Dalam
kisah Mahabarata, ada tokoh terkenal, Raja
Hastina,
yang
bernama Duryudana. Diceritakan
di
perwayangan,
Duryudana mempunyai banyak
nama
lainnya, diantaranya: Suyudana, Kurupati, Jaka Pitana, Jaya
Pitana, Gendari
Suta, Drestarata Atmaja, dan lain-lain.Arti
nama-nama tersebut sebagai berikut: Duryudana artinya dia mengenakan
mahkota prajurit, Suyudana artinya uangnya mengalir, dermawan karena
uangnya (dana) dan hartanya melimpah. Kurupati artinya raja para
Kurawa. Jaka Pitana artinya sejak muda rajin ibadah (melakukan
pemujaan). Jaya Pitana artinya ibadah ritualnya (ritual pemujaan)
sangat kuat. Gendari Suta artinya dia anak Dewi Gendari (ibunya).
Drestarata Atmaja artinya dia anak Drestarata (ayahnya).
Duryudana
lebih dikenal sebagai tokoh antagonis. Dia memiliki sifat dan sikap
yang amat sangat buruk. Berbagai watak yang tidak baik seperti tidak
peduli (cuex), mau menang sendiri (egois), kejam, tidak menghargai
dan tidak mengindahkan nasehat para sesepuh dan berbagai watak yang
tidak baik lainnya sudah menjadi watak kesehariannya.Namun
ternyata lain untuk urusan asmara cinta dan kasih sayang kepada
istrinya, Duryudana sangat berbeda. Duryudana menjadi sosok yang luar
biasa dan mungkin bisa menjadi contoh yang baik dalam mencintai dan
mampu menerima cinta apa adanya. Bahkan kesetiaan dia terhadap
istrinya begitu sangat luar biasanya (sampai-sampai penulis pun
terharu menulis kisah ini).
Berikut sepenggal kisah yang menandakan
betapa cinta dan setianya Duryudana dengan istrinya, Banowati. :Dikisahkan
Prabu Salya raja Mandaraka mempunyai tiga orang putri. Semuanya
cantik jelita, yakni: Erawati, Surthikanti dan Banowati. Yang paling
cantik sekaligus paling binal namanya Banowati. Disamping cantik dan
binal ia molek. Banyak lelaki tergila-gila melambungkan khayalan
kepadanya. Hukum dunia telah digariskan, wanita cantik berjodoh
dengan lelaki rupawan, yang binal dapat yang jalang. Banowati juga
tahu hukum dunianya itu, karenanya ia berani jatuh hati pada Arjuna,
sang penengah Pandawa, lelananging jagad (pejantan dunia), lelaki
paling jalang diantara yang jalang. Gayung bersambut, Playboy cap
kacang dua Kelinci ini, di dunia perwayangan tidak menampik kemolekan
Banowati. Maka terjadilah percintaan yang membirahi. Sejak
sebelum menikah, Dewi Banowati memang telah jatuh hati pada Arjuna
yang dinilainya sebagai lelaki paling tampan, jantan, gagah, sakti,
dan lemah lembut se-kampung, RT/RW, kabupaten, kotamadya, sekalipun
telah diketahui bahwa Arjuna sudah mempunyai kebanyakan istri, hingga
semua perempuan se-RT, RW, sampai se-Kabupaten dan Kotamadya selalu
mengejar-ngejar pesona Arjuna yg memikat hati semua perempuan
termasuk Banowati.(lebay ah…)
Kisah
cinta paling memusingkan biasanya dikenal dengan Cinta Segitiga, tapi
Khusus Banowati, rumus kisah asmara cintanya sudah berbentuk
Trapesium, “Yah… begitulah cinta, deritanya tiada akhir” sangat
sering mendengar kalimat itu, ternyata dalam perwayangan kalimat itu
sangat pas untuk penderitaan Aswatama (anak seorang guru yang
mumpuni, Drona, kepada Aswatama ia memberi pelajaran lebih, melebihi
apa yang ia berikan kepada Pandawa dan Kurawa. Akhirnya lambat laun
namun pasti, Aswatama telah menjelma menjadi pemuda paling tangkas
dan sakti. Tetapi Aswatama tahu diri, ia bukan berasal dari kasta
Ksatria, wajahnya pun pasaranlah, ia lebih baik tidak menonjolkan
diri, cenderung terus menutup diri. Biarlah para Ksatria dunia lain
yang menonjol, ia cukup dibelakang layar saja, toh menurutnya, dia
mampu mengambil peran yang lain).Sesungguhnya
selain Duryudana, Aswatama pun tak luput dari pesona Banowati. Ia
sangat tergila-gila, ngefans berat, sampai seluruh ruang kamarnya
penuh dengan gambar foto-foto syuur dan seksinya Banowati yang narsis
abis bagai artis terkenal di seluruh kerajaan. Tetapi malang,
Aswatama tetap minder, ia selalu diajari untuk tampil dibelakang
layar. Mental seperti inilah yang menjadikan Aswatama pemalu, bahkan
tidak berani untuk menyatakan cinta dan hasratnya yang terpendam pada
Banowati. Aswatama tahu diri, ia bukan dari kasta Ksatria ataupun
bangsawan dan wajahnya pun kalah rupawan dibandingkan dengan Arjuna,
yang terkenal dikejar-kejar para perempuan, semakin terpuruk dan
merendahlah dirinya. Aswatama terus memendam rasa, menanggung pilu
setiap saat Banowati semakin terus mendekat dengan Arjuna. Aswatama
menjadi sangat dendam, tetapi tidak berdaya. Karena nyatalah sudah
dia menyerah, sebab menurutnya, kasta/derajat adalah segala2nya.Kemampuan
dan kesaktian Aswatama dapat memastikan, di sudut sana, pujaan
hatinya tengah berdua dengan Arjuna. Dimana setiap malam Aswatama
selalu mengintip mengikuti pujaan hatinya yang selalu bercumbuan dan
bermain cinta dengan Arjuna. Asawatama sangat terluka, remuk, hancur
hatinya bagai pot kembang dilempar ke tanah. (kroopyaak…ancur…)
“Oh Banowati, cintaku…, mengapa dikau begitu bodohnya, teganya
engkau. Tetapi…tetapi…aku tetap cinta kau, meskipun kau telah
hancurkan hatiku ini.” (seirama lagunya olga, hancur…hancur…hancur
hatiku…).
