Benua Ambifun adalah daerah wilayah yang terbentang luas kaya akan unsur logam, permata, tambang besi, baja dan hasil bumi dari tembaga, besi, perak, emas, permata, dll, maka negara-negaranya pun kebanyakan kaya raya, tetapi lahan pertaniannya kurang subur, banyak tanah kekeringan, bila musim panas membawa dampak terburuk hingga terjadi kesulitan memperoleh air bersih di tengah tanah penuh bebatuan dan kering. Karena hal inilah menjadikan wilayah kota-kotanya dibangun sangat modern dengan teknologi canggih menghasilkan gedung-gedung bertingkat dari hasil ekspor penjualan tambang hasil bumi di daerah masing-masing negara bagian.
Daerah Ambifun sangat mahal untuk memperoleh air jernih dan bersih. Setiap penduduknya terkena biaya pajak yang tinggi hanya untuk dapat memperoleh air bersih. Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat maju dan canggih, kecerdasan intelektual masyarakatnya terbilang sangat kreatif dan mampu bersaing dengan sportif. Tapi sangat disayangkan daerah ini justru yang paling mudah pertama kali diracuni dengan doktrin politik kekuasaan dan ambisi. Dikarenakan rakyatnya kurang perduli pada kelestarian lingkungan maupun kepedulian sosial, banyaknya kesenjangan sosial terjadi membuat daerah ini menjadi pusatnya makelar pasar gelap siluman terbesar di dunia.
Tidak heran jika mulai adanya pasar gelap ini, maka semakin banyak pula bermunculan terjadi penyakit-penyakit aneh hingga banyak zombie muncul berkeliaran di jalan. Wabah itu mudah sekali menyebar, sekali tergigit dan ataupun tergores luka hewan ataupun manusia yang telah mengidap racun zombie, maka dalam waktu hitungan kurang dari lima belas menit, mereka sudah dipastikan tertular, bagi yang berjenis kelamin betina atau perempuan baik pada hewan ataupun pada manusia, mereka akan menjadi inang, perut mereka akan membuncit dan akan pecah mengeluarkan ratusan telur kecoak, cacing dan ular hitam. Sementara yang berkelamin jantan atau laki-laki menjadi zombie yang menularkan virus dan bakteri kecoak, cacing dan ular hitam.
Salah seorang keluarga korban berhasil meminta tolong dan menemui Master Alberte di pusat studi dan laboratoriumnya. Setelah Alberte meneliti sel darah korban, maka dengan cepat Alberte meminta Boy untuk mengirim pesan dan photo hasil pemeriksaan laboratorium menggunakan Handphone dan email/surat pada Boante.
Boante yang telah membaca pesan dan surat dari Alberte, dengan segera meminta Ahui untuk menghubungi Master Tabib perempuan, Sister Chihante yang ahli pengobatan tradisional untuk meracik resep obat serum penetralisir racun atau elexir untuk menyembuhkan penyakit menular tersebut.
Setelah menerima pesan dari Ahui, bergegaslah Chihante mencari dan mengumpulkan air liur dari para hewan berikut yakni komodo, kadal/tokek, katak beracun, ayam hitam, kucing bulu tiga warna dan beruang putih. Namun terdapat pesan khusus dari Sister Chihante bahwa ramuan ini hanya dapat benar-benar efektif 100% bila dimasak terlebih dahulu dan diminum selagi hangat dengan temperatur air hangat kira-kira 40 sampai 46 derajat celcius. Bila diminum dalam keadaan dingin atau sejuk, hanya efektif 75% saja kesembuhan racunnya, khususnya yang betina dan perempuan meskipun seluruh inang bibit benih jahat sudah hancur ternetralisir, tetapi keseluruhan tubuhnya belum kembali normal alias sehingga kemungkinan manusia ataupun hewan itu masih memiliki efek buruk, negatif atau buas, jahat, dan menakutkan pada tubuhnya.
Obat dan resep pun segera dikirim secepatnya oleh Chihante untuk Alberte di benua Ambifun. Dengan teknologi cloning tercepat milik Alberte, maka sebuah elexir dapat di-clone/diduplikasi dalam jumlah banyak hingga ratusan yang dikumpulkan dalam lemari pendingin agar tidak mudah kadaluwarsa, untuk dapat dibagi-bagikan secara cepat kepada para korban di daerah sekeliling pusat laboratorium dan masyarakat lainnya yang membutuhkan pertolongan segera.
