Saturday, February 23, 2019

Kristal Kehidupan - Crystal of Life 2C - "Overlords The Red and Dark (Black) Crystal"

Suasana berkabung menyelimuti seluruh wilayah Benua Natflimorwud, yang langsung mendung berawan kegelapan disertai hujan petir yang menggelegar, semua yang hadir tertunduk pilu saat menguburkan jenazah Pather Dhigante, begitu pula para rombongan Tetua Tiga Monyet bersama Raja Naga Laut Timur, Siluman Lima Babi Hutan dan Tetua Ikan Kappa. Sementara itu para Maha Guru lainnya hanya dapat berduka di kediaman masing-masing di wilayah yang sangat berjauhan ratusan ribu kilometer jaraknya dikarenakan Portal Dimensi sudah tidak berfungsi, mereka tidak dapat hadir ke upacara pemakaman di taman belakang yang dipenuhi sisa-sisa reruntuhan sebagian besar bangunan Purple Clock Church.

Ahui menjauhi para rombongan yang berduka, hatinya marah emosi, mengapa di saat seperti ini, tidak ada satupun para Maha Guru yang datang hadir menolong mereka saat mengetahui akan terjadinya hal ini. Tetua Monyet yang melihat kemarahan Ahui, mencoba menenangkan Ahui, “Takdir dan Nasib, kedua hal yang berbeda. Nasib masih dapat dirubah, tetapi Takdir kematian, umur dan perjodohan, bahkan rejeki kita pun bukan kita yang menentukan. Kita hanya dapat berusaha semampunya untuk berbuat baik dan benar, tetapi semua keseluruhan isi kehidupan ini Tuhan Yang Maha Kuasa-lah yang menentukan.”

Tetapi mengapa Tuhan tega membiarkan hal ini terjadi?”, tanya Ahui yang masih marah dan kesal. “Semua hal di dunia ini, tidak ada yang luput dari karma, mengapa kamu harus pusing marah dan kesal kepada Tuhan (Pemilik dan Pencipta), seharusnya kamu lebih ikhlas dan bersyukur karena kamu masih diberikan kesempatan menjalani kehidupan ini untuk menjadi lebih baik lagi. Semua ada sebab dan akibat, setiap jalan pilihan yang telah mereka pilih pasti semua ada konsekuensinya, mungkin itulah pilihan jalan mereka, dan mereka pun kelak akan menerima balasannya. Kita tidak perlu pusing terhadap apa yang mereka lakukan, karena hukum alam sudah berjalan sangat adil. Kita cukup menjalani tugas dan kewajiban kita sebaik-baiknya, tidak perlu memusingkan mereka yang memilih jalan salah, buruk dan jahat. Karena kita sudah berusaha mencegah menasehati mereka, tetapi jika keburukan dan kejahatan adalah jalan yang mereka pilih, maka biarlah mereka menanam dan memetik buah karmanya sendiri. Cukup kita jalani kehidupan kita dengan sebaik-baik mungkin, tanpa perlu merisaukan hal-hal selanjutnya, yang terpenting kita sudah berusaha semampunya kita untuk melakukan hal-hal yang baik dan benar selama kita masih diberi waktu hidup di dunia ini…”

You talk too much, just like Shifu…”, ucap Ahui teringat Maha Guru Boante. “Hahahahaha….”, terdengar tawa khas Maha Guru Boante, lalu menghilang bayangan dan suara itu sekilas terbawa angin, malah terdengar suara nyaring Tetua Monyet “Ngapain di situ terus? Kasihan tuh yang lain berkabung, kamu malah menyendiri ngumpet di sini pula (melihat Ahui di belakang pohon di tepian sungai merah karena penuh bersimbah darah para korban). Edi nyariin kamu tuh khawatir dikira menghilang lagi..”, ucap Tetua Monyet. “Laaah, bukannya tadi saya barusan ngobrol sama kamu di sini”, jawab Ahui pada Tetua Monyet yang jadi bingung sambil garuk-garuk kepala. “Heh??? Saya??? Gak mungkin!!! Kamu yang ngelamun kali, saya barusan aja jalan ke sini kok…”, tegas Tetua Monyet. “Sumpah!!! barusan aja kamu menghilang setelah ngobrol sama saya di sini, kira-kira 5-7 menit yang lalu kamu ada di sini”, ucap Ahui ngotot menjelaskan. “Gak mungkin ada dua monyet sakti selain saya, Kecuali….(hmmm…)”, Tetua Monyet bergumam, berpikir sambil membelah diri menjadi Tiga Monyet Sakti yang saling bermusyawarah, hanya ada satu orang yang mampu memiliki ilmu hebat setinggi kemampuannya. “Kecuali siapa….???”, tanya Ahui kepada Tetua Tiga Monyet. “Tanyakan saja pada tongkat yang kamu bawa itu kemana-mana, Beliau selalu mendampingimu…”, sambil Tetua Monyet beranjali memberi hormat dengan sepenuh hatinya berkontak batin dengan tongkat yang masih dipegang Ahui. “Shifu…”, ucap Ahui perlahan-lahan. Tetua Monyet mengangguk setuju tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Datanglah Edi yang tiba setelah terbang mencari-cari Ahui, langsung turun dari awan, memberi salam hormat kepada Tetua Monyet, seraya berbicara singkat kepada Ahui. “Ngapain kamu di sini? Semua menunggu dan mencarimu, kita harus segera berangkat sekarang!!!”. “Setuju, saya bersiap ke Kapal Selam bersama Raja Naga Laut Timur, dan para Tetua lainnya”, ucap Tetua monyet yang langsung bergerak cepat terbang diikuti Edi. Sedang Ahui hanya terdiam saja sambil mengikuti mereka di belakang. Para Tetua dan rombongan (Ahui, Edi, Didi, Boy, Chika, dan Fani) setelah bersiap-siap dan membantu para korban, mereka tidak dapat berlama-lama di Benua Natflimorwud menurut firasat para Tetua, ada kemungkinan pasti terjadi serangan kehancuran yang lebih buruk lagi terjadi di Benua lainnya, maka mereka pun harus segera berangkat masuk ke Kapal Selam milik Raja Naga Laut Timur untuk merencanakan strategi dan juga melatih diri mereka selanjutnya.

