Liburan telah tiba. Aku dan teman-temanku berencana mengistirahatkan batin dan pikiran dari segala aktifitas pekerjaan duniawi. Kami berempat : aku, Tyrex, Xy, dan Red. Kami berencana menginap selama 3 hari di sebuah villa pemandian air panas di sebuah pedesaan terpencil di bawah kaki gunung. Red yang menyetir.
Aku, Cherry hanyalah gadis biasa dengan sedikit kekuatan cinta. Red seorang gadis yang memiliki karir cemerlang. Baru-baru ini, semenjak kenal dengan aku, mata batinnya yang tertutup menjadi terbuka dan jernih kembali. Dia jadi bisa melihat banyak makhluk yang tak kasat mata, juga bisa merasakan berbagai macam karakter orang.
Xy juga adalah seorang pengusaha muda yang memiliki mata batin cukup tajam. Dia banyak menempuh jalan supranatural di masa lalunya. Tapi semenjak bertemu denganku, Xy mulai meninggalkan supranaturalnya dan belajar menempuh jalan spiritual dalam kehidupannya.
Tyrex adalah seorang pemuda yang memiliki mata batin cukup tajam diantara kami. Dia banyak membantu orang-orang yang kesulitan dalam hal supranatural. Dalam spiritual dia juga bagus dan mengerti banyak hal. Menurutku, dia paling keren. Haha.
Xy berkata, "Red, Cherry...thanks ya. Kalau kalian berdua nggak ajak jalan, aku pasti di rumah aja liburan kali ini. Menurut aku, jalan-jalan itu cuma happy sesaat aja. Pulang ke rumah pusing lagi mikirin masalah."
"Iya kalau ke sini nanti beda, Xy. Waktu sedang ada masalah, justru kita tinggalin aja dan pergi ke sini. Pulang-pulang masalah udah beres. Soalnya kita nggak menyelesaikan masalah itu pakai kekuatan sendiri. Kita dibantu oleh para makhluk langit. Bukan jalan-jalan biasa nih jadinya ya Xy. Hehehe," terangku.
Selama dalam perjalanan, kami bersenda gurau, dan tertawa terbahak-bahak. Apa saja kami tertawakan. Kami saling sharing dan berdiskusi banyak hal, termasuk banyak hal mengenai spiritual.
Tengah perjalanan dalam radius beberapa puluh kilometer dari tempat kaki gunung yang ingin kami kunjungi, aku baru merasakan hawa spiritual yang kuat, "Eh, hawa di sana sudah terasa sekali ya sampai ke sini."
"Iya memang, Che. Dari tadi pas kita mau berangkat tuh udah dijemput sama yang jaga disana," sahut Red. "Tuh kita dikawal di kiri kanan sama macan sana," lanjutnya.
Xy menimpali, "Tadi kita ngobrol-ngobrol di rest area tuh banyak yang datangi kita ya?"
Tyrex menjawab, "Iya, mereka kan juga mau belajar dari kita. Mereka dengar topik yang kita bicarakan tadi."
"Iya nih, rasanya happy ya. Kita ketawa-ketawa terus dari tadi. Hahaha," sahutku. "Tapi kebahagiaan ini pun akan berlalu."
Kami tertawa lagi.
"Makanya kita puas-puas deh ketawa-ketawa hari ini. Hahaha," Red menimpali.
Kami tertawa lepas...bebas.
Akhirnya kami keluar tol juga. Hari mulai gelap. Kami menelusuri jalan biasa, naik turun bukit. Akan tetapi, GPS menunjukkan jalan alternatif untuk kami, karena jalan yang biasa kami lalui macet luar biasa. Kami diarahkan untuk memutari gunung demi gunung.
Red memberikan GPS telepon genggamnya untuk aku pegang dan mengarahkannya.
Jalan demi jalan kami lalui. Jalan ini masih asing bagi kami. Karena kami belum pernah melalui jalan ini. Jalan ini lebih kecil dari biasanya. Dan gelap. Sangat gelap. Karena kurangnya lampu di sepanjang jalan itu.
"Ini sih kita lewat jalan belakang, memutar gunung," Tyrex nyeletuk. "Aku belum pernah lewat sini."
"Ih gila, gelap amat ya jalannya," Red menimpali. "Untung aku udah ganti lampu baru kemarin, jadi lebih terang. Merk Ph*l*ps."
"Baguslah, terang terussss..." timpalku di sebelah Red mencairkan suasana.