Semakin banyaknya pasien yang tertolong oleh bantuan Master Alberte dan muridnya Boy, membuat Sedenk dan Titink menjadi murka karena tujuannya menguasai benua Ambifun jadi terhalang kembali.
Sedenk dan Titink berangkat ke pasar gelap dimana terdapat banyak siluman pedagang yang menjual berbagai macam keperluan dan kebutuhan untuk manusia. Ada Siluman bercorak Abu yang dapat menjadi baik dan maupun buruk sesuai kebutuhan dan juga ada yang hitam untuk khusus buruk/jahat saja. Mereka datang untuk menemui para siluman pelacak yang dapat dibayar untuk mencari lokasi Master guru di benua Ambifun. Tentu saja, mereka dapat menemukan : Siluman Tikus, Kelinci dan Rubah, sangat mudah mengetahui keberadaan Master Alberte dengan indra penciuman dan genk kelompoknya sangat cerdik, cekatan dan jumlahnya sangat banyak tersebar di seluruh pelosok dunia. Sementara siluman dan jin lainnya seperti Siluman Kambing, Babi, Monyet, Tengkorak, dan Kelelawar, mereka adalah siluman yang kurang suka berbuat terlalu jahat, kecuali dibayar dengan harga yang sangat tinggi. Semua siluman pedagang ini tersebar juga di benua-benua lainnya.
Indra penglihatan Boante mengetahui bahaya yang akan dihadapi Alberte. Bahkan muridnya Ahui pun tiba-tiba berlari datang tergesa-gesa menemui Boante yang sedang bermeditasi di kuil.
Ahui : "Shifu!!!, saya mimpi buruk!!!"
Boante : "Iya..saya mengerti, kita harus bersiap-siap!!! Hari ini kamu bawa lilin-lilin ini yang ada di altar, saat kamu tidur malam, nyalakan di sekeliling tempat tidurmu.."
Ahui : "Shifu, Apa gak bahaya kebakaran?"
Boante : "Ya ambil lilinnya jangan yang besar-besar, dan nyalainnya jangan dekat-dekat banget sama kasur dan benda-benda yang mudah kebakar, agak jauh-jauhlah sedikit dan diberi alas yang tahan panas seperti porcelain."
Ahui : "Shifu, Kenapa harus pakai lilin? Kan biasanya juga gak perlu..."
Boante : "Eh, kamu kan liat sendiri dalam mimpi buruk. Lilin itu sudah saya doakan untuk melindungimu dari bahaya, karena unsurmu api cahaya, bila cahayamu lemah, kamu bisa celaka nanti."
Ahui : "Kan ada lampu listrik lebih aman Shifu dari pada lilin nanti kebakaran."
Boante : "Hadewh anak ini ngeyel mulu kalo dibilangin, eh.. lampu bisa aja tapi sapa yang mau pasang banyak kan boros listrik mahal, nanti ayahmu ngamuk lagi. Udah, dengerin makanya, yang penting hati-hati aja pasangnya."
Ahui : "Hehehe, iya juga ya. Oke Shifu.."
Sementara itu, di tempat Alberte, rombongan Sedenk dan Titink sudah berhasil mengetahui lokasi Alberte berkat bantuan Siluman Tikus got hitam, Kelinci hutan hitam dan Rubah ekor empat. Alberte menyuruh Boy untuk pergi menyelamatkan diri, sementara Alberte mengeluarkan senjata magnet listrik bercahaya untuk menyerang Sedenk dan Titink. Tetapi Boy menolak pergi, dia tetap ingin menemani master gurunya.
Sedenk : "Hehehehe, guru dan murid yang sangat luar biasa."
Titink : "Hahahaha, iya sungguh tersentuh..., sudah berikan saja kristal kuning itu pada kami, jadi kami tidak perlu capek berperang melawan kalian, yang buang-buang waktu sajah!!!"
Alberte : "Boy!!!, kamu bukannya pergi sekarang!"
