Suasana
berkabung menyelimuti seluruh wilayah Benua Natflimorwud, yang
langsung mendung berawan kegelapan disertai hujan petir yang
menggelegar, semua yang hadir tertunduk pilu saat menguburkan jenazah
Pather Dhigante, begitu pula para rombongan Tetua Tiga Monyet bersama
Raja Naga Laut Timur, Siluman Lima Babi Hutan dan Tetua Ikan Kappa.
Sementara itu para Maha Guru lainnya hanya dapat berduka di kediaman
masing-masing di wilayah yang sangat berjauhan ratusan ribu kilometer
jaraknya dikarenakan Portal Dimensi sudah tidak berfungsi, mereka
tidak dapat hadir ke upacara pemakaman di taman belakang yang
dipenuhi sisa-sisa reruntuhan sebagian besar bangunan Purple Clock
Church.
Ahui
menjauhi para rombongan yang berduka, hatinya marah emosi, mengapa di
saat seperti ini, tidak ada satupun para Maha Guru yang datang hadir
menolong mereka saat mengetahui akan terjadinya hal ini. Tetua Monyet
yang melihat kemarahan Ahui, mencoba menenangkan Ahui, “Takdir dan
Nasib, kedua hal yang berbeda. Nasib masih dapat dirubah, tetapi
Takdir kematian, umur dan perjodohan, bahkan rejeki kita pun bukan
kita yang menentukan. Kita hanya dapat berusaha semampunya untuk
berbuat baik dan benar, tetapi semua keseluruhan isi kehidupan ini
Tuhan Yang Maha Kuasa-lah yang menentukan.”
“Tetapi
mengapa Tuhan tega membiarkan hal ini terjadi?”, tanya Ahui yang
masih marah dan kesal. “Semua hal di dunia ini, tidak ada yang
luput dari karma, mengapa kamu harus pusing marah dan kesal kepada
Tuhan (Pemilik dan Pencipta), seharusnya kamu lebih ikhlas dan
bersyukur karena kamu masih diberikan kesempatan menjalani kehidupan
ini untuk menjadi lebih baik lagi. Semua ada sebab dan akibat, setiap
jalan pilihan yang telah mereka pilih pasti semua ada konsekuensinya,
mungkin itulah pilihan jalan mereka, dan mereka pun kelak akan
menerima balasannya. Kita tidak perlu pusing terhadap apa yang mereka
lakukan, karena hukum alam sudah berjalan sangat adil. Kita cukup
menjalani tugas dan kewajiban kita sebaik-baiknya, tidak perlu
memusingkan mereka yang memilih jalan salah, buruk dan jahat. Karena
kita sudah berusaha mencegah menasehati mereka, tetapi jika keburukan
dan kejahatan adalah jalan yang mereka pilih, maka biarlah mereka
menanam dan memetik buah karmanya sendiri. Cukup kita jalani
kehidupan kita dengan sebaik-baik mungkin, tanpa perlu merisaukan
hal-hal selanjutnya, yang terpenting kita sudah berusaha semampunya
kita untuk melakukan hal-hal yang baik dan benar selama kita masih
diberi waktu hidup di dunia ini…”
“You
talk too much, just like Shifu…”, ucap Ahui teringat Maha Guru
Boante. “Hahahahaha….”, terdengar tawa khas Maha Guru Boante,
lalu menghilang bayangan dan suara itu sekilas terbawa angin, malah
terdengar suara nyaring Tetua Monyet “Ngapain di situ terus?
Kasihan tuh yang lain berkabung, kamu malah menyendiri ngumpet di
sini pula (melihat Ahui di belakang pohon di tepian sungai merah
karena penuh bersimbah darah para korban). Edi nyariin kamu tuh
khawatir dikira menghilang lagi..”, ucap Tetua Monyet. “Laaah,
bukannya tadi saya barusan ngobrol sama kamu di sini”, jawab Ahui
pada Tetua Monyet yang jadi bingung sambil garuk-garuk kepala.
“Heh??? Saya??? Gak mungkin!!! Kamu yang ngelamun kali, saya
barusan aja jalan ke sini kok…”, tegas Tetua Monyet. “Sumpah!!!
barusan aja kamu menghilang setelah ngobrol sama saya di sini,
kira-kira 5-7 menit yang lalu kamu ada di sini”, ucap Ahui ngotot
menjelaskan. “Gak mungkin ada dua monyet sakti selain saya,
Kecuali….(hmmm…)”, Tetua Monyet bergumam, berpikir sambil
membelah diri menjadi Tiga Monyet Sakti yang saling bermusyawarah,
hanya ada satu orang yang mampu memiliki ilmu hebat setinggi
kemampuannya. “Kecuali siapa….???”, tanya Ahui kepada Tetua
Tiga Monyet. “Tanyakan saja pada tongkat yang kamu bawa itu
kemana-mana, Beliau selalu mendampingimu…”, sambil Tetua Monyet
beranjali memberi hormat dengan sepenuh hatinya berkontak batin
dengan tongkat yang masih dipegang Ahui. “Shifu…”, ucap Ahui
perlahan-lahan. Tetua Monyet mengangguk setuju tanpa mengeluarkan
suara sedikitpun.
Datanglah
Edi yang tiba setelah terbang mencari-cari Ahui, langsung turun dari
awan, memberi salam hormat kepada Tetua Monyet, seraya berbicara
singkat kepada Ahui. “Ngapain kamu di sini? Semua menunggu dan
mencarimu, kita harus segera berangkat sekarang!!!”. “Setuju,
saya bersiap ke Kapal Selam bersama Raja Naga Laut Timur, dan para
Tetua lainnya”, ucap Tetua monyet yang langsung bergerak cepat
terbang diikuti Edi. Sedang Ahui hanya terdiam saja sambil mengikuti
mereka di belakang. Para
Tetua dan rombongan (Ahui, Edi, Didi, Boy, Chika, dan Fani) setelah
bersiap-siap dan membantu para korban, mereka tidak dapat
berlama-lama di Benua Natflimorwud menurut firasat para Tetua, ada
kemungkinan pasti terjadi serangan kehancuran yang lebih buruk lagi
terjadi di Benua lainnya, maka mereka pun harus segera berangkat
masuk ke Kapal Selam milik Raja Naga Laut Timur untuk merencanakan
strategi dan juga melatih diri mereka selanjutnya.
