Tuesday, December 10, 2019

Bintang Tetap Bersinar di Kegelapan

Tatkala kehidupan ini merindukan sinar di saat kegelapan datang, tidak perlu takut menghadapi kegelapan malam, karena bintang pun bersinar hanya di dalam kegelapan. Tanpa kegelapan, takkan mampu terlihat dimana bintang telah bersinar.

Tidak berharap, jangan terlalu mengharap kebahagiaan di dalam kehidupan ini, nanti akan kecewa. Apabila datang saatnya waktu kegelapan itu tiba menghampiri kehidupan ini, jangan tenggelam dalam kegelapan itu. Tetapi ingatlah selalu bahwa bintang-bintang memerlukan kegelapan untuk bersinar terang. 

Menjadi Bintang, meraih cita-cita, terwujud impian, dan menggapai semua kesuksesan dalam kehidupan ini, Anda harus bersinar, pancarkanlah sinar cahayamu ke seluruh penjuru alam semesta. Ikutilah jalan pilihanmu sendiri seperti suara hati Anda berkata kepadamu, dan Tidak perlu khawatir, tidak perlu takut melangkah, terlebih apabila di dalam kegelapan. Karena pada saat dalam kegelapan itulah, bintang pun bersinar paling terang.

Di dalam setiap kegelapan, meskipun gelapnya sangatlah mengejutkan, menakutkan, menyedihkan, dan bahkan menyakitkan.., Selalu ingatlah.., Bahwa pastilah ada Cahaya/Sinar terang, bahkan di tempat-tempat yang paling gelap sekalipun.

101219 Written by : Kepik Romantis / PVA 
 











Picture Sources :
www.scitecheuropa.eu/gaias-findings-on-travelling-stars/97162/ ; 
www.shaktisundari.com/single-post/2017/02/16/The-Gift-of-the-Dark-Moments ;
kingdompropheticsociety.org/profiles/blogs/shine-your-light-by-jenna-laird ;
twitter.com/the_debs_effect/status/854759119265427456 ;
www.goodreads.com/book/show/17155039-light-in-the-shadows

Namo Buddhāya!

Ditulis oleh: Up. Santavira (2019)

