mencari-cari bayangan wajah Sang Dewi, kekasih hati…, pujaan jiwanya, kemana perginya Dewi Shinta…, dimanakah Dewi berada…? Ucap gundah Sang Putera Mahkota Ayodya…”

Siapakah gerangan yang berpuisi indah? Saya adalah Dewi Shinta, mohon Sang Pujangga menunjukkan diri, saya ingin sekali bertemu dengan Rama Wijaya, tolong katakan bagaimana saya dapat bertemu kembali dengannya.., saya sangat merindukannya..”.

Mayor Hanoman menujukkan dirinya dan memberi hormat kepada Dewi Shinta, “Hormat hamba, Hanoman.. pada Dewi Shinta, hamba diutus Putera Mahkota Rama Wijaya untuk melacak dan mencari keberadaan Dewi Shinta.”

Mengapa bukan Kakanda, Rama Wijaya sendiri yang mencari dan datang ke sini, kenapa harus mengutusmu, Hanoman?”

Mohon maafkanlah Dewi Shinta, Hanoman hanyalah utusan, bila hamba tidak membawa bukti keberadaan Dewi Shinta, hamba tidak boleh pulang kembali ke negeri hamba di Kiskenda sebelum melaporkan keberadaan Dewi Shinta kepadanya.”

Berikan Cincin emas ini…, cincin ini adalah pemberian Raden Rama Wijaya saat pertunangan di Mantili, tunjukan saja cincin ini, sebagai bukti pada Raden Rama Wijaya.” Hanoman mengambil cincin yang telah dilepaskan oleh Shinta dari jari manis tangan kirinya. Lalu bergegas mohon pamit kepada Dewi Shinta untuk pergi ke Negeri Ayodya. Suasana langit mulai menggelap di sore hari menjelang malam (sudah magrib rupanya) Dewi Shinta pun berjalan masuk menuju Istana Keputren Alengka.

Setelah selesai menghadap Dewi Shinta, Mayor Hanoman yang semula ingin langsung beranjak pergi, ternyata dalam hatinya masih merasa penasaran akan kehebatan pasukan Alengka, dalam benaknya ingin sekali mencoba, menguji kekuatan pasukan Kerajaan Alengka. Dibuatnya kegaduhan dengan merusak Taman Argasoka, dihancurkan meja dan kursi Taman dibanting ke pepohonan, lalu menghantam pancuran kolam di Taman hingga rusak dan mencabut semua tanaman bunga di pot, serta melemparkan pot-pot bunga ke dalam Istana Alengka hingga pecah semua kaca-kaca Istana Alengka. Para Prajurit bersenjata revolver (pistol peluru isi enam) berhamburan keluar Istana dan mengepung Hanoman, satu-persatu prajurit dilempari pisau-pisau kecil milik Hanoman, habis semua prajurit babak belur kesakitan tangan dan kakinya oleh Hanoman. Keluarlah Indrajid, Putera Rahwana bersama pasukan bersenjata laras panjang M16 mengepung Hanoman. Melihat telah terkepung Hanoman menyerah setelah senjata M16 ditodongkan pasukan Indrajid ke kepala Hanoman. Pasukan Indrajid langsung memborgol kedua tangan Hanoman dan menggiring Hanoman untuk menghadap Ayahnya, Prabu Rahwana.

Di Pendapa Istana Alengka, Prabu Rahwana didampingi Sarpakenaka, adik Rahwana, Kumbokarno, Wibisana dan Patih Prahasta melihat Hanoman yang dibawa masuk digiring pasukan Indrajid. “Hormat pada Ayahanda, ini adalah si pengacau yang telah merusak Taman Argasoka barusan.”

Bajingan!!! Beraninya kamu mengacau dan merusak keindahan Taman Argasoka!!!” ujar Rahwana yang mengamuk. “Bunuh aja dia!!! bakar hidup-hidup biar tau rasa!!!”, kata Sarpakenaka memanas-manasi hati Rahwana.

JANGAN!!! Kakanda Prabu Rahwana, Tolong pertimbangkan kembali, dia ini adalah Hanoman, ilmu kungfunya terkenal lumayan tinggi, lebih baik di penjarakan saja untuk diintrogasi agar tidak membahayakan keadaan Istana, bisa jadi ini hanyalah taktiknya untuk mengetahui dan menyelidiki kekuatan pasukan kita”, jawab Kumbokarno menyanggah ucapan Sarpakenaka yang hendak memanas-manasi Prabu Rahwana yang sedang emosi meledak-ledak.

Haaah…omong kosong!!! Sudah bunuh saja dia!!! Bila dibiarkan hidup malah semakin berbahaya!!! Bisa-bisa Dewi Shinta dibawa kabur olehnya!!!”, ujar Sarpakenaka kembali memanas-manasi hati Rahwana yang sedang kacau pikirannya.

JANGAN!!! Kakanda Prabu mohon pertimbangkan lagi!!! Semua kata-kata Kumbokarno benar adanya!!! Bila kita membunuhnya, akan menimbulkan kemarahan pihak Kerajaan Kiskenda, tempat asal Hanoman, dan peperangan besar akan terjadi sebab berdasar info dari BIN (Badan Intelligent Negara): Kiskenda dan Ayodya sudah menjadi Negara persekutuan. Pikirkan kembali!!! bagaimana nasib rakyat Alengka bila sampai peperangan besar ini harus terjadi?!(Kumbokarno dan Wibisana sambil bersujud memohon kepada Rahwana), Tolong…Kakanda Prabu, Kasihanilah nasib rakyat Alengka.”