Pertentangan
Pandawa dan Kurawa semakin hebat. Kedua kubu semakin aktif membangun
aliansi. Pada pertemuan di Balairung Hastina, Sangkuni memberi petuah
pada Doryudana.“Wahai
raja Astina memang sudah menjadi kehendak dewata jika perang bakal
meletus (kayak jerawat, aww…). Perang tentu akan dimenangkan oleh
pihak yang lebih kuat dan lebih banyak mendapat dukungan koalisi dari
negara tetangga. Hendaknya sang Prabu membangun persekutuan dengan
cara apapun. Ada satu kerajaan yang harus segera paduka dekati karena
disamping mereka kuat juga telah condong hatinya kepada Pandawa,
ialah negeri Mandaraka yang dipimpin Prabu Salya.”Duryodana
gelisah, “Bagaimana mungkin kita bisa merebut hati Prabu Salya?,
sedangkan mereka bertetanggaan dengan Pandawa sejak jaman kuda gigit
besi, patihku. Bukankah Salya itu masih iparnya Pandu, ayah Pandawa.”Sangkuni
terkekeh (wekekekekeke…, ketawanya meledak ala emak lampir, sambil
ngunyah kemenyan kruus.., krus… krus… kyak makan gorengan). Dari
mulutnya yang bau kemenyan itu meluncurlah saran yang jitu.“Paduka
jangan berkecil hati. Prabu Salya kan punya tiga orang putri yang
bahenol, bohay, molek, montok, seksi-seksi, cantik-cantik pula.
Pinanglah salah satunya, maka perkawinan paduka ini pasti akan
menyatukan dua kerajaan dengan mudah.” Doryudana pun terkesima...
”Ooowoow…wooow (terbayang-bayang bentuknya)”Tetapi
memang Balairung itu ruangan terbuka, maka sudah pasti banyak kuping
yang mendengar dan siasat itu pun terbongkar dan diketahui banyak
orang.Prabu
Duryudana datang menemui Prabu Salya, memohon menjadi menantu raja
Mandraka, Prabu Salya. Mula-mula ia bertunangan dengan Dewi Erawati,
Puteri Prabu Salya yang tertua, tetapi gagal karena Erawati diculik
oleh Baladewa untuk diperistri, Salya yang sombong semula keberatan
jika Erawati diperistri oleh Baladewa, namun keberatannya baru
mencair setelah Salya tahu bahwa Baladewa juga Raja di Mandura.Kedua
kalinya Prabu Duryudana bertunangan dengan puteri Prabu Salya yang
kedua, bernama Dewi Surtikanti, tetapi puteri itu diperisteri oleb
Raden Suryaputra, yang kemudian bernama Adipati Karna. Surthikanti
diikhlaskan menjadi milik Karna, sebagai jaminan kesetiaannya Karna
agar bersedia membela Kurawa. (Apesnya…, Prabu Duryudana, belum
laku-laku juga, kuaci-an…)
Akhirnya,
Ketiga kalinya, tinggal satu-satunya harapan yang tersisa, Duryudana
bertunangan dengan Dewi Banowati, puteri Prabu Salya yang ketiga,
Tetapi hati Doryudana ragu, bukankah ia telah berpacaran dengan
Arjuna, musuh besarnya. Tetapi ini politik, keraguan pun harus
disimpan, dikubur, dipendam dalam-dalam dikunci di laci kusam, maka
luluslah perkawinan ini. Tetapi sebenarnya, puteri Banowati tidak
suka pada Prabu Duryudana, karena Banowati berharap akan diperisteri
oleh Raden Arjuna. Pinangan
segera dilakukan, Salya akhirnya menerima pinangan itu karena
Doryudana memberikan seserahan harta yang berlimpah ruah: Rumah mewah
seharga 10 Milyar, Mobil Ferrari+Mercedes Benz, Cincin Platinum lapis
Kromium lapis Emas 24 karat dengan Berlian sebesar telor ayam,
beserta pundi-pundi perhiasan seluruh harta karun kekayaan se-tas
koper penuh (cring… cring… cring… gemerincing bunyinya, wooow
mata Salya pun gemerlap sampai kelilipen senangnya…), lengkap
dengan sertifikatnya asli pula dicap kerajaan. Tetapi Banowati tetap
menolak dengan cara sangat halus. Banowati menetapkan syarat yang
pastinya akan ditolak oleh Doryudana. Apakah itu?