Namo Buddhāya!
Namo Buddhāya!
Namo Buddhāya!
      Banyak umat Buddha di Indonesia yang belum mengetahui bahwa ada cara yang mudah, singkat, dan bahkan seharusnya sangat dianjurkan untuk mendapatkan manfaat tak terhingga dari Buddha Dhamma. Apakah cara itu? Sekte Mahayana Tiongkok menyebutnya “nian-fo” atau pelafalan nama Buddha. Sekte Theravada menyebutnya “Buddhanussati” atau Perenungan Buddha. Umat Buddha Indonesia mungkin bisa menyebutnya “Perenungan Buddha”.
        Di dalam Mahayana Tiongkok, nama Buddha yang “dipilih” adalah Amitabha. Mereka menyebutnya “Namo Amitofo”. “Fo” adalah kata bahasa Mandarin yang artinya “Buddha”. Kata “Amita” berasal dari kata “Amida” adalah dalam bahasa Sansekerta artinya “Cahaya tidak Terbatas”. Jadi kata “Namo Amitofo” yang sering disebutkan umat Mahayana salah satu cara mengartikannya adalah “Aku Bersujud pada Buddha Amitabha, Cahaya yang Tidak Terbatas”. Tentu ini sah-sah saja, jika kita hidup di Tiongkok, atau tinggal di lingkungan keturunan Tionghoa. Tapi “Fo” asal katanya adalah kata Bahasa Mandarin. Apa kata Bahasa Indonesianya? “Buddha”! Sehingga, jika kita mau terjemahkan ke Bahasa Indonesia, seharusnya kita bilang “Namo Buddha Amitabha”. Karena, Orang Jepang menyebutnya sebagai “Namo Amidabutsu”. (“Butsu” = Buddha dalam bahasa Jepang) Untuk Orang Hokkian, “Namo Omitohud!” Orang Tibet menyebutnya “Om ami dewa hri”, dan bahasa aslinya (Sansekerta), menyebutnya “ॐ अमिताभ ह्रीः" (oṃ amitābha hrīḥ).
        Nah, umat Buddha Indonesia di dalam masyarakat sebaiknya menyebut apa? Saran saya: “Namo Buddhāya!” Cukup dua kata, lima suku kata. Sederhana, jelas, padat makna, dan mudah disebutkan, bahkan di dalam pidato kenegaraan pun frase “Namo Buddhāya!” tersebut sudah masuk sebagai salam pembuka. Kata ini sangat efektif, dan jika diucapkan berulang minimal tiga kali sehari waktu pagi setelah bangun pagi (“Namo Buddhāya, Namo Buddhāya, Namo Buddhāya!), dan tiga kali sebelum tidur, maka kita sudah melakukan apa yang disebut “perenungan Buddha” atau Buddhanussati.
        Apa manfaatnya? Dalam perjalanan di Samsara, tentu kita tidak akan lepas dari dukkha. Baik dukkha yang langsung menghantam, dan ada juga dukkha yang tersembunyi atau menghantam nanti dari kegelapan. Perenungan Buddha dapat meringankan, bahkan melenyapkan banyak halangan-halangan fisik dan mental dalam perjalanan kita di Samsara, karena kita selalu dilindungi oleh semua Buddha. Kamma baiknya juga luar biasa, karena kita memuji yang patut dipuji. Tidak ada ilmu apapun (hitam atau putih) yang dapat menembus perlindungan dari Sang Buddha. Dengan perenungan Buddha pun, perlahan ilmu pengetahuan Dhamma kita akan terus meningkat, karena kita akan mendekatkan atau menyelaraskan diri pada Buddha Dhamma. Tidak perlu disebutkan lagi bahwa Dana, Sila, dan Samadhi yang kita lakukan akan lebih dalam maknanya dari sebelumnya, karena dilakukan semata-mata untuk Buddha, sehingga kita bisa mencapai Panna, buahnya, kebijaksanaan. Manfaat terbesarnya, kita nanti juga menjadi seorang Buddha.
       Contoh, ketika nanti kita mendapatkan berkah, maka kita secara otomatis berseru “Namo Buddhāya!”. Kalau kita mendapatkan sedikit masalah karena ada di samsara pun “Namo Buddhāya!”. Ketika kita sedang senang, “Namo Buddhāya!”. Ketika kita tidak terlalu senang, “Namo Buddhāya!”. Bahkan ketika kita melakukan hal yang tidak terlalu memerlukan pikiran, misalnya menyetir, memasak, bekerja, dll kita bisa terus renungkan “Namo Buddhāya! Namo Buddhāya! Namo Buddhāya!”.
        Efeknya, nanti ketika kita mencoba duduk latihan Bhavana (tapa/meditasi), jika ada halangan yang tiba-tiba muncul, yang tidak pernah kita lihat pada kehidupan biasa, nanti kita akan refleks “Namo Buddhāya!”, dan halangan itu akan buyar dengan sendirinya. Ini penting, karena dalam meditasi mendalam, lima indera yang biasa kita gunakan tidak aktif, dan semua lapisan pelindung yang ada di diri kita biasanya pada waktu non-meditatif tidak aktif juga, sehingga satu-satunya pelindung yang tersisa adalah Sang Buddha.
        “Namo Buddhāya!” juga dapat mengarahkan kita kepada hal-hal lainnya yang tidak terbatas, karena Buddha Dhamma, ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, juga berasal dari Buddha. Dengan mengingat Buddha, akan juga mengingat Buddha Dhamma dengan sendirinya, dan sebaliknya, bila mengingat Buddha Dhamma, kita mengingat Buddha. Jika mengingat Bhikkhu/Bhikkhuni Sangha, kita akan mengingat Buddha Dhamma, dan Sang Buddha.
         Dalam salah satu kesepakatan yang dipublikasikan tahun 2015, Sangha Theravada Indonesia (STI) telah menyatakan bahwa istilah “Namo Buddhāya” setara dengan frasa “Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sammāsambuddhassa”, “Namatthu Buddhassa”, “Namo Ratanattayāya”, dan beberapa lainnya.
           Ketika kita menyebut “Namo Buddhāya”, maka dalam satu aspek bisa dikatakan juga bahwa kita sedang memuji semua Buddha, baik di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sutra Amitabha menyebutnya Buddha dari Tiga Masa. Buddha di masa lalu misalnya Buddha Dīpaṃkara, dan 27 Buddha sebelum Buddha Gotama. Buddha masa kini adalah Buddha Gotama. Buddha di masa depan setelah Buddha Gotama adalah Buddha Metteyya/Maitreya. Para Bodhisatva nantinya akan juga menjadi Buddha di masa depan, setelah Buddha Maitreya. Begitu pula sebelum 28 Buddha yang tertulis namanya di Tipitaka Pali, ada lagi para Buddha di kalpa-kalpa sebelumnya. Oleh karena itu, ketika kita menyebutkan pujian “Namo Buddhāya”, kita dapat mengarahkan penghormatan kita kepada satu Buddha, atau semua Buddha, maka kebajikannya tidak terhitung besarnya.
         Terima kasih kepada saudari admin yang memberikan masukan dan kritik membangun. Semoga dapat dipahami pembaca dan bermanfaat. Semua manfaat adalah semata-mata karena kekuatan Buddha Dhamma.
Namo Buddhāya!
Editing by : Kepik Romantis / PVA