CUKUP!!! Indrajid, Bawa dia dan Bakar hidup-hidup!!!”, Rahwana yang kalut pikirannya tanpa perduli perkataan Kumbokarno maupun Wibisana langsung memberikan titah kepada Indrajid untuk membunuh Hanoman. “Tapiii… Kakandaa.. mohon..”, Kumbokarno dan Wibisana terus menunduk memohon.

Haaaah, SUDAH CUKUP!!! Kamu mau berKhianat padaku?!!! Mulai sekarang Indrajid yang menjadi Jenderal di Alengka dan Patih Prahasta mengambil alih semua kewajiban Wibisana.”

Baiklah kalo begitu (Kumbokarno dan Wibisana berdiri), mulai sekarang kami tidak perduli lagi.”

Pergi aja deh jauh-jauh, gak usah tinggal di Istana, Dasar Pengkhianat!!!”, Sarpakenaka kembali memanas-manasi Rahwana.

Yaa, saya lebih baik pergi dari pada merasa terhina di sini.., Permisi Kakanda Prabu, hamba mohon diri…”, Kumbokarno memberi hormat dan langsung berjalan, beranjak pergi keluar Istana. Wibisana (adik bungsu Rahwana) melihat Kakaknya Kumbokarno pergi, dia pun ikut memberi hormat pada Rahwana, terdiam sambil berjalan mengikuti Kumbokarno keluar Istana Alengka bersama dengan iringan prajurit Indrajid yang membawa Hanoman untuk menghukum mati.

Kumbokarno langsung menuju rumah dinasnya untuk berkemas-kemas bersama isteri dan anak-anaknya (Dewi Aswani dan anak-anaknya, Kumba dan Aswanikumba/Nikumba) pergi dari Istana Alengka, pulang ke rumah keluarga istrinya di desa dan menjalani hidup sebagai rakyat biasa. Sementara Wibisana yang kecewa, mengurung diri di kamarnya. Sudah cukup sering dia dan puterinya Trijata, menasehati Rahwana hampir setiap hari agar mengembalikan Shinta kepada Rama Wijaya demi melindungi keselamatan rakyat Alengka dan sekaligus menghindari terjadinya peperangan besar dengan Negara Ayodya, namun Rahwana tidak pernah mempercayainya karena Rahwana mengetahui persahabatan Wibisana dengan Rama Wijaya sudah terjalin sejak masih kuliah seangkatan di Universitas Oxford tahun 2003 di London. Setelah merenung cukup lama, akhirnya kemarahan, kekecewaan dan sakit hatinya itu membuahkan ide untuk menyelamatkan Hanoman, sebagai bentuk pelampiasan kekesalannya terhadap Rahwana, yang selama ini lebih mempercayai, mendengarkan, menuruti dan memanjakan Sarpakenaka, Indrajid dan Patih Prahasta, dibandingkan dirinya yang tidak pernah dihargai setiap nasehat maupun usaha kerjanya demi rakyat Negara Alengka.

Malam harinya tepat jam 12 malam (dini hari) di Alun-alun Istana Alengka, telah dipersiapkan bara api unggun yang besar untuk menghukum mati Hanoman. Pasukan Indrajid mengikat Hanoman di tengah-tengah alun-alun Istana, seluruh tubuh Hanoman diguyur minyak tanah dan bensin, serta di bawah kakinya pun telah dipersiapkan kayu bakar, tinggal menunggu Indrajid datang membawakan obor membakarnya hidup-hidup.

Saat pasukan Indrajid tiba membawa serta obor besar, mereka dikejutkan dengan kehadiran 10 pasukan berbaju hitam-hitam bercadar (tertutup wajahnya) mengendarai Motor Bajaj menembaki pasukan Indrajid dengan senjata laras pendek Baretta M9 dan Colt Double Eagle 10mm Automatic (milik Wibisana) melindungi Hanoman, 2 orang dari pasukan bercadar itu melepaskan ikatan Hanoman. Dengan cepat Hanoman melompat dan mengambil beberapa kayu bakar di kakinya dan melemparkan ke Atap-atap Istana Alengka terdekat maupun ke pasukan Indrajid, sementara Wibisana yang tengah menyamar bersama pasukan “Bayangan” (sebutan nama pasukan underground didikan Wibisana) langsung melemparkan beberapa korek api “Zippo”, seketika api pun membakar Atap-atap rumah Istana dan beberapa orang pasukan Indrajid. Hanoman langsung naik ke motor Wibisana melarikan diri bersama pasukan “Bayangan” itu menembus kabut masuk ke dalam hutan Alengka. Pasukan Indrajid kocar-kacir, beberapa lari menyelamatkan diri, ada yang mengambil air sambil membunyikan alarm Kerajaan, berteriak-teriak, “Kebakaran!!! Kebakaran!!!” meminta tolong, karena api telah merambat ke beberapa rumah sekitar Istana Alengka. Indrajid kesal melihat kejadian itu, dia mengambil motor RX King miliknya bersama beberapa pasukan kepercayaannya mengejar “geng” motor yang membawa Hanoman kabur ke dalam hutan. Patih Prahasta dan Sarpakenaka langsung berlari keluar Istana dan memerintahkan para prajurit Istana untuk memadamkan api. Rahwana langsung memerintahkan pasukan khusus melindungi dan menjaga wilayah Keputren, tempat Shinta dan Trijata tinggal dalam Istana Alengka.