(Jreng..jreng..jreng.., eng ing eng…)“Ayahanda,
saya akan menerima pinangan Doryudana tetapi dengan satu syarat yaitu
kelak menjelang perkawinan, saya minta dalam ritual siraman
dimandikan di ruangan tertutup.” Mendengar penuturan putrinya Salya
tertawa tersenyum bahagia. Karena itu syarat yang mudah “Hahaha…
gampang itu bisa diaturlah...”. Namun ternyata ada kalimat
selanjutnya, “Tapi yang memandikan hanyalah Arjuna.” Salya
langsung kaget, shock, tawanya tersedak kayak keselek biji salak,
terkejut seketika minum kopi sampai nyembur mukanya Duryodana
(biuuuh…) hampir semaput, keluar keringat dingin sambil menjawab
“Waaaaa..(semaput pingsan) mustahil!!!, ngawur!!!, yang benar aja
kamu!!! masa yang memandikan Arjuna?!!!”
Mendengar
syarat itu Doryudana begitu terpukul. Harga dirinya tersinggung,
jantungnya serasa robek, terbakar panas, dahsyat. (yang tadinya duduk
santai, terbangun beranjak akan pergi, angkat kaki, ingin
meninggalkan ruangan) ”Apaaaa katanya???!!! Weegaaah, Aku Gak Akan
Terima!!! calon isteriku mandi siraman dengan Arjuna!!!”. Tetapi
Patih Sangkuni segera menengahi.“Paduka,
sabar toh, tenang-tenang, sudahlah…., sebaiknya syarat itu diterima
sajalah, (lah dari pada gak laku-laku Duryodana). Ingat toh,
Kemenangan di Kurusetra jauh lebih penting dari pada sekedar
persyaratan embel-embel kayak gituan, kan gak penting bangetlah.
Ingat (inga..inga), Paduka adalah Raja yang bertugas melindungi
seluruh Hastina. Para Nabi yang bijak bestari pun sejak dahulu hingga
sekarang senantiasa melangsungkan perkawinan politik, demi negara,
ingat itu Prabu.”Dada
Duryodana yg berkecamuk panas, mulai sedikit mendingin, “Tetapi
bukan dengan cara begini paman patih, dimana muka saya harus ditaruh
dihadapan rakyat Hastina, harga diri saya sebagai Raja serasa
diinjak-injak oleh Arjuna, (Dalam hati marah, kesel, Uasem….,
sialan, monyong, kampret, Arjuna, sambil mengepal keras kedua
tangannya penuh emosi jiwa).”“Coba
Prabu bersabar dan pikirkan kembali, Mandaraka punya seratus ribu
prajurit. Jumlah sebanyak itu akan jatuh ke tangan Pandawa manakala
Banowati bila sampai benar-benar diperistri Arjuna. Prabu harus
bertindak lebih cepat, jangan sampai Banowati terlepas juga seperti
halnya Erawati dan Surthikanti. (apes banget sih nasibmu Duryodana),
Toh, nanti Prabu lambat laun pasti dapat meluluhkan hatinya, bilamana
tak mampu merebut hatinya, (udah bΓͺte, bosen) kan dapat
menceraikannya kayak berita-berita di infotainment gitu loh, ah tiap
hari banyak berita gituan, terus kan dapat cari istri lain lagi.”
Kalimat terakhir ini diucapkan Sangkuni dengan mata berkedip-kedip
(bagai bintang di langit biru, cling… cling… cling… kinclong
lah siiieep… bagai tanda isyarat).
