Sunday, September 1, 2019
Penyeberangan Arwah -Chapter 2-
Pada suatu pagi yang cerah, aku menyempatkan diri untuk sekedar berjalan kaki sambil menghirup udara segar. Tentu saja aku tidak sendirian, meski nampak sendirian dalam mata fisik manusia pada umumnya, aku berjalan bersama Gregorious, Malaikat Penjagaku.
Aku dan Gre melepas lelah di kursi taman kota, dekat pendopo taman. Tiba-tiba ada seorang ibu setengah baya menghampiriku. Ibu itu nampak lebih tua dari usianya. Rambutnya memutih dan banyak kerutan pada kulitnya. Dia terlihat kurus sekali. Dia duduk di sebelahku.
"Dik, boleh ya.., Ibu duduk di sini sebentar."
"Oh silakan Bu, tidak apa-apa.."
Kami sama terdiam, sambil menikmati pagi yang cerah dan udara yang bersih kala itu.
Ibu itu nampak mengamati sesuatu. Matanya seperti tertuju dan fokus pada sesuatu di depan wajahnya. Tapi pandangannya kosong. Sebenarnya, tak ada yang dilihatnya. Nampak air mata kesedihan mengalir pada kedua pelupuk matanya.
"Ibu.., Ibu.. lagi sedih ya?" tanyaku.
Ibu itu menatapku sebentar. Lalu kembali pada pandangan kosongnya. "Iya, Dik. Benar."
"Ibu boleh cerita apa saja sama saya. Nama saya Cherry," aku memperkenalkan diri pada ibu itu, disertai dengan senyuman hangatku.
"Oh iya, terima kasih Dik Cherry. Kamu baik sekali," Ibu itu tersenyum tipis dengan air mata sedihnya. "Belum pernah Ibu bertemu dengan anak yang seramah Adik, selain anak Ibu..." matanya berkaca-kaca.
"Lalu anak Ibu kok tidak Ibu ajak kesini?"
"Dia sudah meninggal, Cherry…, dua bulan yang lalu. Karena kecelakaan," jawab ibu itu dengan air mata tampak menetes pada kedua pipinya. Tiba-tiba saja pagi yang cerah itu pun berubah. Langitnya mulai berawan dan mendung.
Aku saling berpandangan mata pada Gre.
"Tapi Ibu masih bisa merasakan kehadirannya, dia sering menghampiri Ibu di rumah," ceritanya. "Ibu sangat sedih dan khawatir dengan kondisi dia di alam sana saat ini. Maka dari itu, Ibu duduk di sebelah Cherry karena Ibu merasa Cherry adalah orang yang tepat untuk membantu Ibu," lanjutnya.
Aku turut bersedih mendengar cerita Ibu itu. "Apa yang Ibu inginkan agar saya membantu Ibu?" tanyaku.
"Ibu minta tolong agar Cherry mendoakan anak Ibu. Sebulan lagi kan 100 hari meninggalnya anak Ibu, bisakah Cherry bantu mendoakan dia sebelum 100 harinya?" pintanya kepadaku.
Tiba-tiba hujan turun dan langit menjadi gelap, sangat gelap dan pekat.
"Bu, kita pindah berteduh di dalam pendopo itu saja yuk," ajakku sambil memapah lengan ibu itu agar tidak terpeleset karena jalanan menjadi licin.
Kami mulai duduk di pendopo. Hanya kami bertiga. Ups, maksudnya berdua dengan ibu itu.
Orang-orang sudah berhamburan keluar taman. Sepertinya, memang tempat pendopo ini sudah disiapkan untuk kami.
"Bagaimana, apakah Dik Cherry bersedia?" tanyanya sekali lagi. Kedua pipinya nampak basah karena air mata yang menggenang terus.
"Dengan senang hati, Bu. Sekarang juga kita bisa sama-sama memanggil arwah anak Ibu dan mendoakannya untuk ditempatkan di alam yang lebih baik..," jawabku tersenyum padanya.
"Bagaimana caranya? Ibu tidak mengerti..," katanya lirih. "Ibu melihat Cherry lebih paham dalam hal seperti ini. Ibu bisa merasakannya..." katanya mantab.