Selama
para rombongan beristirahat, Tetua Monyet dan Raja Naga Laut Timur
masih sibuk berbincang-bincang sangat serius. “Kau harus mencari
tau ke seluruh penjuru laut dan memantau mengenai keadaan di tiap
Benua dan melaporkannya segera apabila terjadi masalah yang
berbahaya, apakah tidak ada yang melacak kemana mereka (para siluman
jahat) berangkat selanjutnya untuk menyerang?”, ucap Tetua Monyet.
“Sudah, tapi belum ada kabar, sabarlah sebentar…, pasukan kita
tidak secepat pasukan monyet-monyetmu, harusnya kamu juga membantu
kita memantau di darat, sedang kami hanya mampu membantu di laut…”,
jawab Raja Naga Laut Timur. “Hmmm…(Tetua Monyet berguman)
Sama…kalo begitu!!! Bagaimana kalo kita adakan Rapat Darurat untuk
memanggil semua Tetua Raja Naga Laut seluruh Penjuru Dunia ini?”.
“Mungkin juga, tapi perlu waktu, kira-kira seminggu atau bahkan
sebulan, karena jarak samudera lautan tiap penjuru arah mata angin
sangat jauh ribuan jutaan kilometer, itu pun perlu pasukan gerak
kilat di Laut’, jawab Raja Naga Laut Timur. “Haduh…, kenapa
harus begitu lama!!! Kau kan punya kesaktian di laut masa tidak bisa
langsung pindah portal arus laut aja?!”. “Lah.., kau sendiri Raja
Monyet Sakti, kenapa tidak langsung lapor ke Kaisar Langit untuk
memerintahkan bantuan langsung?!”, ucap Raja Naga Laut Timur.
“Itu…, hmph (kesal Raja Monyet) kau tau kan tabiat Kaisar Langit,
Dia tidak akan mau turun langsung, pasti memerintahkan kita juga
untuk bergerak maju…”, jawab Tetua Monyet, dan perseteruan
pembicaraan mereka terus berlanjut dari tengah malam sampai menjelang
subuh pagi hari. “CUKUP!!!..., pembicaraan kalian ini membuat semua
tidak nyenyak tidur…, lebih baik kita tanyakan saja kepada Tongkat
Sakti ini bagaimana?”, ucap Ahui yang terbangun karena merasa
terganggu dengan pembicaraan Tetua Monyet dan Raja Naga Laut Timur.
“Hahaha…lihay!!! Betul juga!!!”, terkaget sambil senang karena
Ahui telah menemukan solusi bagi mereka. “Baik, saya pinjam
sebentar ya.., (sambil berkedip mata kepada Ahui dan mengambil
Tongkat di tangan Ahui) dan Raja Naga Laut Timur, tolong persiapkan
Kapal Laut muncul ke permukaan airnya sebentar…”,tegas Tetua
Monyet Gila. “Baik…, laksanakan…”, jawab Raja Naga Laut
Timur. Kapal Selam pun langsung muncul ke permukaan lautan, pintu
atas Kapal Selam terbuka…, Tetua Monyet, Raja Naga Laut Timur dan
Ahui keluar dan berada di tengah atas Kapal Selam.
“Baik…,
kalian menyingkir sebentar ke belakang saya…(Tetua Monyet
mengarahkan Ahui dan Raja Naga Laut Timur agar berada di
belakangnya)” ucapan Tetua Monyet itu langsung disertai gerakan
dahsyat memutar-mutar Tongkat milik Ahui itu dengan gerakan kungfu
monyet sakti miliknya, semakin lama semakin kencang dan lalu Teua
Monyet terangkat kakinya hingga terbang sambil menggerakan kekuatan
supernya. “Baiklah…., Tongkat Sakti!!! Dengan kekuatan alam
semesta dan atas izin petunjuk Tuhan/Allah Yang Maha Kuasa, tolong
berikan kami petunjuk arah selanjutnya!!! Hiaaaaaa….tt!!!”,
Tongkat itu dihempaskan Tetua Monyet ke arah Matahari terbit,
seketika Tongkat itu berhenti bergerak tegak vertikal seperti terkena
tekanan gravitasi bumi, lalu bersinar terang memancarkan sinar dari
Matahari terbit, seolah menjadi titik pusat kompas, dan pancaran
sinar Matahari membentuk bentangan garis pelangi dari pancaran
cipratan air laut dan awan di langit yang biru membentuk arah sinar
ke sebuah titik merah yang membulat besar ke arah Benua Hedunfawi.
“Yeaaaahhhuuuuww!!!...”, teriak Tetua Monyet Gila senangnya
karena berhasil mengetahui arah selanjutnya. Disambut senangnya hati
Ahui langsung memeluk Raja Naga Laut Timur sambil menagis terharu.
“Akhirnya…kita tau kemana kita pergi selanjutnya…”, ucap Ahui
kepada Raja Naga Laut Timur. “Hmmm…Mari…., kita berangkat ke
Benua Hedunfawi”, ucap Raja Naga Laut Timur. Tetua Monyet pun
langsung terbang bergegas mengambil Tongkat tersebut dan
mengembalikannya kepada Ahui, seraya berkata “Terima kasih ya!! Kau
harus jaga baik-baik Tongkat Sakti ini yah..”. Ahui langsung
mengangguk tanda setuju dan mereka semua pun langsung bergegas masuk
ke Kapal Selam dan berangkat dengan kecepatan penuh.