Pertemuan Para Malaikat -Chapter 5-

Beberapa hari yang lalu, ada bisikan dalam hatiku bahwa aku harus ke Gereja “Konstantine” untuk berdoa dan berdiam diri saja disana. Tidak melakukan apapun. Hanya berdoa. Tapi aku belum bisa memenuhi panggilan suara hatiku. Karena kesibukan duniawi.

Ketika aku sedang sibuk mengetik pekerjaan pada papan keyboard komputerku, tiba-tiba telepon genggamku berdering.

Ternyata sahabatku menelepon. Kami berkenalan di sebuah vihara waktu itu. Dia seorang Buddhis.

"Halo Cherry, ini Mia," sapanya di ujung telepon.

"Hai Kak Mia," balasku.

"Cherry, nanti bisa ketemuan nggak? Ada yang mau Kakak tunjukkan sama Cherry."

"Boleh, Kak. Hmmm...dimana kalau..." Tiba-tiba Gre, Malaikat Pelindungku membisikkan sebuah kata di telingaku : Gereja “Konstantine”. Dan saat itu aku pun langsung melanjutkan pembicaraan di ujung telepon, "Di Gereja “Konstantine” saja, Kak Mia. Vibrasinya bagus Kak. Kakak pasti suka deh," balasku sambil tersenyum.

"Oke deh Cherry. Kita ketemuan disana ya. Bye. See you..." balasnya girang.

Petang menjelang malam tiba. Tiba-tiba turun hujan sangat deras. Deras sekali, sehingga membuat genangan air cukup tinggi dimana-mana.

Namun, aku merasakan bahwa malam ini adalah malam yang tidak biasa. Hujan deras malam ini bagaikan air berkah surgawi yang memberkati ibu bumi, membuat bumi menjadi cukup sejuk malam itu. Entahlah...itu hanya firasatku.

Dan aku berfirasat lagi, bahwa hujan ini tak begitu lama. Begitu jamnya tiba untuk bertemu dengan Kak Mia nanti, pasti hujannya berhenti dan membuat Gereja “Konstantine” dipenuhi dengan berkah surgawi atas hujan yang turun malam itu.

Firasatku menjadi kenyataan. Hujan pun berhenti. Aku dan Gre segera bergegas menuju Gereja “Konstantine”. Namun dalam perjalanan, aku melihat sepasang malaikat, di kiri dan di kananku, sedang menjemputku dan mengantarkanku menuju Gereja “Konstantine”.

