Begitu terkenalnya sosok "Semar", tetapi apakah kita memahami simbolisme dirinya yang sering diperankan dalam setiap cerita pewayangan? jawabannya mungkin kita hanya sekedar mendengarkan, melihat ceritanya, tanpa mengenal setiap karakter para tokoh-tokohnya dengan ciri khasnya masing-masing.
Mengapa seorang tokoh "Semar" selalu dipuji hingga ditiru dan dicontoh bahkan sangat dihormati semua orang, padahal kepribadiannya dalam setiap lakon, bukanlah karakteristik seorang raja, pemangku jabatan ataupun punya kekuasaan penting dalam kedudukan pemerintahan dan negara yang diceritakan dalam kisah pewayangan, dia hanyalah seorang pembantu dan seorang rakyat jelata biasa sama seperti layaknya kita sebagai rakyat biasa. Tetapi seorang raja/pemimpin dan para petinggi negara selalu datang mencarinya, menghormatinya, bahkan meminta petunjuk dan nasehat darinya.
Begitu luar biasanya seorang "Semar" namun dia tidak pernah meminta untuk dihormati, diberi gelar, jabatan / kedudukan, kekayaan, kekuasaan, dsbnya. Semar lebih memilih hidup biasa-biasa saja sebagai layaknya kita hidup sebagai seorang rakyat jelata, hidup bersama-sama di antara masyarakat lainnya. Bukan manusia yang suka bergaya/pamer kekayaan, hidup mewah dengan harta berlimpah, ataupun seorang yang ingin mengharapkan perhatian/pujian dan penghormatan dengan cara-cara yang angkuh, sombong dan merasa paling tinggi. Melainkan Semar menunjukkan sifat dan kepribadiannya yang sederhana, rendah hati, jujur, polos dan apa adanya. Dari sifat kepribadian Semar yang mulya itulah, kita dapat belajar dan mencontoh dengan berbagai simbolisme karakteristiknya yang unik dan tidak pernah kita sadari sebelumnya.
Guru yang baik dan benar, bukanlah seorang guru yang "HAUS" akan kehormatan, kekayaan, jabatan, gelar, bahkan mengharapkan punya banyak murid/pengikut karena ingin menggurui ataupun ingin didengarkan nasehat dan petunjuknya. Mengapa artinya seorang Guru adalah "DIGUGU dan DITIRU", maksudnya sebelum seorang guru menjelaskan/mengajarkan/ menceramahkan/menasehati segala sesuatu yang baik/benar, maka terlebih dahulu, diri sendirinya (pengakuan guru itu sendiri) sudah mempraktekkan dan menjalankan semua dari apa yang diucapkannya yang dapat membawa keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi semua pengikut/murid/umatnya. Namun sekarang ini, lebih banyak guru yang hanya bermodal "berbicara" saja atau "Omdo / Omong doang" tanpa menunjukkan praktek / caranya dengan jelas, misal kalau memasak air, dijelaskan bagaimana caranya dipraktekkan langsung di depan mata para muridnya, sehingga murid pun memahami dengan jelas. Lebih mudah menulis teori tetapi lebih sulit untuk memberikan contoh nyata yang dapat dipahami oleh para murid.
Semar tidak pernah meminta dirinya menjadi guru dan tidak pernah mengharapkan punya murid, tetapi dia selalu dianggap sebagai guru oleh semua tokoh pewayangan. Semar yang berwujud : berkepala hampir botak, rambut putih berkuncung, memakai baju seadanya bahkan tidak memakai baju hampir setengah telanjang, terkadang cukup selembar/ sehelai sarung bermotif kotak-kotak hitam dan putih, tangan kanan telunjuk menunjuk ke depan satu (1), sedang tangan kiri di belakang dengan lima (5) jari terbuka. Bibirnya tersenyum, mata kelihatan sedih, wajahnya terlihat seperti anak kecil putih bersih.
