Ditulis
oleh: Up. Santavira (2019)
Namo
Buddhāya!
Namo
Buddhāya!
Namo
Buddhāya!
Banyak
umat Buddha di Indonesia yang belum mengetahui bahwa ada cara yang
mudah, singkat, dan bahkan seharusnya sangat dianjurkan untuk
mendapatkan manfaat tak terhingga dari Buddha Dhamma. Apakah cara
itu? Sekte Mahayana Tiongkok menyebutnya “nian-fo” atau
pelafalan nama Buddha. Sekte Theravada menyebutnya “Buddhanussati”
atau Perenungan Buddha. Umat Buddha Indonesia mungkin bisa
menyebutnya “Perenungan Buddha”.
Di
dalam Mahayana Tiongkok, nama Buddha yang “dipilih” adalah
Amitabha. Mereka menyebutnya “Namo Amitofo”. “Fo” adalah
kata bahasa Mandarin yang artinya “Buddha”. Kata “Amita”
berasal dari kata “Amida” adalah dalam bahasa Sansekerta artinya
“Cahaya tidak Terbatas”. Jadi kata “Namo Amitofo” yang
sering disebutkan umat Mahayana salah satu cara mengartikannya adalah
“Aku Bersujud pada Buddha Amitabha, Cahaya yang Tidak Terbatas”.
Tentu ini sah-sah saja, jika kita hidup di Tiongkok, atau tinggal
di lingkungan keturunan
Tionghoa. Tapi “Fo” asal katanya adalah kata Bahasa Mandarin.
Apa kata Bahasa Indonesianya? “Buddha”!
Sehingga, jika kita mau terjemahkan
ke Bahasa Indonesia,
seharusnya kita bilang “Namo Buddha Amitabha”. Karena, Orang
Jepang menyebutnya sebagai “Namo Amidabutsu”. (“Butsu” =
Buddha dalam bahasa Jepang) Untuk Orang Hokkian, “Namo Omitohud!”
Orang Tibet menyebutnya “Om
ami dewa hri”, dan
bahasa aslinya (Sansekerta), menyebutnya “ॐ
अमिताभ ह्रीः"
(oṃ
amitābha hrīḥ).
Nah,
umat Buddha Indonesia di
dalam masyarakat sebaiknya
menyebut apa? Saran saya: “Namo
Buddhāya!”
Cukup
dua kata, lima suku kata.
Sederhana,
jelas, padat makna,
dan
mudah disebutkan, bahkan di
dalam pidato
kenegaraan pun
frase
“Namo
Buddhāya!” tersebut
sudah
masuk sebagai
salam pembuka.
Kata
ini sangat efektif, dan jika
diucapkan
berulang minimal
tiga kali sehari waktu pagi setelah bangun pagi (“Namo
Buddhāya,
Namo
Buddhāya,
Namo Buddhāya!),
dan tiga kali sebelum tidur, maka kita sudah melakukan apa yang
disebut “perenungan Buddha” atau
Buddhanussati.
Apa
manfaatnya? Dalam
perjalanan di Samsara, tentu kita tidak akan lepas dari dukkha. Baik
dukkha yang langsung menghantam, dan ada juga dukkha yang tersembunyi
atau menghantam nanti dari kegelapan. Perenungan Buddha dapat
meringankan, bahkan melenyapkan banyak halangan-halangan fisik dan
mental dalam perjalanan kita di Samsara, karena kita selalu
dilindungi oleh semua Buddha. Kamma
baiknya juga luar biasa, karena kita memuji yang patut dipuji. Tidak
ada ilmu apapun (hitam atau
putih) yang dapat menembus perlindungan dari
Sang
Buddha.
Dengan perenungan Buddha pun, perlahan ilmu pengetahuan Dhamma kita
akan terus meningkat, karena kita akan
mendekatkan atau
menyelaraskan diri
pada Buddha Dhamma.