Boy : "Tidak!!!, saya tidak mau tinggalkan Master Guru sendiri hadapi orang-orang gila ini!!!"
Sedenk : "Hallah bacot semua berisik!!! Habisi ajah semua!!"
(Seraya, mereka berubah dan mengeluarkan bentuk aslinya, Sedenk menjadi Ular Hitam Raksasa kepala dua dan Titink menjadi Kecoak raksasa yang memuntahkan banyak cacing ular menjijikan dan ribuan kecoak kecil terbang)
Alberte dan Boy menembakkan pistol listriknya, namun hanya ratusan cacing yang mati, sementara kecoak terbang sudah mulai menempel dan menggigiti mereka. Ular kepala dua dengan cepat memperhatikan ada cahaya kuning di balik dalam topi Alberte. Dengan cepat Sedenk (Ular raksasa kepala dua) melilit mereka berdua hingga kesulitan menembak, sementara Titink (Kecoak raksasa) diberi tanda untuk memukul, dan merampas serta mencabut sejata mereka. Pukulan beracun Titin menyambar ke wajah, dada dan tangan mereka, seketika dengan mudah langsung melumpuhkan mereka yang teriak kesakitan tidak berdaya.
Kemudian Sedenk dengan cepat merampas topi milik Alberte yang bercahaya kuning dengan gigitan dari salah satu kepala ularnya, sedang satu kepalanya lagi melihat ada cahaya embun gelembung besar yang datang tiba-tiba ke arahnya hingga membuatnya terkejut seketika.
Sebuah getaran besar seperti gema gelombang suara air seolah merusak pendengaran Sedenk yang langsung melepaskan lilitannya pada Alberte dan Boy, serta membuat Titink pusing hingga berputar-putar karena gelombang gema mantra doa itu bunyinya sangat menyakitkan mereka berdua.
Cahaya embun gelembung itu adalah Boante dan Ahui yang terus membacakan mantra doa membentuk gelembung besar untuk menyelamatkan Alberte dan Boy yang sedang dalam bahaya.
Sedenk berusaha menahan sakit langsung menghempaskan ekornya ke lantai membuat getaran bunyi retakan tanah hebat hingga suara retakan pecahan tanah dan lantai ubin itu membentur getaran gelembung cahaya. Membuat kedua getaran bunyi saling pecah hingga meluluh lantak kaca-kaca seluruh gedung, bangunan dan rumah hancur seketika dalam radius 5 (lima) kilometer.
Boante sadar kekuatan siluman ular hitam berkepala dua ini sangat dahsyat hingga membuatnya dan Ahui jatuh dan terpental terluka dalam akibat getaran ekornya. Saat Ahui berusaha bertahan dan hendak mencoba langsung berlari untuk menyelamatkan Alberte dan Boy, dia dihadang oleh Titink yang baru sadar setelah dentuman kaca pecah, melihat Ahui yang sedang berlari, langsung diserang salah satu kakinya yang panjang dan berduri hingga kedua kaki Ahui terperosok terjatuh dan kedua tangannya Ahui ditarik ditangkap oleh tangan berduri Titink, dan tubuh Ahui langsung digigit gigi-gigi beracun Sedenk yang sekejap memangsanya. Seperdetik sebelum Ahui hampir ditelan oleh Sedenk, Boante menghilang seperti kilat terbang memotong satu kaki, satu tangan Titink dan memenggal salah satu kepala Ular Sedenk dengan pedang tipis panjang namun setajam silet yang ada dalam tongkat berukir "Naga Emas" milik Boante.
Sedenk kesakitan, langsung secepatnya melarikan diri ketakutan dengan sebelah kepalanya lagi yang masih menggigit topi kristal kuning yang sudah dirampasnya, sedang Titink pun terbang sambil kesakitan karena kehilangan sebelah tangan dan kakinya terburu-buru mengikuti suaminya Sedenk yang melarikan diri.
Boante membantu melepaskan Ahui yang masih tergigit kepala Ular hitam yang mati, dibelahnya kepala ular itu hingga terbelah tiga untuk menyelamatkan Ahui. Setelah itu, Boante langsung mengambil obat serum elexir yang masih tersisa di lemari pendingin, dan disuntikkan ke Alberte, Boy dan Ahui, karena tidak akan ada waktu lagi untuk memanaskan obatnya, sebab racunnya sudah lebih dulu menyebar dalam darah di tubuh Alberte, Boy dan Ahui.