Sementara
itu Raja Naga Laut Timur diminta Tetua Monyet untuk membuat Rapat
Darurat antara kumpulan Raja Naga Laut seluruh penjuru dunia dengan
para Tetua Sakti (Genk Lima Babi Hutan, Tetua Ikan Kappa, Tetua Six
Silver Gargoyle, Tetua Empat Tengkorak Pencabut Nyawa, Tetua Ratusan
Kelelawar Haus Darah, Tetua Sembilan Kepala Leak Terbang, Tetua Lima
Genderuwo Buang Sial, dan Tetua Jutaan Golem Kepala Batu Bata Emas).
Mereka akan mengadakan Rapat di Istana Raja Naga Laut Timur, setelah
mereka selesai mengantarkan Ahui, Edi, Didi, Boy, Chika, dan Fani
menuju Benua Hedunfawi. Dengan terpaksa mereka harus berpamitan dan
harus dapat menyelesaikan masalah dalam misi selanjutnya tanpa
bantuan para Tetua Sakti, dikarenakan keadaan keseimbangan alam di
dunia ini sudah dalam bahaya, dikhawatirkan akan terjadi banyak
kehancuran akibat perang saudara dimana-mana, sehingga kemungkinan
besar akan terjadi kepunahan bagi generasi penerus penjaga alam ini
yakni anak cucu, dan cicit nantinya.
Sebelum
rombongan mereka (Ahui, Edi, Didi, Boy, Chika, dan Fani) tiba di
Benua Hedunfawi, para mafia Siluman kejam sudah lebih dulu tiba
menuju ke tempat kediaman Maha Guru Kyai Gusdante di kediamannya
yaitu “Red Diamond Mosque”, setelah meninggalkan Benua
Natflimorwud kira-kira 3hari yang lalu. Maha Guru Kyai Gusdante yang
telah mengetahui firasat akan terjadi hal ini sebelumnya, sudah
sengaja tidak mempersiapkan apa-apa, justru dengan senang hati
menerima kedatangan mereka, agar para siluman kejam tersebut
kebingungan.
Sedenk
: “Luar biasa!!!, rupanya kehadiranku disambut dengan meriah,
tentunya sudah mengetahui maksud kedatangan kami ke mari..”
Maha
Guru Kyai Gusdante : “Anda adalah orang yang paling patut
dikasihani di dunia ini, karena sebenarnya anda bisa menjadi orang
yang baik dan benar, tetapi anda malah memilih jalan yang salah…”
Sedenk
& Titink : “Hahahahaha!!! Ceramah anda sangat lucu!!!”
Sedenk
: Justru semua ini saya lakukan karena senang dan bahagia menjadi
jahat dan buruk adalah hobi kita berdua…” (Seraya mereka
berciuman dengan napsu di hadapan Maha Guru Kyai Gusdante).
Maha
Guru Kyai Gusdante : “Anda hanya ingin mencari perhatian dan
sensasi, mengejar kenikmatan dunia yang tidak akan pernah puas sampai
kapanpun juga, ibarat meminum air laut, anda tidak akan pernah bisa
puaskan dahaga itu. Akibat kurang bahagia di masa kecil, lantas anda
menjadi buruk, nakal dan kejam, untuk memperoleh banyak kawan,
kerabat dan relasi yang memiliki masa lalu yang sama menderitanya,
untuk mengejar dan mendapatkan semua impian dan cita-cita dengan
mudahnya, bukan???…”
Sedenk
dan Titink : (Terdiam saling memandang mata, merasa tersindir hatinya
sejenak, terkaget kerena malu dibuatnya, tetapi segera membual dengan
tertawa dan tepuk tangan) “Hahahaha!!! Luar Biasa!!!...”
Maha
Guru Kyai Gusdante : “Tidak perlu menyakiti, menyiksa, dan
mencelakai banyak orang, tidak perlu menghancurkan semua bangunan dan
juga keindahan alam, saya sudah tau apa yang anda mau, yakni
menguasai seluruh alam dunia ini…, kalo saya tidak berikan, anda
pun pasti akan tetap memaksa dan menghancurkan untuk mendapatkan apa
yang anda mau/inginkan karena harus terpenuhi, jadi buat apa kita
harus berperang? Toh, anda tetap juga kerabat saya juga.., jadi cukup
anda hanya meminta dan memohon dengan mepergunakan bahasa, tata
krama, dan sopan santun yang baik, barulah saya akan memberikannya
kepada anda dengan baik juga..”
Sedenk
: (Kesal…karena Ego-nya tersentuh, muak teringat ke dua orang
tuanya yang selalu memaksa memberi hormat dengan aturan-aturan kuno)
“Halllaahh…, bawel cerewet, berisik kau Pak Tua!!! Tidak perlu
mengulur-ulur waktu kami!!! Jangan sampai kesabaran saya ini habis!!!
Cepat serahkan sekarang juga!!! Atau…nyawamu melayang..”
Maha
Guru Kyai Gusdante : “Mintalah dengan cara yang baik…”
Sedenk
: “Keparat!!! Pa Tua Sialan!!! Banyak bacot!!!”
Maha
Guru Kyai Gusdante : “Maka dari itu belajarlah dengan baik dan
benar”
(Titink
melihat Sedenk pemarah dan bodoh karena egonya, menggunakan akal
sehatnya, mungkin inilah yang menghambat rencana Sedenk juga).
Titink
: “Pak Tua yang baik.., saya mengerti dan memohon maaf atas ucapan
buruknya (Sedenk), Tolong berikan apa yang kami inginkan…”
(Ucapan Titink yang lembut itu membuat Sedenk muak, tetapi membuat
Maha Guru Kyai Gusdante tersenyum).