Di dalam hutan Alengka, pasukan “Bayangan” membawa Hanoman masuk ke sebuah gua, tempat persembunyian mereka. Wibisana langsung membuka cadar yang menutup wajahnya. Hanoman terkaget dan bertanya “Mengapa anda menyelamatkan hamba?”. “Sebenarnya saya masih bersahabat dengan Rama Wijaya dan selain itu juga saya tidak setuju dengan perintah dan tindakan Kakak saya, Rahwana.”

Begini saja, bagaimana kalo Anda ikut saja dengan hamba ke Ayodya, karena keselamatan Anda pun berbahaya bila tetap tinggal di Alengka, cepat atau lambat pasti akan diketahui oleh Rahwana.”

Bagaimana mungkin saya melarikan diri, pasti keponakan saya, Indrajid itu sudah mengejar ke hutan ini. Meski dia tidak akan berani menangkap Pamannya sendiri. Tapi kita gak punya banyak waktu dan gak punya pilihan kecuali Anda sendiri yang pergi ke Ayodya.”

Tenanglah.., saat datang ke sini, hamba telah mendaratkan pesawat persis di dalam hutan ini juga, jadi lebih baik ikuti jejak hamba saja ke pesawat.”

Baiklah kalo gitu. Dengar semuanya kita simpan motor di sini dan ikut berangkat bersama Hanoman!.” Wibisana bersama pasukan “Bayangan”nya masuk hutan berjalan kaki bersama Hanoman, sesampainya di lokasi pesawat siluman (Stealth Aircraft F-117, Nighthawk) anti peluru milik Hanoman, rombongan dihadang Indrajid dan delapan pasukan kepercayaannya yang menembaki mereka dengan senapan laras panjang M16 miliknya. Ke-Tujuh orang pasukan Indrajid dengan senjata laras pendek Baretta M9 tertembak, Tiga orang tewas, Empat diantaranya cedera luka tembak di tangan dan kaki. Tembak-tembakan antar pasukan terjadi sangat sengit di malam yang berkabut menutupi cahaya bulan yang samar-samar menerangi hutan Alengka. Sisa tiga pasukan Wibisana yang selamat(tidak tertembak) langsung berlindung didekat pesawat, sementara Hanoman membuka pintu pesawat dan menyelamatkan Wibisana masuk bersama beberapa pasukan yang selamat. Pasukan Wibisana yang cedera tertembak mengatakan pada Wibisana (melalui nikabel Bluetooth) tidak akan ikut ke pesawat demi melindungi pesawat Hanoman agar pergi melarikan diri dengan selamat ke Ayodya.

Setelah Pesawat Hanoman berangkat, pasukan “Bayangan” Wibisana yang tertinggal, tewas seketika ditembaki Indrajid dan pasukannya. Indrajid marah dan kesal karena telah gagal membunuh Hanoman. Saat beberapa pasukan Indrajid membuka cadar penutup wajah para mayat pasukan berbaju hitam itu, terkejutlah semuanya (Indrajid dan pasukannya), bahwa para mayat pasukan itu ternyata adalah pasukan Intelligent Negara Alengka dibawah pimpinan Wibisana, Pamannya Indrajid.

Di Negara Ayodya, Rama Wijaya bersama Leksmana menyusun strategi, melatih para prajurit dan mengumpulkan semua tentara dari kedua Negara : Kiskenda dan Ayodya. Tibalah Pesawat Hanoman di Lapangan Udara Negara Ayodya dengan selamat. Hanoman langsung membawa serta Wibisana dan Tiga orang pasukannya yang selamat menuju Istana Ayodya. Kedatangan Wibisana dan Hanoman langsung disambut oleh Rama Wijaya dan Leksmana. Hanoman langsung memberikan cincin Shinta kepada Rama Wijaya dan melaporkan semua peristiwa yang terjadi di Alengka hingga membawa Wibisana bersamanya.

Rama Wijaya berunding bersama Wibisana dan Leksmana di ruang rapat Kerajaan Ayodya, sementara Hanoman menelpon dan mengirim pesan kepada Paman Sugriwa meminta bantuan berupa Pesawat Hercules, yang akan dikemudikan oleh Anggada (Putera Paman Sugriwa) untuk menerjunkan para pasukan Leksmana dan Rama Wijaya langsung ke pantai-pantai, pelabuhan dan tengah hutan Alengka pada malam hari.

Leksmana dan Hanoman sepakat ikut terjun bersama Rama Wijaya dan pasukannya melalui Pesawat Hercules, sedangkan Wibisana membawa pasukan “katak” sebagai bala bantuan dengan Kapal Angkatan Laut Selam yang dilengkapi rudal torpedo milik Negara Ayodya bersiaga memantau keadaan di dekat pelabuhan Alengka. Sebelum berangkat, Wibisana berpesan pada Rama Wijaya dan Leksmana, serta Hanoman agar menuruti semua rencananya bila ingin Shinta selamat dan meminta untuk tidak menghancurkan Negara Alengka dengan gempuran rudal Pesawat tempur tanpa seizin darinya, sebab biar bagaimanapun Negara Alengka adalah tanah airnya sejak terlahir di dunia.