Selama para rombongan beristirahat, Tetua Monyet dan Raja Naga Laut Timur masih sibuk berbincang-bincang sangat serius. “Kau harus mencari tau ke seluruh penjuru laut dan memantau mengenai keadaan di tiap Benua dan melaporkannya segera apabila terjadi masalah yang berbahaya, apakah tidak ada yang melacak kemana mereka (para siluman jahat) berangkat selanjutnya untuk menyerang?”, ucap Tetua Monyet. “Sudah, tapi belum ada kabar, sabarlah sebentar…, pasukan kita tidak secepat pasukan monyet-monyetmu, harusnya kamu juga membantu kita memantau di darat, sedang kami hanya mampu membantu di laut…”, jawab Raja Naga Laut Timur. “Hmmm…(Tetua Monyet berguman) Sama…kalo begitu!!! Bagaimana kalo kita adakan Rapat Darurat untuk memanggil semua Tetua Raja Naga Laut seluruh Penjuru Dunia ini?”. “Mungkin juga, tapi perlu waktu, kira-kira seminggu atau bahkan sebulan, karena jarak samudera lautan tiap penjuru arah mata angin sangat jauh ribuan jutaan kilometer, itu pun perlu pasukan gerak kilat di Laut’, jawab Raja Naga Laut Timur. “Haduh…, kenapa harus begitu lama!!! Kau kan punya kesaktian di laut masa tidak bisa langsung pindah portal arus laut aja?!”. “Lah.., kau sendiri Raja Monyet Sakti, kenapa tidak langsung lapor ke Kaisar Langit untuk memerintahkan bantuan langsung?!”, ucap Raja Naga Laut Timur. “Itu…, hmph (kesal Raja Monyet) kau tau kan tabiat Kaisar Langit, Dia tidak akan mau turun langsung, pasti memerintahkan kita juga untuk bergerak maju…”, jawab Tetua Monyet, dan perseteruan pembicaraan mereka terus berlanjut dari tengah malam sampai menjelang subuh pagi hari. “CUKUP!!!..., pembicaraan kalian ini membuat semua tidak nyenyak tidur…, lebih baik kita tanyakan saja kepada Tongkat Sakti ini bagaimana?”, ucap Ahui yang terbangun karena merasa terganggu dengan pembicaraan Tetua Monyet dan Raja Naga Laut Timur. “Hahaha…lihay!!! Betul juga!!!”, terkaget sambil senang karena Ahui telah menemukan solusi bagi mereka. “Baik, saya pinjam sebentar ya.., (sambil berkedip mata kepada Ahui dan mengambil Tongkat di tangan Ahui) dan Raja Naga Laut Timur, tolong persiapkan Kapal Laut muncul ke permukaan airnya sebentar…”,tegas Tetua Monyet Gila. “Baik…, laksanakan…”, jawab Raja Naga Laut Timur. Kapal Selam pun langsung muncul ke permukaan lautan, pintu atas Kapal Selam terbuka…, Tetua Monyet, Raja Naga Laut Timur dan Ahui keluar dan berada di tengah atas Kapal Selam.

Baik…, kalian menyingkir sebentar ke belakang saya…(Tetua Monyet mengarahkan Ahui dan Raja Naga Laut Timur agar berada di belakangnya)” ucapan Tetua Monyet itu langsung disertai gerakan dahsyat memutar-mutar Tongkat milik Ahui itu dengan gerakan kungfu monyet sakti miliknya, semakin lama semakin kencang dan lalu Teua Monyet terangkat kakinya hingga terbang sambil menggerakan kekuatan supernya. “Baiklah…., Tongkat Sakti!!! Dengan kekuatan alam semesta dan atas izin petunjuk Tuhan/Allah Yang Maha Kuasa, tolong berikan kami petunjuk arah selanjutnya!!! Hiaaaaaa….tt!!!”, Tongkat itu dihempaskan Tetua Monyet ke arah Matahari terbit, seketika Tongkat itu berhenti bergerak tegak vertikal seperti terkena tekanan gravitasi bumi, lalu bersinar terang memancarkan sinar dari Matahari terbit, seolah menjadi titik pusat kompas, dan pancaran sinar Matahari membentuk bentangan garis pelangi dari pancaran cipratan air laut dan awan di langit yang biru membentuk arah sinar ke sebuah titik merah yang membulat besar ke arah Benua Hedunfawi. “Yeaaaahhhuuuuww!!!...”, teriak Tetua Monyet Gila senangnya karena berhasil mengetahui arah selanjutnya. Disambut senangnya hati Ahui langsung memeluk Raja Naga Laut Timur sambil menagis terharu. “Akhirnya…kita tau kemana kita pergi selanjutnya…”, ucap Ahui kepada Raja Naga Laut Timur. “Hmmm…Mari…., kita berangkat ke Benua Hedunfawi”, ucap Raja Naga Laut Timur. Tetua Monyet pun langsung terbang bergegas mengambil Tongkat tersebut dan mengembalikannya kepada Ahui, seraya berkata “Terima kasih ya!! Kau harus jaga baik-baik Tongkat Sakti ini yah..”. Ahui langsung mengangguk tanda setuju dan mereka semua pun langsung bergegas masuk ke Kapal Selam dan berangkat dengan kecepatan penuh.