Sementara rombongan Chihante, Gusdante, Dhigante, Haite dan para muridnya baru datang sangat terlambat setelah Sedenk dan Titink melarikan diri. Mereka terlambat karena di daerah masing-masing pun tengah terjadi banyak musibah dan bencana yang beragam, sehingga harus lebih dulu menolong para korban, barulah dapat datang menyusul menolong Alberte. Sedangkan Maha guru Sinthe tidak dapat ikut datang hadir menolong mereka karena alasan penting tidak dapat meninggalkan kristal hitam yang paling berbahaya.
Mereka pun langsung berusaha menyelamatkan Boy dan Alberte. Namun naas, Alberte yang sudah tua, tidak dapat bertahan lebih lama karena luka parah beracunnya sudah menyebar hingga ke paru-paru menuju jantung. Dalam sekaratnya, Alberte meminta dan berpesan pada Haite, Gusdante dan Dhigante untuk segera membakar dan mendoakan jasad tubuhnya sebelum berubah menjadi Zombie, dan Alberte meminta Chihante untuk menjaga, mendidik, menolong dan menyelamatkan muridnya Boy.
Seselesainya Alberte mengucapkan pesannya yang terakhir, Haite secepatnya langsung menotok nadi urat aliran darah dan nafas Alberte setelah racun masuk ke jantung, lalu Dhigante dan Gusdante membantu mengangkat jenazah Alberte untuk dimasukkan ke dalam mesin pendingin yang ada di dalam laboratorium milik Alberte, dengan memasang suhu dingin paling maksimal dibawah nol derajat, membuat jenazah Alberte membeku dan tidak akan berubah menjadi zombie selama masih dalam pembekuan, namun hal tersebut tidak dapat bertahan lama mengingat listrik yang digunakan pun terbatas, mereka harus segera mempersiapkan tempat untuk mengkremasikan dan mendoakan jenazah Alberte sebelum voltase listrik habis dan turun pada waktunya.
Chihante segera meminta Chika membantu mengikat Boy dengan besi baja di sekelilingnya, karena melihat reaksi Boy sudah sangat keracunan. Benar saja, Boy pun berubah perlahan-lahan menjadi macan hitam yang sangat ganas. Belum beres menyelamatkan Boy, dan masing-masing sedang sibuk semua untuk mengkremasikan jenazah Alberte, tiba-tiba saja Ahui pun mengamuk karena keracunan dan berubah sangat mengerikan dari ukuran kecil, semakin membesar hingga menjadi monster raksasa, karena sangat kaget dan ketakutan, maka Ahui pun teriak dan berlari secepatnya ke dalam hutan menuju pegunungan salju yang dingin membeku karena seluruh tubuh Ahui sangat kepanasan akibat efek racun dan obat serum elexir yang masih berperang di dalam tubuhnya.
Boante yang mengetahui hal ini menahan para maha guru untuk mengejar Ahui. Boante hanya meminta Edi untuk menemaninya, sementara para maha guru lain diminta Boante untuk mendoakan Alberte, lalu menyembuhkan Boy dan segera menolong Sinthe yang terluka parah karena kekuatan peperangan dengan ilmu hitam tadi membuat kristal hitam juga dapat melukai Sinthe.
Dengan terbatuk-batuk keluar darah segar, Boante terus berjalan perlahan-lahan sambil terus dipapah oleh Edi mengikuti jejak kaki Ahui yang berlari memasuki hutan pegunungan salju. Sampai pada sebuah telaga es bening yang sangat beku dan dingin, mereka berhenti karena kehilangan jejak.
Boante : "Edi, kita istirahat dulu.."
Edi : "Tapi Shikung, kita masih belum menemukan jejaknya?"
Boante : "Tenanglah..., kita istirahat dulu, (uhuhuk..terbatuk lagi), saya sudah benar-benar lelah.."
Edi : "Baiklah Shikung.."
