Di sebuah negara kepulauan Atlantis, yang terdapat banyak kekayaan alam dan objek wisata di kota-kotanya yang terkenal di seluruh dunia, dengan segudang kisah sejarahnya. Alkisah seorang pria keturunan bangsawan, Herman Suseno, hidupnya selalu berlimpah dan berkecukupan dari sejak kecil, dia merantau ke barat untuk bekerja sebagai wiraswasta kontraktor bangunan, arsitek, EO (Event Organizer) dan designer mebel/furniture.
Ciri fisiknya wajahnya biasa saja, berkulit cokelat legam dan memiliki keunikan dengan tanda di kedua jempol kakinya dengan tulang menonjol yang sama persis dengan ayah dan kakeknya. Dia memiliki keluarga besar dan dinikahkan oleh orang tuanya dengan putri seorang petani perkebunan palawija di dekat rumah kampung halamannya di Giri Sewanapura, Dwipa Timur. Sejak tahun 1980an dia telah hijrah bersama keluarganya ke Dwipa Barat untuk mengadu nasib di kota besar metropolitan. Saudara-saudaranya, Jono, Nita dan Reno sering mengajukan Suseno sebagai calon legislative pemerintah, karena menurut saudara-saudaranya, Suseno terlihat sangat berwibawa, tegas dan bijaksana, namun dia selalu menolak. Dikarenakan dia merasa sudah cukup puas dengan kehidupan yang sederhana dan berkecukupan, selain itu pula keadaan keluarganya kurang begitu baik, istrinya terkena stroke dan diabetes sejak tahun 1995.
Pada tahun 1998 terjadi peristiwa tragedi besar dalam negeri, demi meraih kepentingan politik saat pergolakan kursi parlemen dalam masa pergantian pemerintahan baru menuju era modernisasi. Kerusuhan, penjarahan dan peperangan terjadi di kota-kota besar, banyak anak-anak perempuan keturunan Asia mengalami trauma seumur hidupnya, karena pengaruh keadaan saat itu yang “memanas”, banyak korban tindak kekerasan dan pemerkosaan hingga pembunuhan dan perampokan. Hampir semua sektor bisnis dan perdagangan pun hancur dalam krisis moneter yang berkepanjangan hingga nilai tukar uang pun melemah di titik terendah. Hubungan antara Asia dan Atlantis pun kian “memanas”, pihak Uni Eropa dan Amerika mengambil untung demi kemajuan negaranya. Para pebisnis dan pengusaha milyuner sudah berterbangan ke luar negeri karena ketakutan demi menyelamatkan diri.
Kejadian tersebut berimbas juga pada keluarga Suseno, usahanya juga mengalami pasang surut, ditambah teman bisnisnya, Ramon ternyata punya dendam tersendiri ingin menjatuhkan perusahaan Suseno, di saat yang tepat menjelang krisis moneter. Ramon berfisik gagah, tampan dan disukai banyak perempuan, namun dia sangat licik dan berambisi. Keluarga Ramon sangat dekat dengan pejabat pemerintahan, gubernur, walikota dan bahkan para jenderal angkatan darat dan kepolisian.
Dendam bermula karena rasa sakit hatinya sewaktu dia mengajukan proyek besar, untuk meneruskan proses pembangunan Waduk Madira di daerah Kamulyan yang sudah direncanakan pemerintah sejak tahun 1970an serta perumahan real estate di areal pegunungan hijau Kamulyan yang diperkirakan dapat meraup keuntungan milyaran, dimana dia sebagai tender utama yang mengajukan join/kerjasama dengan perusahaan Suseno, PT. Mulya Jaya, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Suseno dihadapan banyak pihak asing (Asia, Uni Eropa dan Amerika) dalam rapat koordinasi proyek Kamulyan dengan pihak pemerintah pusat Atlantis, karena Suseno menganggap pembangunan tersebut dapat merusak lingkungan di daerah kawasan cagar alam Kamulyan, selain itu juga diperkirakan banyak situs sejarah dan cagar budaya yang dilindungi masyarakat sekitar dapat hancur akibat pembangunan Waduk Madira.
Suseno meskipun seorang kontraktor tetap mengutamakan kelestarian lingkungan dan membiarkan alam yang asri agar tetap terjaga keseimbangan ekosistemnya seperti pegunungan, sawah, pantai, sungai dan hutan dibiarkan agar penduduk asli yang mengelola dan melindunginya sehingga pepohonan yang ada tidak ditebang dan dirusak untuk dijadikan hotel, perumahan atau villa bagi para pejabat asing maupun pemerintah daerah dan pusat yang korup. Sejak kejadian penolakan tersebut, Ramon pun merasa kesal sekaligus merasa malu dan memutuskan kerjasama perusahaan dengan Suseno. Di balik peristiwa itu ternyata Ramon masih merasa dendam dan menyusun rencana pembalasan, di saat yang tepat dimana dia menjadi dalang otak menghancurkan seluruh keluarga Suseno dalam sekejab.
Saat terjadi tragedi besar di Metropolitan, Jayakarta, adalah waktu yang sangat tepat bagi para pasukan bayaran yang telah diperintahkan Ramon sebelumnya untuk merampok, menjarah dan membakar habis rumah Suseno di daerah “Pondok Kelapa Hijau Permai”, bila perlu Suseno dibunuh hari itu juga di rumahnya. Malam itu pun rencana dilaksanakan, para pasukan bayaran yang berjumlah sepuluh orang mengenakan pakaian preman dan bercadar, bergerak cepat mengintai rumah Suseno. Dalam hitungan detik perintah seorang komandannya, saat satpam sedang lengah tertidur sambil mendengarkan music, mereka langsung melompat masuk dan melumpuhkan satpam dan kamera cctv di depan rumahnya, lima orang diantara mereka sudah membawa bensin beberapa jerigen besar dan mengguyur seluruh isi rumah yang mudah terbakar. Isteri Suseno yang sudah tidur terlelap di kamarnya lantai dasar dekat ruang makan, tidak mendengar para pasukan datang, sementara Suseno berada di ruang kamar belakang sedang sibuk menggambar sketsa konstruksi ruangan, mebel dan bangunan untuk dibawa ke kantornya minggu depan dan kedua anak Suseno sedang menonton televisi di kamarnya masing-masing di lantai dua rumahnya.
Pasukan yang sudah masuk mulai membagi tugasnya, beberapa diantaranya masuk ke kamar anak-anaknya, kamar pembantunya dan sopirnya, dan saat teriakan anak perempuannya menjerit, “Aaaaaa….!!!” (seketika itu juga anak-anak Suseno sudah diringkus oleh para pasukan tak dikenal), Suseno terkaget dari kesibukan kerjanya, seolah mendengar teriakan anaknya, beruntungnya pasukan belum tiba di ruangan Suseno bekerja, karena letak kamar kerjanya di belakang rumah dekat kolam renang dengan gazebo kecil dikelilingi taman bunga anggrek kesukaannya. Mereka terlalu sibuk membasahi benda-benda di rumah Suseno untuk dibakar, Suseno mengintip dari jendela kamar kerjanya, dilihatnya orang-orang bercadar tak dikenal masuk sedang sibuk mengguyur bensin di rumahnya. Secepatnya dia mematikan lampu meja di ruang kerjanya dan diraihnya telepon selular di dekatnya, dikirimnya pesan singkat ke Jono, Reno dan Nita (saudara-saudaranya) agar segera menghubungi pihak kepolisian secepatnya untuk menolongnya dan keluarganya, yang sedang dalam bahaya. Di saat situasi yang sangat berbahaya itu, dia tidak ada keberanian untuk bersuara karena pasti akan terdengar oleh para pasukan tersebut, maka dari itu dia bergegas bersembunyi di bawah meja kerjanya, sambil mengambil pisau di dalam lacinya yang selalu disediakan untuk membuka kaleng cat minyak bila dia hendak menyalurkan bakat melukisnya.
Tiba-tiba terdengar seseorang membuka pintu ruangannya, langkah sepatu masuk ke ruangannya melihat sepintas dengan cepat ke arah meja kerjanya, namun tidak menemukan Suseno, terdengar suara “Tidak ada di sini!!!”, mereka menutup kembali kamar kerja Suseno. Didengarnya suara orang sedang menelpon, “Tidak ada Bos, kami sudah cari mangsa, tidak ditemukan, sepertinya salah informasi…, (jeda terdiam sejenak kemudian), baik siap laksanakan!!!”. Setelah beberapa saat kemudian, terdengar seorang memerintahkan, “Bakar habis semuanya!!!”, dan seorang lagi bertanya “Bagaimana dengan istri dan anak-anaknya?!”. “Biarkan saja begitu, kematian mereka tidak akan terbukti bila semua terbakar habis..”,ujar komandannya.
Ternyata dugaan mereka salah, beberapa saat setelah selesai menjarah semua barang-barang berharga di rumah Suseno dan hendak membakar habis seisi rumah, terdengarlah bunyi serine mobil kepolisian datang menuju rumah Suseno, “Bagaimana ini??!!!”, para pasukan was-was. “Sialan!!!, kalian goblok!!! Ini bukti bajingan itu ada di dalam rumah ini!!! Cepat cari dia!!!, dan kalian (menujuk beberapa) bakar rumah ini sekarang!!!”. “SIAAAP!!!”. Dalam waktu singkat, bau asap pun mulai tercium, Suseno keluar dari kamarnya, menusuk seorang pasukan di depannya namun karena pasukan tentara bayaran terlatih begitu kuat, tusukan pisau Suseno tidak langsung melumpuhkannya, dipukulnya Suseno beberapa kali hingga lemas terjatuh dan pingsan, kemudian diikatnya Suseno dalam ruang kerjanya.
Untungnya Suseno, saat pasukan itu hendak keluar ruangan, suara tembakan pun langsung melumpuhkannya hingga tercebur dalam kolam renang. Suseno ditolong oleh pihak kepolisian saudaranya, Jono dan Reno, seketika itu juga pasukan tak dikenal itu lumpuh ditembak pasukan kepolisian. Jono dan Reno membantu memapah Suseno untuk keluar dari rumah, namun Suseno menolak, karena dia harus menyelamatkan isteri dan anak-anaknya. Suasana rumah sudah tertutup asap menyelimuti seluruh ruangan, Suseno berlari cepat naik ke lantai dua hendak menyelamatkan anak-anaknya diikuti Reno, sementara Jono menuju kamar Isteri Suseno di dekat ruang makan. Pembantu dan sopirnya Suseno di ruang basement dengan segera melompat lari secepatnya keluar dari rumah, setelah ikatan mereka dilepaskan Jono.