Sementara itu Raja Naga Laut Timur diminta Tetua Monyet untuk membuat Rapat Darurat antara kumpulan Raja Naga Laut seluruh penjuru dunia dengan para Tetua Sakti (Genk Lima Babi Hutan, Tetua Ikan Kappa, Tetua Six Silver Gargoyle, Tetua Empat Tengkorak Pencabut Nyawa, Tetua Ratusan Kelelawar Haus Darah, Tetua Sembilan Kepala Leak Terbang, Tetua Lima Genderuwo Buang Sial, dan Tetua Jutaan Golem Kepala Batu Bata Emas). Mereka akan mengadakan Rapat di Istana Raja Naga Laut Timur, setelah mereka selesai mengantarkan Ahui, Edi, Didi, Boy, Chika, dan Fani menuju Benua Hedunfawi. Dengan terpaksa mereka harus berpamitan dan harus dapat menyelesaikan masalah dalam misi selanjutnya tanpa bantuan para Tetua Sakti, dikarenakan keadaan keseimbangan alam di dunia ini sudah dalam bahaya, dikhawatirkan akan terjadi banyak kehancuran akibat perang saudara dimana-mana, sehingga kemungkinan besar akan terjadi kepunahan bagi generasi penerus penjaga alam ini yakni anak cucu, dan cicit nantinya.

Sebelum rombongan mereka (Ahui, Edi, Didi, Boy, Chika, dan Fani) tiba di Benua Hedunfawi, para mafia Siluman kejam sudah lebih dulu tiba menuju ke tempat kediaman Maha Guru Kyai Gusdante di kediamannya yaitu “Red Diamond Mosque”, setelah meninggalkan Benua Natflimorwud kira-kira 3hari yang lalu. Maha Guru Kyai Gusdante yang telah mengetahui firasat akan terjadi hal ini sebelumnya, sudah sengaja tidak mempersiapkan apa-apa, justru dengan senang hati menerima kedatangan mereka, agar para siluman kejam tersebut kebingungan.
Sedenk : “Luar biasa!!!, rupanya kehadiranku disambut dengan meriah, tentunya sudah mengetahui maksud kedatangan kami ke mari..”
Maha Guru Kyai Gusdante : “Anda adalah orang yang paling patut dikasihani di dunia ini, karena sebenarnya anda bisa menjadi orang yang baik dan benar, tetapi anda malah memilih jalan yang salah…”
Sedenk & Titink : “Hahahahaha!!! Ceramah anda sangat lucu!!!”
Sedenk : Justru semua ini saya lakukan karena senang dan bahagia menjadi jahat dan buruk adalah hobi kita berdua…” (Seraya mereka berciuman dengan napsu di hadapan Maha Guru Kyai Gusdante).
Maha Guru Kyai Gusdante : “Anda hanya ingin mencari perhatian dan sensasi, mengejar kenikmatan dunia yang tidak akan pernah puas sampai kapanpun juga, ibarat meminum air laut, anda tidak akan pernah bisa puaskan dahaga itu. Akibat kurang bahagia di masa kecil, lantas anda menjadi buruk, nakal dan kejam, untuk memperoleh banyak kawan, kerabat dan relasi yang memiliki masa lalu yang sama menderitanya, untuk mengejar dan mendapatkan semua impian dan cita-cita dengan mudahnya, bukan???…”
Sedenk dan Titink : (Terdiam saling memandang mata, merasa tersindir hatinya sejenak, terkaget kerena malu dibuatnya, tetapi segera membual dengan tertawa dan tepuk tangan) “Hahahaha!!! Luar Biasa!!!...”
Maha Guru Kyai Gusdante : “Tidak perlu menyakiti, menyiksa, dan mencelakai banyak orang, tidak perlu menghancurkan semua bangunan dan juga keindahan alam, saya sudah tau apa yang anda mau, yakni menguasai seluruh alam dunia ini…, kalo saya tidak berikan, anda pun pasti akan tetap memaksa dan menghancurkan untuk mendapatkan apa yang anda mau/inginkan karena harus terpenuhi, jadi buat apa kita harus berperang? Toh, anda tetap juga kerabat saya juga.., jadi cukup anda hanya meminta dan memohon dengan mepergunakan bahasa, tata krama, dan sopan santun yang baik, barulah saya akan memberikannya kepada anda dengan baik juga..”
Sedenk : (Kesal…karena Ego-nya tersentuh, muak teringat ke dua orang tuanya yang selalu memaksa memberi hormat dengan aturan-aturan kuno) “Halllaahh…, bawel cerewet, berisik kau Pak Tua!!! Tidak perlu mengulur-ulur waktu kami!!! Jangan sampai kesabaran saya ini habis!!! Cepat serahkan sekarang juga!!! Atau…nyawamu melayang..”
Maha Guru Kyai Gusdante : “Mintalah dengan cara yang baik…”
Sedenk : “Keparat!!! Pa Tua Sialan!!! Banyak bacot!!!”
Maha Guru Kyai Gusdante : “Maka dari itu belajarlah dengan baik dan benar”
(Titink melihat Sedenk pemarah dan bodoh karena egonya, menggunakan akal sehatnya, mungkin inilah yang menghambat rencana Sedenk juga).
Titink : “Pak Tua yang baik.., saya mengerti dan memohon maaf atas ucapan buruknya (Sedenk), Tolong berikan apa yang kami inginkan…” (Ucapan Titink yang lembut itu membuat Sedenk muak, tetapi membuat Maha Guru Kyai Gusdante tersenyum).
Maha Guru Kyai Gusdante : “Sebenarnya kamu bisa berbuat lebih baik lagi, sayangnya kekasihmu itu terlalu keras kepala, tetapi karena kamu tetap seorang wanita dan dapat sedikit berpikir baik, saya akan memberikannya…” (Langsung Maha Guru Kyai Gusdante berdiri dari kursinya dan melepaskan sabuk merah yang melilit di perutnya, diberikannya kepada Titink).