Doryudana
yang berhati lemah lembut penuh cinta seperti kain sutera kapas itu
akhirnya menuruti kata Sangkuni. Kepentingan kekuasaan menutupi
kehormatan dan harga dirinya yang rela dihancurkan demi kepentingan
rakyat kerajaan. Pernikahan tanpa cinta dari kedua belah pihak
akhirnya dilangsungkan juga. Dan sejak itu juga, Aswatama semakin
tenggelam (seperti loncat terjun bebas nyemplung byuuuurrr… ke
dalam lautan samudera pasifik) dalam perasaannya sendiri yang makin
hancur, luluh lantak, persis luka dihantam pisau bertubi-tubi, perih
pedihnya semakin merusak pikirannya yang kacau tidak jelas. Sebagai
pelampiasan kemarahannya Aswatama giat berlatih olahraga
keprajuritan. Ia semakin sakti, kuat tak tertandingi. Banowati
walau telah menjadi istri Doryudana selain melayani Doryudana juga
masih (backstreet/selingkuh) membuka hati, baju dan tali syurga
kutangnya untuk Arjuna. Ini dilakukan tidak sekali, tetapi
berkali-kali, Saat Doryudana sedang pergi bertugas menghimpun rapat
gabungan koalisi partai kerajaan ataupun pergi berburu di hutan. Dan
Aswatamalah yang paling tahu tentang rahasialan itu. Rasa cintanya
ternyata belum pupus juga, karenanya ia selalu mengamati sang dewi,
termasuk kala Arjuna menyelinap ke taman sari. Aswatama tahu,
cemburu, dendam, tetapi hanya terdiam, mengintip tidak mampu. Wahai
dewata, apa yang harus aku perbuat dengan kenyataan ini, hatinya
menjerit menangis, sangat perih. Aswatama pernah mencoba melaporkan
perselingkuhan itu kepada sidang kerajaan, tetapi ditolak
mentah-mentah oleh Salya, dikatakan bahwa Aswatama hanyalah cemburu
buta dan berkhayal, bermimpi berhalusinasi yang bukan-bukan.Sampailah
pada saat yang mengguncang marcapada. Banowati akhirnya hamil, lalu
melahirkan bayi laki-laki. Kebetulan saat itu Doryudana dan keluarga
Kurawa sedang dinas di luar kerajaan, sehingga tidak melihat langsung
bagaimana rupa bayi yang baru dilahirkan itu, ternyata ia begitu
mirip wajahnya dengan Arjuna. Dengan cepat Banowati mengirim pesan
singkat (lewat Hpnya, trini nininit… pesan berhasil terkirim) ke
Arjuna, tertulis pesan bahwa aib dan hukuman akan menimpa anaknya itu
karena rupa bayi itu mirip dengan Arjuna. Lelananging jagad itu pun
segera berdoa dengan kekuatan kesaktiannya agar memohon diberi
perlindungan. Alhasil bayi itu berubah wajah menjadi figur yang
sedemikian berbeda dengan Arjuna (kalo zaman sekarang dioperasi
plastik mungkin yaa..). Bayi itu diberi nama Lesmana Mandrakumara.
Anehnya dalam perwayangan selalu menyaksikan keburukan tanpa malu
senantiasa menutupi aib/dosa para jagoannya.Sekalipun
mereka dikarunia dua anak, Lesmana Mandrakumara dan Dewi
Lesmanawati/Dursilawati.
Dewi Banowati terlihat sangat menurut dipermaisuri oleh Prabu
Duryudana, meskipun tetap saja dia pergi mengendap-ngendap menemui
Arjuna sewaktu-waktu mencuri kesempatan.
Karena
berkat doa-doanya Arjuna pulalah si bayi, Lesmana Mandrakumara itu
pun tumbuh menjadi pemuda yang idiot, bloon, goblok, dableg,
pas-pasan otaknya dan ilmu silatnya rendah cetek payah. (Kelak dalam
perang bharatayuda, Lesmana Mandrakumara mati dibunuh oleh Abimanyu –
putra Arjuna dengan Sumbadra (Hukum karma pun lambat laun berbuah)).Akhirnya
Bharatayuda memasuki hari keempat belas. Kurawa menampilkan senopati
tangguh, Drona. Kubu Pandawa mengalami kerusakan hebat. Siapa yang
bisa menandingi kesaktian Drona? Hanya Kresna – titisan wisnu –
yang sanggup membendung Drona. Tetapi Kresna sudah berjanji tidak
akan turun langsung dalam kancah peperangan. Kresna diam, seperti
biasa ia memohon agar dibukakan rahasia langit. “Kabarkan pada
Drona bahwa Aswatama telah mati. Berbohonglah karena ini siasat
perang.”“Aswatama
mati! Aswatama mati!..” Rakyat Kurusetra gempar, Drona terguncang.
Drona melolong bagai anjing mencium arwah. “Tiiidaaaaakk…tidak
mungkin!!!”“Wahai
rakyatku, Benarkah Aswatama, anakku sudah mati?” Teriakan itu
begitu nyaring. “Dimanakah dikau wahai Aswatama putra
terkasihku?”..Tidak ada jawaban. Berulang-ulang teriakan mantra
ilmu sakti telepatinya tetap tidak memberi jawaban (sinyalnya putus
atau Hp batereinya lowbat, sinyalnya kurang kuat, terganggu,
diteleponin, Hp-nya Aswatama bunyinya, telepon yang anda tuju sedang
tidak aktif atau berada di luar jangkauan).
Akhirnya
Drona terpaksa menemui Pandawa, pribadi-pribadi yang dikenalnya
jujur. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa semua mengatakan Aswatama
telah mati sesuai pesannya Kresna. Drona melolong perih. Ia lebih
baik mati saja menyusul Aswatama sesuai sumpahnya. Tetapi Drona tidak
lantas percaya sebelum menyaksikan sendiri jasad putranya itu.“Dimana
Yudistira? Aku harus menanyakan padanya karena ia paling jujur di
muka bumi.” Yudistira sengaja bersembunyi menghindari pertanyaan
Drona. Walau ini strategi perang ia tetap tidak mau berbohong. Apapun
yang terjadi ia harus jujur. Itu sudah darmanya. Kresna memahami,
cepat atau lambat Drona akan menemukan Yudistira dan akan
terbongkarlah rahasia itu, bahwa Aswatama memang belum mati.