"Hush ah. Jangan bikin ketawa nih. Aku ga bisa berkedip sedikit pun. Ngeri, beda sedetik aja, kita keluar jalur sebelah. Mana jalannya sempit lagi," Red cemas.
"Ini belum apa-apa Red. Menurut GPS, sebentar lagi kita akan lewati jalan yang lebih berkelok-kelok tajam," kataku sembari memperhatikan GPS.
"Serius???" mereka bertiga terkejut.
Kami semua hening.
Terdiam.
Tiba-tiba Red seperti dibisikkan oleh sesuatu di telinganya. "Tapi tenang...tenang...barusan aku dibisiki supaya jangan takut. Kita dijagain kok."
"Kata siapa?" tanya Xy.
"Barusan Ibu...Ibu Kwan Im di sana yang bisikin dan nenangin..." jawab Red perlahan dan matanya tetap tak terlepas dari kemudinya.
Di sepanjang jalan Red berbicara sendiri. "Permisi ya...permisi...Iya, iya nanti kita doain. Jangan ganggu ya..."
Kami terdiam.
Sedangkan aku hanya mengamati tiap kegelapan jalan yang sedang kami telusuri. Hawa kegelapan merasuki batinku. Aku jadi merasakan apa yang mereka rasakan di alam sana. Aku juga mendengarkan tiap jerit tangis dan kesedihan mereka. Banyak kesedihan. Banyak ratap tangis. Banyak penyesalan. Banyak amarah. Dan lain sebagainya. Menjadi satu dalam batinku.
"Aku sedih meninggalkan suami yang kucintai."
"Aku sakit hati jadi aku gantung diri saja di sini."
"Aku belum siap untuk mati..."
Dan lain sebagainya suara-suara itu terus-terusan memenuhi telinga batinku. Lalu aku berkata perlahan pada mereka membatin, "Iya, saya mengerti kesedihan kalian. Nanti pasti saya doakan ya supaya kalian semua terbebas dari kesedihan ini..."
Salah satu dari arwah mereka setengah baya menyahut, "Terima kasih adik. Kamu baik sekali. Padahal kita bukan keluarga."
"Ya...karena saya sayang sama kalian. Saya juga sedih bila kalian sedih..." jawabku membatin membuat mereka terharu.
Rupa mereka pun berbagai macam. Ada yang biasa saja seperti manusia hanya saja pucat pasi. Ada yang sosok nenek-nenek pucat. Ada yang sosok berdarah-darah. Ada yang sosok tinggi besar berbulu dengan mata merah. Dan lain sebagainya.
"Kasihan ya mereka. Sedih sekali karena meninggalkan orang-orang yang mereka cintai..." celetukku tiba-tiba.
Red bertanya, "Kenapa Che, kamu merasakan mereka ya?"
"Iya," jawabku.
Spontanitas aku memancarkan cinta kasih dalam hatiku. Dan mengucapkan doa berulang-ulang seperti yang aku janjikan pada mereka.
"Semoga semua makhluk berbahagia.
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan.
Semoga semua makhluk bebas dari kebencian.
Semoga semua makhluk bebas dari kemelekatan."
Archangel Zamael kini sudah menyatu dan tinggal dalam diriku. Karena aku sudah mulai bisa menerima dan menyadari sisi kegelapan di dalam diriku. Aku tak lagi memusuhi kegelapan dalam diriku. Aku mencintai setiap sisi dalam diriku. Maka dari itu, Zamael kini tinggal bersamaku. Dan bersama Gregorious, Malaikat Pelindungku yang selalu bersamaku semenjak aku kecil.
Archangel Zamael bersama macan langit penjaga kami berjaga di sekeliling kami, sehingga membuat kami terlindungi dari kegelapan pepohonan di sekitar sana selama kami dalam perjalanan. Makhluk langit dari Lintas Agama berbaur melindungi kami. Karena kami berempat juga dari latar belakang yang berbeda-beda.
Banyak makhluk alam peta yang mendekati kami, baik yang tidak jahat maupun yang jahat sekali. Pemimpin mereka juga ada. Mereka berusaha menerobos perlindungan kami. Berusaha menggelapkan pandangan Red yang sedang menyetir malam itu. Tapi Red terus berkonsentrasi tanpa mengedipkan pandangannya, meskipun beberapa kali Red terkaget dengan beberapa mobil yang ingin mendahuluinya hampir menabraknya.