"Ah tidak, Bu. Sebenarnya keluarga sendirilah yang memiliki kekuatan doa yang paling besar," jawabku. "Begini, kita ambil posisi duduk bersila seperti ini ya. Apakah Ibu bisa duduk bersila?"
"Ya, Ibu bisa." Ibu itu mulai mengambil posisi duduk dengan kaki bersila, posisi samadhi.
"Baik, Bu. Kita akan mendoakannya bersama-sama ya Bu," pintaku lembut padanya.
Lalu kami melakukan samadhi. Samadhi yang kami lakukan adalah Meditasi Cinta Kasih. Kami melakukan pemancaran Cinta Kasih bersama sesuai instruksi yang saya berikan untuk ibu tersebut.
Dan aku pun memulai doa di dalam hati sebelum melakukan Meditasi Cinta Kasih dan Doa Penyeberangan Arwah. Aku membatin :
"Para Guru dan makhluk di semua alam. Pada pagi hari ini ijinkan kami bermeditasi di tempat ini. Kami memohon perlindungan Guru saat kami melakukan meditasi. Dan bantulah kami dalam doa penyeberangan arwah supaya dapat bermanfaat untuk semua makhluk dan semoga berbahagia. Amin."
Pertama-tama, kami melakukan pemancaran Cinta Kasih yang dimulai untuk diri sendiri, orang-orang terdekat yang dicintai, orang-orang yang netral tidak dikenal, dan semua makhluk di sekitar taman ini. Seperti biasanya..., sayap malaikat yang aku miliki pun muncul, membentang dan bercahaya secara tiba-tiba.
Sayap yang aku miliki cukup besar jika dibentangkan lurus, mungkin sekitar 3 meter panjangnya satu sayapnya. Warnanya putih bersih dan mengeluarkan kilauan cahaya. Sayap ini hanya muncul saat aku memasuki samadhi yang mendalam dan juga diperlukan untuk membantu para arwah biasanya.
Ketika sudah memasuki samadhi dan energi cinta kasih sudah terasa hangat di dada, tiba-tiba datanglah seorang arwah anak remaja sekitar usia 14 tahun bersama arwah teman-temannya. Dia menangis ketika melihat ibunya. Dia duduk di depan ibunya, dan menangis tanpa henti. Ibunya tetap berkonsentrasi pada samadhi sesuai instruksi yang saya berikan.
Lalu saya mencoba untuk mengajak komunikasi anak itu, yang merupakan arwah gentayangan dari anak ibu itu.
"Hei, Adik Kecil," sapaku membatin. Dia menatapku.
"Maukah hari ini kamu pergi ke tempat yang lebih baik, lebih indah dan bahagia?" tanyaku lembut membatin.
"Tidak mau. Aku masih mau bersama ibu," pintanya sambil menangis.
Saat itu juga datanglah seorang Malaikat Wanita yang sangat cantik dan bercahaya, Dia adalah rekan Gre, Malaikat Penjagaku. Malaikat Wanita itu langsung memeluk erat arwah anak yang sedang menangis itu di depan ibunya. Kehangatan dari Malaikat Wanita itu terasa menjalar di sekujur tubuh arwah anak itu, bagaikan seorang ibu yang memeluk lembut anaknya. Malaikat itu berusaha menenangkan hati arwah anak itu dengan sentuhan Cinta Kasihnya.
Begitu juga dengan arwah anak-anak lainnya, teman-temannya arwah anak itu. Mereka yang tadinya ketakutan dan sedih pun dipeluk dan dibelai dengan lembut oleh para Malaikat Wanita dari surga. Para Malaikat itu memeluk mereka satu per satu, bagaikan seorang ibu memeluk anak tunggalnya.
Tidak lama kemudian, tangisan arwah anak-anak itu, termasuk arwah anak ibu itu pun berubah menjadi sebuah senyuman kebahagiaan perlahan-lahan.
"Bagaimana rasanya sekarang, Adik Kecil? Mau pergi ke tempat yang seperti ini tidak?" tanyaku sambil tersenyum membatin.
"Iya, aku mau. Kakak, aku sangat bahagia sekarang. Bahagia sekali. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan bahagia seperti ini, Kak," katanya dengan gembira. "Tapi kak, bolehkah aku mengajak teman-temanku juga untuk pergi bersamaku?" tanyanya.