Boante : "Edi, tolong kamu pecahkan sedikit es di telaga itu dengan tongkat ini (Tongkat Naga Emas) dan ambil air di dalam lubang pecahan es tadi sedikit saja pada daun agar saya dapat meminumnya."
Edi : "Baik Shikung..." (Edi berjalan ke telaga dan perlahan berusaha memecahkan melubangi es-nya dengan tongkat dan mengambil airnya dengan daun).
Sementara Ahui memperhatikan Edi dan Boante dari kejauhan, Ahui takut dan bersembunyi di balik batang pepohonan yang besar dalam hutan. Boante mengetahui hal ini namun dibiarkannya dengan santai dan tenang, hingga Edi datang membawakan air dan Boante meminumnya dengan lega.
Boante : "Aaacch..segarnya.., kau juga harus mencobanya.."
Edi : "Shikung minum dulu aja, saya bisa nanti gampang sekalian.."
Boante : "Ehhmm..., Edi.., saya mau tanya tapi kamu harus jawab dengan sangat jujur ya.."
Edi : "Iya Shikung..tanya saja."
Boante : "Apa kamu mencintai Ahui?"
Edi : "Ach, Shikung ini ada-ada saja, mana mungkinlah, saya ini kan sama seperti Shikung sudah memilih menjadi pertapa, mana mungkin saya begitu.."
Boante : "Hahahaha (tertawa sambil mengelus jenggot putih tebal panjangnya) berarti kamu belum jujur pada dirimu sendiri dan kepada saya."
Edi : "Nggh..." (bingung, malu, dan takut tertunduk diam hingga tak mampu berbicara)
Boante : "Hahahaha, itulah yang membuatmu (Edi) dan Ahui menjadi samanya berat, susah dan sulit berkembang. Apa kamu (Edi) masih juga berpikir sama dengan Ahui bahwa Pencerahan hanya dapat diperoleh dengan satu jalan bertapa saja? "
Edi : "Tapi...Shikung, bukankah jika ada kemelekatan dari perasaan itu saja sudah membuat kita menderita dan berarti kita semakin sulit untuk melepaskan penderitaan dari perasaan itu, apalagi.. mana mungkin untuk Pencerahan? Bukankah perasaan itu sendiri juga selalu berubah-ubah setiap saat, bisa saja cinta lalu jadi berubah benci, marah dan kecewa."
Boante : "Edy, ketahuilah bahwa Cinta kasih sayang itu tidak pernah salah. Sedang yang Salah adalah Pikiran yang tidak jernih/bersih. Perasaanmu berubah-ubah karena dimulai dari pikiranmu negatif dan buruk, kotor menjadi muncul perasaan benci, kesal, kecewa, jengkel, marah, dan sebagainya. Jangan salahkan hati/perasaan, bila mulai dari pikiranmu saja tidak mampu kamu kendalikan sendiri."
Edi : "Shikung membuat saya jadi makin bingung..."
Boante : "Itulah makanya saya katakan kamu (Edi) dan Ahui jadi sama sulit berkembang, karena sama-sama tidak pernah belajar menjadi diri sendiri. Setiap makhluk hidup punya jalannya masing-masing untuk Pencerahan, tidak ada yang sama. Meskipun kamu selalu takut pada gurumu dan kamu selalu berpikir ingin seperti gurumu, Haite, tetap saja kamu bukanlah Haite. Gurumu, Haite tetap menjadi Haite, dan kamu adalah kamu, dirimu sendiri, jalannya hidup kamu tidak akan sama dengan jalannya hidup gurumu, Haite. Meskipun kamu berusaha ingin seperti Haite ataupun ingin seperti saya, Boante, sampai kapanpun juga tidak akan sama, pasti selalu akan berbeda jalannya, itulah yang disebut takdir, tidak akan sama."
Edi : "Tapi takdir kan bisa berubah dan diubah sesuai kemauan kita."
Boante : "Hahahahaha, Edi..., ingatlah meskipun kamu merasa yakin mampu begitu, tetap saja Tuhan itu Maha Kuasa, apa kita merasa mampu untuk melebihi Kuasa Tuhan? Manusia itu sangat tidak berdaya apa-apa, sesaat saja manusia kehilangan nyawanya, apa kita masih mampu untuk hidup?"