Begitu mudahnya Maha Guru Kyai Gusdante memberikan kepada Titink, membuat Sedenk terbengong/terkejut tidak mempercayainya, dan perasaan Hati Titink pun sedikit terkejut dan mulai mencair karena kebaikan Pak Tua tersebut. Sedangkan Maha Guru Kyai Gusdante hanya tersenyum melihat tingkah mereka yang terbengong-bengong, lalu berkata “Kita semua adalah bersaudara, buat apa harus bertengkar, dengan cara damai jauh lebih baik? Bukankah demikian? Anda berdua sudah senang kan?!”

Sedenk dan Titink : “Terima kasih Pak Tua…”
Maha Guru Kyai Gusdante : “Yah…sama-sama…”
Sedenk : (Agak sungkan jadinya, bingung…) “Tetapi, sayangnya kami tetap harus menjalankan rencana ini!!! Pak Tua, kau harus ikut pergi bersama kami sekarang!!!” (Sedenk dan Titink langsung memaksa, memaksa, menyeret dan memborgol Maha Guru Kyai Gusdante, tanpa banyak perlawanan, karena Maha Guru Kyai Gusdante mengetahui hal ini juga pasti terjadi..).
Maha Guru Kyai Gusdante : “Jadi saya ditawan sekarang…, setalah saya sudah memberikan apa yang anda mau…?”
Sedenk : “Untuk mendapatkan keinginan, maka apapun harus dikorbankan, termasuk juga hal ini, maka Pak Tua, anda pun harus berkorban untuk kami semua, dan tentunya dengan rencana yang matang…” (Seraya, Titink langsung memperkenalkan siluman (“Sijintink”) yang ahli clooning yakni membuat tiruan/palsu, hasil operasi plastic sempurna untuk membuat wajah Maha Guru Kyai Gusdante).
Maha Guru Kyai Gusdante : “Hahahahaha!!! Hebat!!! Sungguh Pintar kalian!!! Tetapi mata batin yang tajam tidak mampu dibohongi…, lihat saja nanti, apakah rencana anda ini akan berhasil atau tidak…”
Sedenk : “Berisik Pak Tua!!! Cepat kita berangkat sekarang!!!”, sambil menarik Titink dan para pengikut lainnya untuk terbang berangkat ke Benua Erank, tepatnya di Kuil Kura-kura Hitam, kediaman Maha Guru Sinthe.

Terlambat sudah, mereka (Ahui, Edi, Didi, Boy, Chika, dan Fani) tiba di Benua Hedunfawi, seolah-olah tidak terjadi sesuatu apapun. Tetapi Ahui merasakan aura yang berbeda, seperti kehilangan kekuatan energy, dimana tanah yang dipijaknya mulai mengering, tandus dan udaranya pun sangat panas dan menyakitkan. Masyarakat di sana seperti biasa, tidak menyadari perubahan alam yang terjadi, dianggapnya karena proses iklim pancaroba. Begitu pula Didi, Boy, Chika dan Fani, mereka juga tidak merasakan perubahan ekstrem yang telah terjadi seketika. Edi yang memiliki ½ kekuatan Raja Monyet Sakti, merasakan kekuatan siluman yang ada di dalam tubuh “Gusdante palsu” yang berpura-pura menyapa kedatangan mereka.

Seketika itu juga, Edi mengamuk, “Siluman keparat…!!!”, langsung menyerang “Gusdante palsu”, tetapi langsung dihadang oleh Chika, Boy, Didi dan Fani. Ahui yang hendak melerai mereka bertarung, sudah sangat kesulitan, sehingga hanya dapat terdiam sedih. Edi habis dipukulin oleh keroyokan empat temannya sendiri. Pertarungan itu lama-lama membuat Edi kewalahan, tidak mampu mengalahkan kecepatan Didi, sekaligus Edi semakin terluka parah karena kekuatan sebenarnya tertahan, sebab tidak tega melawan teman-temannya sendiri. Sementara siluman jahat yang berada dalam tubuh Gusdante palsu menikmati pertarungan mereka dengan senang sebab dapat mengulur-ulur waktu mereka di Benua Hedunfawi, sehingga para Raja Siluman dapat segera tiba ke Benua Erank.

Melihat siluman (“Sijintink”) itu tertawa puas, Ahui pun sudah tidak mampu lagi menahan emosinya, berubahlah Ahui yang mengamuk, bak raksasa menghancurkan semuanya, sekaligus membuat Didi, Boy, Chika dan Fani terpental jauh terjatuh dan terluka karena amukan Ahui yang memukulkan tongkatnya ke tanah dengan amarah. Seketika Benua Hedunfawi porak-poranda, seperti kedatangan “Kingkong putih/Yeti” yang mengamuk turun dari gunung. Tidak dipikirkan betapa ketakutannya warga berlarian menyelamatkan diri, Ahui pun langsung menghadang siluman itu bertarung. “Sijintink”, tidak mampu menahan kekuatan dahsyat Ahui yang mengamuk, siluman itu hanya dapat berlari bersembunyi ketakutan, sampai nangis dan terkencing-kencing di celananya. Ahui tetap tidak bisa dikendalikan amukannya, “Keluar kau siluman keparat!!!!”, ucap Ahui, dengan terus memukul-mukulkan tongkatnya ke tanah, hingga menimbulkan gempa dan ombak pasang di lautan, seperti bumi diguncangkan. Edi, Didi, Boy, Chika dan Fani pun kali ini tidak mampu mengendalikan amarah Ahui.