Sedangkan Gregorious membantu memurnikan jiwa para makhluk tersebut. Memang tidak semuanya. Ada yang terseberangi ke alam yang lebih baik saat itu juga. Dan ada yang belum terseberangi dan masih mengikuti kami dalam perjalanan.
Ternyata aku tidak sendirian dalam mendoakan mereka. Tyrex diam-diam juga membantu penyeberangan arwah mereka. Meskipun Tyrex tidak berkata apapun mengenai hal ini, tapi aku dapat merasakan kerja energinya. Tyrex memerintahkan para macan hitam langit menjaga perjalanan kami malam itu.
Cukup lama kondisi yang menegangkan itu. Mungkin sekitar 60 menit kami terjebak dalam perjalanan yang mencekam.
"Kayaknya, kita memang disuruh melewati jalan sini kali ya?" Red nyeletuk memecah suasana.
"Iya Red buat bantu menyeberangkan makhluk-makhluk itu. Kasihan soalnya," jawabku.
"Mungkin mereka juga heran kita lewat jalan sini. Mereka bingung kali ya sama kita. Siapa kita ini dan apa tujuan kita kesini?" timpal Red lagi.
"Iya soalnya kita kan bawa cahaya. Kalau orang-orang seperti kita bawa cahaya, kemana pun kita pergi pasti bisa memurnikan sekitar kita, secara otomatis..." sahut Tyrex dengan pengalamannya.
"Oh begitu ya..." aku menanggapi. Dasar Tyrex yang rendah hati. Dia selalu diam-diam saja, tidak bercerita kalau dia pun sedang membantu pemurnian makhluk tersebut barusan. Tapi aku tahu. Dalam diamnya, dia sedang berkonsentrasi melakukan pemurnian spontan.
Akhirnya jalanan yang sulit itu berhasil kami lewati. Kini kami sudah bertemu dengan jalan besar. Tapi kami terkena macet penutupan jalan menuju jalan raya. Kami hampir sampai.
Tiba-tiba tubuhku agak lemas dan menguap terus-menerus setelahnya.
"Cherry sampai menguap terus. Kecapekan dia. Hahaha," Tyrex nyeletuk ringan membaca kondisiku sekaligus mencairkan suasana kemacetan ini.
"Iya, agak..." jawabku setengah sadar setengah tertidur dalam mobil. Aku tahu Tyrex itu keren. Meski dia banyak menyeberangkan makhluk, energinya tidak pernah habis-habis. Ah, aku harus belajar darinya, pikirku.
Tyrex memang spesialisasinya disana, bertempur untuk memurnikan makhluk kegelapan. Karena memang sudah bawaan dari kehidupan lampaunya, Tyrex dulunya adalah seorang panglima perang untuk Kaisar Naga Langit di tingkatan langit yang berbeda dari Zamael dan Gre, Malaikat Pelindungku. Makanya Tyrex diam-diam bisa memerintahkan macan hitam langit tadi untuk membantu melindungi kami barusan.
Aku tertidur sekitar 30 menit di tengah kemacetan. Selama tertidur, Gregorious membantu memulihkan energiku.
Kini kami terbebas dari kemacetan. Tinggal lurus saja kami akan tiba di villa di bawah kaki gunung yang ingin kami tinggali.
"Eh berhenti makan yuk. Lapar nih," tiba-tiba Xy bergumam.
"Dasar, makan terus kerjanya. Barusan juga ngemil. Ih kita kayak bawa bayi besar ini mah," kesal Red.
"Hahahaha..." kami bertiga hanya tertawa mendengar Red berceloteh kesal. Karena tidak tega, akhirnya ia memberhentikan mobilnya di warung pinggir jalan. "Tuh makan sepuasnya deh."
"Yeee maklum, ini cacing di perut nggak bisa diajak kompromi. Hahahaha," Xy mengeles.
Akhirnya kami bisa makan malam juga setelah terbebas dari kemacetan jalan, terutama terbebas dari kegelapan hutan di sepanjang jalan mengitari gunung tadi.
Lapar pun baru terasa. Aku baru bisa makan dengan lahapnya. Ternyata energiku terkuras banyak selama penyeberangan arwah tadi. Dan aku lapar karena banyak yang mengikuti kami pergi.
Tapi prosesi penyeberangan arwah tadi belum selesai sampai disana. Sesampainya kami di villa di bawah kaki gunung itu, kami berempat melakukan samadhi di ruang tamu dekat altar Dewa Bumi. Kami mulai menggelapkan semua cahaya lampu disana. Kami duduk melingkar saling berhadapan.