Langkah kaki Reno dan Suseno pun terhenti di tangga, saat hampir mencapai kedua kamar anak Suseno, Reno terjatuh karena kepalanya tertimpa lampu gantung yang jatuh dari langit-langit kayu yang telah terbakar, “Renooo…!!!”, Suseno langsung mengejar Reno yang terjatuh pingsan, belum juga sempat menolong Reno, api sudah membakar tangga kayu yang menjatuhkan mereka berdua ke lantai dasar, hingga sebuah lemari buku yang telah ¼ hangus terbakar menimpa punggung Suseno yang hendak melindungi adiknya, Reno. Hampir 80% rumah Suseno rata-rata berbahan dasar dari kayu, sehingga mudah terbakar habis.
Setelah semua pasukan tak dikenal dilumpuhkan oleh para petugas kepolisian, barulah tiba mobil Ambulance dan Pemadam kebakaran yang terlambat karena banyaknya tempat kerusuhan dan kebakaran yang terjadi di hari yang sama di pusat-pusat pertokoan di Jayakarta. Jono yang masih terjebak kepungan asap di ruang makan lantai dasar segera mendapat pertolongan dari para petugas pemadam kebakaran dan tim medis (Palang Merah atau Red Cross), begitu pula dengan para pembantu dan sopir (Wulan, Poniyem, Choki - Anak Poniyem, Warsino dan Parman – Supir), kemudian barulah terakhir, Reno dan Suseno.
Namun naas…, nasib isteri dan anak-anak Suseno yang berada di dalam kamarnya, tidak dapat tertolong, karena kepungan asap sudah membuat mereka pingsan dalam keadaan terikat dan terbakar dalam kobaran api yang membakar habis mereka. Nita (saudara perempuan Suseno) yang melihat kejadian tersebut di luar rumah Suseno, hanya dapat menangis histeris karena melihat Suseno dan Reno dalam keadaan tidak sadarkan diri dan terkena luka bakar sangat parah. Untungnya Jono masih sadarkan diri dengan luka tidak terlalu parah karena petugas kebakaran pertama kali melihat Jono, barulah dapat menolong Suseno dan Reno. Mereka langsung dilarikan ke UGD (Unit Gawat Darurat) Rumah Sakit terdekat. Setelah tiga jam lebih, api baru dapat dipadamkan, setelah itu para petugas kebakaran dibantu tim medis mengeluarkan jasad para korban (isteri dan anak-anak Suseno) untuk diotopsi oleh tim dokter di Rumah Sakit.
Beberapa minggu setelah kejadian tersebut, pihak kepolisian menangkap, mengadili dan menghukum para tentara itu sekaligus “mencopot” jabatan mereka, serta memenjarakan mereka, namun pihak kepolisian belum menemukan bukti yang kuat, siapa dalang atau otak dibalik kejahatan mereka, sehingga pihak keluarga Suseno, yaitu Nita dan Jono yang saat itu hadir dalam persidangan sebagai saksi, merasa kecewa karena kenyataannya Kakak tertua mereka, Suseno masih dalam kondisi sangat berbahaya, apabila dalang kejahatan peristiwa tersebut mengetahui keberadaan Suseno dan masih bebas berkeliaran mengancam keselamatan Suseno.
Di Rumah Sakit “Medika”, Suseno belum sadarkan diri karena harus terus menjalani operasi berulangkali, serta pengobatan pemulihan luka bakar yang cukup parah di punggung, pundak dan lehernya, sementara Reno (adik bungsunya) tidak tertolong dan meninggal di rumah sakit karena luka di kepalanya telalu parah. Nita dan Jono bergantian membesuk Suseno, sesekali Jono dan Nita juga menyempatkan diri datang ke Kantor perusahaan Suseno untuk menginformasikan keadaan Suseno, (bernama lengkap Drs. Herman Suseno, M.Hum sebagai Presiden Direktur sekaligus juga pemilik perusahaan “PT. Mulya Jaya”). Nita adalah adik pertama Suseno yang menikah dengan Kariman, seorang Asisten Kepala Kepolisian daerah sektor selatan Jayakarta, sementara Jono adalah adik kedua Suseno, seorang Letnan Jenderal Angkatan Laut yang menikah dengan Sumarwati seorang Manajer Bank “BFI” di daerah Jayakarta Pusat.
Suasana di kantor “Mulya Jaya”, seperti biasa Lukas dan Cokro selalu ribut di kantor bila ditinggalkan kepala direktur, Suseno. Karena keduanya sama-sama menyukai Karina (sekertaris direktur Suseno yang dianggap paling cantik dan seksi di kantor), namun Karina lebih tertarik pada Lukas yang bertubuh tinggi dan langsing, dibandingkan Cokro, yang bertubuh gemuk dan berkumis tebal. Karyawan-karyawan lain di perusahaan Mulya Jaya rata-rata para designer interior, tukang kayu, arsitek muda, mahasiswa/i seni rupa dan grafis, anak-anak STM (Sekolah Teknik Mesin) dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).
Nita dan Jono yang telah diskusi lama di rumah sakit, sepakat melakukan berbagai rencana perubahan, yaitu 1.)Membangun rumah baru bagi Suseno yang direncanakan akan dibangun tidak jauh dari kantornya di daerah BSP Tulungagung, 2.)Para pembantu dan sopirnya Suseno (Wulan, Poniyem, Choki - Anak Poniyem, Warsino dan Parman – Supir), mereka akan tinggal di mess (apartemen khusus untuk para pekerja kantor Mulya Jaya), dimana untuk sementara waktu mereka dipekerjakan membantu di kantor Mulya Jaya sebagai sopir, office boy maupun pembantu masak dan kebersihan di kantor, 3.)Proses pembangunan rumah Suseno direncanakan akan memakan waktu 3 tahun, maka selama itu Suseno harus dianggap “hilang” dengan diberitakan dalam surat kabar telah pindah ke luar negeri (Singapura) untuk keperluan perawatan dan pengobatan luka bakar dan namanya pun di susunan struktur jabatan di PT. Mulya Jaya diganti menjadi Leonard Steven, seolah-olah perusahaan tersebut telah diambil alih sahamnya oleh negara tetangga Singapura, serta jabatan tertinggi perusahaan “Mulya Jaya” akan diambil alih oleh Jono selaku Kepala Direktur Utama Sementara dan Nita sebagai Wakil Direktur Sementara.
Semua berkas penting di rumahnya Suseno habis terbakar, tetapi untunglah data-data aslinya masih tersimpan secara rahasia di kantor Mulya Jaya. Dan selama proses pemulihan, Suseno harus disembunyikan di penthouse, sebuah hotel pribadi milik Jono di kawasan Bintoro, Jayakarta Selatan.
Perusahaan Ramon coorporation melunjak menjadi perusahaan besar paling terkemuka dibidang bisnis contractor, property dan real estate, yang semakin maju dengan cara-cara “kotornya”, melalui kelicikannya saat berkecimpung dalam bidang politik, dia pun dimudahkan dalam mengajukan proyek kepada pejabat-pejabat pemerintah yang hendak “mencuci uangnya” agar terbebas dari tuduhan korupsi. Selain itu, Ramon juga sangat digandrungi para artis selebritis karena menjadi pengusaha kaya dan berwajah tampan, tidak heran bila memiliki istri seorang artis terkenal dan juga memiliki banyak wanita simpanan. Ramon tidak sendirian, dia dibantu kawan baiknya Lukman dan Markus, yang menjadi manajer utama sebagai “tangan kanan” Ramon di perusahaannya “Ramon’s Corporation”.
Lukas (manajer HRD/personalia), Karina (sekertarisnya Suseno) dan Cokro (manajer operasional dan keuangan) di Perusahaan “Mulya Jaya” sangat kewalahan bekerja semenjak ditinggalkan direktur mereka yang kini sedang dalam tahap penyembuhan, sebuah ide meluncur dalam benak Karina, dibuatkan lowongan kerja untuk mencari seorang pekerja part-time (sementara) untuk membantunya bekerja, yang kini harus merangkap jabatannya dengan Cokro mengurusi masalah keuangan, sementara Cokro dan Lukas bersaing merangkap pekerjaan keseharian jajaran direktur perusahaan menjadi kepala dari para manajer operasional kantor sekaligus memantau perkembangan keseluruhan perusahaan.
Sebelum berlanjut menceritakan kondisi kesehatan Suseno, di situasi yang lain diceritakan pula tentang “Bella” adalah anak puteri dari keluarga sederhana keturunan Asia, ayahnya, Martin, seorang kuli bangunan, sedangkan ibunya, Jenny, seorang pedagang asongan. Bella mempunyai seorang kakak laki-laki, Philip yang telah menikah dan bekerja sebagai consultant IT computer di daerah Gerantang, Jayakarta Barat. Bella yang sangat cantik, disukai banyak pria dari sejak kecil, tidak terhitung berapa banyak pria yang pernah jatuh hati padanya, namun dia lebih banyak berdiam, menyendiri dan membaca buku di perpustakaan sekolah.
Tidak menyangka begitu naas pula nasib Bella, sewaktu tragedi kerusuhan tahun 1998 di Jayakarta, Bella yang saat itu masih duduk di bangku SMP merupakan salah satu korban dari beberapa perempuan yang selamat. Membutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkan trauma dalam diri Bella atas kejadian mengerikan yang menghancurkan seluruh hidup dan sekolahnya. Dari kejadian tersebut hingga SMA terus berlanjut ke jenjang kuliah pun, Bella hampir cukup sering berhadapan dengan dokter psikologi (dr. Budi Hartono) untuk terus memulihkan kondisi psikologisnya yang mudah depresi dan rendah diri.
Ternyata dunia itu aneh atau cukup selebar daun kelor rupanya, dr. Budi Hartono juga yang menangani, merawat pemulihan Suseno yang kini dipanggil Leonard Steven atau lebih mudahnya Steve. Kedekatan dokter dengan pasien, terkadang para pasien suka mengeluh dan bercerita kepada dokter, selain sebagai bahan pembicaraan untuk membangkitkan semangat hidup para pasien-nya, seorang dokter berbagi banyak cerita tentang pemasalahan hidup yang didapat dari beberapa pasien lainnya juga.