Maha
Guru Kyai Gusdante : “Sebenarnya kamu bisa berbuat lebih baik lagi,
sayangnya kekasihmu itu terlalu keras kepala, tetapi karena kamu
tetap seorang wanita dan dapat sedikit berpikir baik, saya akan
memberikannya…” (Langsung Maha Guru Kyai Gusdante berdiri dari
kursinya dan melepaskan sabuk merah yang melilit di perutnya,
diberikannya kepada Titink).
Begitu
mudahnya Maha Guru Kyai Gusdante memberikan kepada Titink, membuat
Sedenk terbengong/terkejut tidak mempercayainya, dan perasaan Hati
Titink pun sedikit terkejut dan mulai mencair karena kebaikan Pak Tua
tersebut. Sedangkan Maha Guru Kyai Gusdante hanya tersenyum melihat
tingkah mereka yang terbengong-bengong, lalu berkata “Kita semua
adalah bersaudara, buat apa harus bertengkar, dengan cara damai jauh
lebih baik? Bukankah demikian? Anda berdua sudah senang kan?!”
Sedenk
dan Titink : “Terima kasih Pak Tua…”
Maha
Guru Kyai Gusdante : “Yah…sama-sama…”
Sedenk
: (Agak sungkan jadinya, bingung…) “Tetapi, sayangnya kami tetap
harus menjalankan rencana ini!!! Pak Tua, kau harus ikut pergi
bersama kami sekarang!!!” (Sedenk dan Titink langsung memaksa,
memaksa, menyeret dan memborgol Maha Guru Kyai Gusdante, tanpa banyak
perlawanan, karena Maha Guru Kyai Gusdante mengetahui hal ini juga
pasti terjadi..).
Maha
Guru Kyai Gusdante : “Jadi saya ditawan sekarang…, setalah saya
sudah memberikan apa yang anda mau…?”
Sedenk
: “Untuk mendapatkan keinginan, maka apapun harus dikorbankan,
termasuk juga hal ini, maka Pak Tua, anda pun harus berkorban untuk
kami semua, dan tentunya dengan rencana yang matang…” (Seraya,
Titink langsung memperkenalkan siluman (“Sijintink”) yang ahli
clooning yakni membuat tiruan/palsu, hasil operasi plastic sempurna
untuk membuat wajah Maha Guru Kyai Gusdante).
Maha
Guru Kyai Gusdante : “Hahahahaha!!! Hebat!!! Sungguh Pintar
kalian!!! Tetapi mata batin yang tajam tidak mampu dibohongi…,
lihat saja nanti, apakah rencana anda ini akan berhasil atau tidak…”
Sedenk
: “Berisik Pak Tua!!! Cepat kita berangkat sekarang!!!”, sambil
menarik Titink dan para pengikut lainnya untuk terbang berangkat ke
Benua Erank, tepatnya di Kuil Kura-kura Hitam, kediaman Maha Guru
Sinthe.
Terlambat
sudah, mereka (Ahui, Edi, Didi, Boy, Chika, dan Fani) tiba di Benua
Hedunfawi, seolah-olah tidak terjadi sesuatu apapun. Tetapi Ahui
merasakan aura yang berbeda, seperti kehilangan kekuatan energy,
dimana tanah yang dipijaknya mulai mengering, tandus dan udaranya pun
sangat panas dan menyakitkan. Masyarakat di sana seperti biasa, tidak
menyadari perubahan alam yang terjadi, dianggapnya karena proses
iklim pancaroba. Begitu pula Didi, Boy, Chika dan Fani, mereka juga
tidak merasakan perubahan ekstrem yang telah terjadi seketika. Edi
yang memiliki ½ kekuatan Raja Monyet Sakti, merasakan kekuatan
siluman yang ada di dalam tubuh “Gusdante palsu” yang
berpura-pura menyapa kedatangan mereka.
Seketika
itu juga, Edi mengamuk, “Siluman keparat…!!!”, langsung
menyerang “Gusdante palsu”, tetapi langsung dihadang oleh Chika,
Boy, Didi dan Fani. Ahui yang hendak melerai mereka bertarung, sudah
sangat kesulitan, sehingga hanya dapat terdiam sedih. Edi habis
dipukulin oleh keroyokan empat temannya sendiri. Pertarungan itu
lama-lama membuat Edi kewalahan, tidak mampu mengalahkan kecepatan
Didi, sekaligus Edi semakin terluka parah karena kekuatan sebenarnya
tertahan, sebab tidak tega melawan teman-temannya sendiri. Sementara
siluman jahat yang berada dalam tubuh Gusdante palsu menikmati
pertarungan mereka dengan senang sebab dapat mengulur-ulur waktu
mereka di Benua Hedunfawi, sehingga para Raja Siluman dapat segera
tiba ke Benua Erank.
Melihat
siluman (“Sijintink”) itu tertawa puas, Ahui pun sudah tidak
mampu lagi menahan emosinya, berubahlah Ahui yang mengamuk, bak
raksasa menghancurkan semuanya, sekaligus membuat Didi, Boy, Chika
dan Fani terpental jauh terjatuh dan terluka karena amukan Ahui yang
memukulkan tongkatnya ke tanah dengan amarah. Seketika Benua
Hedunfawi porak-poranda, seperti kedatangan “Kingkong putih/Yeti”
yang mengamuk turun dari gunung. Tidak dipikirkan betapa ketakutannya
warga berlarian menyelamatkan diri, Ahui pun langsung menghadang
siluman itu bertarung. “Sijintink”, tidak mampu menahan kekuatan
dahsyat Ahui yang mengamuk, siluman itu hanya dapat berlari
bersembunyi ketakutan, sampai nangis dan terkencing-kencing di
celananya. Ahui tetap tidak bisa dikendalikan amukannya, “Keluar
kau siluman keparat!!!!”, ucap Ahui, dengan terus memukul-mukulkan
tongkatnya ke tanah, hingga menimbulkan gempa dan ombak pasang di
lautan, seperti bumi diguncangkan. Edi, Didi, Boy, Chika dan Fani pun
kali ini tidak mampu mengendalikan amarah Ahui.