"Iya, boleh..," jawabku lembut masih membatin dalam samadhi.
Saat itu juga Gregorious melakukan tugasnya dengan membuka gerbang cahaya ke surga. Begitu dia mengangkat pedang surgawinya ke atas langit, langit pun terbuka lebar dan cahaya surgawi pun turun ke atas kami semua.
Arwah anak-anak itu pun dibawa terbang satu per satu oleh para Malaikat Wanita yang masih memeluk mereka menuju gerbang surgawi yang dibuka oleh Gre. Tak lupa satu per satu dari mereka mengucapkan "Terima Kasih" padaku. Hihihi...lucu sekali ya arwah anak-anak ini, mereka sangat manis, pikirku membatin sambil tersenyum.
Terakhir adalah giliran arwah anak ibu itu untuk menyeberang. Tiba-tiba arwah anak ibu itu berubah menjadi makhluk surgawi yang tampan, menawan dengan jubah panjang membungkus tubuhnya yang atletis. Dia memakai sebuah mahkota pada kepalanya. Dia berubah menjadi seoramg dewa yang berusia dewasa.
Tidak heran, karena anak itu semasa hidupnya sangat baik hati, periang, dan juga banyak mengajarkan sesuatu tentang kehidupan pada keluarganya. Ia membawa kebahagiaan pada keluarganya ketika terlahir. Anak itu bukan anak sembarangan. Dia hanya terlahir menjadi manusia untuk membayar karmanya sebentar. Setelah tugasnya di dunia sudah selesai, ia kembali lagi ke surga, menjadi dewa yang tampan. Begitulah ia menceritakan tentang siapa dirinya sewaktu dulu kepadaku.
"Kak, bilang ibu supaya menjaga diri ya di dunia ini. Ibu harus kuat dalam menjalani kehidupan ini. Jangan lagi mengkhawatirkan saya. Saya sudah bahagia. Sekarang tinggal ibu yang harus menjadi bahagia. Semoga kelak ibu bisa terlahir ke alam yang bahagia...seperti saya," pesannya padaku. "Terima kasih untuk kebaikan hati Kakak ya."
"Saya hanya menjalankan tugas yang semestinya dilakukan. Yang penting sekarang kamu sudah terlahir ke alam bahagia, Kakak turut berbahagia," kataku sumringah membatin.
Setelah itu, dia pergi menuju gerbang surgawi itu. Disitulah perpisahan kami.
Tak lama kemudian, banyak arwah gentayangan yang berada di sekitar sana dan menyaksikan semua kejadian ini pun turut minta untuk diseberangkan ke alam yang lebih baik. Gregorious, Malaikat Penjagaku masih berdiri disana menjaga gerbang surgawi terbuka hingga semua arwah gentayangan di sekitar taman itu pun pergi menuju gerbang surgawi.
Setelah selesai menyeberangkan semua arwah yang ingin diseberangkan, Gre kembali menutup pintu gerbang itu dengan kekuatan surgawinya. Aku pun mengakhiri samadhi pagi hari itu. Saat itu juga, sayap malaikatku lenyap kembali. Aku kembali menjadi manusia biasa pada umumnya. Dan selesailah tugas kami pada hari itu.
Hujan pun berhenti. Langit kembali cerah. Dan aku memanggil ibu yang sedang bersamadhi di sampingku itu perlahan, supaya dia tidak kaget.
Aku menceritakan semua kejadian yang baru saja muncul dalam penglihatan batinku pada ibu itu. Tapi ibu itu tidak melihat apapun kali ini katanya. Pada awal samadhi, dia hanya melihat arwah anaknya datang menghampirinya bersama dengan teman-temannya. Itu saja.
Lantas, aku bertanya pada Gre membatin, "Gre, mengapa ibu ini tidak bisa melihatnya?"
"Mata batin ibu ini belum mampu menembus dimensi surgawi, Cherry," jawab Gre, Malaikat Penjagaku. Aku jadi mengerti sekarang.
Terpenting, arwah anak ibu ini sudah bisa terseberangi dengan baik, dan ibu ini sudah bisa berbahagia. Terlihat dari bola matanya kini memancarkan sinar kebahagiaan.