Lima hari setelah kejadian kebakaran di Alengka dan peristiwa melarikan diri Hanoman menggemparkan suasana Alengka. Rahwana marah besar kepada Indrajid dan Patih Prahasta, Rahwana memerintahkan semua pasukan dari darat, laut dan udara untuk bersiaga. Setiap 15 menit mobil patroli lalu lintas harus memantau jalan-jalan di kota dan desa Alengka serta keadaan di lapangan udara Istana Alengka, tempat diparkirkan helicopter “Airwolf” tercanggih anti peluru, yang jarang digunakan Rahwana, hanya keadaan darurat dipersiapkan khusus untuk keselamatan Rahwana, yang berada 500 meter di samping kanan belakang Istana Alengka dekat dengan kediaman Rahwana. Pemerintah pusat juga mengumumkan untuk menutup sementara (tidak boleh beroperasi): semua dermaga pelabuhan, semua terminal (bus, taxi, angkutan kota dan desa), bandara udara internasional Alengka dan stasiun kereta, selama kurang lebih dua sampai tiga hari. Penjagaan diperketat di semua tempat umum seperti pantai, jalan-jalan di kota dan desa, pasar tradisonal, toserba, supermarket, mall, hotel-hotel, gedung-gedung pemerintahan, komplek perumahan di kota dan desa dalam hutan, sampai ke pos-pos penjagaan Istana, terlebih di Keputren Istana Alengka.

Malam harinya tepat saat bulan purnama penuh di pertengahan September, para tentara Alengka yang tengah berjaga-jaga di tepi pelabuhan, diserang tiba-tiba oleh pasukan Wibisana yang menyelam dari Kapal Selam (membawa 60 orang pasukan) di dasar lautan dengan bersenjatakan laras panjang AK47 dilengkapi alat kedap suara, pelabuhan Alengka dengan mudah telah dikuasai oleh 20 pasukan katak, angkatan laut Ayodya pimpinan Wibisana. Sementara di hutan Alengka, Pesawat Hercules dengan pilotnya Anggada menerjunkan Hanoman, Rama Wijaya dan Leksmana beserta 30 pasukan elite (terbaik) pilihannya (Hanoman 10 pasukan angkatan udara, Leksmana 10 pasukan sniper dan Rama Wijaya 10 pasukan angkatan darat) yang langsung turun menembaki pos-pos penjagaan di hutan Alengka. Tentara pasukan AK47 dilengkapi Revolver beserta Baretta M9 didikan Rama Wijaya dan Wibisana serta pasukan Sniper bersenjata M93 dan Remington 700 didikan Leksmana, yang kesemua senjata tersebut telah dilengkapi alat kedap suara. Hanya pasukan Hanoman yang cukup bersenjata pisau dan pistol revolver seadanya mengandalkan kecepatan ilmu silat kungfunya. Semua daerah hutan Alengka telah dikuasai dengan mudah berkat sumber data dari para pasukan BIN (Badan Intelligent Negara) didikan Wibisana (Kepala Badan Intelligent Negara merangkap Penasihat Negara Alengka sebelum digantikan Patih Prahasta).

Gua tempat penyimpanan motor Bajaj pasukan Wibisana (saat melarikan diri bersama Hanoman) menjadi basis kekuatan dan berkumpulnya Leksmana, Rama Wijaya dan Hanoman. Di dalam gua, Rama Wijaya berkomunikasi langsung dengan Wibisana via handphone dari kapal selam, menyiapkan strategi rencana penyerbuan ke Istana Alengka dalam waktu Sembilan(9) jam dimulai pukul 9 malam dan harus selesai jam 6 pagi, termasuk usaha penyelamatan Shinta di Keputren Istana Alengka.

Wibisana, gimana situasi di pelabuhan sekarang?”, Rama Wijaya memanggil Wibisana dengan Handphone HTC 3D miliknya sambil dilihatnya jam Seiko kinetic miliknya menunjukan pukul 8 malam.

Semua pangkalan pelabuhan Alengka telah dikuasai, bagaimana dengan keadaan di Hutan Alengka?”, jawab Wibisana dengan Handphone Samsung Galaxy Note III miliknya.

Baguslah kalo gitu, kami sudah di gua persembunyian pasukan Bayangan menyimpan motor Bajaj. Kira-kira kita perlu persiapan apa lagi yang masih kurang sebelum menuju kota Alengka?”.