Steve sedang dalam kejiwaan yang sangat tertutup akibat kejadian yang mengerikan seumur hidupnya, hampir putus asa ingin mengakhiri hidupnya, namun dr. Budi dengan sabar mencegah dan menasehatinya bahwa masih banyak orang yang nasibnya jauh lebih buruk dari padanya. Perawat-perawat yang dikirimkan dr. Budi hampir semuanya kewalahan menghadapi sikap Steve yang keterlaluan.
Hingga suatu ketika, sekertarisnya Steve yaitu Karina, datang berkunjung ke penthouse Steve di Hotel milik Jono bersama Cokro, Lukas dan Nita, mereka mengeluhkan kepada dokter, sikap direkturnya itu yang sudah hampir 3 tahun lebih tidak peduli dengan kondisi perusahaannya, sehingga sudah cukup kewalahan pekerjaan di kantor tanpa pertolongan direkturnya itu. Tidak akan mungkin Karina terus bekerja mondar-mandir melaporkan pada Jono ke hotel dan selama itu pula semua laporan dibiarkan dan tidak pernah dilihat apalagi dibaca oleh Suseno/Steve, direkturnya.
Lukas dan Cokro pun kewalahan harus seperti “setrikaan” di kantor, memperhatikan semua para karyawan sekaligus mencari kerjasama proyek bangunan di luar dengan perusahaan lain dan memantau pembangunan rumah untuk Steve. Dengan jujur mereka berkata perusahaan “Mulya Jaya” hampir bangkrut karena kesulitan mencari proyek sekaligus persaingan berat ditambah pengeluaran besar untuk pengobatan Steve. Untungnya saudara-saudara Steve masih kuat “menyuntik” dana setiap bulannya untuk perusahaan “Mulya Jaya”.
Diingatnya Bella sekarang sudah kuliah di jurusan design interior dan memerlukan biaya besar untuk perkuliahannya jadi memerlukan pekerjaan, Bella pernah bercerita pada dr. Budi, Bella ingin kuliah sambil bekerja part-time agar tidak terlalu memberatkan pengeluaran uang dari kedua orang tuanya. Saat itu juga langsung dikatakan oleh dr. Budi dihadapan Karina, Lukas, Cokro dan Nita (saudara Steve), ada seorang mahasiswi design interior, yang juga merupakan pasien-nya sedang memerlukan pekerjaan part-time. Karina, Lukas dan Cokro langsung kegirangan dan setuju untuk memanggil Bella ke Kantor “Mulya Jaya”.
Pada awalnya Nita kurang setuju karena Bella masih kuliah dan pasien traumatic dan depresan, takutnya psikologisnya yang belum pulih akan mengganggu konsentrasi kuliahnya, namun desakan Karina, Lukas dan Cokro akhirnya Nita memberikan izin agar memanggil Bella untuk di-interview dan diterima berkerja di Kantor “Mulya Jaya”, namun dengan syarat dr. Budi harus tetap memperhatikan kondisi psikologis Bella apabila nanti harus berhadapan dengan Sang Direktur (Suseno/Steve) yang bebal, keras kepala, arogan, pemarah, angkuh, dan segudang keburukan lainnya yang kerap kali menimpa para perawat dr. Budi, para pembantu dan para sopirnya Sang Direktur.
Keesokan harinya, sesuai dengan jadwal interview untuk penerimaan karyawan baru di perusahaan “Mulya Jaya”, Bella datang bersama para calon pekerja lainnya dengan membawa serta semua berkas data pribadinya yang diperlukan untuk perusahaan.
“Bella Setiawati”, namanya dipanggil oleh Lukas selaku manajer HRD/personalia. Berikut interview Bella dengan Lukas :
Lukas : “Selamat pagi, saya Lukas, manajer personalia di Mulya Jaya”
Bella : “Selamat pagi juga Bapak Lukas, saya.. Bella Setiawati”
Lukas : “Okey…, silahkan duduk…, (sambil melihat-lihat arsip data pribadi yang diserahkan Bella kepada Lukas), ummm…, kalau boleh saya tau, kira-kira kamu pernah punya pengalaman kerja dimana saja sebelumnya? dan coba diceritakan secara garis besarnya saja..”
Bella : “Kalo pengalaman kerja, jujur saya mungkin masih kurang, dulu waktu lulus SMA hanya sebagai administrasi paruh waktu di pabrik sepatu “Cannberia” dan juga pabrik gas elpiji “PT. Harapan Abadi”, lalu pernah menjadi runner dan waitress di restoran “Satay House” part-time job saat itu menjelang bulan puasa dan lebaran, lalu pernah membantu dosen juga sebagai asisten tapi hanya sebentar, pernah bekerja menjadi administrasi merangkap sekertaris dan keuangan di kantor travel agent dan saat liburan perkuliahan selama di rumah juga suka mengajar kursus private matematika dan bahasa inggris untuk anak-anak SD kelas 3-6.”
Lukas : “Hmm…, Jadi… kamu sudah banyak juga pengalaman dalam bidang administrasi maupun sekertariat, kira-kira kamu mau digaji berapa apabila diterima kerja di sini?”
Bella : “Wah kalo masalah gaji, saya belum bisa memastikan karena saya sendiri belum punya pengalaman yang cukup lama, jadi harus menyesuaikan dan belajar lagi, saya sih terserah…., bagaimana kebijakan dari pihak perusahaan saja…”
Lukas : “Okey, kalo begitu kapan kira-kira kamu siap masuk kerja?, jadi saya dapat menghubungi para manajer dan asisten saya yang akan mentraining dan membimbing kamu nanti saat bekerja di perusahaan ini.”
Bella : “Kemungkinan awal bulan depan saya siap masuk kerja.”
Lukas : “Deal… okey, saya tunggu kedatangannya…yah.., nanti hari Senin tepatnya kamu datang langsung bertemu dengan Ibu Nita selaku pimpinan sementara di perusahaan kami, juga nanti akan ada Bapak Jono, Bapak Cokro dan Ibu Karina, yang akan datang juga untuk bertemu dengan kamu di hari pertama kamu kerja.”
Bella : “Baik. Terima kasih banyak ya, Pa Lukas…” (seraya berdiri lalu bersalaman dan berjalan keluar ruangan sambil menutup pintu ruang HRD.)
Seminggu kemudian tepatnya di hari pertama Bella masuk kerja di Kantor “Mulya Jaya”, Bella berkenalan dengan Ibu Nita, Bapak Jono, Bapak Cokro dan Ibu Karina, dengan bantuan Bapak Lukas. Pertama-tama, Bella ditraining untuk pengenalan produk dan bahan yang dijual di perusahaan, kemudian dijelaskan juga mengenai data-data para pelanggan dengan harga tertentu, mengenai target penjualan per-bulannya, serta perincian data-data keuangan perusahaan. Selanjutnya diajak oleh Bapak Cokro dan Bapak Lukas untuk berkenalan dengan para staff/karyawan yang bekerja di perusahaan sekaligus menjelaskan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Begitu sangat teratur dan saling kompak dalam bekerjasama agar setiap perkerjaan menjadi mudah dan cepat diselesaikan menurut Bapak Cokro selaku manajer operasional menerangkan keseluruhan perusahaan. Tidak kalah dengan Bapak Lukas yang juga menjelaskan jam kerja, peraturan izin dan libur, serta tata cara absensi dan metode system komputerisasi perusahaan.
Hari pertama benar-benar kewalahan, Bella cukup pusing dengan semua penjelasan mereka, akhirnya Bapak Jono memberikan waktu untuk istirahat di ruang makan (cafetaria/canteen) sambil ditemani oleh Ibu Karina yang akan membantunya membimbing tugas-tugas dan kewajibannya. Tidak lupa Ibu Karina juga menjelaskan mengenai kenaikan gaji dan bonus apabila dapat mencapai target penjualan dalam sebulan.
Lewat masa percobaan selama tiga bulan bekerja, Bella diterima sebagai karyawan tetap dan direncanakan akan diajak untuk bertemu langsung dengan Steven/Suseno oleh Nita dan Jono ditemani Karina, Cokro, Lukas dan dr. Budi (akan menyusul bertemu di lobby hotel milik Jono).
Kenapa harus hari Senin, dalam hati Bella merasa sangat benci dengan hari Senin yang selalu melelahkan, pagi-pagi sekali harus datang ke Kantor dan kemudian harus ikut bersama rombongan mobil dinas kantor menuju Hotel bintang ****(4) “Cosmic Core” di daerah Bintoro, Jayakarta Selatan. Sesampainya di lobby hotel, Bella sangat senang dapat berjumpa kembali dengan dr. Budi, dijelaskan bahwa dr. Budi akan ikut bersama rombongan untuk bertemu Bapak Steven di Penthouse Hotel “Cosmic Core”.
Sesampainya di Penthouse, pelayan kamar membukakan pintu untuk mereka, dr. Budi, Jono, Nita, Karina, Cokro, Lukas dan Bella (terakhir) berjalan masuk ke ruang tamu dan dipersilahkan si pelayan kamar untuk duduk di sofa menunggu kehadiran Bapak Steven. Namun dr. Budi menolak, dia langsung masuk menuju kamar tidur Steven. Terdengar suara saling membentak dan kemarahan antara dr. Budi dan Steven. “Apa-apaan kamu datang dan masuk seenaknya saja!!!, gak lihat apa saya sedang istirahat!!!”,bentak Steve kepada dr. Budi. “Mau sampai kapan kau berbaring begini, banyak tamu menunggu di luar demi kepentingan perusahaanmu.”
“Hah!!! Perusahaan lagi, sudahlah!!!, buat apa!!! Punya uangpun buat apa?!!”, bentak kasar Steve menjawab dr. Budi. “Bukan masalah uang!!!, tapi masalah dalam dirimu sendiri!!!, apa kamu akan diam pasrah dan kalah seperti ini, sementara orang-orang yang mencelakai keluargamu dibiarkan berkeliaran begitu saja di luar sana? Apa kamu tidak ingin tau siapa orang yang mencelakaimu?.”