Aku dan Gre melepas lelah di kursi taman kota, dekat pendopo taman. Tiba-tiba ada seorang ibu setengah baya menghampiriku. Ibu itu nampak lebih tua dari usianya. Rambutnya memutih dan banyak kerutan pada kulitnya. Dia terlihat kurus sekali. Dia duduk di sebelahku.
"Dik, boleh ya.., Ibu duduk di sini sebentar."
"Oh silakan Bu, tidak apa-apa.."
Kami sama terdiam, sambil menikmati pagi yang cerah dan udara yang bersih kala itu.
Ibu itu nampak mengamati sesuatu. Matanya seperti tertuju dan fokus pada sesuatu di depan wajahnya. Tapi pandangannya kosong. Sebenarnya, tak ada yang dilihatnya. Nampak air mata kesedihan mengalir pada kedua pelupuk matanya.
"Ibu.., Ibu.. lagi sedih ya?" tanyaku.
Ibu itu menatapku sebentar. Lalu kembali pada pandangan kosongnya. "Iya, Dik. Benar."
"Ibu boleh cerita apa saja sama saya. Nama saya Cherry," aku memperkenalkan diri pada ibu itu, disertai dengan senyuman hangatku.
"Oh iya, terima kasih Dik Cherry. Kamu baik sekali," Ibu itu tersenyum tipis dengan air mata sedihnya. "Belum pernah Ibu bertemu dengan anak yang seramah Adik, selain anak Ibu..." matanya berkaca-kaca.
"Lalu anak Ibu kok tidak Ibu ajak kesini?"
"Dia sudah meninggal, Cherry…, dua bulan yang lalu. Karena kecelakaan," jawab ibu itu dengan air mata tampak menetes pada kedua pipinya. Tiba-tiba saja pagi yang cerah itu pun berubah. Langitnya mulai berawan dan mendung.
Aku saling berpandangan mata pada Gre.
"Tapi Ibu masih bisa merasakan kehadirannya, dia sering menghampiri Ibu di rumah," ceritanya. "Ibu sangat sedih dan khawatir dengan kondisi dia di alam sana saat ini. Maka dari itu, Ibu duduk di sebelah Cherry karena Ibu merasa Cherry adalah orang yang tepat untuk membantu Ibu," lanjutnya.
Aku turut bersedih mendengar cerita Ibu itu. "Apa yang Ibu inginkan agar saya membantu Ibu?" tanyaku.
"Ibu minta tolong agar Cherry mendoakan anak Ibu. Sebulan lagi kan 100 hari meninggalnya anak Ibu, bisakah Cherry bantu mendoakan dia sebelum 100 harinya?" pintanya kepadaku.
Tiba-tiba hujan turun dan langit menjadi gelap, sangat gelap dan pekat.
"Bu, kita pindah berteduh di dalam pendopo itu saja yuk," ajakku sambil memapah lengan ibu itu agar tidak terpeleset karena jalanan menjadi licin.
Kami mulai duduk di pendopo. Hanya kami bertiga. Ups, maksudnya berdua dengan ibu itu.
Orang-orang sudah berhamburan keluar taman. Sepertinya, memang tempat pendopo ini sudah disiapkan untuk kami.
"Bagaimana, apakah Dik Cherry bersedia?" tanyanya sekali lagi. Kedua pipinya nampak basah karena air mata yang menggenang terus.
"Dengan senang hati, Bu. Sekarang juga kita bisa sama-sama memanggil arwah anak Ibu dan mendoakannya untuk ditempatkan di alam yang lebih baik..," jawabku tersenyum padanya.
"Bagaimana caranya? Ibu tidak mengerti..," katanya lirih. "Ibu melihat Cherry lebih paham dalam hal seperti ini. Ibu bisa merasakannya..." katanya mantab.
"Ah tidak, Bu. Sebenarnya keluarga sendirilah yang memiliki kekuatan doa yang paling besar," jawabku. "Begini, kita ambil posisi duduk bersila seperti ini ya. Apakah Ibu bisa duduk bersila?"
"Ya, Ibu bisa." Ibu itu mulai mengambil posisi duduk dengan kaki bersila, posisi samadhi.