Lantas, aku bertanya pada Gregorious, Malaikat Pelindungku, "Darimana datangnya mereka, Gre?"

"Rekan-rekanku yang sudah sampai di Gereja “Konstantine”, Cherry. Pasti mereka datang menjemputmu," jawabnya.

"Hai Cherry...Hai Gregorious, sahabat lama," sapa kedua malaikat di kiri dan di kananku dengan senyuman hangat. Mereka terlihat bersinar, cantik dan tampannya.

"Hai...terima kasih ya sudah menjemputku," jawabku membatin dan tersenyum pada mereka dalam perjalanan. "Boleh tanya sesuatu?"

"Boleh, Cherry," jawab Malaikat Wanita.

"Akan ada acara apa ya di Gereja “Konstantine” nanti? Kok firasatku, di Gereja “Konstantine” akan ramai sekali. Dan seperti sebuah acara yang...agak formal," tanyaku.

"Acara pesta, Cherry," jawab Malaikat Wanita itu.

Aku mengernyitkan dahi keheranan, "Pesta? Pesta untuk apa?" tanyaku lagi penasaran.

"Pesta untukmu, Cherry," jawab Malaikat Prianya. "Nanti kau juga akan tahu disana," senyumnya lembut membuatku mengakhiri semua pertanyaan di dada.
Tapi tanpa disadari, aku menerawang jauh, hingga acaranya selesai. Ah...tidak mungkin acara pesta itu untukku. Hahaha...apa bagusnya lagi aku ini. Aku hanyalah seorang gadis biasa.

"Percayalah, Cherry," Gre, Malaikat Pelindungku membaca pikiranku. Dia membuatku mengimani atas semua yang terjadi nanti.

Sesampainya di Gereja “Konstantine”, aku mencari sahabatku Mia. Ketika aku berjalan mencarinya, aku melihat ada dummy Paus Fransiskus sedang duduk, dengan background yang bertuliskan bahwa keanekaragaman itu indah, kita harus menghormati umat beragama lainnya dan menganggapnya seperti saudara.

Gereja Katolik memang sedang mencanangkan perdamaian dunia melalui persaudaraan antar umat beragama. Setahuku. Dan Keuskupan Jayakerta di Gereja “Konstantine” ini pun mengusahakan berbagai macam cara-cara perdamaian, seperti membuat kalung Rosario merah putih dan dibagikan di seluruh gereja. Lalu pernah juga mengadakan sayembara melukis Bunda Maria versi Indonesia. Indah sekali visi misinya. Pikirku tersenyum.

Aku tak berpikir apapun setelah membaca tulisan yang terpajang itu. Hanya itu yang aku baca. Lalu aku membuka pesan pada telepon genggamku. Mia memberi pesan.

"Cherry, Kakak sudah sampai ya. Kita sudah ditunggu soalnya. Hehe. Masuk saja ke dalam." Pesannya singkat.

Aku pun membuka pintu Gereja “Konstantine” dari sisi samping. Lampu pada ruang misa Gereja “Konstantine” cukup terang malam itu. Ada beberapa umat yang sedang berdoa. Sedikit dalam hitungan jari. Tapi tidak dengan makhluk-makhluk yang tidak kasat mata. Banyak makhluk surgawi berdatangan dan duduk di kursi Gereja “Konstantine”. Membuat ruangan misa menjadi hampir penuh.

"Gre...benar, ramai sekali, dan akan masih banyak lagi yang datang...sepertinya," gumamku pada Gre membatin.

"Iya, tenang saja, Cherry. Semuanya akan baik-baik saja," jawab Gre sambil tersenyum membelai pipiku.

Lantas aku mencelupkan jemariku, mengambil air suci di samping pintu masuknya. Aku membuat tanda salib sambil menatap altar Tuhan Yesus di depan. Dalam Nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amen.