“Tidak perlu, toh mereka semua sudah mati, buat apa lagi saya hidup, mencari tau pun buat apa? Menuntut balas? Untungnya apa? Orang sudah mati gak akan bisa hidup lagi”, kesal Steve meluap sambil melemparkan gelas ke tembok kamarnya hingga hancur, kroopyaak…. Sudah cukup lelah berdebat dengan Steve, dr. Budi menyerah dan keluar dari kamar Steve menuju ruang tamu dengan wajah membosankan. Nita dan Jono setelah melihat ekspresi wajah dr. Budi menjadi ikut menyerah dan mereka langsung berpamitan dengan dr. Budi, Cokro, Lukas, Karina dan Bella. Nita dan Jono pulang duluan karena masih banyak urusan keluarga dan perusahaan yang harus diselesaikan termasuk ke kantor kepolisian, perpajakan dan pembayaran tagihan kartu kredit.
Tinggallah Cokro, Lukas, Karina, Bella dan dr. Budi dalam ruang tamu terdiam kebingungan apa yang harus mereka lakukan untuk membuat pimpinan mereka kembali bekerja seperti dulu. Bella yang mendengarkan perdebatan antara dr. Budi dan Steve keheranan dan meminta dr. Budi, Cokro, Lukas dan Karina untuk menjelaskan peristiwa apa yang sebenarnya telah menimpa Steve. Lukas mengajak dr. Budi, Cokro, Karina dan Bella untuk berbicara di restoran hotel lantai 3 dalam ruang makan tertutup. Selama makan siang berlangsung, seluruh peristiwa mengerikan itu didengarkan oleh Bella dibantu dr. Budi yang menjelaskan kondisi kesehatannya Steve dari awal mula kejadian hingga saat ini.
“Mengerikan sekali…, pantas saja dia jadi seperti itu, kasihan dia, bolehkah saya coba berbicara padanya? Mungkin bila dia mendengar bagaimana nasib hidup saya, semoga saja dia dapat berubah..”, Bella meminta kepada dr. Budi, Cokro, Lukas dan Karina untuk memberikan kesempatan untuk Bella berbicara kepada Steve. “Tapi…apa tidak takut kalo kamu dicaci maki oleh Steve?”, jawab Karina. “Kita harus bantu dia, kita coba saja, Bella masuk sendirian, kita dengarkan di ruang tamu bagaimana reaksinya nanti…”, saran dr. Budi memberikan izin pada Bella. “Iya kalo Pa Steve macam-macam, kita melindungimu”, tambah Lukas, Karina dan Cokro ikut mengangguk tanda setuju dengan Lukas. Rencana Bella sesampainya di penthouse akan berpura-pura menjadi perawat baru untuk Steve, ditemani Karina, Cokro, Lukas dan dr. Budi (menunggu di ruang tamu penthouse).
“Permisi Bapak Steve, saya perawat baru anda, adakah yang bisa saya bantu untuk anda?”, ucap Bella sambil melihat Steve dari belakang punggung tubuhnya yang masih diperban hingga ke pundak bahu dan lehernya. Sejenak dia terdiam, tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya, kemudian terdengar nafasnya mendengus merasa sangat jengkel karena istirahatnya terganggu lagi.
“Tanya saja sama si dokter itu, bilang apa tugas-tugasmu, kalo ada masalah lainnya cerita saja sama dokter itu”, ketusnya Sang Direktur yang merasa terganggu keasikannya saat menonton acara film televisi siaran luar negeri.
“Ya terima kasih Pak, kalo begitu Bapak urus saja diri Bapak sendiri, percuma saya bicara baik-baik dengan Bapak tapi malah tidak dihargai sama sekali”, balas Bella menjawab perkataan Steve, sambil berjalan kesal keluar ruang kamarnya.
“Dasar gila!!!, apa maksudnya bicara begitu”, gumam dalam hati Steve kekesalannya membuat dia berdiri dari tempat duduknya langsung berbalik badan mengejar si perawat baru itu. “Heeeiii…, apa maksudmu bicara begitu? Mana si dokter gila itu, biar saya yang bicara sama dia!!!”, sambil berjalan keluar dari kamar tidurnya mendahului Bella menuju ruang tamu, dilihatnya dr. Budi sedang berdiri dari tempat duduknya. “Apa-apaan maksudnya ini, apa mengajarkan perawat saja tidak becus!!!”, bentak Steve pada dr. Budi.
“Hahahaha…(tawa dr. Budi melihat Steve berhasil keluar dari zona nyamannya karena ulah Bella), hebat juga Bella…, kamu telah berhasil mengeluarkan Direktur dari persembunyiannya selama bertahun-tahun”, disambut tawa dan tepuk tangan yang lainnya (Cokro, Lukas dan Karina).
Steve kebingungan menoleh ke arah perempuan yang namanya baru disebutkan tadi, “Bella.., jadi ini perawat baru lagi rupanya?”, memperhatikan dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya, amat berbeda tidak seperti perawat-perawat lain yang biasanya dia lihat sehari-hari berumuran 40 sampai 50 tahunan, kali ini perawat yang berada di hadapannya berumur kurang dari 30 tahun. Begitu lama rasanya Steve tidak pernah melihat perempuan semuda dan secantik Bella, membuat darah kelaki-lakiannya mengalir kembali.
Sementara Bella terkaget dengan melihat keadaan penampilan tubuh, punggung, bahu dan leher Steve yang masih terbalut beberapa perban dan bau obat luka yang masih tercium aromanya sangat menyengat dari tubuh Steve. “Perkenalkan, saya.. Bella menjadi perawat sekaligus karyawan baru di perusahaan Bapak”, entah kenapa rasanya begitu grogi, gugup dan jantung berdebar-debar, hingga begitu sulit mengucapkan kalimat yang terlalu panjang, berhadapan dengannya seperti tersengat listrik, padahal dia sadar bahwa dihadapannya adalah Seorang Direktur, pemilik dari perusahaan, tempat dia bekerja sekarang.
“Tolong kau ajari dia yang benar (melihat ke arah dr. Budi, Lukas, Cokro dan Karina), apa kamu gak diajari apa-apa sama mereka? (menatap kedua mata Bella dalam-dalam seolah-olah ingin menelannya)”, ucap Sang Direktur.
“Sudah…,tapi…mak..(sudnya)”, belum selesai ucapan kalimatnya Bella langsung disanggah oleh Sang Direktur, “Tapi…apa? Kalo mereka gak bisa ngajari kamu kerja, yah suruh tutup saja perusahannya!!!”, kesal Steve merasa terganggu ketenangannya.
“Kenapa Bapak begitu egois, hanya memikirkan diri Bapak sendiri, kenapa sama sekali tidak peduli dengan perusahaan yang sudah Bapak dirikan sendiri, belum cukupkah mereka sebagai karyawan, dokter dan bahkan saudara-saudara Bapak sudah bekerja susah payah untuk mempertahankan perusahaan dan berkorban banyak hanya demi Bapak agar kembali semangat bekerja seperti dulu lagi…”, tegas Bella menjelaskan semua kekesalan dalam hatinya melihat sikap acuh dan dingin dari direkturnya itu.
“Hah!!, tau apa kamu (membuang muka pada Bella), tolong kamu semua (melihat ke arah si dokter, Lukas, Cokro dan Karina) urus dia…”, tangannya Steve sambil menujuk ke arah Bella. Kemudian dia kembali berjalan masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu dan mengunci kamarnya.
“Yah, paling tidak kita sudah berhasil membuat Sang Direktur keluar dari tempat persembunyiannya selama ini..”, ucap dr. Budi untuk menyemangati Bella, Lukas, Karina dan Cokro. “Pembangunan Rumahnya yang baru di BSP kira-kira 20 menit jaraknya dari kantor sudah selesai, hanya saja…, bagaimana caranya menarik si direktur keluar dari penthouse ini, dia tidak akan mungkin terus mengurung dirinya seperti penjara selama 3 tahun lebih tanpa melihat dunia luar sama sekali”, jawab Karina yang sudah kehabisan akal untuk menolong sang direktur.
Dengan percaya diri dr. Budi menjawab Karina, “Tenang saja, biar besok giliran Pak Jono dan Ibu Nita datang memberikan kabar mengenai keberadaan rumah baru baginya, saya yakin 80% dia akan keluar dari sarangnya kali ini apabila tebakan saya tidak salah..”
“Kok, bisa begitu yakin dok, saya khawatir keadaan Perusahaan Bapak kalo begini terus, bagaimana kita dapat terus bekerja tanpa dia…”, ujar Cokro yang masih merasa ragu. “Kita lihat saja besok, biarpun dia begitu, saya tau sifatnya, dia memang sudah menyerah dalam hidupnya, tapi dia tidak akan diam saja apabila melihat sesuatu yang tidak beres, lihat saja pancingan emosi Bella mampu membuatnya mengeluarkan kekesalan jiwanya, itu sebagai bukti dalam dirinya sebenarnya masih ada kepedulian, meskipun dia diam tapi sebenarnya hatinya tidak bisa diam dan pikirannya tetap bergerak untuk menentukan sikapnya”, demikian analisa dr. Budi.
“Tapi saya tidak perlu bertemu dia lagi kan besok?”, jawab Bella yang merasa malas untuk datang lagi bertemu sang direktur. Spontan Lukas langsung menjawab Bella, “Kalo menurut saya, mendengar analisa Pak dokter, saya rasa tidak perlu, kamu ke kantor saja seperti biasa, biar nanti Ibu Nita dan Pak Jono yang bertemu beliau, mereka pasti akan melaporkan pada saya apabila Pak Steve jadi berangkat ke rumah barunya, karena saya harus menghubungi para pembantu dan para sopirnya Bapak yang masih di mess untuk bersiap-siap menjemput dan mengurus keperluan Bapak di rumah barunya.” Akhirnya mereka semua sepakat untuk menunggu keadaan di keesokan harinya.
Benar saja perkiraan dr. Budi, semenjak kejadian di siang hari tadi, Steve/Suseno tidak mampu memejamkan matanya, pikirannya terus terbayang wajah Bella yang terus mengusik dan menghatui pikirannya, entah mengapa dia tidak bisa tertidur hingga larut malam, sesekali kesal pada dirinya sendiri, merasa sudah tua seperti ini masih saja darah kelaki-lakiannya membuat gairah yang membakar merasuki jiwanya tengah malam, seolah-olah semua rasa sakit di tubuhnya hilang lenyap seketika darah itu mengalir deras menegang dan terasa keperkasaannya hidup kembali setelah sekian tahun, entah sudah berapa tahun lamanya dia merasa telah mati.
