Kisah
ini dipopulerkan dan juga berasal dari daerah Sumatera Barat, Padang. Kemudian
diterjemahkan kembali dari bahasa aslinya yakni Bahasa Minang (Padang) menjadi Bahasa
Indonesia.
Pada
zaman dahulu kala, di sebuah kampung pedalaman, alkisah tentang seorang pemuda
yang bernama Udin Kuriak, sebutan nama Kuriak itu dikarenakan dia memiliki
seekor ayam jantan yang tidak berbulu dari leher sampai ke kepala hanya tumbuh bercak-bercak
di kulitnya, yang disebut Kuriak, oleh karenanya kesukaan Udin sejak kecil
memelihara ayam itu, sehingga orang-orang kampung menyebutnya Udin Kuriak.
Semua
yang melihat Udin Kuriak sehari-hari hanya sibuk mengurusi dan bermain dengan
ayamnya itu hanya mencibir dan menghina padanya, karena ayam itu selain buruk
dilihat juga tidak akan laku dijual di pasar, paling-paling hanya disembelih
untuk dimakan sendiri.
Udin
merasa kesal dan marah karena ulah cemoohan dan penghinaan dari teman-teman dan
orang-orang sekampungnya. Mendengar kesedihannya, Ibunda Udin pun merasa iba
kepada anaknya, dia pun memberikan ide cemerlang, agar Udin membawa ayam jantan
kesayangannya itu ke kampung seberang yang bernama kampung “Mandiangin”, dimana
terdengar dari berita gossip para pedagang keliling kampung menceritakan bahwa
penduduk di kampung itu banyak para pehobi adu ayam, sehingga sering sekali
diadakan lomba adu ayam, mungkin ayam kuriak itu dapat merubah nasibnya Udin.
Akhirnya,
Udin pun pergi bersama ayamnya ke kampung seberang, dilihatnya banyak penduduk
di sana yang merayunya agar mengadu ayamnya untuk mendapat banyak uang. Karena
Udin tidak punya uang, dia pun akhirnya merelakan ayamnya untuk ikut lomba adu
ayam. Ternyata yang menjadi lawannya adalah ayam jantan keturunan arab bertubuh
besar, kekar dan berbulu indah milik Pa
Datuk, orang paling berkuasa dan terhormat di kampung “Mandiangin”. Udin pun
merasa gugup dan takut, dalam hatinya pun meragukan kemenangan ayam kuriak
miliknya yang kurus kering dan buruk rupa itu.
Tak
disangka-sangka, ternyata ayam si Udin mampu mengalahkan ayam milik Pa Datuk,
dengan tangkasnya, taji ayam si Udin dan kuku tajamnya langsung mencakar tepat
mengenai kepala ayam arab itu, dengan seketika ayam Pa Datuk itu pun langsung
tewas mengeluarkan banyak darah di kepala dan lehernya. Betapa bahagianya Udin
melihat keahlian ayam jantan miliknya itu keluar menjadi pemenang lomba, dia
pun langsung bergegas meminta hadiah uang taruhannya. Namun ternyata bukan uang
yang diperolehnya, tapi caci maki permintaan ganti rugi akibat semua ayam
pesaingnya mati dibunuh ayam si Udin. Mereka pun mengeroyok Udin dan merampas
paksa ayam kesayangannya itu.
Baru
saja dipegang ayam itu langsung mencakar mata orang yang berniat menangkapnya,
karena kesakitan akhirnya ayam si Udin itu langsung dilepaskan lagi. Akibat
ulah ayam si Udin membuat warga dan para pengawal Pa Datuk geram dan langsung
mengeroyok Udin. Dengan sebisa mungkin Udin berusaha mengelak dari
pukulan-pukulan maut keroyokan warga, untunglah datang anak perempuan dari Pa
Datuk yang melihat kejadian itu, dia langsung menahan warga agar berhenti
memukuli si Udin.
Tidak
lama kemudian, datanglah Pa Datuk, orang paling terkaya, berkuasa dan terhormat
di kampung itu. Dia juga pemilik ayam arab yang kalah mati oleh ayam si Udin.
Melihat ayam kesayangannya tewas, Pa Datuk tidak terima kekalahannya, bukan
memberikan hadiah, malah langsung menghukum si Udin. Sebagai hukumannya, Udin
dibawa ke pinggir sungai untuk mengangkat satu persatu batu dari sungai, yang
lalu ditumpuk untuk pembangunan jembatan hingga setinggi enam (6) meter. Titah Pa
Datuk harus dilaksanakan dengan todongan senjata para pengawalnya. Bila Udin
berhasil menyelesaikan hukumannya, barulah Udin diizinkan pergi dari kampung
itu.