Edi : ".....hmm..." (tertunduk diam)
Boante : "Sekali lagi saya tanya, kamu jawab dengan jujur, apa kamu mencintai Ahui?"
Edi : "Iya... Shikung..."
Boante : "Nah, haha.. begitu saja kok susah banget, cukup jujur saja kan tidak sulit. Lalu saya tanya sekali lagi, tetapi dengan kejernihan ketenangan pikiranmu, Apabila di Masa Lalunya Ahui sangat buruk, kelam dan hitam hingga akhirnya menjadi monster buruk menakutkan seperti sekarang, apa kamu masih akan selalu mencintai, mengasihi dan menyayanginya?"
Edi : "Shikung, dengan jernihkan tenangkan pikiran, saya jadi merasa iba, sedih dan sangat kasihan padanya, yang sangat menderita."
Boante : "Yaah..memang itulah yang dinamakan perasaan Cinta dan kasih sayang terhadap sesama, mengapa kamu selalu menyangkal dan tidak jujur. Menjadi jujur bukan hanya pada orang lain, tetapi juga kepada dirimu sendiri. Nah, saatnya gantian, sekarang kamu ambil air di telaga tadi untuk kamu minum airnya sendiri dengan secarik daun ini." (Sambil Boante menyodorkan daun kering yang jatuh di dekatnya).
Edi : "Baik Shikung.." (Edi berjalan dan mengambil air di telaga es dan meminumnya perlahan-lahan dengan daun).
Setelah minum dan merasa segar, Edi berjalan kembali menuju tempat istirahat Boante, namun ternyata Boante telah menghilang entah kemana. Dilihatnya di depan matanya perlahan-lahan muncul sosok Ahui dari balik pepohonan besar dan tinggi, yang telah menjadi Monster Salju yang mengerikan dan menakutkan.
Edi : "Aa..hui..., kaukah itu?"
Ahui : "......" (terdiam hanya dapat menatap Edi)
Edi : "Ahui, kemarilah.."
Ahui : "...." (terdiam)
Edi : "Ahui, kamu jangan takut.."
Ahui : "......(terdiam)..."
Edi : "Ahui.., saya... suka.."
Ahui : "Bohong!!! saya ini buruk!!!"
Edi : "Ahui..., kamu tidak buruk, jangan takut, saya mau menolong dan menyembuhkanmu.."
Ahui : ".....(menangis...sedih hingga terduduk), kamu Bohong, saya sangat buruk dan menakutkan..."
Edi : "Tidak.., saya mau jadi teman Ahui selamanya.."
Ahui : "Bohong...(sambil terus menangis)"
Tiba-tiba Boante yang menghilang mencari tempat sembunyi untuk buang air kecil, lalu muncul dari belakang Edi yang sedang terdiam.
Boante : "Ahui..., kenapa sedih? Kamu malu dan takut akan keburukanmu? Ahui, semua manusia punya kekurangan, keburukan dan kelemahan masing-masing, tidak ada yang sempurna, karena manusia gudangnya suka lupa, tidak sadar, selalu pernah berbuat salah, buruk dan keliru. Ahui.., ingat apa yang pernah saya ajarkan padamu.., tenangkan dirimu, jernihkan hati dan pikiranmu.."
Edi : "Ahui..., kendalikan amarahmu/emosimu yang hanya akan menyakiti dan melukaimu..., ikhlas sabar dan tabahlah..."
Ahui : "....(menangis masih terus berusaha mengendalikan diri)..."
Hingga hampir setengah jam terdiam, Boante dan Edi terus melafalkan doa mantra suci agar Ahui tenang dalam hati dan pikirannya. Ahui yang mulai tenang pun sedikit demi sedikit mulai mengecilkan tubuh raksasanya hingga kembali normal menjadi sebesar manusia, namun masih seperti monster. Boante mengisyaratkan Edi agar mengambil air di tempat telaga es tadi dan membawakan untuk diminum oleh Ahui yang masih menangis sesegukan.
Boante : "Ahui..., minumlah dulu..., kamu pasti lelah..., lihatlah.. Edi datang membawakan air untukmu, coba tenangkan dirimu.."