Berkepala hampir botak dengan rambut berkuncung putih seperti halnya orang tua kita, bukan disengaja untuk dicukur botak, kenapa tidak digambarkan berambut cepak ataupun gondrong, kenapa malah digambarkan berkuncung putih? Apakah itu disengaja untuk gaya rambut dibuat “ngucung” tapi kenapa putih seperti warna uban rambut, kenapa bukan warna cat rambut lainnya yang biasanya dipakai para model dan artis dengan rambut bergaya : pirang, kemerah-merahan, kehijauan atau kebiruan biar kelihatan bagus dan menarik. Apa maksudnya?
Memakai baju seadanya bahkan tidak memakai baju hampir telanjang, bukan disengaja biar keliatan telanjang, bukan karena tidak mampu membeli sehelai baju, dan bukan karena udara yang panas/gerah karena tinggal di gurun pasir ataupun di daerah pantai, ataupun berada di negara Afrika, di daerah papua, daerah khatulistiwa, jawa tengah ataupun jawa timuran, dsbnya. Lantas mengapa Semar tidak memakai baju mewah menarik bertatah emas ataupun memakai mahkota raja, apa karena tidak mampu membelinya? Apakah Semar memang hidupnya miskin dan melarat seperti pengemis, sampai membeli sehelai kainpun tidak mampu, seperti itukah? Mengapa juga Semar tidak mengenakan jubah pendeta, pemuka agama, ataupun seorang resi, agar Semar dapat selalu dihormatin oleh semua orang bahkan semua raja dan para bangsawan. Apa maksudnya?
Bersarung kotak-kotak hitam dan putih (wayang golek), seperti motif sarung yang sering terlihat di daerah Bali, mengapa bukan kain sarung motif lainnnya? Apa maknanya sehingga harus sedemikian warnanya hitam dan putih. Mengapa tidak corak lain yang menarik, yang indah dan menawan. Dalam falsafah Bali, warna hitam dan putih seperti kotak-kotak papan catur merupakan warna simbolik, dimana keduanya sama-sama warna yang kuat. Ada yang hitam, pasti juga ada yang putih. Kedua warna yang saling berkesinambungan, saling terkait satu dengan yang lainnya, mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan. Hitam mengajarkan putih agar putih tidak menjadi hitam. Putih mengajarkan hitam agar hitam dapat menjadi putih. Tidak ada yang benar-benar putih dan tidak ada yang benar-benar hitam, karena yang hitam dapat menjadi putih dan yang putih pun dapat menjadi hitam.
Pada wayang kulit dan wayang golek, terlihat tangan kanan telunjuk menunjuk ke depan satu (1), sedang tangan kiri di belakang dengan lima (5) jari terbuka. Mengapa tidak menunjukkan gaya tangan yang lain. Apakah yang satu (1) ditunjuk ke Atas, Mengapa tidak menunjukkan jari lainnya, ataupun ke semua jarinya menunjuk ke Atas, lalu Apakah yang lima (5) harus dibuka? Kenapa tidak semua jari tangannya dibuka dengan posisi gaya tubuh yang lain. Apakah ada hubungannya dengan Pancaindera (Mata, Telinga, Hidung, Lidah, Kulit)? Apakah maksudnya?
Bibirnya tersenyum, mata kelihatan sedih, wajahnya terlihat seperti anak kecil putih bersih (wayang golek). Bibir tersenyum, mengapa tidak cemberut atau marah? Kenapa matanya harus kelihatan sedih, bukannya melotot atau melihat dengan mata terbuka besar lebar. Wajahnya kenapa harus seperti anak-anak, dan berwarna putih, kenapa tidak seperti warna wayang lainnya ada yang merah dan ada juga yang hitam. Mengapa digambarkan demikian?