Bila
15 menit dibiarkan, Benua Hedunfawi bisa hancur semua, lama-lama
terbenam berkeping-keping masuk ke dalam lautan, karena banjir air
laut pasang sudah mulai masuk merambat ke dataran pantai. Semua warga
masyarakat sudah menangis ketakutan, langsung berdoa, bersujud dan
memohon ampunan untuk dihentikan. Untunglah, datang seketika Tetua
Raja Monyet Sakti, menangkap dan menarik Sijintink, siluman yang
berpura-pura menjadi Gusdante palsu, membawa keluar dari
persembunyiannya, lalu menujukkan kepada Ahui, “STOP Ahui!!!, ini
keparatnya sudah tertangkap!!!”, ucap Tetua Monyet Sakti sambil
mengangkat siluman itu tinggi-tinggi dengan tangan dari tubuh
raksasanya ke depan muka Ahui. Seketika amarah Ahui pun terdiam
setelah melihat Sijintink itu tertangkap dengan wajah menangis,
menunduk dan ketakutan sampai tidak berhenti untuk mencret dan
terkencing-kencing. “Sudahlah…, jangan marah lagi!!! Seluruh
benua ini bisa hancur kalo kamu marah seperti itu terus…, kasihan
mereka sudah menangis memohon ampunan…”, lanjut ucapan Tetua
Monyet itu bicara dengan bijak.
Mendengar
ucapan Tetua Monyet bijak itu, Ahui pun seketika mereda dan menahan
amarahnya, dengan kesal, dia langsung berlari menghilang ke arah
bukit dan pegunungan hijau. “Hmmm…, kalian urus siluman keparat
ini, biar saya yang pergi menenangkan monyet imut satu itu..”,
sambil melemparkan siluman Sijintink (bunglon) ke arah Edi, Didi,
Boy, Chika dan Fani. Melihat Edi terluka parah ulah pukulan Didi,
dengan segera Didi dan Boy membantu merawat luka Edi di rumah sakit
setempat, sementara Chika dan Fani membawa Sijintink ke penjara untuk
diintrogasi bersama pihak kepolisian dan kedokteran khusus.
Ahui
yang berlari menenangkan diri ke dalam hutan, seperti biasa sembunyi
karena emosinya yang meledak itu, terduduk di atas bebatuan pinggir
sungai. “Ahui…, kapan kau akan belajar mengendalikan emosi mu
itu?”, ucapan suara itu khas seperti ucapan Maha Guru Boante. Ahui
tidak menjawab, hanya terdiam, cemberut sambil melemparkan batu-batu
kecil di sekelilingnya ke arah sungai. “Hmmm….(Boante menenangkan
Ahui dengan memegang kepala Ahui dari sampingnya sambil membacakan
doa), tenangkan dirimu…”, ucap Boante kepada Ahui. Seketika Ahui
terdiam dan menangis mengeluarkan seluruh air matanya karena merasa
bersalah, sedih, sekaligus bingung, jengkel dan kesal di dalam
hatinya. “Kau akan tau nanti, kenapa saya tidak bisa menunjukkan
diri saya, tetapi saya sudah mengatakan akan selalu membantu dan juga
memberikan petunjuk untukmu. Kamu harus belajar lebih tabah, sabar
dan mengendalikan amarahmu itu, kekuatan yang kamu miliki hanya
digunakan jika itu terpaksa untuk melindungi diri dari bahaya,
bukannya kamu gunakan untuk menyengsarakan banyak orang. Lihatlah,
bagaimana orang-orang menangis ketakutan dan kehancuran dimana-mana
bila kamu marah seperti ini. Membahayakan bagi semuanya…”, ucap
Boante.
“Mohon
maaf Shifu, saya belum mampu mengendalikan emosi saya…”, jawab
Ahui yang sedih. “Sudah…sudah…, ingatlah baik-baik, dengan
amarah itu masalah tidak akan pernah selesai semuanya, kadang kamu
harus belajar meredam emosi, agar dapat focus mencari solusi di
setiap masalah hidup ini, dengan mengendalikan diri maka kamu mampu
menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, maka terciptalah
perdamaian di dunia ini..., pikirkan baik-baik…, renungkanlah…,
Kristal Kuning melambangkan kekayaan ilmu pengetahuan (kecerdasan
intelektual), Ungu melambangkan harga diri/
kedudukan/kehormatan/keagungan, Merah melambangkan nafsu, amarah,
emosi dan ambisi, Hitam melambangkan seluruh kekuatan negative dalam
duniawi (angkuh, serakah, tidak puas, sedih, duka, dan menderita),
sedangkan Kristal Bening/Putih untuk menyeimbangkan yakni kekuatan
positif (kebaikan, jujur, kebenaran, lemah lembut, dan kasih sayang),
Hijau melambangkan kesuburan dan keindahan, dan Biru melambangkan
hawa, nafas dan kehidupan seperti air mengalir. Bila kesemuanya
bergabung akan menimbulkan kekuatan keseimbangan yang harmonis.
Tetapi bila digunakan berlebihan menjadi buruk kekuatannya karena
dikorupsi dan dimanipulasi untuk tujuan keserakahan, kejahatan,
kebencian, ambisi dan nafsu yang berlebihan, maka akan menghancurkan
seluruh isi semesta alam ini…”, ucapan penjelasan Boante itu
menyadarkan Ahui seketika. “Shifu…, jadi kesemuanya kristal itu
saling berhubungan dan saling bergantungan satu dengan yang
lainnya…”, saat Ahui mengerti dan mengucapkan hal itu, Maha Guru
Boante telah tersenyum dan menghilang seketika.
