Hari hampir petang. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan di kantor, hatiku tergerak untuk bergegas pergi ke sebuah Gereja “
Konstantine” di dekat rumah. Disana terdapat bangunan tua khas Romawi dengan vibrasi energi yang sejuk. Ketika itu aku hanya ingin melarikan diri dari semua kepenatan duniawi. Aku sedang ingin mengistirahatkan hatiku sejenak, menyalakan lilin di sebuah goa Bunda Maria, dan berdoa Rosario, pikirku.
Sesampainya disana, hanya ada beberapa umat yang datang mengunjungi goa Bunda Maria yang terletak di sudut Gereja itu. Seperti biasanya, aku selalu mengambil tempat duduk paling depan, setelah menyalakan lilin dan menancapkannya di tempat lilin yang telah disediakan di bawah patung kaki Bunda Maria.
Dengan khusyuk, aku mendaraskan Doa Rosario pada kalung Rosario buatanku yang terbuat dari kristal amethys ini. Berwarna ungu gelap, dan berdiameter sekitar 8mm per butir. Totalnya ada 59 butir, ditambah tanda salib pada ujung kalungnya.
Seperti biasa, ketika aku mulai mendaraskan doanya, tiba-tiba angin sejuk menghampiriku, menggelitik wajahku. Tengah dadaku mulai merekah dengan bahagia, begitu damai dan tenang sekali.
Dalam doa, aku hanya berfokus pada kebaikan hati dan sifat welas asih Sang Bunda Perawan Maria yang begitu kuat, sabar dan tabah ketika menyaksikan Yesus Kristus Puteranya dihina, dicerca, dan disiksa oleh manusia. Ibu mana yang tega melihat anaknya dalam kondisi itu? Tidak ada. Hanya Bunda Maria yang bisa sabar dan kuat menyaksikan semua penderitaan itu. Itulah sebabnya, aku belajar banyak dari Bunda Perawan Maria tentang kekuatan, dan kewelas asihan yang dimiliki oleh Sang Bunda. Aku berharap agar suatu hari aku pun mampu seperti Sang Bunda.
Tak lama, air mata haru tampak menetes dari kedua pelupuk mataku, mengalir pada kedua pipiku. Selalu...selalu dan selalu begitu ketika aku merasakan welas asih yang terpancar dari Sang Bunda. Ini bukanlah air mata kesedihan, juga bukan air mata kegembiraan duniawi yang fana. Air mata ini adalah air mata Cinta Kasih Sang Bunda Perawan Maria, Cinta Kasih yang berasal dari surgawi yang dapat aku rasakan saat ini.
Setelah selesai mendaraskan Doa Rosario sebanyak satu putaran, aku mendoakan banyak hal. Aku mendoakan kebahagiaan diriku, kebahagiaan orang tuaku, kebahagiaan pasanganku, kebahagiaan teman-temanku, dan kebahagiaan para makhluk yang tidak nampak, baik para malaikat di surga maupun para iblis di neraka. Semoga semuanya berbahagia.
Tak lupa aku juga mendoakan Gre, Malaikat Pelindungku, yang selama ini telah sabar menjaga dan melindungiku di dunia.
Oh ya, omong-omong tentang Gre, aku baru ingat kalau Gre tidak sedang berada disini. Biasanya dia selalu menemaniku berdoa disini.
Aku menutup doaku dengan membuat tanda salib, "Atas Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, Amen." Lalu aku segera mencari Gre di seluruh sisi dalam ruangan Gereja itu.
Terbesit dalam diriku untuk membuka pintu ruang misa utama. Aku mulai membuka pintu Gereja yang tingginya hampir delapan meter itu yang terkait di ruangan bagian belakang. Aku langsung bisa menatap salib Tuhan Yesus yang menggantung di atas altar Gereja itu. Sangat besar. Gre, Malaikat Pelindungku pun disana. Dia sedang duduk di kursi umat di paling depan dan menatap lama salib Tuhan Yesus yang menggantung di atas altar itu.
Aku menghampirinya. Duduk disebelahnya.
"Gre...apa aku mengganggumu?" tanyaku lembut memecah lamunannya.
"Oh tidak apa, Cherry. Santai saja," jawabnya.
"Kau...baik-baik saja, Gre?" tanyaku khawatir.
"Tidak begitu..." jawabnya masih menatap salib Tuhan Yesus disana.
Kami sama-sama terdiam.
"Apakah Bapa akan menghukumku, bila aku memiliki perasaan cinta terhadap manusia?" Gre bergumam memecah keheningan ini.
Aku pun mengernyitkan dahi, "Maksudmu, Gre?"
Dia hanya menatapku. Tanpa sepatah kata yang terucapkan dari bibirnya.
Aku mencoba berpikir. Mengolah kalimatnya barusan. Sepertinya aku mulai memahami apa yang dimaksudkannya. Apakah seorang Malaikat bisa jatuh cinta?...aku membatin.
Aku mulai tersenyum tipis. Lalu aku berjalan menuju tempat lilin di depan altar. Aku mencoba menyalakannya dengan mengambil sedikit api yang sudah menyala pada kedua lilin altar.
Sembari menyalakan lilin itu. Aku memusatkan konsentrasiku pada samadhi mendalam. Dan sepasang sayap malaikatku, besar dan bercahaya, kembali muncul. Aku duduk pada anak tangga di bawah altar tersebut sambil memegangi lilin yang baru saja aku nyalakan itu. Membuat seluruh ruangan ini jadi bercahaya karena cahaya lilinku. Aku pun juga menjadi bercahaya.
Gre tampak terkejut dan menatapku.