Pandanganku menyapu seluruh isi ruangan misa itu. Dan aku melihat Mia sudah duduk di paling depan, seorang diri. Aku menghampirinya.

Kami berbicara dengan hampir berbisik-bisik, takut mengganggu beberapa umat yang sedang khusyuk berdoa disana.

"Ramai ya, Che," gumam Kak Mia.

"Iya. Tadi kesini aku diantar, Kak..." kataku membisik.

"Iya, Che," katanya tersenyum. "Ini sudah mau ramai, Che. Banyak Malaikat sudah berdatangan di tempat ini."

Aku mengangguk sambil memperhatikan sekitar ruangan itu dengan mata batinku. "Nyaman sekali vibrasi dan energinya, Kak. Perasaanku bahagia sekali, seperti mau pesta," gumamku sembari menghirup nafas mendalam menikmati energi yang berputar indah di ruangan itu.

"Eh kok tahu akan ada pesta, Che?" tanyanya heran.

"Iya, tadi dalam perjalanan, kedua malaikat yang mengantarkanku sudah mengatakannya, Kak."

"Betul, Che. Dari kemarin sebenarnya di langit sudah berpesta dan juga mempersiapkan untuk pesta malam ini... untuk kamu," katanya berbisik sambil mengeluarkan kalung Rosario miliknya.

"Eh kakak punya Rosario?! Wah hebat..."

"Iya Che. Kakak dapat kalung Rosario dan buku Doa Rosario ini dari umat Katolik yang waktu itu kakak tolong untuk menyeberangkan arwah keluarganya yang sudah meninggal tempo hari."

"Bagus sekali, Kak," kataku tersenyum.

Aku pun mengeluarkan kalung Rosario milikku yang terbuat dari batu amethys berwarna ungu gelap ini. "Kak...tahu tidak...kalau kita berdoa Rosario, kekuatan magisnya besar sekali, Kak."

"Iya, Kakak merasakannya. Kan sama seperti Da Bei Zhou, mantra Dewi Kwan Im, Che,"

Aku merasakan energi kedua doa itu. Karena kebetulan, aku juga pernah melafalkan mantra Da Bei Zhou di sebuah Vihara Mahayana, dulu. "Iya sih, Kakak benar. Power dan energinya hampir sama ya. Luar biasa..."

Dan malam ini pun menjadi malam yang luar biasa, karena aku merasakan akan ada perpaduan dua energi yang indah, antar kepercayaanku dan kepercayaannya di sini, di Gereja “Konstantine”. Oh, mungkin lebih dari itu nanti. Ah kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi. Aku membatin.

"Cherry, itu ada Buddha datang," katanya.

Akupun menoleh ke arah kiri pintu masuk tempatku masuk tadi. Buddha sedang berjalan dengan anggunnya bersama para Bhikkhu pengikutNya. Mereka semua sudah mencapai tingkatan kesucian. Luar biasa cahaya aura keagungan yang terpancar dari tubuh mereka. Membuat hatiku turut berbahagia.

"Bunda Maria dan Yesus belum datang, Che. Mungkin sebentar lagi," katanya.

Kami pun menunggu. Menunggu semuanya hadir disini, di tempat ini. Seluruh ruangan sudah penuh oleh para malaikat dengan sayapnya yang indah. Tapi masih belum. Kami tahu kapan waktunya untuk memulai pesta ini. Meski tak tahu harus bagaimana dan melakukan apa, tapi kami mengikuti arahan dari batin kami. Mengalir saja, bagaikan air.

Tak lama kemudian, Yesus bersama Bunda Maria pun hadir di depan altar Gereja “Konstantine”. Tak lama kemudian, Bapa hadir. Tubuh Bapa diselimuti oleh kemilau cahaya kuning keemasan yang indah. Bapa tidak memiliki tubuh roh seperti yang lainnya. Hanya cahaya yang indah, dan mendamaikan hati.