Ditemuinya Yudistira. “Wahai putra Pandu, katakan pada Drona bahwa
Aswatama telah mati.” ucap Kresna kepada Yudistira.“Tidak
kakang, apa kata dunia?! akan menilaiku buruk jika aku sengaja
berbohong.”Kresna
memahami bahwa Yudistira bukan pribadi yang bisa ditawar. Dengan
perhitungan yang luar biasa. Kresna membawa seekor gajah yang
langsung dibawa kehadapan Yudistira. “Ketahuilah gajah ini aku beri
nama Aswatama.”Lalu
gajah itu dibunuhnya (gedubraak…mati).“Lihatlah
Gajah Aswatama telah mati. Jika kau ditanya Drona, ceritakan bahwa
Gajah Aswatama telah mati. Namun pada saat mengucapkan kata “Gajah”
itu dipelankan sedikit suaranya sehingga kuping tua Drona yang sudah
kurang pendengarannya itu hanya mendengar Aswatama telah mati.”Sejurus
kemudian, tak lama Drona pun datang menemui Yudistira.“Wahai
Yudistira, benarkah Aswatama, anakku telah mati?”.“Benar,
(Gajah) Aswatama telah mati.” Pengucapan gajah begitu pelan sekali,
sangat dikecilkan suaranya sehingga Drona menjadi yakin bahwa
Yudistira, sang manusia jujur, telah menjadi saksi kematian Aswatama.Drona
menjerit…”Anaaaakku…Tiidaaaak….!!!(menangis pedih gak karuan,
kalang kabut, kusut, stress gila berlari-lari)”, Ia tidak lagi
menghiraukan statusnya sebagai senopati, ia berlari sambil
teriak-teriak seperti orang gila. Kresna menyimpulkan inilah saat
yang tepat untuk membunuh Drona. Saat kewaspadaannya telah menguap
dari raganya, dan Aswatama sejati belum juga muncul di medan perang.
Tetapi siapa yang sanggup membunuhnya? Drona tetap saja berbahaya.
Tidak ada yang berani menyongsong tubuh yang terus melolong itu dari
arah depan.“Panggil
Drestajumna”, titah Kresna dengan keyakinan yang pasti.
Dilangit
tinggi puluhan gagak melayang kesana-kemari. Suaranya yang buruk itu
membuat orang-orang menggigil mendengarnya. Drestajumna, si mesin
pembunuh, telah menunggu peran dan takdirnya. Sebagai mesin pembunuh
ia tidak terikat darma dan hukum perang. Tanpa perasaan secuil pun,
Drona yang tengah kalang kabut ditebasnya dengan mudah dari belakang
dalam hitungan detik sekejab mata berkedip. Perlahan tubuh si tua itu
pun tumbang.., terjerembab jatuh tersungkur ke tanah berlumuran
darahnya.. Semua terdiam, hening, Kurusetra terkesima. Senja sore
mengundurkan diri berganti dengan malam kelam yang sedih sendu.
Yudistira menunduk pilu meratap sedih. Kurawa akhirnya kehilangan
benteng terkuatnya.
Sementara
itu, sewaktu Duryodana sedang menderita migren pusing berat, mencoba
beristirahat di kamarnya, Banowati datang menghampiri bertanya,
“Suamiku, bagaimana kabar dari perang Bharatayuda? Apakah sudah
berakhir? Apakah Kanda telah menyerahkan sebagian negeri Astina
kepada Pandawa?”Mendengar
pertanyaan dari bibir indah istrinya Banowati, seakan menusuk perih
jiwa Duryudana, seperti pisau belati tajam mengiris jantung hatinya.
Ia sadar betul, apa maksud dari pertanyaan istrinya itu, bahwa
sebenarnya, dia hanya ingin memastikan keselamatan kekasih abadinya,
Arjuna. Tetapi kelembutan hatinya menatap kemolekan Banowati,
membuatnya tak mampu berkata-kata marah, menyindir, menyakiti maupun
memaki-maki, ia menahan perih batinnya dan tak ingin menyakiti hati
Banowati.“Istriku
tercinta (sambil memeluk dan menciumi Banowati), perang masih
berlangsung. Sudah habis semua pepunden harta dan persediaan makanan,
beserta orang-orang terkasih telah gugur dalam peperangan ini. Eyang
Bisma, telah gugur membela negeri. Guru kami Durna, pun telah tiada.