“Haduh,
kamu kemana aja sih? Malah sembunyi di sini, cepat kita harus
membantu yang lainnya…”, ucap Tetua Monyet langsung menarik Ahui
dan membawanya kembali. Seketika Tetua Monyet yang telah datang
bersama Ahui dibantu para seluruh Tetua Raja Naga (Laut Timur, Barat,
Selatan, dan Utara) dengan Tetua Sakti lainnya (Genk Lima Babi Hutan,
Tetua Ikan Kappa, Tetua Six Silver Gargoyle, Tetua Empat Tengkorak
Pencabut Nyawa, Tetua Ratusan Kelelawar Haus Darah, Tetua Sembilan
Kepala Leak Terbang, Tetua Lima Genderuwo Buang Sial, dan Tetua
Jutaan Golem Kepala Batu Bata Emas), untuk kembali membangun Benua
Hedunfawi yang hampir hancur itu, seketika berubah jadi indah berkat
bantuan para Tetua Sakti. Bangunan, sawah, perkebunan dan tanah yang
hancur, kembali bagus, indah dan subur, kelihatan sangat menawan.
Namun, tidak terlihat Tetua Siluman Ular Naga Antaboga yang
diceritakan mereka yakni merupakan Pemilik dari tongkat yang dipegang
oleh Ahui tersebut. Ahui kebingungan, dimanakah sebenarnya, apakah
benar adanya Tetua Naga Anataboga itu? Kenapa seluruh penjuru Raja
Naga Lautan pun segan dan takut mendengar namanya saja.
Di
Benua Erank, Master Guru Shinthe sudah punya firasat buruk di Kuil
Kura-kura Hitam, dengan segera meminta Qisenk dan Rini (saudara Didi)
untuk pergi ke Chapel Merpati Biru di kediaman Sister Chihante,
tentunya mereka tidak mau pergi tanpa alasan yang kuat, paksaan
meminta agar membawa obat-obatan penting bagi kesehatan Guru Shinthe
membuat mereka terpaksa pergi demi keinginan Guru Shinthe.
Sepanjang
perjalanan, Titink terus memaki Sedenk yang terlihat murung dan lemah
karena goyah menghadapi Maha Guru Kyai Gusdante. “Kau lemah!!!
Payah!!! Bagaimana kau bisa jadi pemimpin, bila hatimu lunak!!! Semua
siluman akan curiga dan mulai berkomplot akan menjatuhkanmu kelak
kalo kamu seperti ini terus!!!”, ucap Titink. “Hassh…berisik
kau!!! Sok tau!!! Urus saja keperluanmu nanti di sana, tidak ada yang
akan berkhianat, siapapun itu akan habis seketika dengan kekuatanku
ini!!!”, jawab Sedenk. “Hmph.., sok ke-pedean, liat saja nanti!!!
Setelah kelahiran Kepala Penguasa Kegelapan, kau akan hancur bila dia
tau kelemahanmu ini…!!!”, tegas Titink.
Master
Guru Sinthe tidak menggubris kedatangan gerombolan siluman keji
dipimpin oleh Sedenk dan Titink. Seolah tidak ada hal yang membuatnya
ketakutan ataupun cemas. Sampai dengan Sedenk dan Titink menunjukkan
Gusdante yang tengah terikat oleh kekuatan Titink dan Sedenk.
“Cepat
kau serahkan Kristal hitam itu kepada kami segera!!! Atau dia (sambil
menunjuk pada Gusdante yang ditutup mulut, mata dan telinganya dengan
kain dan diikat) akan celaka!!!”, tegas Sedenk. “Baiklah… tapi
tolong kau janji harus lepaskan dia!!!”, ucap Master Guru Sinthe.
Melihat sodara Gusdante yang terancam, dengan berat hati dan
menangis, Master Guru Sinthe melepaskan cincin hitam di jari telunjuk
kanannya hingga keluar darah (karena kekuatan jahat begi kuatnya
mengikat), lalu menaruhnya di tangan kiri. “Lepaskan dia dulu!!!”,
pinta Sinthe sekali lagi. Sedenk dan Titink lalu melepaskan ikatan
dan tutupan (mata, telinga dan mulutnya) Gusdante, seketika Gusdante
berteriak, “TIDAAAAKKK…!!!, Jangan..!!! kau tidak boleh
melepaskan itu!!!”, ucapnya sambil menangis.
“Maafkan
saya…, ini demi nyawamu juga!!!”, jawab Sinthe. “Jangan lakukan
ini…!!! Kalian bisa hancur!!! Begitu pula seluruh dunia ini
semuanya!!!”, pinta Gusdante kepada Sedenk dan Titink. “Hassh!!!
Berisik kau semua!!! Cepat atau dia habis…”, jawab Sedenk (sambil
mengangkat leher Gusdante yang hendak dicekik dengan kekuatan ilmu
ularnya membelit leher). Master Guru Sinthe terpaksa langsung
melempar cincin hitam itu, memberikannya kepada Sedenk, dan Sedenk
mengambil cincin hitam itu dengan melepaskan jeratan leher Gusdante,
(Gusdante terhempas jatuh kesakitan, segera ditolong Sinthe),
seketika semua kekuatan Kristal yang tengah berada di tubuh Sedenk
pun berkumpul, seperti sebuah pijaran bola api hitam yang
berdenyut-denyut dalam darahnya, mulai dari Kristal kuning menghitam,
Kristal ungu menghitam, Kristal merah menghitam dan terakhir Kristal
hitam mengumpulkan semua energy negative kegelapan yang ada di
seluruh bumi ini, dan “Booouuuummm!!!…” meledaklah tubuh
Sedenk, disertai petir gemuruh dan geledek di langit yang menghitam
seketika seperti ledakan gunung meletus di tubuh Sedenk, terdengar
teriakan Titink, “Accchhh…!!!”, Titink terhempas jauh, sedang
tubuhnya Sedenk menjadi butiran darah hitam yang berkumpul menyatu
menjadi sosok raksasa tinggi kurus, dengan tubuh yang mengerikan,
tanpa wajah, penuh asap hitam, kuku tangan dan kakinya sangat runcing
panjang setajam cakar jarum berbisa ular. Ledakan tersebut disertai
dengan goncangan getaran gempa bumi di seluruh penjuru dunia yang
sangat dahsyat bak sebuah nuklir yang meletus, hingga air laut pun
bergolak.