Bosan karena tidak dapat tidur kembali, dia keluar berjalan menuju ruang makan, dilihatnya buku laporan dan file-file/arsip dari kantornya, yang dibawa Karina setiap akhir tahun dikirimkan lengkap untuk sang direktur. Dipikirnya mungkin dengan melihat laporan itu dapat membuatnya lelah dan tertidur kembali. Maka satu persatu laporan itu dibaca dan dilihatnya di bawah sinar lampu meja makan dengan tidak lupa juga diraihnya kacamata baca yang biasa dipakai khusus bagi orang tua. Tidak tersadarkan dia membaca laporan, ternyata sudah pagi hari lagi dilihatnya jam di dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi, waktunya mandi, gosok gigi dan bersiap-siap sarapan pagi pukul 6 pagi. Kebiasaannya yang sudah melekat dari sejak kecil dia terbangun pukul 4 pagi lalu bersiap untuk berolahraga seperti senam pagi sebentar atau sekedar berjalan-jalan di taman rumahnya dan terkadang tak jarang dia berlari pagi keliling komplek rumahnya dulu. Namun tidak sekarang, dia terlalu malas untuk berolahraga lagi.
Sesaat sebelum mandi, gairah itu datang kembali, dia harus menanggalkan seluruh perban dan pakaiannya, terasa semakin menggelisahkan jiwanya yang sepi, mungkin hanya dengan jari-jari tangannya ditemani sabun mandi hotel yang lembut menyentuh daerah kelaki-lakiannya itu, yang dapat memberikan kepuasan batinnya saat ini, namun tersadar saat rasa sakit menyerang ketika cairan kenikmatan itu keluar memancar ke dalam genangan air di bath tube kamar mandi, tempat dia berbaring mandi dalam kenikmatannya, tidak terasa hingga ikut mengalir pula air matanya panas membasahi pipi, dalam hati merasa perih menikmati kepuasan yang menyakitkan ini.
Seselesainya dia mandi dan mengosok gigi, dilihatnya jambang/jenggot dan kumisnya sudah tidak beraturan, entah kenapa dia jadi ingin bercukur, dilihatnya alat cukur yang masih baru rapi terbungkus plastik di wastafel kamar mandi, dibuka dan dipakai olehnya. Di lihat rambutnya yang sudah panjang seperti seorang wanita tua berambut hitam keperakan menandakan umurnya yang sudah lewat setengah abad, merasa malu pada dirinya, pikirnya nanti siang, dia akan menelepon Jono untuk memanggil tukang cukur rambut ke kamarnya. Diambilnya ikat karet di meja makan bekas mengikat file-file/arsip yang dibawa Karina dari kantor untuk dikenakan mengikat rambutnya.
Tepat pukul 6 pagi, pelayan hotel datang membawa sarapan pagi untuknya ditemani perawat lama yang berumur 50 tahunan, Steve mulai heran dalam pikirannya, lantas untuk apa dr. Budi membawa dan memperkenalkan perawat baru kemarin siang, apabila perawat yang lama masih bekerja untuknya. Setelah perawat itu selesai membalut dan memberikan obat pada bagian tubuh-tubuhnya yang diperlukan perawatan, perawat itu pun pergi bersama pelayan kamar hotel tanpa berbicara sepatah katapun meninggalkan Steve yang terduduk diam menikmati hidangan di meja makannya.
Seselesainya Steve sarapan pagi, terdengar ketukan pintu di luar kamarnya, dilihatnya Nita dan Jono datang, langsung Steve membukakan pintu untuk mereka. “Kebetulan kamu datang Jon, tolong kamu panggilkan saya tukang cukur rambut yang biasa di salon kemari”, pinta Steve kepada Jono. Betapa kaget dalam hati Nita dan Jono, tidak seperti biasanya Steve meminta dipanggilkan tukang cukur rambut, tanpa berfikir panjang untuk mempersingkat waktu, Jono pun menjawab spontan, “Iya baiklah, tapi dengan satu syarat, kamu juga harus ikut saya pergi ke salon sekarang juga.” Mendengar Jono berkata begitu, Nita pun ikut menambahkan, “Betul, karena salon belum buka jam segini, biasanya salon itu buka jam 10 pagi di mall terdekat, sebelum ke salon, kita mampir melihat-lihat dulu ke rumah barumu di BSP, itu loh tanah yang dulu kamu beli buat dijadikan hotel.”
“Walah…, ya sudah nanti sajalah…, kasih saya no.telpon salonnya saja, biar saya telepon sendiri minta ke tukang cukurnya untuk datang kemari”, pinta Steve pada Nita dan Jono. “Hadooh namanya aja salon, lah dimana-mana gak ada yang langsung mau datang ditelepon kalo gak booking/daftar dulu, apalagi kalo bukan langganan, mana mau dia datang dan pergi tanpa izin dari atasannya dulu (alasan Jono untuk memaksa Steve agar keluar)”.
Berat hati rasanya dengan terpaksa, Steve harus setuju mengikuti saran Jono dan Nita padanya. Baru sekali ini dalam tiga tahun, Steve mau keluar dari penthouse, hanya mengenakan pakaian kaus oblong dan celana panjang training masuk ke dalam Lift hotel menuju lobby hotel, sementara Jono mempersiapkan check out dan menyuruh office boy mengemasi barang-barang Steve di dalam kamarnya dan Nita sibuk menelpon Lukas, Cokro dan Karina untuk bersiap-siap segala keperluan untuk menyambut Steve di rumah barunya di BSP, tak lupa Nita pun menelepon dr. Budi untuk ikut datang menyusul dalam rangka menyambut Steve di rumah barunya.
Cukup bosan Steve menunggu di lobby hotel sambil menonton televisi dan meminum segelas kopi cappuccino. Kemudian dilihatnya Jono dan Nita datang menghampirinya, “Ayo, kita berangkat sekarang..”, ucap Nita dan Jono bersamaan. Di luar pintu hotel sudah siap Mobil Mazda milik Steve yang telah dikemudikan oleh supirnya Warsino, Jono duduk di sebelah Warsino, Steve dan Nita duduk di belakang. Office boy yang cekatan langsung memasukkan semua barang-barang Steve ke dalam bagasi mobilnya. Setelah semua selesai, pintu mobil tertutup dan terkunci, mobil melaju keluar hotel dari Bintoro menuju BSP, perjalanan yang cukup padat merayap dan macet di pagi hari, seperti biasanya Steve pernah mengalaminya dulu saat berangkat kerja ke kantornya, sebelum mobil berhasil masuk ke pintu tol menuju BSP.
Sementara itu Lukas, Cokro dan Karina bersiap-siap berangkat juga ke rumah baru Steve sambil ikut mengajak Bella bersama mereka. Cokro dan Lukas sudah meminta Wulan, Poniyem, Choki - Anak Poniyem, dan Parman (sopir kantor) untuk membeli dan menyiapkan makanan dan minuman, meja, kursi, serta bunga-bunga, dibantu seluruh pekerja dan karyawan perusahaan “Mulya Jaya” diliburkan sehari untuk ikut datang membantu acara penyambutan ke rumah baru bagi Steve.
Jam menunjukkan pukul 9.10 menit baru mereka bebas masuk ke tol BSP Tulungagung, menuju lokasi rumah baru milik Steve/Suseno, sesampainya di daerah BSP, Jono merubah rencana semula, tidak langsung menuju rumah baru Steve melainkan mengajak Steve ke mall terdekat untuk mencukur rambut Steve dan Nita membelikan pakaian yang rapi dan bagus untuk Steve. Barbershop yang memiliki tenaga ahli dan terampil di mall dengan cepat mengubah penampilan Steve yang awalnya seperti wanita tua berambut panjang, berubah menjadi seperti pria yang berumur 40 tahun-an, rambutnya pendek hitam legam dengan belahan samping, cukuran jenggot dan kumisnya di pagi hari tadi pun diperhalus dan dibersihkan hingga tampak seperti pria elegan yang sudah siap pergi ke kondangan. Setelah selesai bercukur, Nita langsung membawakan Steve pakaian kemeja putih polos dengan celana biru tua mendekati hitam yang diketahui sejak lama adalah favorit warnanya, serta setelan jas yang berwarna hampir sama seperti celananya, yang sudah dicabut merk dan nilai harganya. Nita meminta Jono membantu Steve untuk mengganti pakaiannya di toilet mall, mengingat Steve masih mengenakan perban dibeberapa bagian tubuhnya sehingga pasti kesulitan mengenakan pakaiannya sendirian.
Hampir setengah jam lamanya Nita menunggu, terkaget setelah melihat penampilan Steve yang sekarang. Jono pun tersenyum lebar pada Nita karena rencananya mereka berhasil. “Wah…, ini dia baru namanya laki-laki sejati, wuahahaha...”, sangat bahagianya hati Nita sebagai adiknya melihat Steve yang dulu telah kembali. Jono pun langsung merangkul bahu Steve, “Betul…!!! Ayooo..bung!!! lelaki sejati pantang menyerah!!!...” Tanpa berbicara sepatah katapun, Steve merasa canggung dan malu, dengan senyum yang tersipu-sipu, sambil terus didorong-dorong paksa kedua adiknya itu, dia mau tidak mau harus berjalan terus mengikuti mereka, dilihatnya banyak wanita berjalan melewatinya di mall dengan tatapan matanya langsung tertuju melihat padanya, bukan karena dia terlihat gagah dan tampan, melainkan karena masih ada perban yang menempel di lehernya, seolah-olah mereka menatap Steve dengan penuh iba dan kasihan dan berpikir kecelakan apa yang telah menimpa hidupnya.
Waktu menunjukkan pukul 12.15 menit waktunya makan siang sudah tiba, para karyawan/staff, pekerja di kantor bersama Wulan, Poniyem, Choki - Anak Poniyem, Parman (sopir kantor), Lukas, Bella, Karina, Cokro, dr. Budi dan istrinya Siska, semuanya menunggu kedatangan Mobil Mazda yang dikemudikan oleh Warsino (sopir mobil pribadi Steve) yang membawa Nita, Jono dan sang direktur (Suseno/Steve) bersama.