"Baik, Bu. Kita akan mendoakannya bersama-sama ya Bu," pintaku lembut padanya.
Lalu kami melakukan samadhi. Samadhi yang kami lakukan adalah Meditasi Cinta Kasih. Kami melakukan pemancaran Cinta Kasih bersama sesuai instruksi yang saya berikan untuk ibu tersebut.
Dan aku pun memulai doa di dalam hati sebelum melakukan Meditasi Cinta Kasih dan Doa Penyeberangan Arwah. Aku membatin :
"Para Guru dan makhluk di semua alam. Pada pagi hari ini ijinkan kami bermeditasi di tempat ini. Kami memohon perlindungan Guru saat kami melakukan meditasi. Dan bantulah kami dalam doa penyeberangan arwah supaya dapat bermanfaat untuk semua makhluk dan semoga berbahagia. Amin."
Pertama-tama, kami melakukan pemancaran Cinta Kasih yang dimulai untuk diri sendiri, orang-orang terdekat yang dicintai, orang-orang yang netral tidak dikenal, dan semua makhluk di sekitar taman ini. Seperti biasanya..., sayap malaikat yang aku miliki pun muncul, membentang dan bercahaya secara tiba-tiba.
Sayap yang aku miliki cukup besar jika dibentangkan lurus, mungkin sekitar 3 meter panjangnya satu sayapnya. Warnanya putih bersih dan mengeluarkan kilauan cahaya. Sayap ini hanya muncul saat aku memasuki samadhi yang mendalam dan juga diperlukan untuk membantu para arwah biasanya.
Ketika sudah memasuki samadhi dan energi cinta kasih sudah terasa hangat di dada, tiba-tiba datanglah seorang arwah anak remaja sekitar usia 14 tahun bersama arwah teman-temannya. Dia menangis ketika melihat ibunya. Dia duduk di depan ibunya, dan menangis tanpa henti. Ibunya tetap berkonsentrasi pada samadhi sesuai instruksi yang saya berikan.
Lalu saya mencoba untuk mengajak komunikasi anak itu, yang merupakan arwah gentayangan dari anak ibu itu.
"Hei, Adik Kecil," sapaku membatin. Dia menatapku.
"Maukah hari ini kamu pergi ke tempat yang lebih baik, lebih indah dan bahagia?" tanyaku lembut membatin.
"Tidak mau. Aku masih mau bersama ibu," pintanya sambil menangis.
Saat itu juga datanglah seorang Malaikat Wanita yang sangat cantik dan bercahaya, Dia adalah rekan Gre, Malaikat Penjagaku. Malaikat Wanita itu langsung memeluk erat arwah anak yang sedang menangis itu di depan ibunya. Kehangatan dari Malaikat Wanita itu terasa menjalar di sekujur tubuh arwah anak itu, bagaikan seorang ibu yang memeluk lembut anaknya. Malaikat itu berusaha menenangkan hati arwah anak itu dengan sentuhan Cinta Kasihnya.
Begitu juga dengan arwah anak-anak lainnya, teman-temannya arwah anak itu. Mereka yang tadinya ketakutan dan sedih pun dipeluk dan dibelai dengan lembut oleh para Malaikat Wanita dari surga. Para Malaikat itu memeluk mereka satu per satu, bagaikan seorang ibu memeluk anak tunggalnya.
Tidak lama kemudian, tangisan arwah anak-anak itu, termasuk arwah anak ibu itu pun berubah menjadi sebuah senyuman kebahagiaan perlahan-lahan.
"Bagaimana rasanya sekarang, Adik Kecil? Mau pergi ke tempat yang seperti ini tidak?" tanyaku sambil tersenyum membatin.
"Iya, aku mau. Kakak, aku sangat bahagia sekarang. Bahagia sekali. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan bahagia seperti ini, Kak," katanya dengan gembira. "Tapi kak, bolehkah aku mengajak teman-temanku juga untuk pergi bersamaku?" tanyanya.
"Iya, boleh..," jawabku lembut masih membatin dalam samadhi.
Saat itu juga Gregorious melakukan tugasnya dengan membuka gerbang cahaya ke surga. Begitu dia mengangkat pedang surgawinya ke atas langit, langit pun terbuka lebar dan cahaya surgawi pun turun ke atas kami semua.