Bila 15 menit dibiarkan, Benua Hedunfawi bisa hancur semua, lama-lama terbenam berkeping-keping masuk ke dalam lautan, karena banjir air laut pasang sudah mulai masuk merambat ke dataran pantai. Semua warga masyarakat sudah menangis ketakutan, langsung berdoa, bersujud dan memohon ampunan untuk dihentikan. Untunglah, datang seketika Tetua Raja Monyet Sakti, menangkap dan menarik Sijintink, siluman yang berpura-pura menjadi Gusdante palsu, membawa keluar dari persembunyiannya, lalu menujukkan kepada Ahui, “STOP Ahui!!!, ini keparatnya sudah tertangkap!!!”, ucap Tetua Monyet Sakti sambil mengangkat siluman itu tinggi-tinggi dengan tangan dari tubuh raksasanya ke depan muka Ahui. Seketika amarah Ahui pun terdiam setelah melihat Sijintink itu tertangkap dengan wajah menangis, menunduk dan ketakutan sampai tidak berhenti untuk mencret dan terkencing-kencing. “Sudahlah…, jangan marah lagi!!! Seluruh benua ini bisa hancur kalo kamu marah seperti itu terus…, kasihan mereka sudah menangis memohon ampunan…”, lanjut ucapan Tetua Monyet itu bicara dengan bijak.

Mendengar ucapan Tetua Monyet bijak itu, Ahui pun seketika mereda dan menahan amarahnya, dengan kesal, dia langsung berlari menghilang ke arah bukit dan pegunungan hijau. “Hmmm…, kalian urus siluman keparat ini, biar saya yang pergi menenangkan monyet imut satu itu..”, sambil melemparkan siluman Sijintink (bunglon) ke arah Edi, Didi, Boy, Chika dan Fani. Melihat Edi terluka parah ulah pukulan Didi, dengan segera Didi dan Boy membantu merawat luka Edi di rumah sakit setempat, sementara Chika dan Fani membawa Sijintink ke penjara untuk diintrogasi bersama pihak kepolisian dan kedokteran khusus.

Ahui yang berlari menenangkan diri ke dalam hutan, seperti biasa sembunyi karena emosinya yang meledak itu, terduduk di atas bebatuan pinggir sungai. “Ahui…, kapan kau akan belajar mengendalikan emosi mu itu?”, ucapan suara itu khas seperti ucapan Maha Guru Boante. Ahui tidak menjawab, hanya terdiam, cemberut sambil melemparkan batu-batu kecil di sekelilingnya ke arah sungai. “Hmmm….(Boante menenangkan Ahui dengan memegang kepala Ahui dari sampingnya sambil membacakan doa), tenangkan dirimu…”, ucap Boante kepada Ahui. Seketika Ahui terdiam dan menangis mengeluarkan seluruh air matanya karena merasa bersalah, sedih, sekaligus bingung, jengkel dan kesal di dalam hatinya. “Kau akan tau nanti, kenapa saya tidak bisa menunjukkan diri saya, tetapi saya sudah mengatakan akan selalu membantu dan juga memberikan petunjuk untukmu. Kamu harus belajar lebih tabah, sabar dan mengendalikan amarahmu itu, kekuatan yang kamu miliki hanya digunakan jika itu terpaksa untuk melindungi diri dari bahaya, bukannya kamu gunakan untuk menyengsarakan banyak orang. Lihatlah, bagaimana orang-orang menangis ketakutan dan kehancuran dimana-mana bila kamu marah seperti ini. Membahayakan bagi semuanya…”, ucap Boante.

Mohon maaf Shifu, saya belum mampu mengendalikan emosi saya…”, jawab Ahui yang sedih. “Sudah…sudah…, ingatlah baik-baik, dengan amarah itu masalah tidak akan pernah selesai semuanya, kadang kamu harus belajar meredam emosi, agar dapat focus mencari solusi di setiap masalah hidup ini, dengan mengendalikan diri maka kamu mampu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, maka terciptalah perdamaian di dunia ini..., pikirkan baik-baik…, renungkanlah…, Kristal Kuning melambangkan kekayaan ilmu pengetahuan (kecerdasan intelektual), Ungu melambangkan harga diri/ kedudukan/kehormatan/keagungan, Merah melambangkan nafsu, amarah, emosi dan ambisi, Hitam melambangkan seluruh kekuatan negative dalam duniawi (angkuh, serakah, tidak puas, sedih, duka, dan menderita), sedangkan Kristal Bening/Putih untuk menyeimbangkan yakni kekuatan positif (kebaikan, jujur, kebenaran, lemah lembut, dan kasih sayang), Hijau melambangkan kesuburan dan keindahan, dan Biru melambangkan hawa, nafas dan kehidupan seperti air mengalir. Bila kesemuanya bergabung akan menimbulkan kekuatan keseimbangan yang harmonis. Tetapi bila digunakan berlebihan menjadi buruk kekuatannya karena dikorupsi dan dimanipulasi untuk tujuan keserakahan, kejahatan, kebencian, ambisi dan nafsu yang berlebihan, maka akan menghancurkan seluruh isi semesta alam ini…”, ucapan penjelasan Boante itu menyadarkan Ahui seketika. “Shifu…, jadi kesemuanya kristal itu saling berhubungan dan saling bergantungan satu dengan yang lainnya…”, saat Ahui mengerti dan mengucapkan hal itu, Maha Guru Boante telah tersenyum dan menghilang seketika.