Lalu aku dan Mia berlutut pada alas yang sudah disediakan di depan kursi kami. Kami sama-sama mendaraskan Doa Rosario di dalam hati kami.

Gre, Malaikat Pelindungku pun menemaniku berdoa. Dia ada disampingku, berlutut bersamaku. Para malaikat yang hadir disana pun ikut mendaraskan Doa Rosario. Ruangan Gereja “Konstantine” jadi sangat khusyuk. Pesta rohani dimulai.

Tak lama kemudian, muncullah sayap yang besar, sekitar 3 meter panjangnya bila dibentangkan dari punggungku. Juga lingkaran halo di atas kepalaku. Aku menjadi seperti jati diriku semula. Sebuah jati diri yang sesungguhnya. Sebuah jati diri yang jauh di masa yang lampau, sebelum aku terlahir beribu-ribu kali menjadi manusia. Tubuhku mengeluarkan cahaya dan medan aura yang indah berwarna ungu keperakan dengan kerlipan cahayanya.

Pada awal berdoa, Bapa langsung menghampiri kami. Pertama-tama, Bapa berdialog dengan Gre, Malaikat Pelindungku. Gre berlutut dan menunduk.

"Gregorious, Malaikat Pelindung yang setia dan bijaksana. Terima kasih sudah menjaga AnakKu, Cherry, dengan sangat baik," Bapa tersenyum pada Gre.

"Ya, Bapa," jawab Gre.

Setelah itu, Bapa dan Gre berbincang sebentar dalam bahasa yang tidak kumengerti. Bahasa itu hanya bisa dimengerti antar Bapa dengan para Malaikat. Banyak sekali yang dibicarakanNya namun bagi duniaku hanya dalam beberapa detik saja. Mungkin, itu adalah Rahasia Tuhan yang tidak boleh diketahui oleh manusia, sepertiku.

Setelah selesai, Bapa memandangku. Seperti seorang Bapa memandangi anakNya yang sudah lama tidak bertemu. Begitu penuh kasih. Bapa berdiri di tengah dengan Yesus di kananNya dan Bunda Maria di kiriNya, serta Ia menumpangkan tangan cahayaNya atas kepalaku. FirmanNya :

"Cherry...mulai malam ini, Aku memberkati engkau atas tugas dan pelayanan yang akan engkau laksanakan di bumi. Engkau akan menjadi duta Lintas Agama dengan kekuatan Cinta Kasih.

Aku akan memberikanmu kekuatan agar engkau mampu menjalani seluruh pelayanan yang Aku tugaskan kepadamu. Juga, agar engkau mampu mengatasi segala rintangan dari hidupmu kelak."

"Ya Bapa. Terjadilah padaku menurut rencanaMu," kataku penuh hormat.

Lalu Bapa memberikanku beberapa vision masa depan kehidupan pribadiku, berhubungan dengan tugas dan pelayanan yang akan aku jalankan di bumi. Tidak mudah ternyata. Aku harus merelakan sesuatu di dalam kehidupanku kelak.

Batinku sedikit berguncang ketika itu. Perasaan ini mengingatkanku akan masa yang lampau ketika aku masih menjadi seorang malaikat surgawi yang cantik dan bercahaya, lalu aku terjatuh dalam dosa dan cahayaku lenyap. Sangat perih rasanya. Rasa perih...juga kepedihan itu muncul kembali dalam batinku.

"Semua itu adalah juga ujian untukmu, Cherry. Janganlah mengulang kesalahan yang sama seperti dulu. Jangan duakan Aku lagi," firmanNya.

Lalu aku menatap wajah Bunda Maria yang penuh dengan welas asih. Dia mengangguk dan tersenyum padaku. Senyumnya sangat lembut, mendamaikan hatiku.

"Ya Bapa," jawabku menunduk sambil masih mendaraskan Doa Rosario.