Dalam cerita lakon perwayangan, Semar sedikit berbicara, lebih banyak diam, lebih banyak berusaha/berkarya/bekerja keras layaknya rakyat biasa. Lebih banyak memperlihatkan "tangan", maksudnya tangan bukan untuk memukul, mencelakakan, membunuh, membinasakan, tetapi untuk mengkarya misal membangun rumah, membuat makanan/memasak, menulis, menggambar/melukis, dsbnya menunjukkan dengan karya cipta yang baik untuk kehidupan, bukan yang dapat merugikan, menyengsarakan, merusak dan menghancurkan apalagi membinasakan. Bila kesemua tindakan tidak mampu menyadarkan sesama yang "tersesat" atau melakukan salah, barulah ditegur/dinasehati dengan ucapan yang lemah lembut, maksudanya bukan dengan kata-kata menyindir, mencaci-maki dengan kata-kata kasar, mengeluarkan kata-kata kotor, menghina, merendahkan, menfitnah, menjelek-jelekan, melainkan dengan kata-kata yang baik sopan dan santun.
Bila itu pun tidak mampu menyadarkan, maka yang terakhir adalah berserah kepada Allah / Tuhan, melalui "HATI" di sini adalah doa dari hati yang mendekatkan diri kepada Sang Pencipta / Tuhan / Allah Yang Maha segala-galanya, mengapa? Berserah dan pasrah bukan berarti tidak melakukan apapun, tetapi segala usaha tindakan dan juga ucapan nasehat sudah dilakukan untuk kebaikan dan kebenaran, namun bila itu juga tidak menghasilkan, biarkan kita menyerahkan semuanya kepada Tuhan / Allah, mendoakan akan Tuhan menurunkan hidayahnya, agar dapat menyadarkan siapapun menjadi baik dan benar. Di sinilah sering terjadinya Amarah/Emosi karena manusia yang kurang ber-SABAR, lihatlah bagaimana menanam tanaman, apakah dapat langsung hari itu menanam bibit maka langsung hari itu juga dapat berbunga dan berbuah? Apa gunanya pupuk yang baik, mengapa harus disiram, dirawat, diperhatikan, dijaga dan dilindungi? Kita selalu marah bila tanaman itu berbunga ternyata kecil dan kurang menarik / bagus, ataupun tanaman itu akhirnya buahnya masam, kecut dan pahit, kita selalu ingin bunga yang bagus, indah dan menarik, ataupun berbuah yang manis dan banyak. Kita tidak pernah sabar, terlalu banyak menuntut, selalu ingin yang bagus dan baik, tidak akan menginginkan yang jelek dan buruk. Tetapi kita tidak pernah dapat bersabar karena manusia selalu ingin yang mudah, cepat dan praktis langsung berhasil. Tidak heran bila Ujian di sekolah pun selalu para murid membuat contekan, bekerja sama, ataupun membeli kunci jawaban. Bahkan tidak jarang yang bersekolah, cukup membayar dengan uang besar untuk membeli selembar kertas Ijazah kelulusan tanpa harus bersusah payah belajar.
Tuhan/Allah Maha Pengasih dan Penyayang, dibalik setiap kekurangan pasti ada kelebihan. Bukan berarti yang terlahir cacat, lalu menyalahkan Tuhan/Allah yang tidak adil. Bukan berarti yang terlahir kurang pandai atau ber-IQ kurang, lalu dikatakan tidak beruntung. Lalu yang lahir hidupnya miskin melarat dikatakan selalu membawa sial dan terkutuk hidupnya. Apakah karena seperti itu lalu manusia menyalahkan Tuhan/Allah, menghujat, menghina dan melupakan Tuhan/Allah. Sebagai satu contoh adalah Nick Vujicic, seorang Motivator Internasional terpopuler di dunia, tetapi lihatlah dan sadarilah bahwa dia sebagai manusia yang terlahir cacat tanpa tangan dan kaki. Mengapa Nick Vujicic tidak menyalahkan Tuhan/Allah? Nick Vujicic malah mengatakan kepada semua orang bahwa dia sangat bersyukur dapat terlahir seperti itu, karena dia berpikir apabila dia memiliki tangan dan kaki, dia belum tentu dapat menggunakan tangan dan kakinya dengan baik. Apa maksudnya? Dia takut bila memiliki tangan dan kaki malah menggunakan tangan dan kakinya untuk berbuat keji, jahat, menyiksa, atau bahkan menyakiti makhluk hidup lain. Hal ini menyadarkan kita sebagai perenungan bahwa kita yang masih punya anggota tubuh yang lengkap, sepasang tangan dan kaki tetapi masih sulit atau bahkan jarang menggunakannya untuk kebaikan dan kebenaran.