Haduh, kamu kemana aja sih? Malah sembunyi di sini, cepat kita harus membantu yang lainnya…”, ucap Tetua Monyet langsung menarik Ahui dan membawanya kembali. Seketika Tetua Monyet yang telah datang bersama Ahui dibantu para seluruh Tetua Raja Naga (Laut Timur, Barat, Selatan, dan Utara) dengan Tetua Sakti lainnya (Genk Lima Babi Hutan, Tetua Ikan Kappa, Tetua Six Silver Gargoyle, Tetua Empat Tengkorak Pencabut Nyawa, Tetua Ratusan Kelelawar Haus Darah, Tetua Sembilan Kepala Leak Terbang, Tetua Lima Genderuwo Buang Sial, dan Tetua Jutaan Golem Kepala Batu Bata Emas), untuk kembali membangun Benua Hedunfawi yang hampir hancur itu, seketika berubah jadi indah berkat bantuan para Tetua Sakti. Bangunan, sawah, perkebunan dan tanah yang hancur, kembali bagus, indah dan subur, kelihatan sangat menawan. Namun, tidak terlihat Tetua Siluman Ular Naga Antaboga yang diceritakan mereka yakni merupakan Pemilik dari tongkat yang dipegang oleh Ahui tersebut. Ahui kebingungan, dimanakah sebenarnya, apakah benar adanya Tetua Naga Anataboga itu? Kenapa seluruh penjuru Raja Naga Lautan pun segan dan takut mendengar namanya saja.

Di Benua Erank, Master Guru Shinthe sudah punya firasat buruk di Kuil Kura-kura Hitam, dengan segera meminta Qisenk dan Rini (saudara Didi) untuk pergi ke Chapel Merpati Biru di kediaman Sister Chihante, tentunya mereka tidak mau pergi tanpa alasan yang kuat, paksaan meminta agar membawa obat-obatan penting bagi kesehatan Guru Shinthe membuat mereka terpaksa pergi demi keinginan Guru Shinthe.

Sepanjang perjalanan, Titink terus memaki Sedenk yang terlihat murung dan lemah karena goyah menghadapi Maha Guru Kyai Gusdante. “Kau lemah!!! Payah!!! Bagaimana kau bisa jadi pemimpin, bila hatimu lunak!!! Semua siluman akan curiga dan mulai berkomplot akan menjatuhkanmu kelak kalo kamu seperti ini terus!!!”, ucap Titink. “Hassh…berisik kau!!! Sok tau!!! Urus saja keperluanmu nanti di sana, tidak ada yang akan berkhianat, siapapun itu akan habis seketika dengan kekuatanku ini!!!”, jawab Sedenk. “Hmph.., sok ke-pedean, liat saja nanti!!! Setelah kelahiran Kepala Penguasa Kegelapan, kau akan hancur bila dia tau kelemahanmu ini…!!!”, tegas Titink.

Master Guru Sinthe tidak menggubris kedatangan gerombolan siluman keji dipimpin oleh Sedenk dan Titink. Seolah tidak ada hal yang membuatnya ketakutan ataupun cemas. Sampai dengan Sedenk dan Titink menunjukkan Gusdante yang tengah terikat oleh kekuatan Titink dan Sedenk.

Cepat kau serahkan Kristal hitam itu kepada kami segera!!! Atau dia (sambil menunjuk pada Gusdante yang ditutup mulut, mata dan telinganya dengan kain dan diikat) akan celaka!!!”, tegas Sedenk. “Baiklah… tapi tolong kau janji harus lepaskan dia!!!”, ucap Master Guru Sinthe. Melihat sodara Gusdante yang terancam, dengan berat hati dan menangis, Master Guru Sinthe melepaskan cincin hitam di jari telunjuk kanannya hingga keluar darah (karena kekuatan jahat begi kuatnya mengikat), lalu menaruhnya di tangan kiri. “Lepaskan dia dulu!!!”, pinta Sinthe sekali lagi. Sedenk dan Titink lalu melepaskan ikatan dan tutupan (mata, telinga dan mulutnya) Gusdante, seketika Gusdante berteriak, “TIDAAAAKKK…!!!, Jangan..!!! kau tidak boleh melepaskan itu!!!”, ucapnya sambil menangis.

Maafkan saya…, ini demi nyawamu juga!!!”, jawab Sinthe. “Jangan lakukan ini…!!! Kalian bisa hancur!!! Begitu pula seluruh dunia ini semuanya!!!”, pinta Gusdante kepada Sedenk dan Titink. “Hassh!!! Berisik kau semua!!! Cepat atau dia habis…”, jawab Sedenk (sambil mengangkat leher Gusdante yang hendak dicekik dengan kekuatan ilmu ularnya membelit leher). Master Guru Sinthe terpaksa langsung melempar cincin hitam itu, memberikannya kepada Sedenk, dan Sedenk mengambil cincin hitam itu dengan melepaskan jeratan leher Gusdante, (Gusdante terhempas jatuh kesakitan, segera ditolong Sinthe), seketika semua kekuatan Kristal yang tengah berada di tubuh Sedenk pun berkumpul, seperti sebuah pijaran bola api hitam yang berdenyut-denyut dalam darahnya, mulai dari Kristal kuning menghitam, Kristal ungu menghitam, Kristal merah menghitam dan terakhir Kristal hitam mengumpulkan semua energy negative kegelapan yang ada di seluruh bumi ini, dan “Booouuuummm!!!…” meledaklah tubuh Sedenk, disertai petir gemuruh dan geledek di langit yang menghitam seketika seperti ledakan gunung meletus di tubuh Sedenk, terdengar teriakan Titink, “Accchhh…!!!”, Titink terhempas jauh, sedang tubuhnya Sedenk menjadi butiran darah hitam yang berkumpul menyatu menjadi sosok raksasa tinggi kurus, dengan tubuh yang mengerikan, tanpa wajah, penuh asap hitam, kuku tangan dan kakinya sangat runcing panjang setajam cakar jarum berbisa ular. Ledakan tersebut disertai dengan goncangan getaran gempa bumi di seluruh penjuru dunia yang sangat dahsyat bak sebuah nuklir yang meletus, hingga air laut pun bergolak.