Ketika pendarasan Doa Rosario hampir usai, pada Kisah Sengsara Yesus yang keempat, tiba-tiba Buddha, Brahma, Wisnu, Siwa, juga Nabi Muhammad bersama-sama menumpangkan tanganNya atas kepalaku. Mereka semua memberkatiku. Indah sekali. Sungguh indah perpaduan malam ini di Gereja “Konstantine”.

Saat itu juga, aku merasakan adanya kekuatan yang merasuki batinku, sehingga membuat sayap malaikatku semakin bercahaya dan tegas, serta nampak kilauan keemasan pada setiap ujung sayapnya. Aku merasa ada yang berbeda pada diriku malam itu. Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Setelah habis mendaraskan Doa Rosario pada butiran kristal yang terakhir, tak lupa aku pun mendoakan diriku, orang-orang yang kucinta, para sahabat, para arwah leluhur dan semua makhluk, semoga semuanya dapat terlahir ke alam bahagia juga.

Lalu aku membuat tanda salib untuk mengakhiri doa pada malam itu.

Begitu aku mulai tersadar, Kak Mia sudah terduduk di bangku. Aku pun duduk dan berbincang sebentar dengannya.

"Che, gimana? Merasa berbeda nggak sekarang? Kalau Kakak iya. Merasa lebih upgrade," gumam Kak Mia.

"Iya Kak. Ada yang berbeda," jawabku menjelaskan.

"Waktu menghadap Bapa, aku lihat Che tadi berubah jadi malaikat kecil. Kakak juga berubah jadi wujud asli Kakak," katanya tersenyum.

"Iya sih. Luar biasa tadi ya Kak," pintaku haru.

"Iya Che, mereka semua memberkati Che untuk Che menjalankan tugas. Kakak baru paham kenapa Kakak dipertemukan dengan Che disini. Karena tugas Kakak kelak juga hampir sama seperti Che, Lintas Agama. Tapi belum sekarang saatnya...mungkin Kakak nanti..." katanya.

"Iya, Kak," jawabku.

"Cherry, semangat ya," kata Gre tersenyum menatapku.

"Iya, Gre," kataku membatin.

Pesta rohani berakhir. Para makhluk surgawi satu persatu pun pergi meninggalkan kami untuk kembali ke surga.

Tak lama kemudian, datanglah petugas Gereja “Konstantine” untuk mematikan lampu ruangan, sehingga nampak remang-remang. Aku, Gre dan Mia keluar ruangan Gereja “Konstantine”, tak lupa mengambil air suci dan membuat tanda salib.

"Cherry, ini kita diantar lagi pulangnya sama beberapa malaikat. Hehe," pinta Kak Mia dengan senang.

Sebelum pulang, kami menghampiri Goa Bunda Maria di sudut Gereja “Konstantine”. Goa yang sederhana dan penuh aura kasih sayang juga kedamaian. Akan tetapi, aku dapat merasakan juga aura kesedihan yang amat mendalam pada Goa Bunda Maria disana. Seakan Bunda membisikkanku :

Benar Cherry. Banyak umat datang kepadaKu, menumpahkan segala kesedihannya atas permasalahan kehidupannya. Aku adalah tempat mengadu bagi mereka.

Akan tetapi, bersyukur meski tempat ini sudah lama berdiri selama puluhan tahun, tempat ini menjadi tempat pemurnian bagi jiwa-jiwa yang tersesat. Langit memberikan perlindungan bagi tempat ini supaya jiwa-jiwa yang belum termurnikan tidak dapat memasuki tempat yang suci ini. Hanya mereka yang memiliki ketulusan dan kesucian hatilah yang dapat menginjakkan kaki di tempat ini.

CeritaNya padaku. Dan aku menjadi pendengarNya yang baik.

Terima kasih Bunda Maria atas segala perlindungan juga kasih sayangMu...

Terima kasih Gereja “Konstantine”, kami sudah boleh meminjam tempat yang suci ini...

Semoga banyak makhluk bisa mendapatkan manfaat dari tempat ini...

Amen.


Written by : Yanti Kumalasari, S.Ds.
Editing by : Kepik Romantis / PVA