Tepat pukul 12.45 suara klakson mobil terdengar masuk ke halaman depan rumah baru Steve. Semua bersiap berdiri untuk menyambut sang direktur perusahaan mereka. Dari kejauhan Bella melihat Warsino membukakan pintu untuk sang direktur, sementara Nita dan Jono dibukakan pintunya oleh Parman (sopir kantor) yang berlari langsung mendekati mobil. Pertama kalinya, Steve datang dan menginjakkan kaki ke rumah barunya, betapa kaget sekaligus terharunya dia melihat semua pegawai/pekerja, karyawan, kerabat dan saudara-saudaranya datang dan mempersiapkan semuanya dengan baik hanya khusus untuk menyambut kedatangannya.
Terdengar teriakkan Lukas, “Selamat datang Pak Presiden Direktur…!!!”, teriakannya diiringi sorakan Cokro, “Ciayoooo..Semangat Pak Presiden Direktur!!!...”, yang diikuti tepuk tangan dari yang lainnya menyatu dengan sangat meriah. Entah kenapa Steve langsung terdiam dan tak mampu berbicara hingga menitikan air matanya sambil berjalan masuk dirangkul Nita dan Jono di sampingnya. Bella cukup terkaget dengan penampilan barunya, dia dan Karina pun ikut bertepuk tangan sambil menitikan air mata melihat kedatangan direkturnya itu.
Acara dilanjutkan dengan kata sambutan dari Jono dan Nita selaku pihak saudara Steve/Suseno. Kemudian Jono mempersilahkan Steve untuk berbicara sebentar sebelum acara makan siang dimulai, “……..(Cukup lama Steve diam tersenyum sejenak dan terdengar mengambil nafas yang dalam)……, Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semuanya yang telah hadir di sini, saya senang dapat berjumpa kembali dengan kalian semua…., (terhenti sejenak menatap wajah yang tidak asing, Bella berada diantara para tamu undangan lainnya)…..,terima kasih… dan selamat bersantap siang…”, ucapan terakhirnya langsung disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah memecah suasana yang hening sebelumnya.
Makan siang berlangsung ramai, layaknya acara pesta dengan sajian makanan prasmanan, ayam goreng, ikan gurame asam manis, sayur kuah baso ikan, sop kaki kambing, udang goreng mentega, cumi cah jamur, balado kentang campur pete dan ati ampela, sayur acar kuning, khailan cah udang, brokoli cah jamur, sayur kuah kembang tahu dengan ceker ayam, lengkap dengan kerupuk udang, aneka buah-buah, kue-kue manis, pudding cokelat dan stoberi, selain itu juga di areal taman depan rumah disiapkan kambing guling, sate ayam dan es mutiara.
Steve duduk di meja makan bersama saudara-saudaranya, Nita dan suaminya Kariman, seorang Asisten Kepala Kepolisian daerah sektor selatan Jayakarta, sementara Jono adalah Letnan Jenderal Angkatan Laut dengan istrinya Sumarwati seorang manajer bank di daerah Jayakarta Pusat, hadir juga Sari adalah Istri dari mendiang Almarhum Reno (adik bungsu Steve). Tidak tampak kehadiran dari anak-anak Jono, Nita maupun anak-anak Almarhum Reno karena kebanyakan anak-anak mereka masih harus sekolah, sibuk kuliah, adapun yang masih bekerja dengan kesibukannya masing-masing.
Sesekali Bella dari kejauhan memperhatikan dan mencuri-curi pandang ke arah Steve, tanpa sepengetahuan Steve yang tengah makan bersama dan sibuk ikut mendengarkan pembicaraan saudara-saudaranya dengan sesekali menjawab pembicaraan mereka. Steve mulai merasa bosan terlihat dari cara duduknya seselesainya makan, melipatkan kedua tangannya dengan duduk menyandar pada kursi, sambil menolehkan kepalanya sesekali ke kiri dan kanan, seolah-olah sedang mencari-cari seseorang. Dia ingin mencari dimana Bella, tapi begitu banyaknya orang dalam ruangan, sangat sulit bagi Steve mencari sosok Bella dalam keramaian seluruh karyawan perusahaannya di dalam rumahnya sekarang.
“Jon, anak baru yang kemarin datang ke hotel itu perawat atau karyawan baru di kantor?”, tanya Steve kepada Jono. “Ooh.., (hehehe.. tertawa geli), itu karyawan baru di kantor untuk membantu Karina, memangnya kenapa, noo..(panggilan terbiasa Seno)?”,jawab Jono.
“Hehehe…(senyum tawa agak malu), eeh.. gak apa-apa…, cuma aneh penasaran aja. Lah, ngomong-ngomong saya nanti ngantor gimana ini..?”, menjawab Jono, Steve sambil kebingungan melihat keadaan rumahnya yang baru. “Hahaha…, gampang noo.., gak usah dipikir. Hayoo.., sekarang ikut saja, kita keliling rumah, kan belum tau toh, ruangannya apa saja di dalam rumah ini”, Jono, Steve(Suseno) dan Nita langsung berdiri dari tempat duduknya, berjalan mulai berkeliling di dalam rumahnya yang baru, tertata rapih, bersih dan penuh dengan furniture yang terkesan sederhana tapi berkualitas, sesuai dengan kepribadian Steve.
Beberapa hari kemudian setelah pindah dan menetap di rumah barunya, pada pagi harinya, Steve/Suseno memulai aktivitas seperti dulu, bangun pagi hari pukul 4.30 pagi, seselesainya dia mandi dan sembahyang (sholat) subuh, kemudian berpakaian kantor, langsung menuju ruang makan pukul 6.15 pagi. Poniyem yang bertugas di bagian dapur langsung menyiapkan makanan bersama Choki (anaknya Poniyem, yang berpakaian sekolah sebelum berangkat ke sekolah), sementara Wulan adalah bagian kebersihan rumah dan mencuci pakaian di bantu dengan suaminya Parman, yang merangkap Satpam rumah baru Steve sekaligus sopir kantor apabila darurat dipanggil untuk kepentingan perusahaan. Sementara Warsino adalah suami Poniyem, sejak dulu menjadi sopir pribadi Steve, terkadang bergantian tugas dengan Parman apabila sedang kurang sehat. Namun terkadang dari dulu juga Steve/Suseno sering membawa mobilnya sendiri, saat sering terdesak untuk keperluan meeting perusahaan.
Seselesainya sarapan pagi, Suseno membaca Koran di ruang tamu, yang seperti dulu biasa dia lakukan sebelumnya. Terdengar suara mobil datang, Jono turun dari mobil dan menemui Suseno, cukup lama berbincang di ruang tamu sambil meminum kopi di pagi hari. Tidak terasa sudah pukul 8.10 pagi, Jono mengajak Suseno pergi ke Kantor “Mulya Jaya” untuk menghadiri rapat evaluasi menjelang penutupan akhir tahun 2002. Suseno pun akhirnya setuju setelah dibujuk dengan alasan tanda tangannya sangat diperlukan untuk persetujuan keperluan proses keuangan perusahaan.
Nita sudah mempersiapkan Rapat Evaluasi tahunan ini selain untuk membahas masalah visi dan misi perusahaan untuk tahun depan 2003, sekaligus juga mengenalkan Pemimpin Perusahaan “Mulya jaya” kepada para karyawan baru yang telah lulus masa uji coba selama 3 bulan. Sementara Karina dan Bella, Lukas dan Cokro sedang mempersiapkan ruangan, tempat duduk, makanan dan minuman, selama keperluan untuk rapat tahunan.
Tepat pukul 10 pagi di dalam Ruang Serbaguna Kantor “Mulya Jaya” di Lantai 3, sudah berkumpul seluruh jajaran staff, manajer dan direksi. Mereka menunggu kedatangan Ibu Nita, Bapak Jono dan Bapak Leonard Steven. Tidak terlalu lama menunggu, waktu menunjukkan pukul 10.10 pagi, Ibu Nita bersama Bapak Jono dan Bapak Leonard Steven memasuki ruangan dan rapat langsung segera dibuka oleh Bapak Jono selaku Pemimpin Rapat.
Jono : “Selamat Pagi menjelang siang semuanya, pada hari ini Rabu tanggal 18 Desember 2002, pertama-tama saya membuka Rapat Evaluasi Tahunan ini dengan memperkenalkan kepada para karyawan baru, Pemimpin Perusahaan “Mulya Jaya” yang selama ini telah berdiri 12 tahun lamanya sejak tahun 1990 hingga kini 2002, yang duduk di sebelah kanan saya ini adalah Bapak Leonard Steven. Oke, selanjutnya mengenai pengenalan secara langsung, saya persilahkan kepada Bapak Leonard Steven untuk memberikan arahannya...”
Steve/Seno : “Baik, terima kasih Jon, sebelumnya saya jelaskan kepada semuanya, saya ini bukan manusia pengecut jadi saya akan jujur jelaskan bahwa nama saya, Herman Suseno, jadi bukan Leonard Steven itu karangan adik saya ini Jono (disambut ketawa senyum kecil oleh Jono dan Nita beserta Lukas, Cokro, dan Karina), yah jadi kalo lain kali ketemu saya di kantor cukup panggil saya Herman atau Suseno, yang mana saja juga boleh atau mau lengkap panggil Drs. Herman Suseno, M.Hum, silahkan, gak ada yang larang, karena saya bukan orang bule/asing. Kalo tanya kenapa namanya saya jadi Leo Steve apalah gitu.. yah tanyai langsung ke Pak Jono dan Bu Nita ini yang tau asal-usulnya. (Huehehehehe…kontan semua pada cekikikan ricuh dalam ruangan).
Jono : “Hehehehe…, yooo wess tooh noo.. nooo, dipanggil Steve juga gak apa-apa, hahaha…, yang penasaran ceritanya nanti bisa tanya saya, Bu Nita atau Mas-mas dan Mbak ini ada Mas Cokro (sebelah kiri), Mas Lukas (tengah) dan Mbak Karina (sebelah kanan dari Mas Lukas). Baiklah selanjutnya mengenai tujuan perusahaan yang akan dilakukan dalam tahun 2003 mendatang. Akan saya serahkan kepada Kepala Manajer Personalia/HRD PT. Mulya Jaya yaitu Mas Lukas.”