“Ssssssttt….!!!
Kalian takut…!!!”, ucap Kepala Penguasa Kegelapan yang merubah
tubuh Sedenk. “Ooooh, kau (menujuk tangan mengerikannya ke Titink),
rindu dengan kekasihmu yang mati mengorbankan dirinya untukku…,
Hahahahaha…, tenanglah!!! Dia bisa hidup lagi dengan syarat!!!
Hmmph…, saya terpaksa harus menghancurkannya, karena saya perlu
darahnya…, dia terlalu lemah.., iya kan…??!!”, ucap Penguasa
Kegelapan. “Tolong!!! Jangan bunuh saya, apapun akan saya lakukan
agar dia kembali, maafkan dia!!! Saya menyayanginya…mencintainya…”,
ucap Titink bersujud dilihat oleh Sinthe dan Gusdante. “Jangan
pernah kau memohon pada Iblis…!!!”, tegas Sinthe dan Gusdante.
“Hahahahahaha!!!
Berani kau mengatakan Iblis padaku!!! Saya ini adalah malaikat
kebaikan, sangat murah hati karena dipercaya oleh Pencipta!!!”,
jawabnya berbangga hati. “Biiiih.. (Sinthe meludah) Iblis tetap
saja iblis, mana mungkin kau percaya Tuhan, sementara kau
mengkhianati kepercayaannya dengan menghancurkan dunia ini!!!”,
jawab Sinthe. “Hahahahaha!!! Enyahlah kau seketika!!!
(Sreeeebbb!!!)”, dengan seketika jarum-jarum cakar di tangan
kanannya langsung menembus jantung Sinthe yang langsung hancur,
muntah darah dan mati seketika. “Tiiidak….”, tangis Gusdante
langsung meraih tubuh kerabat baiknya Sinthe yang sudah tidak
bernyawa itu.
“Huahahaha
sungguh menarik…, sekarang saya bisa punya wajah tampan seperti
kekasihmu itu…”, berubahlah asap di wajahnya keluar alien dari
lehernya yang kemudian membentuk kepala seperti manusia yang sama
wajahnya dengan Sedenk. “Nah…, sudah lebih baik sekarang…,
bagaimana…??!! (sambil menunjuk ketampanannya kepada Titink) maukah
kau bergabung bersamaku..”, ucap Penguasa Kegelapan dengan suara
lembut Sedenk. “Mau… (matanya seolah terhipnotis cinta karena
suara Sedenk dan wajah Sedenk yang dicintainya)”, Titink langsung
berjalan penuh napsu birahi langsung terhipnotis, memeluk dan
menciumi Sedenk yang telah menjadi Penguasa Kegelapan. Sedenk
membalas ciuman birahinya sambil berkata, “Aaaaaccchhh…, luar
biasa…sayangku, kau akan menjadi Ratu Kegelapan…, maukah kau
berkorban untukku…, sayang…?!”, pinta Sedenk. “Mau…apapun
itu…, asal dapat selalu bersamamu…”, jawab Titink.
“Hahahahaha!!!
Cinta ini sungguh meng-asyikan!!!”, langsung Sedenk memberikan
Titink napsu bercintanya, hingga klimaks kematiannya yang penuh darah
segar hingga jantungnya bocor dimakan hidup-hidup dan muntah darah
penuh kenikmatan, darah segar Titink itu diminum dengan puasnya
seperti anggur bagi Sedenk yang kehausan. “Sungguh nikmat, kau
tidak mau mencicipinya…!!!”, pinta Iblis Sedenk kepada Maha Guru
Gusdante. “Kau bisa memuaskan dahagamu dengan mengambil nyawaku
juga, bila kau mau…”, jawab Gusdante.
“Hahaha,
buat apa darahmu!!! saya sudah dapat apa yang saya mau, dan seperti
biasa, saya selalu menyisakan satu orang untuk hidup menjadi saksi
bagi kehidupanku ini, tapi dengan syarat yang tidak mudah tentunya
untuk menghidupkan Ratu Kegelapanku ini…hahahaha!!!! Dia perlu
sebagian kekuatanmu itu…(Blaasssstttt!!!!)”, langsung jarum-jarum
kuku di tangan kanannya menembus seluruh titik chi (qi) dalam tubuh
Gusdante hingga kesakitan dan mengeluarkan banyak darah.
“Aaaaaaarrrrrrgggghhhh….”, Gusdante teriak kesakitan
menyakitkan luar biasa, seperti seluruh otot dan tulangnya remuk.
Keluarlah darah bercahaya dalam tubuhnya yang langsung disedot oleh
ribuan belatung kecoak keluar dari belahan tubuh Titink yang begitu
banyak jumlahnya menjiplak menjadi satu bagian tubuh yang menyatu
masuk ke dalam mayat Titink yang menjadi Ratu Zombie Kecoak. Gusdante
roboh dan remuk seketika jatuh ke tanah tidak berdaya dan lumpuh
total, tetapi masih dapat bernafas, berfikir, melihat, mendengar dan
berbicara seperti mayat hidup saja.