Aku terduduk dalam posisi setengah lotus dengan kedua telapak tangan membentuk dhyana mudra. Aku mulai memejamkan kedua mataku perlahan. Menarik nafasku perlahan-lahan juga, sealami mungkin. Sealaminya bernafas.
Aku mulai mendoakan kembali :
"Semoga semua makhluk berbahagia.
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan.
Semoga semua makhluk bebas dari kebencian.
Semoga semua makhluk bebas dari kemelekatan."
Tiba-tiba saja banyak makhluk tak dikenal berdatangan dari berbagai arah. Tentu saja atas seijin Dewa Bumi penghuni villa itu untuk tujuan memurnikan para makhluk yang menderita. Hanya makhluk-makhluk yang diizinkan oleh Dewa Bumilah yang bisa masuk ke dimensi astral di dalam villa ini.
Mereka semua berkumpul seperti para pendemo yang sedang menyuarakan jeritan tangis hati mereka yang menderita.
Saya terus mengucapkan mantra sambil memancarkan Cinta Kasih kepada mereka :
"Semoga semua makhluk berbahagia.
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan.
Semoga semua makhluk bebas dari kebencian.
Semoga semua makhluk bebas dari kemelekatan."
Tiba-tiba saja pintu gerbang surga dan neraka terbuka lebar. Malaikat Gregorious mengangkat pedang langitnya ke arah atas untuk menjaga gerbang surga. Sedangkan Archangel Zamael mengubah pedang apinya untuk menjaga gerbang neraka.
Para makhluk dimurnikan oleh kekuatan Cinta Kasih dari kami. Setelah mereka termurnikan, mereka diangkat dan diseberangkan ke surga. Banyak juga makhluk langit dari Lintas Agama turun ke tempat kami saat itu.
Banyak para malaikat yang turun, dari Malaikat Penyembuh rekan Gre sampai Malaikat Perang anak buah Archangel Zamael.
Aku juga melihat para pasukan langit berpakaian perang lainnya turun ke atas kami. Mereka semua adalah pasukan Tyrex. Jangan lupa bahwa Tyrex dulunya adalah Panglima Perang mereka. Karena karmanya habis, dia turun menjadi manusia bumi...sahabat kami.
Malam itu terjadi peperangan sengit. Para makhluk yang belum bisa dimurnikan, dimusnahkan ke neraka saat itu juga oleh Archangel Zamael untuk dimurnikan. Malaikat Zamael bekerja bersama Dewa Erlang dan anjing langitnya serta para macan hitam penunggu yang ada di villa ini. Dewa Erlang menghisap semua energi kegelapan mereka, sebelum mereka termurnikan.
Kami terus-menerus memancarkan Cinta Kasih. Mereka yang sesungguhnya bekerja. Terima Kasih aku ucapkan dari lubuk hati yang terdalam untuk para makhluk langit yang berbudi luhur.
Lalu kami mengakhiri samadhi kami. Tugas penyeberangan arwah malam itu selesai.
Kami bercerita banyak hal. Terutama aku dan Tyrex memiliki penglihatan yang sama mengenai apa yang terjadi barusan.
"Tapi gila, banyak makhluk dari atas main tubruk badanku aja. Sampai ini badan sedikit tersentak maju ke depan. Siapa tuh. Parah," celoteh Tyrex.
Ups, bisa jadi itu adalah para malaikat anak buah Zamael yang [memang] agak kasar.
Aku langsung bergumam, "Zamael, tolong ya bilangin anak buahmu lain kali lebih hati-hati lagi, supaya nggak sembarang tubruk badan orang. Emangnya dikira batu apa?"
"Oke Cherry. Bilang saja, maaf. Lain kali nggak akan terulangi deh," katanya membisiki telingaku dengan gaya genitnya.
"Hahaha," aku hanya tertawa. Sampai hari ini aku belum memberi tahunya. Biar sajalah pikirku. "Maafin aja ya Rex, nggak sengaja barangkali karena buru-buru. Hahaha," sahutku pada Tyrex.
Kami pun mengobrol santai. Banyak yang kami bicarakan di meja makan. Baik Red maupun Xy, mereka bertanya banyak hal pada Tyrex. Tyrex usianya lebih tua dari kami semua. Kami menganggapnya seperti sesepuh kami.