Dan suami dari kakakmu Surtikanti, Kanda Karna, pun gugur setelah
menjadi senapati Astina. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati, setelah
melihat kematian Karna.” geram Duryudana membayangkan gugurnya para
jagoan-jagoan andalannya dalam pertempuran itu.“Lalu
apa kata dunia nanti, bila mereka-mereka yang telah rela berkorban
memberikan nyawa untuk negeri ini, sementara aku datang hanya untuk
menyerah kalah? Sungguh aku akan dicap pengecut bodoh yang tak tahu
diri, bagai pecundang. Berpesta pora di atas darah, air mata dan
peluh orang-orang yang membantu atas kemulyaan kita. Ingat Banowati
istriku, selama tubuh Duryudana ini masih mampu bernafas, berjalan
tegak dan nyawaku masih berada dalam jasadku, maka selama itu pula
aku akan tetap berjuang melanjutkan peperangan ini.” Tekad kuat
Duryudana dengan menahan amarah dan dendam membara di jantung
hatinya.“Bukankah
Pandawa itu kan masih saudara kita sendiri toh, Kangmas? Kangmas
cukup memberikan hak-hak mereka dari sepenggalan tanah di Astina ini
dan bukankah Ayahanda Prabu Salya pun telah bersedia memberikan
negeri Mandraka bila Kangmas menghendakinya, jadi perang saudara ini
pun tidak perlu diperpanjang lagi kan?” pedih hati Banowati tidak
berdaya.“Ooooh
Banowati, mengapa dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini
menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa. Meskipun
itu tidak diperolehnya dengan cuma-cuma (mana ada yang
gretongan/gratisan). Banyak ksatria mereka yang tewas, tapi Pandawa
masih lengkap berjumlah lima, sedangkan Kurawa? Tinggal berjumlah
lima, dinda. Cobalah dinda hitung deh, pliiss deh, dari seratus,
sekarang cuma tinggal lima. Bagaimana pertanggungjawabanku terhadap
adik-adikku yang berkorban demi kemulyaan kakaknya, kalau aku saat
ini menyerah begitu saja. Tidak, dinda!!! Tidak saat ini dan tidak
untuk selama-lamanya!!! Meskipun Pandawa itu masih bersaudara dekat
denganku, meskipun masa kecil kami telah dilalui bersama, namun saat
ini keyakinanlah yang membuat peperangan antara kami harus
terjadi!!!.”“Oleh
karenanya, kakanda pamit kepadamu dinda tercinta (sambil memeluk
Banowati erat-erat dan menciumnya dengan mesra). Ijinkanlah suamimu
ini maju ke medan laga. Perang hanya menghasilkan dua pilihan. Antara
menang… atau kalah sebagai pecundang, antara hidup… atau mati
meregang nyawa. Itu yang kanda sadari dan tentunya dinda tahu
bagaimana cinta kakanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini
tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku
memang buta, tidak peduli akan terpaan, hinaan, tertawaan, ejekan
sindiran, cibiran bahkan kejadian buruk apapun itu dan sekalipun itu
datang dari gejolak di hatimu, yang setidaknya aku sudah ketahui
semuanya.” Dengan lembutnya Duryudana mengungkapkan hal itu.
Kembali
tergambar dalam ingatannya, masa-masa dimana Banowati akhirnya
berhasil dinikahinya meskipun dia tahu bahwa tak akan pernah mampu
memiliki hati dan cintanya. Cinta kasih Banowati telah terengkuh
dibawa pergi oleh Arjuna. Duryudana sadar akan kelemahan dirinya.
Akan tetapi cintanya telah tertanam dan tertancap kuat dalam relung
hatinya. Biarlah, masa bodoh apa kata orang tentang istrinya dan
apapun sikap istrinya terhadap dirinya yang adakalanya tersirat
mengungkapkan harapan sejatinya, tetap saja baginya, Banowati adalah
satu-satunya wanodya (wanita) yang dikasihinya sepenuh hati dan tiada
tergantikan oleh perempuan/wanita manapun. Meskipun dia mampu mencari
dan dapatkan puluhan bahkan ratusan wanita/perempuan lain yang tidak
kalah cantik dengan Banowati, namun Duryudana tiada tega, tidak mampu
untuk melakukan itu, karena Banowati selalu memenuhi pandangan di
setiap relung sisi hatinya. (suit… suiit… oowwwhh… so
sweet…aaah, ckckck…, cuma perempuan sebodoh Banowati yang
tega-teganya menolak cinta pria, sebaik dan selembut Duryodana, hmm…
penulis gak terima Duryodana dicampakkan begitu hatinya).
Saat
dia harus maju seorang diri ke medan perang, yang diingatnya hanyalah
Banowati. Keselamatan Banowati adalah yang paling utama, maka dia
memerintahkan agar semua prajurit kerajaan pergi untuk mengamankan
istri tercintanya agar segera mungkin dibawa ke tempat persembunyian
yang teraman. Sebelum dia maju berperang melawan Pandawa, Duryudana
harus yakin betul akan keselamatan Banowati, meskipun dia maju untuk
menjemput maut. Sebenarnya
Prabu Duryudana seorang yang sangat sakti, tetapi tak pernah
menunjukan kesaktiannya. Dalam perang Baratayudha ia bertanding
dengan Raden Werkudara. Prabu Duryudana tak dapat dikalahkan. Tetapi
ternyata ketahuan oleh Werkudara dari isyarat yang diberikan Prabu
Kresna dengan menepuk-nepuk paha kirinya yang merupakan titik
kelemahannya. Dipukulah dengan gada Werkudara, paha kirinya
Duryudana, dan seketika ia terjatuh sekarat, terdengar lirih suaranya
“Banowatiku tercinta, maafkanlah suamimu ini, sudah tak mampu
melindungimu lagi...”, nafasnya terhenti, air matanya mengalir,
telah gugur Prabu Duryudana. Kelemahan pahanya ini dikarenakan
sewaktu muda, Duryudana dimandikan dengan air sakti, ternyata ada
bagian paha yang tertutup dengan daun beringin, maka tertinggallah
bagian paha itu yang tidak terkena oleh air sakti yang membasahi
seluruh badannya.