Ahui : "...." (terdiam dan perlahan-lahan mengambil dan meminum air pada daun yang ada di tangan Edi yang duduk di samping menemani Ahui yang terus menangis)
Edi : "...." (terdiam, perlahan-lahan membantu memegang tangan Ahui yang gemetaran sangat kedinginan tubuhnya, Edi langsung memeluknya untuk menenangkannya)
Boante : "...." (hening, berjalan perlahan sambil terus melafalkan doa, dan membuka jubah luarnya, lalu jubahnya diselimutkan ke tubuhnya Ahui untuk menutupi tubuh Ahui agar tidak ketakutan dan kedinginan lagi, dengan memberi isyarat Edi untuk menggendong membawanya berjalan pulang)
Perlahan-lahan tubuh Ahui yang masih seperti monster pun berubah kembali menjadi manusia namun banyak bekas luka gigitan menyakitkan dan luka parutan perih di tubuhnya, untung ada jubah Boante yang menutupi tubuhnya yang dingin, sakit dan setengah terbuka, sambil Ahui memeluk Edi yang menggendongnya di punggung Edi karena tubuhnya Ahui sangat lemas keluar banyak darah, tak akan mampu berjalan pulang bila tanpa bantuan Edi yang setia mendampinginya, dan doa yang terus dilantunkan oleh Boante sambil membuka jalan di depan, mereka pun kembali ke kuil dengan selamat.
Sesampainya di kuil, Boante meminta Edi untuk mengambil beberapa tanaman obat yang ada di taman belakang kuil untuk meracik dan membuatkan obat tradisional untuk Ahui. Sementara Boante berusaha menjelaskan pada Ipenk dan Judit, kedua orang tua Ahui yang cemas dan khawatir akan keselamatan Ahui. Setelah kedua orang tua Ahui tenang, barulah Boante dapat duduk bermeditasi untuk memulihkan kesehatannya yang terluka dalam saat melawan Sedenk dan Titink.
Di lain tempat setelah Haite, Dhigante dan Gusdante selesai mengkremasikan dan mengubur abu jenazah Alberte dengan doa, mereka berangkat menuju tempat Sinthe. Dimana mereka melihat Sinthe yang tengah muntah-muntah darah, terluka sangat parah karena kekuatan kristal hitam. Dengan cepat, mereka membantu memberikan dorongan energi untuk Sinthe dengan bermeditasi dan doa bersamaan dengan para murid (Otoy, Pitet, Qisenk, Rini, Didi dan Fani) mengalirkan energi bersama untuk melawan kekuatan energi kristal hitam yang tengah melukai tubuh Sinthe sangat parah.
Sementara Chihante baru berhasil memulihkan Boy yang tadinya menjadi macan hitam telah berubah menjadi macan berbulu putih yang jinak, dan Chika yang penyayang diminta Maha guru Gusdante untuk menenangkan hati Boy yang sedang gelisah dan takut. Boy yang juga menyukai Chika, dengan kekuatan kasih sayang Chika membuat Boy melemah dan mulai perlahan kembali ke wujud manusia normal, sambil dibantu dengan memberi minum serum elexir yang dibuat oleh Chihante dibantu muridnya Geri dan Hana. Serta dengan harapan lain dari Gusdante dan Chihante adalah agar Boy dan Chika dapat menjadi pasangan yang serasi dan menikah dengan bahagia, sesuai pesan Alberte agar para pewaris penjaga kristal kehidupan memiliki keturunan yang baik untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Di antara para murid pewaris penjaga kristal kehidupan, hanya tinggal tiga pasangan yang belum menikah karena rumitnya dan kacaunya kehidupan mereka yakni : Ahui dan Edi, Didi dan Fani, serta Boy dan Chika. Bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Adakah harapan menuju kebaikan cinta kasih ataukah malah keadaan semakin buruk dengan timbulnya kekacauan yang lebih rumit dan memusingkan? - Bersambung -
020118Written and picture design by : Kepik Romantis / PVA
NB: Kisah ini hanyalah karangan Fiksi misteri belaka, bila ada kesamaan nama, bentuk, tempat, simbol, gambar, dan tulisan, semuanya semata-mata hanya dalam imajinasi karangan belaka.