“Aaaaaaaahh…,
sungguh nikmat…!!!”, ucap Titink yang kekenyangan setelah hidup
kembali dan menjadi Ratu Kegelapan. “Hahahahaha, selamat datang
Ratuku!!!”, ucap Sedenk kepada Titink. “Biarlah.. si tua bangke
ini hidup menjadi saksi cinta kita kepada kawanan tolol yang mencari
kedamaian di dunia ini, sungguh malang nasibmu eah pak tua…,
wakakakakaka…”, tawa Sedenk dan Titink langsung pergi menghilang
bersama kawanan siluman jahat lainnya kembali ke kota Greyland,
Istana kerajaannya yang akan dibangun di sana tepatnya di pulau
terlarang, dan menciptakan era kegelapan baru bagi dunia ini.
Gusdante hanya dapat menangis menahan kesakitan seluruh tubuhnya yang
remuk.
“TERLAMBAT
sudah….!!!!”, ucap Tetua Monyet sambil menunduk bersedih duka
setelah gempa berkekuatan hebat mengguncang seluruh dunia dalam
beberapa waktu lalu saat munculnya Kepala Penguasa Kegelapan.
Kesedihan Tetua Monyet diiringi kesedihan para Tetua Siluman yang
baik lainnya beserta para Raja Naga. “Pasti sesuatu hal yang buruk
telah terjadi kembali…”, ucap Ahui di dalam hatinya ikut
bersedih.
Bergegaslah
para rombongan berangkat ke Benua Erank, menuju kediaman Master Guru
Sinthe di Kuil Kura-Kura Hitam. Terlihat dari kejauhan pun sudah
menandakan kesedihan luar biasa yang akan mereka semua hadapi,
reruntuhan puing-puing bangunan dan tebaran cairan darah dimana-mana.
Mereka langsung berlari secepatnya saat melihat Master Gusdante yang
tengah terbaring lemah lumpuh dan menangis tanpa dapat berbuat
apa-apa, di sisi jenazah dari Master Guru Sinthe.
“CUKUP
SUDAH!!! Ini semua gara-gara kamu!!! Lihat!!! Saya sekarang udah gak
punya siapa-siapa, Guruku (Sinthe) wafat!! karena kalian semua selalu
menyia-nyiakan waktu!!!”, ucap Didi yang marah dan kesal kepada
Ahui dan Tetua Monyet, karena tidak terima gurunya mati sia-sia. Didi
berusaha ditahan oleh Fani, tapi percuma, Didi terlampau marah, dan
langsung pergi berlari kesal dan menjauh menghilang entah kemana,
tanpa mengucapkan salam perpisahan.
“Iyah!!!
Kau Tetua Monyet Sakti pun percuma!!! Guruku (Dhigante) juga mati!!,
selalu semua terlambat!!! Apa gunanya semua ini!!!, lebih baik saya
juga pergi dari sini!!! Semuanya sia-sia!!! Percuma!!!”, ujar Fani
yang juga kesal dan marah, langsung pergi mengejar Didi yang lari
penuh amarah. Semua hanya dapat terdiam tak mampu berkata-kata
sepatah pun. Mengingat mereka semua pun telah merasa gagal dan kalah
telak, wajar mereka marah, kesal, kecewa, dan bersedih, membiarkan
mereka pergi untuk menenangkan dirinya masing-masing.
Apa
mau dikata Didi benar-benar sudah kehilangan kesabarannya, terlebih
melihat Gurunya, Master Sinthe wafat, Didi pun memilih menyendiri,
menghilang dan mengacuhkan Fani. Melihat Didi yang berubah, Fani pun
pergi menghilang menjauh, entah kemana, mengikuti langkah kakinya
yang sakit, pedih, sedih dan sangat terluka, setelah kehilangan
Gurunya, Pather Dhigante wafat, kini harus kehilangan kekasihnya juga
Didi yang jadi berubah dingin dan acuh.
Para
Tetua melihat kejadian buruk ini, ikut prihatin dan sedih, tak mampu
banyak bicara, hanya dapat berdoa dan melanjutkan upacara kematian
dan kremasi bagi Master Guru Sinthe, dan kemudian bahu-membahu
memperbaiki Kuil Kura-kura Hitam yang hancur, direnovasi kembali,
sambil terus memikirkan dan berdiskusi kecil setiap malam, mengenai
rencana apa yang harus dilakukan selanjutnya oleh mereka.
Sementara
Boy dan Chika, terdiam tak dapat berkata apa-apa, sambil terus
merawat gurunya yang lumpuh sakit terluka parah, dan izin pamit untuk
membawa pulang Maha Guru Kyai Gusdante ke kediamannya di “Red
Diamond Mosque”. Sedangkan Ahui yang merasa bersalah, hanya dapat
bersedih, perlahan-lahan berusaha melarikan diri dari keramaian, Ahui
memilih pergi mencari Master guru Boante. Tadinya Edi melarangnya,
tetapi sifat keras kepala Ahui, membuat Edi pun marah dan kesal
karena merasa sulit menasehati Ahui yang bersikeras ingin pergi
mencari gurunya, Boante. Ahui dan Edi pun bertengkar, kesal dan
saling acuh, sebab keduanya memiliki sifat sama keras kepala dan
pemarah. Edi kesal dan memilih pulang ke Kuil Macan Terbang menemui
Master Guru Haite. Membiarkan Ahui yang berjalan sendirian pergi
mencari gurunya Boante.
Masihkah
ada secercah harapan bagi para pahlawan kedamaian dunia, setelah
semua usahanya gagal dan kalah, dan kekuatan kegelapan tengah
menguasai hampir 70% kekuatan dunia? Bagaimanakah kisah mereka
selanjutnya? –BERSAMBUNG-
230219
Written & picture design by : Kepik Romantis / PVA
NB
: Kisah ini hanyalah karangan Fiksi Misteri belaka, bila ada kesamaan
nama, bentuk, tempat, symbol, gambar dan tulisan, semuanya
semata-mata hanya dalam hayalan/imajinasi karangan belaka.