Siapkan rompi anti peluru, prisai, peralatan P3K (suntikan anti pendarahan dan obat penahan sakit), granat dan gas beracun bila perlu, serta amunisi senjata tambahan, cek saja semua perlengkapan dan ambil dalam gudang persenjataan di Istana Alengka sebelah barat, kiri dekat pintu masuk menuju taman Istana Keputren. Hati-hati dengan jarum beracun andalan Sarpakenaka, gerakannya sangat cepat dan gesit, karena dia mendalami ilmu silat ninja bersama pacarnya Karadusana selama kuliah di Osaka, Jepang. Kelemahan Sarpakenaka pastilah sudah tau semua mengenai kasusnya (dengen Leksmana) selama di hutan Dandaka. Karadusana jago ilmu silat setingkat Sarpakenaka, gerakannya cepat dan jago menembak tapi sayang mudah tergiur dengan judi, rokok dan minuman keras. Sudah dipastikan Karadusana hampir setiap malam asik mengendap-ngendap main judi dan mabuk-mabukan sama pasukannya di ruang aula Asrama Keprajuritan sebelah Barat laut Istana Alengka. Prahasta jago bertarung, ilmu silatnya Mongolian Utara keahlianya Tinju geledek dan menembak jarak dekat. Indrajid ilmu silatnya masih payah, tapi cerdik, cekatan, cerdas dan ilmu menembaknya jangan dianggap enteng, karena dia selama sekolah di Texas, Amerika sering ikut club menembak dan selalu menang medali emas dalam Olimpiade Kejuaraan menembak dunia. Sedang Rahwana ahli segala bidang ilmu silat dan menembak, tapi kurang cekatan, gerakannya agak lambat. Sekiranya itu aja info yang dapat saya tambahkan saat ini.”

Bagaimana dengan Kumbokarno?”, jawab Hanoman yang mengakui pernah seperguruan bersama, mendalami ilmu persilatan dengan Kumbokarno selama di Negeri Tibet.

Semenjak kejadian melarikan diri waktu itu, saya belum mendapat kabar keberadaannya. Kemungkinan dia sudah pulang ke rumah keluarga istrinya, setelah pergi dari Istana. Keahliannya memang setingkat dengan Rahwana, namun gerak-geriknya sulit diprediksi dan pasukan kepercayaannya cukup loyal padanya. Bila dia muncul dan keadaan pasukan terdesak langsung kabari saja, saya sudah standby di pelabuhan dan akan menuju kota Alengka, pergilah ke lapangan udara kecil yang berada 500 meter di samping Timur kanan belakang Istana Alengka dekat kediaman Rahwana, Hanoman dapat membawa helicopter “Airwolf” milik Rahwana untuk menyelamatkan Shinta.”

Baik, Trima kasih Wibisana, setidaknya kita sudah cukup mendapat info untuk berhati-hati pada Sarpakenaka dan Patih Prahasta, serta focus rencana utama tetap melakukan penyerbuan guna menyelamatkan Shinta di Istana Keputren Alengka. Kita ketemu di Alun-alun kota Alengka tepat jam 9 malam, Semua Siap berangkat!!!.”, jawab Rama Wijaya mengakhiri kontak telepon selularnya dengan Wibisana.

Wibisana melabuhkan Kapal Selam Ayodya di dermaga serta mempersiapkan 20 pasukannya menuju kendaraan Toyota Avanza dan Nissan March di sekitar pelabuhan menuju kota Alengka. Sementara sisa pasukan lainnya, yang 20 orang kru yang diam di dalam Kapal Selam, 20 orang pasukan lainnya menunggu perintah dari Wibisana, tugasnya sebagai pasukan bala bantuan (backing) yang berjaga-jaga di dekat mobil Suzuki Carry (Mobil bak terbuka pengangkut barang) menunggu di sekitar pelabuhan. Di dalam hutan Alengka, Rama Wijaya dan Leksmana beserta 20 orang pasukannya langsung menaiki 10 motor Bajaj (1 motor dengan 2 orang) menuju kota Alengka, sedangkan Hanoman dan 10 pasukan angkatan udara (terkenal tangguh dan cepat) memilih berjalan kaki, menembus hutan melalui jalan pintas yang telah dipelajari Hanoman menuju desa Alengka yang dekat dengan pusat kota.

Patroli Mobil Pasukan Indrajid yang berkeliling setiap 15 menit melewati pelabuhan Alengka, menemukan Kapal Selam berlabuh di sana. Kepala Kepolisian Patroli Mobil langsung menyerbu dan menelpon kepada Indrajid bahwa terdapat Kapal Selam dengan beberapa pasukan tidak dikenal telah menguasai salah satu pantai dan pelabuhan Alengka. Terjadi tembak menembak pasukan Polisi Alengka dengan Pasukan angkatan laut Ayodya di pelabuhan. Pasukan patroli petugas kepolisian Alengka dengan mudah dilumpuhkan karena tidak sebanding keahlian menembaknya dengan pasukan Ayodya yang ada di pelabuhan. Saat menerima laporan itu, Indrajid langsung meminta pasukannya di Istana maupun di luar Kerajaan untuk membunyikan Sirine dan Alarm di semua Kantor Pusat Kota Alengka dan memberitakan langsung ke radio dan televisi bahwa Negara Alengka dalam keadaan Bahaya dan meminta para warga untuk tetap tenang dan berdiam diri dalam rumah sampai mendengar berita selanjutnya, jika telah dipastikan Negara aman dan terkendali dari pemerintah Alengka. Keadaan yang semula tenang di malam hari langsung berubah panic dan mencekam, rakyat Alengka dengan cepat langsung berhamburan keluar mengunci pagar, pintu dan jendela rumah mereka bahkan ada juga yang sampai mematikan lampu rumahnya hingga terlihat gelap gulita di banyak desa. Para warga yang memiliki rumah besar langsung bersembunyi ke garasi atapun ruang bawah tanah rumahnya.