Ternyata
menghukum Udin, belum membuat Pa Datuk puas dengan kemarahannya. Pa Datuk
meminta seluruh pengawal dan warga di kampung agar mencari dan menangkap ayam
milik si Udin. Pertama-tama, ayam milik si Udin ditemukan di areal taman bunga,
dilihat ayam itu sedang berada di antara tanaman bunga mawar. Tanpa berpikir
panjang, mereka langsung mengepung dan menangkap ayam itu, tapi sial ternyata
belum tangan mereka sampai meraihnya, ayam si Udin langsung terbang kabur.
Warga yang mengepung malah kesakitan karena mukanya habis terkena duri-duri
bunga mawar.
Tengah
hari pun tiba saat Pa Datuk sedang asik bersantap siang, tidak disangka ayam si
Udin sedang bertengger di atas lemari dapur rumah Pa Datuk. Kebetulan salah
seorang pengawalnya masuk ke dalam rumah Pa Datuk, langsung diperintahkan
olehnya agar menangkap ayam sialan itu. Belum juga tertangkap, ayam itu sudah
terbang melompat ke meja makan, menginjak-injak lauk-pauk, gulai berkuah pedas
dan sebagian kuah pedasnya diciprat-cipratkan kakinya ke muka Pa Datuk yang sedang
asik makan itu langsung berteriak menjerit kesakitan akibat matanya perih
terkena kuah cabe pedas.
Ayam
sialan itu tidak terbang jauh, malah sengaja berdiri di jendela dapur rumah Pa
Datuk. Di sangka jinak karena si ayam mungkin sudah lelah seharian, pengawal Pa
Datuk perlahan-lahan dengan hati-hati tak bersuara, langsung secepat kilat
melompat ke jendela, ingin menangkap ayam si Udin. Alhasil bukan ayam yang
tertangkap, malah si pengawal terperosok jatuh ke luar dari jendela rumah gadang Pa
Datuk, terjungkir ke luar halaman rumah, akibat tubuhnya terlalu berat, jendela dan pintu pun rusak hancur.
Pa
Datuk marah sambil ke luar rumah melihat kerusakan yang terjadi dan si pengawal
semakin jengkel akibat ulah ayam sialan itu. Tanpa habis pikir, Pa Datuk
memerintahkan agar menembak mati ayam sialan itu, semua pengawal berkumpul
membidik ayam sialan itu dengan senapan angin pistol panjang milik mereka.
Beberapa tembakan diluncurkan, si ayam sialan itu melompat-lompat ke sana
kemari, tak satupun peluru mengenai si ayam, malah sebuah peluru menyasar
langsung mengenai kuping Pa Datuk.
Lagi-lagi
Pa Datuk marah, dicarinya siapa yang menembak kupingnya, ternyata salah satu
pengawalnya belum mahir memegang senapan, baru belajar menembak, belum sempat
membidik ayam, senapan itu sudah meletus melesat ke kuping Pa Datuk. Bukan
pujian yang didapat para pengawalnya, malah caci maki disertai lemparan sepatu sandal dari Pa Datuk.
Kekesalan
para pengawal Pa Datuk belum berakhir, mereka mencari terus ayam si Udin.
Dilihat warga ternyata sedang bertengger duduk di bambu kecil, tempat menimba
air dan mencuci pakaian warga. Diambilnya potongan kayu besar untuk memukul
ayam sialan itu, dengan sekuat tenaga dipukulnya ke arah ayam sialan itu, bukan
ayam yang kena pukul malah bambu itu rapuh terbelah dua dan potongannya yang
patah menghantam jidat mengenai kepalanya.
Melihat
nasib si Udin, anak perempuan Pa Datuk merasa iba dan kasihan, namun tidak
mampu berbuat apa-apa untuk menolong si Udin. Sering kali anak perempuan Pa
Datuk datang membawa makanan untuk si Udin, namun para pengawalnya malah ikutan
menghabiskan makanannya. Hingga suatu ketika, Pa Datuk melihat ulah anak
perempuannya itu, disuruhnya agar cepat pulang ke rumah, karena Pa Datuk
diundang Bapak Kepala Residen Kota untuk acara perjamuan makan bersama, sebagai
acara syukuran tahunan. Undangan kehormatan itu sangatlah penting bagi Pa
Datuk, tidak boleh terlewatkan. Dipilihnya dan diambilnya Pakaian termahal dan
terbagus milik Pa Datuk untuk dipersiapkan oleh anak perempuannya.