Guru yang baik mempraktekkan ilmu padi, semakin "berisi" maka akan semakin merunduk. Tidak akan memaksa, tidak menuntut, tidak menipu, tidak mencari keuntungan, tidak berpura-pura, tidak berdusta / bohong, tidak mengecam, tidak memaki / memarahi dengan kasar, tidak mengharuskan, tidak menyuruh, tidak meminta dan tidak mengharapkan apapun (imbalan / balas jasa) apalagi berambisi menginginkan akan sesuatu yang lebih dari cukup.
Lihatlah bagaimana "kebutaan" mata batin manusia yang merasa dirinya telah menjadi para petinggi, para pemuka dan terkemuka, para guru besar, para ahli dan para pemimpin di dunia ini. Selalu ingin dihormati, selalu ingin dilayani, selalu ingin hidup enak, nyaman, berlimpah kekayaan, selalu ingin didengarkan, ingin diperhatikan, ingin dijunjung tinggi, ingin jabatan, ingin kedudukan tinggi, ingin berkuasa, dan ingin memiliki segalanya. Tidak mau hidup susah, tidak suka menderita, tidak mau berusaha apalagi bekerja susah payah, ingin selalu ada yang menunjang alias hidupnya bergantung ditunjang oleh uang/rejeki dari sesamanya, sukanya meminta dan mengharap, bahkan yang lebih parah adalah mengemis atau tidak mau berkarya, tidak mau berjuang, lebih senang diberi dari pada memberi kepada sesamanya. Padahal orang yang kaya bukan yang paling banyak jumlah nilai harta kekayaannya, tetapi orang yang paling sedikit memerlukan kekayaan, mensyukuri apa adanya karena masih mampu memberi dan menolong kepada sesamanya. Apakah itu yang membelenggu dan membuat menderita?
- Mereka yang kaya, terikat akan kekayaannya.
- Mereka yang berkuasa, berkedudukan tinggi (petinggi), terikat akan kekuasaan dan kedudukannya.
- Mereka yang terhormat sebagai guru besar, pemuka dan terkemuka, terikat akan kehormatannya.
- Mereka yang selalu mengemis seperti peminta-minta, terikat akan pertolongan orang lain/sesamanya.
Kesemuanya, membuat dirinya semakin takut bila melepaskan keterikatannya, takut kehilangan zona nyaman/enak, takut merasa malu, takut direndahkan, takut hidup susah, takut menderita, takut kehilangan akan segala-galanya yang telah diperoleh, didapatkan dan dimiliki. Apalah artinya sebuah Jubah kehormatan, lambang tanda jasa kehormatan, fasilitas yang memuaskan memadai, dilayani banyak orang, didengarkan banyak orang, menjadi penguasa berkedudukan jabatan yang dihormatin dan memimpin banyak orang. Tidak menyadari bila semuanya itu telah lama mengikat, menjerat dan membelenggu dirinya sendiri seperti jeratan yang membawa penyiksaan penderitaan yang mematikan, yang pada akhirnya semuanya harus di“HILANG”kan bagai ilusi/fatamorgana sesaat.