Kumbokarno yang tengah bersama keluarganya (isterinya, Dewi Aswani dan anak-anaknya, Kumba dan Aswanikumba/Nikumba) mendadak tidak tenang hatinya karena telah meninggalkan Rahwana, bagaimanapun hati seorang adik tidak akan tega meninggalkan kakaknya dalam situasi bahaya, dia mengkhawatirkan keselamatan Rahwana, karena firasatnya mengatakan perang besar akan terjadi di Alengka. Sebagaimana seorang mantan prajurit, dia akhirnya mohon pamit dengan isteri, mertua, saudara dari keluarga istrinya dan anak-anaknya untuk berangkat berperang ke Istana Alengka, karena sudah menjadi tugas dan kewajibannya untuk melindungi seluruh rakyat Alengka. Dengan menggunakan Motor Suzuki Shogun, dia berangkat untuk mengumpulkan kembali para tentara pensiunan yang sama-sama ikut melepaskan jabatan saat kepergiannya keluar dari Kerajaan Alengka. Di telponnya beberapa nomor penting yang ada di Handphone Sony miliknya, beberapa diantaranya lurah dan camat untuk bertemu dengannya mengadakan rapat darurat khusus di Kantor Bupati dan Walikota Alengka. Kumbokarno juga menelpon beberapa orang sahabat seperjuangannya yang masih tinggal di dalam wisma dan asrama sekitar Istana Alengka untuk melaporkan keadaan yang terjadi di sana (sms atau telpon langsung ke no.hp Kumbokarno).

Di Alun-alun kota Alengka bersiaga Patih Prahasta bersama 50 orang pasukannya berjaga-jaga di setiap pos penjagaan, pintu gerbang dan tembok Istana Alengka. Indrajid dengan 20 orang pasukannya menjaga di dalam Istana Alengka. Karadusana dengan 20 orang pasukannya berjaga di dekat Taman Keputren dan gudang senjata. Dan 10 Pasukan elit (terbaik) Rahwana menjaga kediaman dan lapangan terbang Helikopter “Airwolf” miliknya. Sisanya masih ada 100 prajurit biasa (satpam/pamong praja dan kepolisian lalu lintas), yang tersebar tidak jelas di setiap komplek perumahan, pertokoan, perindustrian, desa-desa dan kota Alengka. Namun tidak hanya itu, karena masih ada lagi 30 orang pasukan elit kepercayaan yang loyalitasnya tinggi bernama “Green Barret” atau Baret Hijau) dan 20 orang pensiunan tentara terbaik yang pernah bekerja di bawah pimpinan Kumbokarno, yang beberapa diantaranya menjadi camat, lurah, bupati maupun walikota di Negara Alengka. Keberadaan 30 orang pasukan elit Kumbokarno itu masih sangat misterius, sudah menyamar menjadi penduduk biasa (ada yang jadi pedagang gorengan, buka warung nasi, dagang sayur dan buah, pedagang mebel dan kayu, pedagang barang antik, dagang kue dan roti, tukang kebun, tukang sampah, tukang sapu jalan, petani di desa hingga menjadi nelayan, tukang ojek maupun sopir taxi), dikarenakan mereka tidak mau diperintah selain dari Kumbokarno.

Tepat jam 9 malam, berkumpul semua pasukan Rama Wijaya, Leksmana, Hanoman dan Wibisana di pasar Alun-alun Kota Alengka. Rama Wijaya dan Leksmana telah sepakat akan menyerbu pasukan Patih Prahasta di alun-alun kota dan masuk dari pintu utama Istana. Wibisana dan Hanoman akan berpencar lewat pintu belakang Istana Alengka untuk menyerbu pasukan Indrajid dan Rahwana dalam Istana Alengka. Semua pasukan akan mengarah ke Taman Keputren Istana Alengka untuk menyelamatkan Shinta.

Seketika itu juga pasukan Rama Wijaya langsung menembaki pasukan Patih Prahasta. Leksmana dan pasukannya snipernya melindungi pasukan Rama Wijaya dengan menembak dari jarak jauh. Patih Prahasta langsung mundur, masuk ke dalam Istana dan memerintahkan prajurit untuk segera menutup pintu gerbang utama Istana Alengka. Saat hampir menutup pintu gerbang, Rama Wijaya langsung mengeluarkan senjata shotgun AA12 automatic miliknya beberapa kali ke arah pintu gerbang hingga ambruk/jebol, ditembaknya pula prajurit yang hendak menutup pintu gerbang, langsung tewas seketika, motor Bajaj Rama Wijaya dan pasukannya dihadang ke pintu gerbang menghantam prajurit lain lainnya. Motor Bajaj Leksmana ikut masuk mengikuti di belakang pasukan Rama Wijaya dan para pasukannya snipernya langsung menuju tempat-tempat tinggi Istana Alengka seperti tembok gerbang dan pos-pos penjaga Istana untuk memantau dan melindungi pasukan Rama Wijaya yang telah berada di dalam Istana Alengka.