Arwah anak-anak itu pun dibawa terbang satu per satu oleh para Malaikat Wanita yang masih memeluk mereka menuju gerbang surgawi yang dibuka oleh Gre. Tak lupa satu per satu dari mereka mengucapkan "Terima Kasih" padaku. Hihihi...lucu sekali ya arwah anak-anak ini, mereka sangat manis, pikirku membatin sambil tersenyum.
Terakhir adalah giliran arwah anak ibu itu untuk menyeberang. Tiba-tiba arwah anak ibu itu berubah menjadi makhluk surgawi yang tampan, menawan dengan jubah panjang membungkus tubuhnya yang atletis. Dia memakai sebuah mahkota pada kepalanya. Dia berubah menjadi seoramg dewa yang berusia dewasa.
Tidak heran, karena anak itu semasa hidupnya sangat baik hati, periang, dan juga banyak mengajarkan sesuatu tentang kehidupan pada keluarganya. Ia membawa kebahagiaan pada keluarganya ketika terlahir. Anak itu bukan anak sembarangan. Dia hanya terlahir menjadi manusia untuk membayar karmanya sebentar. Setelah tugasnya di dunia sudah selesai, ia kembali lagi ke surga, menjadi dewa yang tampan. Begitulah ia menceritakan tentang siapa dirinya sewaktu dulu kepadaku.
"Kak, bilang ibu supaya menjaga diri ya di dunia ini. Ibu harus kuat dalam menjalani kehidupan ini. Jangan lagi mengkhawatirkan saya. Saya sudah bahagia. Sekarang tinggal ibu yang harus menjadi bahagia. Semoga kelak ibu bisa terlahir ke alam yang bahagia...seperti saya," pesannya padaku. "Terima kasih untuk kebaikan hati Kakak ya."
"Saya hanya menjalankan tugas yang semestinya dilakukan. Yang penting sekarang kamu sudah terlahir ke alam bahagia, Kakak turut berbahagia," kataku sumringah membatin.
Setelah itu, dia pergi menuju gerbang surgawi itu. Disitulah perpisahan kami.
Tak lama kemudian, banyak arwah gentayangan yang berada di sekitar sana dan menyaksikan semua kejadian ini pun turut minta untuk diseberangkan ke alam yang lebih baik. Gregorious, Malaikat Penjagaku masih berdiri disana menjaga gerbang surgawi terbuka hingga semua arwah gentayangan di sekitar taman itu pun pergi menuju gerbang surgawi.
Setelah selesai menyeberangkan semua arwah yang ingin diseberangkan, Gre kembali menutup pintu gerbang itu dengan kekuatan surgawinya. Aku pun mengakhiri samadhi pagi hari itu. Saat itu juga, sayap malaikatku lenyap kembali. Aku kembali menjadi manusia biasa pada umumnya. Dan selesailah tugas kami pada hari itu.
Hujan pun berhenti. Langit kembali cerah. Dan aku memanggil ibu yang sedang bersamadhi di sampingku itu perlahan, supaya dia tidak kaget.
Aku menceritakan semua kejadian yang baru saja muncul dalam penglihatan batinku pada ibu itu. Tapi ibu itu tidak melihat apapun kali ini katanya. Pada awal samadhi, dia hanya melihat arwah anaknya datang menghampirinya bersama dengan teman-temannya. Itu saja.
Lantas, aku bertanya pada Gre membatin, "Gre, mengapa ibu ini tidak bisa melihatnya?"
"Mata batin ibu ini belum mampu menembus dimensi surgawi, Cherry," jawab Gre, Malaikat Penjagaku. Aku jadi mengerti sekarang.
Terpenting, arwah anak ibu ini sudah bisa terseberangi dengan baik, dan ibu ini sudah bisa berbahagia. Terlihat dari bola matanya kini memancarkan sinar kebahagiaan.
Written by : Yanti Kumalasari, S.Ds.
Fan-page Writer : https://www.facebook.com/thesoulreader.jkt/
Editing by : Kepik Romantis / PVA
Fan-page Writer : https://www.facebook.com/thesoulreader.jkt/
Editing by : Kepik Romantis / PVA
Subscribe to:
Posts (Atom)