Ssssssttt….!!! Kalian takut…!!!”, ucap Kepala Penguasa Kegelapan yang merubah tubuh Sedenk. “Ooooh, kau (menujuk tangan mengerikannya ke Titink), rindu dengan kekasihmu yang mati mengorbankan dirinya untukku…, Hahahahaha…, tenanglah!!! Dia bisa hidup lagi dengan syarat!!! Hmmph…, saya terpaksa harus menghancurkannya, karena saya perlu darahnya…, dia terlalu lemah.., iya kan…??!!”, ucap Penguasa Kegelapan. “Tolong!!! Jangan bunuh saya, apapun akan saya lakukan agar dia kembali, maafkan dia!!! Saya menyayanginya…mencintainya…”, ucap Titink bersujud dilihat oleh Sinthe dan Gusdante. “Jangan pernah kau memohon pada Iblis…!!!”, tegas Sinthe dan Gusdante.

Hahahahahaha!!! Berani kau mengatakan Iblis padaku!!! Saya ini adalah malaikat kebaikan, sangat murah hati karena dipercaya oleh Pencipta!!!”, jawabnya berbangga hati. “Biiiih.. (Sinthe meludah) Iblis tetap saja iblis, mana mungkin kau percaya Tuhan, sementara kau mengkhianati kepercayaannya dengan menghancurkan dunia ini!!!”, jawab Sinthe. “Hahahahaha!!! Enyahlah kau seketika!!! (Sreeeebbb!!!)”, dengan seketika jarum-jarum cakar di tangan kanannya langsung menembus jantung Sinthe yang langsung hancur, muntah darah dan mati seketika. “Tiiidak….”, tangis Gusdante langsung meraih tubuh kerabat baiknya Sinthe yang sudah tidak bernyawa itu.

Huahahaha sungguh menarik…, sekarang saya bisa punya wajah tampan seperti kekasihmu itu…”, berubahlah asap di wajahnya keluar alien dari lehernya yang kemudian membentuk kepala seperti manusia yang sama wajahnya dengan Sedenk. “Nah…, sudah lebih baik sekarang…, bagaimana…??!! (sambil menunjuk ketampanannya kepada Titink) maukah kau bergabung bersamaku..”, ucap Penguasa Kegelapan dengan suara lembut Sedenk. “Mau… (matanya seolah terhipnotis cinta karena suara Sedenk dan wajah Sedenk yang dicintainya)”, Titink langsung berjalan penuh napsu birahi langsung terhipnotis, memeluk dan menciumi Sedenk yang telah menjadi Penguasa Kegelapan. Sedenk membalas ciuman birahinya sambil berkata, “Aaaaaccchhh…, luar biasa…sayangku, kau akan menjadi Ratu Kegelapan…, maukah kau berkorban untukku…, sayang…?!”, pinta Sedenk. “Mau…apapun itu…, asal dapat selalu bersamamu…”, jawab Titink.

Hahahahaha!!! Cinta ini sungguh meng-asyikan!!!”, langsung Sedenk memberikan Titink napsu bercintanya, hingga klimaks kematiannya yang penuh darah segar hingga jantungnya bocor dimakan hidup-hidup dan muntah darah penuh kenikmatan, darah segar Titink itu diminum dengan puasnya seperti anggur bagi Sedenk yang kehausan. “Sungguh nikmat, kau tidak mau mencicipinya…!!!”, pinta Iblis Sedenk kepada Maha Guru Gusdante. “Kau bisa memuaskan dahagamu dengan mengambil nyawaku juga, bila kau mau…”, jawab Gusdante.

Hahaha, buat apa darahmu!!! saya sudah dapat apa yang saya mau, dan seperti biasa, saya selalu menyisakan satu orang untuk hidup menjadi saksi bagi kehidupanku ini, tapi dengan syarat yang tidak mudah tentunya untuk menghidupkan Ratu Kegelapanku ini…hahahaha!!!! Dia perlu sebagian kekuatanmu itu…(Blaasssstttt!!!!)”, langsung jarum-jarum kuku di tangan kanannya menembus seluruh titik chi (qi) dalam tubuh Gusdante hingga kesakitan dan mengeluarkan banyak darah. “Aaaaaaarrrrrrgggghhhh….”, Gusdante teriak kesakitan menyakitkan luar biasa, seperti seluruh otot dan tulangnya remuk. Keluarlah darah bercahaya dalam tubuhnya yang langsung disedot oleh ribuan belatung kecoak keluar dari belahan tubuh Titink yang begitu banyak jumlahnya menjiplak menjadi satu bagian tubuh yang menyatu masuk ke dalam mayat Titink yang menjadi Ratu Zombie Kecoak. Gusdante roboh dan remuk seketika jatuh ke tanah tidak berdaya dan lumpuh total, tetapi masih dapat bernafas, berfikir, melihat, mendengar dan berbicara seperti mayat hidup saja.