Pasukan Hanoman dan Wibisana tidak terlalu sulit masuk dari pintu belakang karena Wibisana mengetahui jalan rahasia dalam Istana Alengka. Leksmana langsung masuk ke asrama keprajuritan dan menghabisi Karadusana dan pasukannya yang tengah tertidur pulas (habis mabuk-mabukan) dengan pisau lipatnya. Rama Wijaya dan pasukannya baku tembak dengan pasukan Patih Prahasta. Setelah para pasukannya kehabisan peluru, semua menuju ke gudang senjata. Hanoman dan pasukannya tengah masuk ke gudang senjata dan Wibisana bersama pasukannya membantu pasukan Rama Wijaya. Indrajid dan Rahwana keluar bersama pasukannya ikut membantu pasukan Patih Prahasta. Rahwana memerintahkan pasukan elitnya langsung menuju ke Taman Keputren untuk melindungi Shinta. Trijata yang sekamar dengan Shinta langsung mengajak Shinta keluar dari Keputren.

Sarpakenaka terusik dan keluar dari kamarnya, dilihatnya Leksmana sedang menembaki pasukan Rahwana yang hendak menuju Taman Keputren. “Owwh, Si Ganteng Leksmana sudah datang rupanya, terimalah pembalasanku!!!” Langsung di keluarkannya jarum beracun dari dalam rompi baju Sapakenaka, saat jarum-jarum itu hendak mengenai tubuh Leksmana, Hanoman melompat dengan cepat membawa prisai milik kepolisian Alengka yang terdapat di gudang senjata, untungnya Leksmana dilindungi Hanoman. Sarpakenaka marah karena Hanoman mengganggunya, konsentrasinya berpindah karena dihadang pasukan Hanoman. Leksmana melihat keadaan itu langsung menembak Sarpekenaka dengan Sniper Remington 700 miliknya dari jarak jauh tepat menembus jantungnya Sarpakenaka. Seketika itu juga Sarpakenaka terjatuh dan tewas saat hendak mengeluarkan pistol revolver dari paha kirinya.

Rahwana mengamuk setelah melihat adik perempuannya tewas dibunuh Leksmana. “Adikkuuu…, TIDAAAAK!!! Bajingan kau Leksmana!!!”, langsung diarahkannya semua tembakan senjata M16 ke Leksmana dan pasukannya. Indrajid membantu Ayahnya menghabisi semua pasukan Leksmana karena keahlian menembaknya. Hanoman dan pasukannya langsung membantu pasukan Rama Wijaya memberikan amunisi tambahan yang telah diambil dari gudang senjata. Rama Wijaya melihat keadaan Leksmana berbahaya, langsung memerintahkan pasukan AK47 didikannya dan pasukan Wibisana untuk melindungi Leksmana dari tembakan Rahwana dan Indrajid.

Kemudian Hanoman dan pasukannya mengejar Patih Prahasta yang sisa 20 orang pasukannya kabur bersembunyi ke dalam Pendapa Istana karena kehabisan peluru, sambil mengambili senjata dari para pasukan yang telah tewas tertembak. Pasukan Patih Prahasta satu persatu lumpuh, habis ditembaki dan dilempari pisau oleh pasukan Hanoman, setelah terpojok, Hanoman dengan cepat melemparkan pisau dari jauh ke arah Patih Prahasta, lemparan Hanoman ternyata meleset, Patih Prahasta sudah melompat, pisau Hanoman kena kursi yang ada disamping Patih Prahasta. Kesal Hanoman langsung menyerang menghantamnya, ditangkis beberapa kali oleh tangan Patih Prahasta, dengan cepat tangan kirinya mendaratkan pukulan tinju geledek ke tubuh Hanoman. Kekuatan Patih Prahasta memukul membuat Hanoman terjatuh muntah darah, pasukan Hanoman mencoba melindunginya, namun satu persatu pasukan Hanoman jatuh terkapar kesakitan dihantam tinju mautnya. Wibisana yang melihat keadaan di Pendapa, langsung menembak dengan Colt Double Eagle 10mm Automatic ke kaki dan tangan Patih Prahasta, saat tangannya telah meraih dan mengangkat tubuh Hanoman untuk dihabisi oleh tinju mautnya, seketika itu juga dia terjatuh kesakitan. Wajah Wibisana yang berpenutup cadar hitam sangat sulit diketahui oleh Patih Prahasta, dia langsung memborgol kedua tangan Patih Prahasta dan mengikat tubuhnya dengan benang baja ke tembok pendapa, lalu dia berjalan menuju Hanoman untuk memberikan obat pil khusus “Yunan Baiyou” yang mujarab dari Negeri Tiongkok khusus untuk menyembuhkan luka dalam pendarahan akibat pukulan ataupun kecelakaan.

Shinta yang tengah bergandengan dengan Trijata berjalan keluar dari Taman Keputren langsung ditarik oleh Pasukan Wibisana, yang bercadar hitam dan Pasukan Rama Wijaya yang telah mengisi peluru (amunisi tambahan) terus menembaki satu persatu pasukan Indrajid, sehingga Pasukan Rahwana dan Indrajid terdesak karena persediaan peluru mereka terbatas. Rahwana meminta Indrajid dan semua pasukannya melindungi Helikopter miliknya.