Lukas : “Terima kasih Bapak Jono, Bapak Herman Suseno dan Ibu Nita, saya akan menjelaskan terlebih dahulu, PT. Mulya Jaya adalah perusahan kontraktor yang bekerja dalam bidang pembangunan rumah tinggal, perkantoran, perhotelan, jalan raya, dsbnya, namun dalam era perkembangannya juga bergerak dalam bisnis property, furniture dan sering mengadakan dan ikut serta event besar sekaligus pameran furniture dan property. Dikarenakan adanya krisis moneter beberapa pekan lalu, PT. Mulya Jaya mulai memfokuskan ke arah mebel dan furniture saja untuk saat ini yang masih gencar dalam setiap event dan pameran di Supermarket, Mall maupun di Jayakarta Convention Center. Demikian sekilas evaluasi tujuan perusaahan Mulya Jaya.” (Disambut tepuk tangan bersama seluruh hadirin setelah presentasi Lukas selesai).
H. Suseno : “Terima kasih Lukas, perlu saya tambahkan di sini yah, agar tidak ada yang salah jalan nantinya, kalo salah jalan kan jadi tersesat toh, nah, untuk itu saya jelaskan bahwa kita sebagai perusahaan swasta bekerja bukan untuk semata-mata mencari keuntungan tetapi untuk menolong sesama, perusahaan kita ini selalu menolak banyak proyek pembangunan, perlu diingat dan dicatat ini baik-baik yah, kita menolak proyek pembangunan diatas lahan penghijauan, lahan pegunungan, pembangunan yang merusak ekosistem lingkungan, merusak alam, merusak situs sejarah dan cagar budaya. Ingat itu baik-baik yah, bila perlu dicamkan, karena kita bekerja sebagai bagian dari menolong sesama, bukan semata untuk keuntungan pribadi, sebagai arsitek harus dapat membangun komplek perumahan, perkantoran dan gedung yang ramah lingkungan, memperbaiki jalanan yang rusak, longsor, maupun terkena bencana, mempertahankan keasrian lingkungan sekitar dan tidak merusaknya. Mengenai bahan bangunan kayu untuk furniture selama ini saya kira sekarang semakin minim dan mewah untuk kayu jati karena diperlukan proses puluhan tahun untuk dipanen, jadi tolong mulai sekarang diarahkan ke bahan-bahan dasar bamboo dan rotan yang lebih mudah dan murah proses pertumbuhannya, dapat juga menggunakan bahan lain seperti fiber glass, plastic, kaca dan alumunium. Kulit untuk furniture terlalu mahal dan membunuh banyak hewan jadi lebih baik pakai bahan kulit imitasi saja dengan kualitas hampir sama bagusnya dan tidak mencelakai hewan. Bila konsumen atau pelanggan ingin yang mewah, tawarkan saja baja dan besi untuk konstruksinya, mengingat kayu-kayu semakin langka karena penebangan liar yang masih terus terjadi sampai detik ini. Apabila ada yang melanggar penjelasan saya ini, lebih baik memundurkan diri dari perusahaan saya, karena saya lebih baik memperkerjakan karyawan yang punya hati nurani dari pada karyawan yang semata-mata hanya mencari keuntungan pribadi saja, tanpa melihat dampak dan akibat dari proyek dan proses pembangunan tersebut. Sekian dari saya dan harap diingat dan dicamkan baik-baik!!!”. (Disambut tepuk tangan yang meriah dari seluruh hadirin dalam ruangan).
Nita : “Nah, sudah paham kan semuanya, jadi kalo kerja yah.. kreatif dikit-dikit jangan biarkan konsumen itu minterin kita malah jadi dampaknya nanti berbahaya, untuk lingkungan kita tinggal, kalo banjir dan longsor yang kena kan juga rakyat kecil, mana ada orang-orang elit yang mau peduli sama keadaan mereka, jarang toh.., kalaupun ada sedikit karena kebanyakan lebih mikirin kursi jabatannya masing-masing dan kantong pribadinya saja, gak mikirin nasib warga yang kebanjiran, kelongsoran, ketimpa bencana akibat ketamakan dan keserakahan manusia yang egois tadi. Selain itu juga kreatifitas kita dikembangkan ke sektor usaha kecil dan menengah untuk membangun perekonomian rakyat kecil di desa-desa terpencil, missal kita bisa mengajarkan mereka menjadi bagian dari karyawan pengrajin rotan dan bamboo untuk furniture di rumah, hotel maupun restoran. Jadi order yang kita terima dari perusahaan besar, ataupun konsumen dan langganan dapat disalurkan juga ke rakyat kecil agar mereka mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak dan keuntungan dari hasil perusahaan kita, juga dibagikan kepada mereka. Dengan begitu barulah namanya bekerja dengan baik dan benar, utamakan keselamatan bersama demi meraih keuntungan bersama, bukan mengutamakan keuntungan pribadi yang menghancurkan dan merugikan banyak orang. (Disambut tepuk tangan seluruh hadirin).
Karina : Baiklah, rapat akan di break sebentar karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.45 menit untuk istirahat makan siang sejenak, nanti sekitar jam 13.15 akan dilanjutkan kembali dengan rapat intern perusahaan dengan disertai laporan evaluasi tahunan PT. Mulya Jaya setiap subdevisi yang akan ditanggapi dan dinilai oleh dewan direksi, lalu istirahat lagi sekitar pukul 15.15 sampai pukul 15.45. Rapat dilanjutkan sampai akhir pukul 17.00 sore, Sekian dan terima kasih semuanya”.
Suseno meminta Jono dan Nita untuk melanjutkan rapat selanjutnya, sementara, dia berpamitan untuk pulang ke rumah. Meskipun dibujuk oleh Nita dan Jono untuk tinggal, Suseno tetap bersikeras untuk pulang, setelah menandatangani beberapa check dan giro untuk pembayaran beberapa proyek bangunan perumahan, biaya THR tahunan dan penggajian tutup tahun, yang disertai persetujuan kenaikan gaji untuk beberapa karyawan yang telah direkomendasikan sebelumnya.
Sepanjang perjalanan pulang yang macet, sebelum menunju rumah barunya, Suseno meminta Warsino (supir pribadinya) untuk mengantarkannya pergi ke Makam isteri dan anak-anaknnya yang telah meninggal. Cukup lama, hampir setengah jam, Suseno berdiam dan berdoa di Pemakaman (Kuburan) isteri dan kedua anaknya, ditemani Warsino yang membawa payung untuk melindungi majikannya dari sengatan matahari dan sekeranjang bunga pesanan di depan kompleks Pemakaman Umum, yang ditaburkan sedikit demi sedikit merata oleh Suseno di Makam isteri dan kedua anaknya. Terlihat air matanya Suseno mengalir di wajahnya, berjalan dengan lemas hingga dia beranjak pulang pun dipapah Warsino menuju mobilnya. Sesampainya mengantarkan majikannya itu pulang ke rumah, Warsino ditelepon Jono, dia menjelaskan prihal majikannya itu yang memaksanya untuk mengantarkan dia ke Kuburan isteri dan kedua anaknya di daerah Pemakaman Umum Tanah Sulir, Bintoro Pusat.
Adapun ide Jono kepada Nita untuk menghibur Suseno dengan membuat Acara Pesta Natal dan Tahun Baru bersama dengan mengundang seluruh keluarga para pegawai PT. Mulya Jaya di malam tahun baru pada tanggal 31 Desember 2002, yang diadakan di Ballroom Hotel milik Jono, berbintang ****(4) “Cosmic Core” di daerah Bintoro, Jayakarta Selatan.
Mendengar undangan tersebut Suseno sebenarnya merasa malas untuk menghadiri pesta apapun itu, dia ingin menyendiri di ruang baca dalam rumahnya sambil menyalurkan hobbynya melukis. Namun siapa sangka, Jono datang ke rumah Suseno bersama istrinya, Sumarwati juga ketiga anaknya (Anita, Anisa dan Joko). Seperti biasa, Jono memaksa Suseno untuk ikut ke Undangan Pesta Natal dan Malam Tahun Baru bersama. Meskipun kesal, tetapi Suseno menurut juga karena tidak enak melihat isteri dan ketiga anak-anak Jono menunggu lama pamannya itu.
Malam itu pukul 19.30, Suseno memakai setelan jas dan celana putih dengan kemeja biru berkerah putih disertai dasi warna merah marun. Udara dingin malam hari terasa menusuk kulitnya, dengan segera bergegas memasuki mobilnya, meminta Warsino mengajak serta Poniyem, Choki (anak Poniyem), Wulan dan Parman pergi ke Undangan Jono. Rumah dibiarkan terkunci kosong karena dalam komplek perumahan sudah ada satpam perumahan dengan system satu pintu masuk. Iring-iringan Mobil Innova milik Jono beserta keluarga dengan Mobil Mazda milik Suseno dibelakangnya menuju Hotel “Cosmic Core”.
Acara di Hotel “Cosmic Core” dimulai pukul 20.00 malam hingga menjelang tengah malam tutup tahun pukul 24.00, diisi acara menyanyi, menari, dansa, makan-makan, wayang kulit, wayang golek dan acara bagi-bagi hadiah doorprize dari nomor kartu undangan.
Sesampainya di Hotel “Cosmic Core” lumayan terlambat satu jam setelah acara dimulai, karena lalu-lintas yang macet akibat menjelang malam tahun baru, para tamu udangan sudah berdatangan dan menikmati acara yang telah berlangsung. Tampak hadir pula Nita dan suaminya, Kariman bersama kedua anaknya (Novi dan Karyo), Sari (Isteri alm.Reno) dengan kedua anaknya (Rina dan Rahmat), dr.Budi dan Siska (istrinya) dengan kedua anaknya (Bagas dan Bayu). Rombongan keluarga Jono dan rombongan Suseno (Poniyem, Choki, Warsino, Parman dan Wulan) langsung bergabung dengan Keluarga Nita, Sari dan dr. Budi. Sementara Karina (long dress biru) duduk di meja pojokan berduaan dengan Lukas (setelan jas dan tuxedo biru), layaknya sepasang kekasih dengan setelan baju yang serasi berwarna biru. Di pojok lainnya Cokro sedang sibuk merayu karyawan baru di perusahaan yang bernama Kristina, yang masih teman satu kampus dengan Bella.