Pada hari ketiga, pada pagi harinya sebelum hendak pulang, aku mencoba sembahyang pada Dewa Bumi, memohon kelancaran dalam perjalanan pulang kami ke Jakarta. Setelah itu dilanjutkan dengan Meditasi Cinta Kasih. Biasanya bila sembahyang Dewa Bumi di altar sana, aku banyak diberikan wejangan tentang Cinta Kasih dan wejangan tentang mendoakan arwah para makhluk menderita oleh Dewa Bumi.
Tapi kali ini sedikit berbeda. Tidak ada wejangan. Yang ada Dewa Erlang di ruang tamu sana terus mengamatiku, dan Beliau pun menghampiriku.
Dengan sopan, dia meminta izin pada kedua Malaikat Pelindungku, "Maaf, boleh bertemu dengan Cherry?" tanyanya pada Zamael dan Gre.
"Ada urusan apa Tuan?" tanya Zamael santai sebagai sesama Panglima Perang sekaligus Anak Angkat Kaisar Langit di tingkatan surga yang tidak berbeda jauh dan sama-sama mengemban tugas yang sama, alam neraka, dan alam surga.
Mereka nampak berbincang dalam bahasa setingkat dewa yang tidak kumengerti.
Tiba-tiba Dewa Erlang mendekatiku. Entah mengapa jantungku jadi berdegup kencang. Dia mirip seperti Zamael. Pesonanya... kharismanya... maskulinnya... terlalu memikat hati seorang gadis kecil polos sepertiku. Membuatku sedikit gugup.
"Cherry, omong-omong terima kasih karena telah membantu tugas penyeberangan arwah kemarin bersama teman-temanmu. Terima kasih karena telah membantu meringankan tugas Dewa Bumi," katanya penuh sopan sembari tersenyum.
"Ya...no problem," sahutku membatin.
"Cherry...maukah saya ajak jalan-jalan ke khayangan langit sebentar saja sebelum Anda pulang dari tempat ini?" tanyanya. Senyumnya membuat jantungku berdegup kencang.
Aku melirik ke arah Archangel Zamael yang dari tadi mengawasiku. Takut dia cemburu. Eh, apa dia bisa cemburu ya? Aku juga belum tanya perasaannya terhadapku di kehidupan ini.
Ah sudahlah, lupakan tentang Zamael sesaat. Boleh kan? Hehehe...
Zamael memberiku izin agar aku bisa pergi ke khayangan langit bersama Dewa Erlang.
Dewa Erlang membawaku pergi ke khayangan langit tempatnya tinggal. "Saya hanya ingin mengenalkan Anda ke rekan-rekan langit disana. Supaya suatu saat mereka juga mengenal Anda, Cherry."
Aku hanya mengangguk tersenyum padanya.
Aku melihat suatu alam yang dipenuhi oleh awan putih, dengan istana yang berdiri kokoh di atasnya. Banyak dewi yang sangat cantik jelita di sekitar istana langit. Mereka sedang menyirami tanaman dan bunga langit. Pakaian mereka indah sekali, dan agak transparan.
"Hai teman-teman. Kenalkan, ini Cherry teman baru saya dari bumi," kenal Dewa Erlang pada teman-teman khayangan langitnya.
Mereka berkumpul seperti keheranan kala itu. Sahabat-sahabatnya adalah para dewa dan dewi pengurus Istana Kerajaan Langit.
"Salam kenal. Senang bertemu dengan kalian," sapaku membatin sedikit menunduk pada mereka semua.
Mereka tersenyum dengan kehadiranku. Sepertinya mereka menyukaiku.
Setelah itu kami berpisah. Hanya sebentar saja, mengingat waktu sudah menunjukkan siang hari. Dan saatnya untuk pulang rumah, ke Jakarta.
Dewa Erlang mengembalikanku ke bumi. "Bagaimana Cherry?" tanyanya lembut.
"Terima kasih Panglima. Saya sangat senang bisa jalan-jalan dengan Anda tadi," kataku menunduk.
"Baiklah. Saya harap Anda sering-sering main kemari ya, Cherry. Saya akan sangat senang dengan kehadiran Anda disini," katanya.
"Baik, Panglima," sahutku membatin. "Terima kasih sudah menjaga kami selama kami disini."
Erlang pun tersenyum.
Written by : Yanti Kumalasari, S.Ds.
Editing by : Kepik Romantis / PVA