Kumbokarno yang menerima laporan dari tentaranya yang menyamar dalam Istana Alengka langsung memerintahkan para pasukannya untuk berkumpul di halaman garasi, tempat semua kendaraan dinas pejabat Kerajaan Alengka diparkirkan, letaknya di belakang tembok sisi Utara Istana kira-kira 200meter dari pintu belakang Istana Alengka. Pasukannya tetap menyamar sebagai penduduk dengan pisau tentara sebagai senjata andalannya. Misi strategi Kumbokarno adalah menyelamatkan Rahwana dan Indrajid keluar dari Istana. Dari ke-30 pasukan elite Kumbokarno itu, 20 diantaranya berjaga-jaga di jalan-jalan rahasia menuju rumah sakit pusat yang sudah dipeta-kan oleh Kumbokarno dari Istana Alengka. Bersama 20 orang pensiunan tentara, Kumbokarno masuk mengendap-endap menyerbu ke dalam Istana Alengka. Sisanya tinggal 10 orang pasukan elit yang berjaga di dalam garasi Kerajaan, beberapa orang diantaranya diminta untuk bersiap mengendarai Mobil anti peluru Jeep Wrangler SAHARA 1998 milik Rahwana dan 3 Mobil Suzuki Swift.

Pasukan Rama Wijaya terus dibantu pasukan Wibisana yang membawa serta Trijata dan Shinta. Leksmana dan Hanoman terus berjalan mengikuti arah Wibisana ke lapangan Helikopter. Akhirnya habis semua peluru pasukan Rahwana, Indrajid, maupun pasukan Rama Wijaya dan Wibisana. Dari pertarungan tembak-tembakan berlanjut perkelahian pukul-pukulan, baku hantam antar para prajurit maupun antara Rama Wijaya dan Rahwana, begitu pula Indrajid dengan Leksmana. Wibisana membawa Shinta dan Trijata masuk ke dalam Helikopter, sambil menelpon pasukan bala bantuan yang masih ada di pelabuhan. Hanoman berjalan tertatih terluka kesakitan sambil berusaha mengaktifkan semua mesin Helikopter “Airwolf” milik Rahwana.

Rahwana melihat Hanoman hendak membawa lari Shinta, langsung mengejar dan menarik tubuh Hanoman lalu membantingnya ke tanah. Melihat hal itu, Wibisana tidak tega dan berusaha menyerang Rahwana untuk melindungi Hanoman. Rahwana tidak asing dengan jurus silatnya Wibisana, dia langsung menarik penutup cadar hitam dari wajahnya dan berteriak : “Wibisana Keparat!!! Pengkhianat kau!!!”. Mendengar teriakan Ayahnya, Indrajid terkaget kehilangan konsentrasinya, saat itu Leksmana langsung mendaratkan pukulan bertubi-tubi menghantam Indrajid hingga terjatuh ke tanah. Semua pasukan Indrajid dan Rahwana habis dipukuli Rama Wijaya. Kemarahan Rahwana semakin menjadi-jadi melihat anaknya jatuh terkapar memuntahkan banyak darah, ilmu silat Wibisana tidak sebanding dengan Rahwana, dengan mudah tubuh Wibisana diangkat dan dilemparkan ke arah pasukannya, Leksmana langsung membantu Wibisana, lagi-lagi tidak ada yang mampu menandingi kekuatan Rahwana, Leksmana pun bernasib sama dengan Wibisana. Hanya tinggal tersisa Rama Wijaya dan Rahwana.

Rama Wijaya langsung menyerang Rahwana dengan jurus tendangan tanpa bayangan dan pukulan kilatnya. Rahwana tetap bertahan meskipun gerakan pukulan dan tangkisannya sudah tidak secepat Rama Wijaya, tapi tenaganya masih kuat menghantam beberapa kali ke wajah dan dada Rama Wijaya hingga kepala, hidung dan bibirnya berdarah-darah. Kecepatan Rama Wijaya memanfaatkan tenaga Rahwana, membanting tubuh Rahwana dengan mudah dengan ilmu silat Aikido Sabuk Hitam/DAN level 9 yang telah dikuasainya. Beberapa kali Rahwana jatuh terbanting tapi kekuatan Rahwana tidak dapat disepelekan Rama, meskipun sudah terjatuh berkali-kali, Rahwana yang berilmu silat setingkat sama tingginya bertarung seimbang dengan Rama, dengan mudah Rahwana dapat berguling saat terjatuh sehingga tidak terlalu cedera saat tubuhnya terbanting beberapa kali ke tanah.

Leksmana yang masih terkapar kesakitan melihat kakaknya sudah mulai kehabisan tenaga, kewalahan menghadapi Rahwana, dia langsung mengambil pisau di saku celananya, dengan cepat melemparkan ke tubuh Rahwana, kenalah ginjal kirinya Rahwana langsung mengeluarkan banyak darah, melihat hal itu, Rama mendapat kesempatan memukul habis Rahwana hingga terjatuh terkapar muntah banyak darah.

Shinta mengetahui pasti Rama Wijaya akan menghabisi nyawa Rahwana, dia langsung berlari keluar dari helicopter dan berteriak “CUKUP!!! SUDAH!!! HENTIKAN RAMA!!! Kasihanilah dia…!!!”. BERSAMBUNG… ke Sesion III. (Written by: Kepik Romantis / Padma Varsa A.) NB : Cerita ini fiksi, khayalan dan imajinasi belaka.