Cinta
membirahi memang tidak mengenal malu. Begitu perang usai, Banowati –
permaisuri Doryudana (telah menjadi janda dua anak) menyeberang
dengan sukacita ke Petilasan Pandawa dan meminta diperistri oleh
Arjuna. Aswatama yang luput dari maut karena bukan termasuk figur
yang diincar (kayak buronan) oleh Pandawa, mengetahui kenyataan,
menyimpan dendam membara kepada Pandawa yang telah membunuh ayahnya
secara licik. Ia pun merencanakan balas dendam dengan cara menyusup
seperti ninja pembunuh dengan sasarannya adalah si bayi Parikesit,
cucu Arjuna. Menurut alam pikirnya, dengan terbunuhnya Parikesit,
sudah dipastikan klan Bharata akan punah dan kemenangan Pandawa akan
sia-sia.Bersama
Kartamarma, sahabatnya, ia menggali lubang di tanah, meniru landak,
menembus benteng Pandawa. Saat Aswatama muncul ditengah Benteng
alangkah terkejutnya ia tatkala matanya bersirobok dengan tubuh
cantik yang dikenalnya, Banowati. Karena Banowati hendak menjerit
“Maaa (ling)…”, disongsongnya tubuh Banowati dengan keris
(jleeeb….), seketika tubuh perempuan pujaannya hatinya itu meregang
nyawa dalam pelukannya. Aswatama menyadari, ia masih mencintainya. Ia
peluk erat tubuh yang nyaris kehilangan denyut itu. Ini pelukan yang
pertama sekaligus terakhir. Pelukan kematian, pelukan yang susah
untuk ditafsirkan. “Banowati…, mengapa harus terjadi seperti
ini?”.Terjadi
kegaduhan didalam benteng, rupanya Kartamarma telah tertangkap pihak
musuh. Aswatama segera menghilang berkelebat secepat angin (wuuusshh…
ilang). Dalam sedih dan guncang ia tetaplah anak Drona.Akhirnya
Aswatama menemukan kamar si bayi, Parikesit. Tanpa berpikir panjang
ia hendak menyerbu bayi itu dengan hujaman keris. Entah kurang
beberapa detik langkah kakinya menuju si bayi, seketika bayi suci itu
dengan kesaktiannya mampu merasakan kehadiran aura jahat, tiba-tiba
terkejut, menyepak senjata pasopati yang dipersiapkan di kakinya,
meluncur deras menghantam dada Aswatama. Dalam regangan nyawa
Aswatama berucap lirih, “Tunggu aku… Banowati..”. –TAMAT-
Pesan
Penulis (PVA/Kepik Romantis) untuk para Pembaca yang budiman:
>Janganlah
berwatak seperti Banowati, belajarlah untuk setia dan menghargai
perasaan orang lain karena mempermainkan dan mengkhianati kebaikan
dan kesungguhan hati seseorang hanya akan membawa malapetaka bagi
diri sendiri.
>Janganlah
berwatak seperti Aswatama, belajarlah untuk membuka hati, membuka
pikiran, terbuka jujur apa adanya, karena menutup diri selamanya
tidak akan menyelesaikan masalah dalam hidup, hanya akan merusak/
menghancurkan diri sendiri, akhirnya bila jiwanya tidak kuat akan
bunuh diri atau menjadi psikopat yang kelainan jiwa akibat terus
memendam kebencian dan amarah, membendung energy negative dalam
dirinnya. Pribadi seperti ini banyak dilihat di dunia nyata,
terlihat baik luarnya namun pikiran dan jiwanya sudah rusak akibat
memendam amarah, tidak segan-segan dapat bertindak sendiri diluar
jalur hukum, membunuh, menyakiti, merusak karena rasa keadilan
kebaikan dalam hatinya telah lama padam akibat tertutup oleh nafsu,
amarah dan kebencian. Manusia seperti ini perlu direhabilitasi,
diobati kejiwaannya agar mau belajar membuka pikiran dan hatinya,
dan harus ditemani orang-orang bijaksana, bila tidak akan cenderung
mudah untuk berbuat buruk.
>Janganlah
berwatak seperti Arjuna, meskipun dia punya banyak kelebihan dan
kebaikan di dirinya, tetapi kesombongan dan nafsu egonya telah
merusak alam pikirnya, tanpa merasa malu ataupun hina, tanpa merasa
dosa terus menuruti nafsu ego-nya sendiri, mencelakakan bayi yang
tidak berdosa (Lesmana), yang merupakan hasil perbuatannya, menjadi
korban akibat nafsunya sendiri.
>Akhir
kata, belajarlah untuk setia, menyayangi dan mencintai dengan
kesungguhan hati seperti Duryudana, tidak kenal putus asa, terbuka
jujur mau menerima apa adanya, dan bersikap kesatria. Banyak manusia
yang terlihat baik, namun belum tentu hatinya lembut dan baik,
berbeda dengan Terlepas dari label Duruyudana yang terlihat dicap
buruk wataknya, tetapi di dalam hatinya tersimpan benih yang sangat
mulia dan penuh kasih sayang.