Sedangkan Bella datang sendirian merasa sangat malas untuk bergabung dengan siapapun, dia memilih mengambil camilan makanan sambil duduk sendiri, diam menikmati acara berlangsung, cukup bosan juga karena tidak ada pasangan di sampingnya, sesekali merasa sepi karena dilihatnya kanan-kirinya yang sibuk tertawa, besenda gurau, bermesraan dan tampak bahagia, sementara dirinya sangat bosan dan merasa sepi. Sesekali menguap mengantuk, ingin rasanya pulang ke rumah dan menyendiri dalam kamarnya. Namun dia merasa tidak enak karena sudah janji dengan Karina yang akan mengantarnya pulang setelah acara selesai.
Tanpa diketahui Bella, Suseno ternyata duduk bersama kumpulan keluarga besarnya di seberang kiri Bella kira-kira sekitar 5 meter dari mejanya, dengan mudah memperhatikan gerak-gerik Bella dari kejauhan, yang menggunakan gaun hitam selutut panjangnya ditutupi kain syal hitam agar tidak kedinginan dalam ruangan full-AC. Dilihatnya sesekali jam tangannya menunjukkan pukul 22.00, sudah tak sanggup lagi pikirnya, Bella beranjak dari kursinya menuju toilet terdekat dalam gedung Hotel sebelum dia berangkat untuk pulang dengan memanggil taxi dari lobby hotel.
Melihat Bella beranjak dari kursinya, Suseno pun langsung beranjak meminta izin hendak ke toilet, padahal dia sebenarnya ingin mengikuti dan mengamati Bella dari kejauhan tanpa sepengetahuan Bella. Melihat Bella berjalan keluar menuju lobby hotel, Suseno langsung mengejarnya dan menahannya, “Bella…, kamu sudah mau pulang..?”, ucap Suseno memanggil Bella dari belakangnya. Langkah kaki Bella terhenti karena merasa kaget, mengingat suara keras dan tegas tersebut tidaklah asing didengarnya, saat menoleh ke belakang, Bella pun terkaget, seorang Presiden Direktur memanggilnya, dengan gugup Bella menjawabnya “Emm…, iyah Pak Steve, eh Pak Suseno..” Bella melihat Presiden direkturnya itu memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. “Mau saya antar pulang?”, ujar Suseno. Dengan sungkan Bella menjawab, “Haduh, tidak perlu repot-repot Pak, saya bisa pesan taxi saja di lobby..”, sebelum Bella melanjutkan bicara, Suseno langsung menjawab dengan tegas, “Kamu gak akan dapat taxi di malam tahun baru gini, pasti semua kena macet, sudah gak usah keras kepala, sekarang saya akan antarkan kamu pulang ke rumah”, saat itu juga Suseno langsung menggengam tangan Bella dan meraihnya berjalan menuju valet parkir di depan Hotel. Kunci mobil Mazda miliknya ada di kantong saku celana kanannya, ”Sudah.., gak usah takut, kalo kamu mau nunggu taxi, sampai tahun depan pun belum tentu dapat, yang ada kamu harus menginap di hotel ini karena kemalaman, bagaimana kalo orang tuamu khawatir, biar saya antarkan kamu sekarang juga.”
Bella yang tadinya menolak, merasa kebingungan, namun tangan Suseno sudah meraihnya, membukakan pintu mobil dan memintanya masuk duduk di samping kursi depan, dimana Suseno akan menyetir mobilnya sendirian. Sesaat setelah memakai sabuk pengaman dan menjalankan mesin mobil, Suseno menelepon ke no.hp Warsino namun tidak diangkat karena berisiknya suara pesta, lalu dia mencoba menelepon Jono, untungnya Jono sedang di toilet, dia bilang “Jon, tolong bilangin Warsino, aku pulang setir sendiri, biar kamu minta Warsino bawa mobilmu antar yang lainnya pulang ke rumahku nanti, kalo macet yah suruh pada nginap aja di hotelmu, yaah..”, telepon dimatikan Suseno, saat dia sudah menacap gas, mobil langsung berjalan keluar dari hotel menuju jalan raya.
Selama perjalanan mobil, ternyata Suseno selalu lupa mematikan lagu di dalam mobilnya, jadi mesin mobil menyala diikuti suara music lagu pun berjalan memutar lagu diantaranya : “Beauty and the Beast” Peabo Bryson dan Celine Dion, “Never My Love” The Association, “A Whiter Shade of Pale” Procol Harum, “Just The Way You Are” Billy Joel, “Reflections of My Life” The Marmalade, “Can’t Fight This Feeling” Reo Speedwagon, “We Belong Together” Mariah Carey, “Truly” Lionel Richie, dan seterusnya.
“Rumahmu dimana?”, tanya Suseno. “Di Komplek Pekarangan Timur, Blok E/77, Desa Rogong, jauh dari Jayakarta. Kalau pergi kuliah yah..pagi-pagi harus naik bus kota kira-kira 1+½ jam lamanya”, jawab Bella. “Tidak apa-apa, saya antarkan dari pada kamu nanti kemalaman belum tentu dapat taxi, kalo kena macet kan biayanya juga mahal”, ucap Suseno. Bella terdiam, tidak berani membantah, merasa takut dikarenakan dia hanyalah karyawan, sedangkan yang menyetir mobil adalah direkturnya.
“Ternyata Bapak suka lagu-lagu barat juga yah?”, ucap Bella memecah keheningan. “Oh…, hehehe… (tawa kecil Suseno), itu asal aja beli di toko music, saya iseng minta lagu yang enak aja, lalu yang jual kasih kasetnya begitu saja, saya beli langsung, gak milih-milih lagi kelamaan.”
Malam Tahun Baru memang sudah dipastikan macetnya begitu parah, terjebak dalam jalan yang padat menuju jalur toll dalam kota, sudah lewat hampir setengah jam lebih, belum dapat bebas dari kemacetan. Sementara itu, Bella sibuk mengirimkan pesan singkat dari handphone-nya ke no.Hp Karina untuk memberitaukan bahwa dia pulang duluan. Namun disangka lain dalam pikiran Suseno, dipikirnya Bella sudah memiliki kekasih yang sedang menunggunya di rumah, karena tidak mungkin perempuan secantik Bella belum memiliki kekasih hati, dalam rasa putus asa karena dia menyadari umurnya lebih pantas untuk jadi orang tua asuh untuknya, tidak akan mungkin seorang Bella akan menyukainya yang memiliki nasib menyedihkan dan berumur sepantaran orang tuanya. Sudahlah, pikir batinnya, jangan terlalu menghayal dan berharap yang tidak mungkin.
Lama terdiam dalam keheningan macet, waktu menunjukkan pukul 23.15, baru dapat masuk ke jalur toll dalam kota menuju selatan Jayakarta. Untungnya setelah lewat kawasan pintu toll Buhur, lalu lintas sudah mulai lancar, karena pihak kepolisian mengerahkan anggotanya untuk memecah kemacetan. Dilihatnya kembali jam menunjukkan pukul 23.35, hampir menjelang 24.00, sesekali dia mencoba melihat Bella di sampingnya, ternyata Bella sudah terlelap dalam tidur di kursi mobilnya. Dengan cepat, Suseno langsung memperlambat laju kendaraan agar Bella tidak terbangun, hingga menuju kawasan Tusela kemudian memasuki wilayah Rogong, barulah Suseno mencoba memberhentikan mobilnya sejenak di pinggir jalan, membangunkan Bella dengan menyentuh lembut tangannya. “Bell…, kita sudah sampai daerah Rogong…”, ucap Suseno dengan lembut.
“Aaah…, maaf saya ngantuk sekali Pak, iya lurus saja lalu nanti pas ada pertigaan lampu merah, Bapak ambil ke kiri, kemudian lurus saja, nanti ada tulisan di jalan sebelah kanan, Komplek Pekarangan Timur, masuk ke Kompleknya lalu gak jauh di depan Mesjid itu belakangnya persis rumah saya yang Blok E/77, pagarnya warna biru”, ucap Bella menjelaskan letak rumahnya. Tanpa banyak penjelasan Suseno mengingat semua penjelasan Bella dengan hati-hati menyetir mobilnya menuju rumah Bella. Baru saja tiba di pertigaan lampu merah, bunyi petasan dan kembang api sudah terdengar sangat ramai di luar sana, seolah memberi pesan menuju menit-menit terakhir pergantian tahun baru. Bella memandang ke langit yang terang penuh cahaya gemerlap kembang api dan petasan, hingga tidak sadar dia pun berbicara, “Waaaah…, indahnyaaaa…”, karena begitu senang menikmati langit yang penuh warna-warni kembang api.
“Hmm…iyah.., Kamu suka…”, ucap Suseno. “Iya Pak, saya suka sekali dari kecil, terkadang saya sengaja naik ke atap rumah di malam tahun baru, sambil memandang ke langit yang penuh cahaya bertaburan kembang api yang indah..”, jawab Bella.
“Tapi malam ini, kamu nontonnya di dalam mobil, gak bisa di atap rumah.” “Hehehehe…, iyah Pak, gak apa-apa kok, saya enjoy aja…”, tawa Bella terlihat begitu manis di mata Suseno yang memperhatikannya. Dibalas dengan senyuman manis dari sudut bibir Suseno, yang membuat Bella merasa tersipu-sipu malu.
Sesampainya di depan rumah Bella, suasana rumahnya nampak sepi karena mungkin kedua orang tuanya sudah terlelap tidur. Suseno menghentikan mobilnya. “Terima kasih yah Pak, sudah repot-repot mengantarkan saya pulang ke rumah…”, ucap Bella. “Hallah, gak apa-apa, udah sana masuk rumah, nanti dicari sama orang tuamu”, jawab Suseno. “Iyah Pak, makasih ya Pak, Met Tahun Baru yah Pak…”, sambil Bella menyalami Suseno, “Iya sama-sama, Selamat Tahun Baru juga yah, Sukses selalu untukmu..”, ucap Suseno membalas Bella, sambil lalu Bella tersenyum melambaikan tangan perpisahan, Bella kemudian mengambil kunci rumahnya yang ada di dalam tas kecilnya, setelah Bella masuk ke dalam rumah, Suseno menjalankan mobilnya berangkat pulang ke rumahnya di BSP, Tulungagung.
Written by : PVA / Kepik Romantis
Written by : PVA / Kepik Romantis
– BERSAMBUNG – Ke Sesion II –
NB : Cerita Ini Karangan Fiksi Deskriptif Belaka
NB : Cerita Ini Karangan Fiksi Deskriptif Belaka
No comments:
Post a Comment