Bagaimana dirinya telah "LUPA" siapa sebenarnya dirinya, tidak menyadari bahwa semua yang diperebutkannya, diinginkannya dan diharapkannya tidak akan kekal/abadi. Untuk apa memperebutkan, menginginkan dan mengharapkan sesuatu yang semuanya pasti akan ditinggalkan di alam fana ini. Apakah yang ingin didapatkan? Apa yang ingin dimiliki? Apalah juga yang ingin dipamerkan? Apakah Rumah / Bangunan mewah, Mobil mewah, Pakaian / Jubah bagus dan mewah, Makanan mewah/mahal, Fasilitas mewah, Uang kekayaan berlimpah, Jabatan tinggi, Kekuasaan banyak, dsbnya. Semuanya itu terbukti tidak ada yang abadi selamanya, hanya sementara, tidak akan bertahan selamanya, tidak akan dapat dimiliki selamanya, bahkan tubuh yang paling molek, seksi, menawan, ganteng, gagah, cantik dan tampan sekalipun akan menjadi mayat pada akhirnya, tidak berdaya, tidak benyawa, tidak bergerak, mati, tidak lebih tidak kurang, semua akan kembali ke asalnya. Pertanyaannya kembali ke mana? Di mana rumah asalnya? Apakah kita sudah mengetahui akan pulang ke mana? Apakah kita sudah mengetahui ke mana jalannya untuk pulang? Lalu pulangnya ke mana?
Mengapa kita sadar sekarang, bahwa dunia ini kacau balau, karena kita sebagai manusia yang masih "MALAS", tidak mau berusaha menjadi baik/benar, tidak mau belajar menjadi baik/benar, cenderung sukanya menyalahkan, sukanya yang instan/mudah/cepat, sehingga mudah dibodohi, dipengaruhi dan didoktrin yang tidak baik/tidak benar. Maka dari itu, pergunakanlah akal pikiran untuk "menyaring" yang baik/benar, yang membawa keselamatan dan kebahagiaan bagi semua orang. Ajaran agama manapun adalah BAIK dan BENAR, apabila Ajaran itu membawa KESELAMATAN bagi semua orang yang memeluk dan menganutnya, BUKAN yang membawa malapetaka, menyengsarakan, menyiksa, mencelakakan, dan membinasakan. Tetapi yang membawa CINTA KASIH dan KESELAMATAN. Ingatkah mengapa para leluhur selalu mengajarkan berdoa kepada anak maupun cucu-cicitnya agar memohon KESELAMATAN?
Hubungan guru dan murid yang baik dan benar, adalah saling asah, asih dan asuh. Dalam Bahasa Sunda dikatakan "Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih" adalah slogan dalam kultur masyarakat Sunda. Kalimat tersebut memperlihatkan karakter unik dari kebudayaan asli Sunda. Apa artinya? Saling Asah, adalah saling mengasah/menyadarkan satu sama lain, menjadi "terang" bagi sesamanya, sama-sama pintar, sama-sama cerdas dan sama-sama memberi contoh teladan yang baik. Saling Asih artinya tidak saling menjatuhkan, saling menolong, saling mengasihi, menyayangi, bukan menyakiti, menghina, merendahkan, memaksa, mencaci-maki, dan bukan menyiksa, tetapi mencari, membangun, dan mencipta rasa kebahagiaan bersama-sama, satu sama lain saling mengobati / menyembuhkan, menghibur, menyayangi dan mengasihi. Saling Asuh artinya saling mengasuh, menjaga, merawat, melindungi, sehingga merasa aman, nyaman dan tenang.
Akhir dari pembelajaran ini hanyalah sebagai bagian dari perenungan bagi kita semua sebagai manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan dan kekurangan. Belajar untuk memaknai dan memahami simbolisme itu satu persatu, kemudian mempelajari dan melaksanakan jalan kebaikan, kebenaran dan keselamatan bagi diri sendiri maupun bagi keluarga, saudara, kerabat, sahabat, maupun bagi lingkungan, daerah hingga semua orang di negara seluruh dunia.
Sumber karya informasi dan inspirasi dari : kompasiana.com/fuji.ep/makna-spiritual-pada-tokoh-semar (Kompasiana / Fuji Permana / Makna Spiritual pada Tokoh Semar.)
121215 Written by : Kepik Romantis / PVA