Tidak perlu disebutkan lagi
bahwa Dana, Sila, dan Samadhi
yang
kita lakukan akan
lebih dalam maknanya dari sebelumnya, karena dilakukan semata-mata
untuk Buddha, sehingga
kita bisa mencapai Panna, buahnya, kebijaksanaan. Manfaat
terbesarnya, kita nanti juga menjadi seorang Buddha.
Contoh,
ketika nanti kita mendapatkan berkah, maka kita secara otomatis
berseru “Namo
Buddhāya!”.
Kalau kita mendapatkan sedikit masalah karena ada di samsara pun
“Namo
Buddhāya!”.
Ketika kita sedang senang, “Namo
Buddhāya!”.
Ketika kita tidak terlalu senang, “Namo
Buddhāya!”.
Bahkan ketika kita melakukan hal yang tidak terlalu memerlukan
pikiran, misalnya menyetir, memasak, bekerja, dll kita bisa terus
renungkan “Namo
Buddhāya! Namo Buddhāya! Namo Buddhāya!”.
Efeknya,
nanti ketika kita mencoba duduk latihan Bhavana
(tapa/meditasi), jika ada halangan yang tiba-tiba muncul, yang tidak
pernah kita lihat pada kehidupan biasa, nanti kita akan refleks “Namo
Buddhāya!”,
dan halangan itu akan buyar dengan sendirinya. Ini penting, karena
dalam meditasi mendalam, lima
indera
yang
biasa kita
gunakan
tidak
aktif, dan semua lapisan
pelindung
yang ada di diri kita biasanya pada waktu non-meditatif tidak aktif
juga, sehingga satu-satunya pelindung yang tersisa adalah Sang
Buddha.
“Namo
Buddhāya!”
juga dapat
mengarahkan
kita kepada hal-hal lainnya yang tidak terbatas, karena Buddha
Dhamma, ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, juga
berasal dari Buddha. Dengan mengingat Buddha, akan juga mengingat
Buddha
Dhamma
dengan sendirinya, dan
sebaliknya, bila mengingat Buddha Dhamma, kita mengingat Buddha.
Jika mengingat Bhikkhu/Bhikkhuni
Sangha, kita akan mengingat Buddha Dhamma, dan Sang
Buddha.
Dalam
salah satu kesepakatan yang dipublikasikan tahun 2015, Sangha
Theravada Indonesia (STI) telah menyatakan bahwa istilah “Namo
Buddhāya”
setara dengan frasa “Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma
Sammāsambuddhassa”, “Namatthu Buddhassa”, “Namo
Ratanattayāya”, dan beberapa lainnya.
Ketika
kita menyebut “Namo Buddhāya”, maka dalam satu aspek bisa
dikatakan juga
bahwa
kita sedang memuji semua Buddha, baik di masa lalu, masa kini, dan
masa depan. Sutra
Amitabha menyebutnya Buddha dari Tiga Masa. Buddha
di masa lalu misalnya Buddha Dīpaṃkara, dan 27 Buddha sebelum
Buddha Gotama. Buddha masa kini adalah Buddha Gotama. Buddha di
masa depan setelah Buddha Gotama adalah Buddha Metteyya/Maitreya.
Para
Bodhisatva nantinya akan juga menjadi Buddha di masa depan, setelah
Buddha Maitreya.
Begitu pula sebelum 28 Buddha yang tertulis namanya di Tipitaka
Pali, ada
lagi para Buddha di kalpa-kalpa
sebelumnya. Oleh karena itu, ketika
kita menyebutkan pujian “Namo
Buddhāya”,
kita dapat mengarahkan penghormatan kita kepada satu Buddha, atau
semua Buddha, maka
kebajikannya tidak terhitung besarnya.
Terima
kasih kepada saudari admin yang memberikan
masukan dan kritik membangun.
Semoga dapat dipahami pembaca dan bermanfaat. Semua manfaat adalah
semata-mata karena kekuatan Buddha Dhamma.
Namo
Buddhāya!
Editing by : Kepik Romantis / PVA
No comments:
Post a Comment