"Gregorious, Malaikat Pelindungku..." sapaku penuh kehangatan. "Dahulu kala...jauh sebelum aku menjadi manusia, aku juga adalah seorang Malaikat Pelindung...sama sepertimu," aku melanjutkan.
Gregorious menyimakku dengan perhatian yang mendalam. Matanya tidak berkedip seolah tidak mau melewatkan apapun gerak gerikku, dan apapun yang ingin aku bicarakan.
"Tentu kau sudah mengetahui hal ini...jauh sebelum aku lahir saat ini. Untuk itulah kau menjadi Malaikat Pelindungku..." kataku untuk memastikannya.
"Iya benar. Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya, Cherry," jawabnya lembut, hampir membisik.
"Akan tetapi...selama perjalanan aku menjadi Malaikat Pelindung, melindungi seorang pria, seorang manusia...aku jatuh cinta padanya.
Aku tidak saja berciuman dengan pria manusia itu, tapi aku banyak melakukan kesalahan-kesalahan fatal ketika di dunia. Ego malaikatku mulai muncul ketika itu. Dengan kekuatan malaikat yang aku miliki, aku membuat pria itu tidak bisa menikah dengan manusia. Tidak ada wanita yang bisa mendekati pria yang kucintai pada waktu itu.
Yang aku pikirkan hanyalah keinginan untuk memilikinya, bagaimana bisa hidup berdua dengannya, dan melakukan banyak hal romantis berdua dengannya... sebagai malaikat dan manusia.
Lalu, suatu hari aku tersadar bahwa aku telah melakukan kesalahan. Aku tersadar bahwa...malaikat dan manusia tidak bisa bersatu...selamanya. Aku telah melakukan perbuatan dosa. Aku merasa jijik pada diriku sendiri. Aku merasa hina.
Tiba-tiba cahaya malaikatku mulai memudar...sedikit demi sedikit. Hingga suatu hari...aku merasa tidak pantas untuk kembali ke surga.
Ketika Bapa memanggil-manggil aku dari surga, aku tidak pernah menjawabNya lagi. Aku hanya pergi ke suatu tempat yang sunyi untuk aku bersembunyi dan menyendiri.
Aku merasa tidak pantas memiliki kedua sayap ini. Lalu aku mencoba memotong kedua sayapku ini. Tapi selalu gagal. Sayapku terlalu besar untuk ukuran tubuhku yang mungil waktu itu. Alhasil, aku hanya bisa menyayat-nyayat sayap malaikatku hingga darah berceceran dimana-mana.
Saat itu aku tersadar, bahwa aku punya darah. Saat itu aku bukan lagi seorang malaikat. Entahlah...menjadi apa aku ini. Malaikat bukan, tapi manusia juga bukan. Sangat mengerikan... Dan aku pun menjadi gila..." kisahku. Gre hanya memperhatikanku tanpa mengedipkan pandangannya.
"Dan selama kelahiran demi kelahiran menjadi manusia, aku banyak mengalami kisah cinta yang menderita...Gre..." lanjutku singkat.
"Aku juga mengetahui hal itu, Cherry," pintanya.
"Sekarang, aku akan menjawab pertanyaanmu sebelum ini, Gre," aku berdiri sambil masih memegang lilin dengan kedua tanganku. Kini aku berdiri persis di depan Gre, tempat Gre duduk di bangku barisan paling depan itu. "Ketika itu aku juga tersadar bahwa Bapa tidak pernah menghukumku... menghukum malaikat sepertiku ini. Sesungguhnya, akulah yang menghukum diriku sendiri..."
Gre pun bergegas mengepakkan kedua sayap malaikatnya. Dia terbang dan menghampiriku. Kini dia berdiri di sampingku, tepat di depan altar. Dan aku mulai menaruh lilin itu pada sisi atas bangku Gereja.
Kini kami saling berhadapan, dan saling berpandangan. Aku dapat merasakan semua yang dirasakannya. Karena, aku pernah mengalaminya...jauh sebelum dia mengalaminya saat ini...
"Gre selalu berkata padaku. Bahwa, aku harus mengembangkan Cinta Kasih yang murni kepada semua makhluk...benarkah?" tanyaku lembut sambil tersenyum menatapnya.
"Kau benar, Cherry. Aku selalu berkata demikian agar kau bisa menghilangkan nafsu dan ego manusiamu," katanya perlahan sambil membelai rambutku yang panjang ini.
"Meski aku tidak tahu pasti, siapa manusia yang membuatku jatuh cinta itu, aku harap... jangan ada lagi cherry cherry yang lainnya...sepertiku waktu itu," kataku lembut nan tegas untuk mengingatkannya.
Seketika itu juga Gre langsung memelukku erat...sangat erat sekali...
"Aku sangat menyayangimu Gre...aku tak mau membuatmu menderita..." pintaku lembut bagaikan angin sepoi yang menyibakkan rambut keemasannya itu. "Kumohon...Gre..." mohonku.
Dalam dekapannya dia pun meneteskan air mata. Itu adalah air mata penyesalan dan kesedihannya..."Ya..." dekapannya kian erat. "Ya, Cherry. Terima kasih sudah mengingatkanku. Terima kasih..."
Aku menatap kedua bola matanya yang basah itu.
"Jangan berterima kasih padaku Gre. Berterima kasihlah pada Bapa di sana," sembari menunjuk salib Tuhan Yesus yang besar menggantung di atas altar Gereja.
Written by : Yanti Kumalasari, S.Ds.
Fan-page Writer : https://www.facebook.com/thesoulreader.jkt/
Editing by : Kepik Romantis / PVA