Aaaaaaaahh…, sungguh nikmat…!!!”, ucap Titink yang kekenyangan setelah hidup kembali dan menjadi Ratu Kegelapan. “Hahahahaha, selamat datang Ratuku!!!”, ucap Sedenk kepada Titink. “Biarlah.. si tua bangke ini hidup menjadi saksi cinta kita kepada kawanan tolol yang mencari kedamaian di dunia ini, sungguh malang nasibmu eah pak tua…, wakakakakaka…”, tawa Sedenk dan Titink langsung pergi menghilang bersama kawanan siluman jahat lainnya kembali ke kota Greyland, Istana kerajaannya yang akan dibangun di sana tepatnya di pulau terlarang, dan menciptakan era kegelapan baru bagi dunia ini. Gusdante hanya dapat menangis menahan kesakitan seluruh tubuhnya yang remuk.

TERLAMBAT sudah….!!!!”, ucap Tetua Monyet sambil menunduk bersedih duka setelah gempa berkekuatan hebat mengguncang seluruh dunia dalam beberapa waktu lalu saat munculnya Kepala Penguasa Kegelapan. Kesedihan Tetua Monyet diiringi kesedihan para Tetua Siluman yang baik lainnya beserta para Raja Naga. “Pasti sesuatu hal yang buruk telah terjadi kembali…”, ucap Ahui di dalam hatinya ikut bersedih.

Bergegaslah para rombongan berangkat ke Benua Erank, menuju kediaman Master Guru Sinthe di Kuil Kura-Kura Hitam. Terlihat dari kejauhan pun sudah menandakan kesedihan luar biasa yang akan mereka semua hadapi, reruntuhan puing-puing bangunan dan tebaran cairan darah dimana-mana. Mereka langsung berlari secepatnya saat melihat Master Gusdante yang tengah terbaring lemah lumpuh dan menangis tanpa dapat berbuat apa-apa, di sisi jenazah dari Master Guru Sinthe.

CUKUP SUDAH!!! Ini semua gara-gara kamu!!! Lihat!!! Saya sekarang udah gak punya siapa-siapa, Guruku (Sinthe) wafat!! karena kalian semua selalu menyia-nyiakan waktu!!!”, ucap Didi yang marah dan kesal kepada Ahui dan Tetua Monyet, karena tidak terima gurunya mati sia-sia. Didi berusaha ditahan oleh Fani, tapi percuma, Didi terlampau marah, dan langsung pergi berlari kesal dan menjauh menghilang entah kemana, tanpa mengucapkan salam perpisahan.

Iyah!!! Kau Tetua Monyet Sakti pun percuma!!! Guruku (Dhigante) juga mati!!, selalu semua terlambat!!! Apa gunanya semua ini!!!, lebih baik saya juga pergi dari sini!!! Semuanya sia-sia!!! Percuma!!!”, ujar Fani yang juga kesal dan marah, langsung pergi mengejar Didi yang lari penuh amarah. Semua hanya dapat terdiam tak mampu berkata-kata sepatah pun. Mengingat mereka semua pun telah merasa gagal dan kalah telak, wajar mereka marah, kesal, kecewa, dan bersedih, membiarkan mereka pergi untuk menenangkan dirinya masing-masing.

Apa mau dikata Didi benar-benar sudah kehilangan kesabarannya, terlebih melihat Gurunya, Master Sinthe wafat, Didi pun memilih menyendiri, menghilang dan mengacuhkan Fani. Melihat Didi yang berubah, Fani pun pergi menghilang menjauh, entah kemana, mengikuti langkah kakinya yang sakit, pedih, sedih dan sangat terluka, setelah kehilangan Gurunya, Pather Dhigante wafat, kini harus kehilangan kekasihnya juga Didi yang jadi berubah dingin dan acuh.

Para Tetua melihat kejadian buruk ini, ikut prihatin dan sedih, tak mampu banyak bicara, hanya dapat berdoa dan melanjutkan upacara kematian dan kremasi bagi Master Guru Sinthe, dan kemudian bahu-membahu memperbaiki Kuil Kura-kura Hitam yang hancur, direnovasi kembali, sambil terus memikirkan dan berdiskusi kecil setiap malam, mengenai rencana apa yang harus dilakukan selanjutnya oleh mereka.

Sementara Boy dan Chika, terdiam tak dapat berkata apa-apa, sambil terus merawat gurunya yang lumpuh sakit terluka parah, dan izin pamit untuk membawa pulang Maha Guru Kyai Gusdante ke kediamannya di “Red Diamond Mosque”. Sedangkan Ahui yang merasa bersalah, hanya dapat bersedih, perlahan-lahan berusaha melarikan diri dari keramaian, Ahui memilih pergi mencari Master guru Boante. Tadinya Edi melarangnya, tetapi sifat keras kepala Ahui, membuat Edi pun marah dan kesal karena merasa sulit menasehati Ahui yang bersikeras ingin pergi mencari gurunya, Boante. Ahui dan Edi pun bertengkar, kesal dan saling acuh, sebab keduanya memiliki sifat sama keras kepala dan pemarah. Edi kesal dan memilih pulang ke Kuil Macan Terbang menemui Master Guru Haite. Membiarkan Ahui yang berjalan sendirian pergi mencari gurunya Boante.
Masihkah ada secercah harapan bagi para pahlawan kedamaian dunia, setelah semua usahanya gagal dan kalah, dan kekuatan kegelapan tengah menguasai hampir 70% kekuatan dunia? Bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? BERSAMBUNG-

230219 Written & picture design by : Kepik Romantis / PVA

NB : Kisah ini hanyalah karangan Fiksi Misteri belaka, bila ada kesamaan nama, bentuk, tempat, symbol, gambar dan tulisan, semuanya semata-mata hanya dalam hayalan/imajinasi karangan belaka.