So suittttt.. suit suittt.. hoekk.. Oalah durydanaa, duryudana, apes tenan nasibmu nggerr
ReplyDeleteAswatama pula, pasti setiap malam dia nyanyi "ingin kubunuh pacarmu, saat dia peluk tubuh indahmu, didepan keduaaa mataaaaa mu picekk" Cupu nian aswatama ini....
No comment untuk arjuna, wes tak kepruk ndas'e
@Gunarto, Hehehe ^_^ Trims ya..
DeleteSaya mau nulis gapernah bisa'e... jadi saya numpang menikmati tulisan-tulisan di blog mba ya.... hehehehe.. kisahnya bagus-bagus... gaya berceritanya juga bisa dinikmati... saya izin keliling blog ini dulu... baca kisah yang lain...
ReplyDelete@Gunarto : hehehe, Jangan begitu, semua orang bisa kok menulis, hanya perlu sering2 berlatih aja, saya berlatih menulis sudah dari kecil tapi baru mulai memantapkan jalur dengan cara dan gaya menulis saya sendiri yah baru2 ini saja, yg terpenting kalo menulis "be your self" atau jadi diri sendiri aja, jangan meniru gaya menulis orang lain krn setiap orang punya "warna" gaya dan cara menulisnya sendiri2 yang tidak akan sama, itulah yg jadi kunci menulis saya selama ini.
DeleteTerima kasih atas sarannya, saya jadi ingin buat tulisan, nanti kalo sudah selesai jangan lupa dikritik ya... mungkin saya mulai dari cerpen dulu... makasih mba kepik romantis...
ReplyDelete@Gunarto : sama2..Trima kasih jg, Siep lah...(ciayow).. okeylah ^_^
DeleteKrishna mambuat kesalahan yg disengaja berlarut-larut agar bisa mempekeruh suasana mwnjari runyam
ReplyDelete@Iman Sobirin : Trims ya, sudah ikut menyimak :) santai saja hanya cerita kok, hehehe ^_^
DeleteAda dua kisah cinta dlm pewayangan, yg satu legendaris dan patut ditiru yaitu rama - sinta yg satu kontroversial yaitu arjuna - banowati dan ini tidak boleh ditiru. Pelajaran lain adalah dunia wayang merupakan paralel dari dunia manusia, tdk ada yg seratus persen jahat dan tdk ada yg seratus persen baik
Delete@tirgoviste cicero : Trims atas komennya ya...,konsep hitam dan putih sama kuat dan saling mempengaruhi, hanya saja manusia sedikit berbeda dgn wayang sbb manusia adalah seperti tokoh wayang yg tidak tau warnanya apa, kalo wayang jelas kelihatan warna karakternya.
Delete@Ram Jokers : Trims ya komennya, hehe.. ^_^
ReplyDeleteTolong kisah percintaan puntodewa dengan drupadi versi jawa
ReplyDelete@Wiyana Family : Trims ya atas sarannya, akan saya coba setelah saya mentelaah dan mengkaji terlebih dahulu alur dari ceritanya puntodewo dan drupadi, karena tidak mudah dalam menyusun sebuah rangkaian cerita wayang.
Delete... begitulah pasti tidak mudah jadi orang yang banyak dikagumi, tidak waspada bisa keblingΓͺr.
ReplyDeleteWayang sebagaimana manusia dalam hitam pekat tetep ada titik putihnya begitu juga sebaliknya. Tinggal bagaimana kita bisa meneladani titik putih diantara kepekatan hitam dan memohon bimbingan agar tidak terjerumus dalam titik hitam di antara kilauan warna putih.
Dewi Kunti Nalibrata ibunya para pendawa pun punya anak di luar / sebelum nikah sehingga terpaksa harus di larung utk nama baiknya.dsb dsb
@Mas Topo : _/\_ Trims ya atas komennya siip mantabs.
Deletehttp://www.kompasiana.com/margonods/cinta-trapesium-ala-banowati_550d401da333119c1e2e3f19
ReplyDelete@oka punkrawit : trims atas komennya ya _/\_ saya udah buka situsnya itu diperbaharui tulisannya di thn 2015. Tidak masalah bagi saya, krn cerita wayang pun bebas yg menulis bagaimana cerita dalangnya.
Deleteckckckckckc jebul e
ReplyDeleteTrims komennya _/\_
DeleteMaaf ya saya sedikit mengkritik tentang tulisan ini.. Karena banyak bagian yg melenceng dari cerita aslinya..
ReplyDelete@Priska Rinjani : Terima kasih atas kritikannya, karena setiap manusia memiliki cerita masing-masing. Bahkan anda sendiri pun memiliki pemikiran sendiri yang berbeda-beda. Begitulah Bhinneka Tunggal Ika. Salam damai sejahtera untuk semuanya _/\_
DeleteAndai aku hidup dijaman itu(jaman wayanh)....akan ku culik banowati dr duryudono dan arjuna....dengan jurus teleportasi mangekyo sharinggan...π€π€π€π€π€π€πππππππππ
ReplyDeleteTerima kasih komennya _/\_
Delete