Setelah
selesai dicuci dan dirapihkan oleh anak perempuannya, pakaian Pa Datuk
disiapkan dan ditaruh di dalam dinding ruangan keluarga. Setelah keesokan sore harinya,
biasa Pa Datuk selesai mandi dan berganti pakain bersiap berangkat ke acara
Undangan. Saat tengah mengenakan pakain kebesarannya itu, seolah-olah Pa Datuk
mencium seuatu yang tidak asing baginya, bau kotoran ayam yang sangat
menyengat, dicarinya di pakaian itu, tidak sengaja terasa basah di tangannya
saat mencoba merogoh-rogoh saku bajunya, ditemukanlah kotoran ayam itu. Dengan
kesalnya, Pa Datuk langsung membuang dan melemparkan pakaian satu-satunya yang
paling mewah itu ke lantai.
Baru
saja beranjak dari ruangan, tidak tahunya terlihat ayam si Udin sedang
bersembunyi di bawah meja tamu rumahnya. Pa Datuk diam-diam merangkak ke bawah
meja ingin menangkap ayam sialan itu perlahan-lahan dari belakangnya. Belum
menyentuh ekornya, ayam itu sudah lari sambil lalu memberaki muka Pa Datuk
dengan kotoran baunya.
Makin
marahlah hati Pa Datuk, ingin hati mencekik dan memelintir leher ayam sialan
itu untuk disembelihnya lalu dijadikan
lauk. Diikutinya ayam itu lari ke sebuah lorong kecil yang menuju ke arah dapur
kotor di belakang rumahnya, karena sudah menjelang magrib, suasana hari sudah
semakin gelap. Pa Datuk yang berlari mengejar ayam itu malah bertubrukan dengan
salah seorang pengawalnya yang melewati lorong yang sama. Sialnya lagi, Pa
Datuk mencium aroma rendang daging di mulut si pengawal, lantas dicaci-makilah
si pengawal karena Pa Datuk curiga si pengawal diam-diam mencuri makanan
rendang daging kesukaannya.
Hampir
lewat seminggu lamanya, Pa Datuk penasaran ingin melihat hasil kerja si Udin di
sungai. Dugaannya benar, si Udin sudah menyelesaikan tumpukan batu setinggi enam
(6) meter yang telah menjadi hukumannya. Pa Datuk pun harus menepati janjinya
untuk membebaskan dan mengizinkan si Udin keluar dari kampungnya.
Belum
sempat berbicara dengan si Udin, para pengawal Pa Datuk berteriak-teriak
melihat ayam sialan milik si Udin sedang berada di atas tumpukan batu dan
kelihatan seperti sedang terjepit, tidak mampu terbang lagi di antara tumpukan
bebatuan itu. Disuruhnya semua pengawalnya itu, untuk naik dan menangkap ayam sialan
itu, tetapi semua pengawalnya kali ini hanya menggelengkan kepala, menolak dan berdiam diri saja, karena merasa takut terjatuh melihat sangat tinggi tumpukan bebatuan
itu.
Terpaksa
Pa Datuk sendiri memanjat ke bebatuan itu dengan amarah kebenciannya yang memuncak pada
si ayam itu membuatnya tidak perduli lagi akan keselamatan jiwanya. Tanpa berpikir
panjang, belum juga sampai menyentuh ayam kuriak itu, batu-batu yang dipijaknya
ternyata tidak seimbang karena berat tubuh Pa Datuk yang tambun, batu-batu itu pun berjatuhan, membuat Pa Datuk kehilangan kesimbangan terjatuh terjungkal dan tertimpa
batu-batuan yang jumlahnya tak terhingga itu. Si Udin dan para pengawal yang
melihat kejadian itu langsung berlari menghindar menyelamatkan diri dari
reruntuhan batu setinggi enam (6) meter yang berguling-guling dan berjatuhan
kemana-mana. Pa Datuk pun tewas seketika karena tertindih ratusan batu yang
berjatuhan ke tubuhnya.
Habis
sudah pikir si Udin yang telah kehilangan semuanya, di saat sedih itu ternyata
tiba-tiba muncul ayam si Udin menghampirinya, yang dikiranya sudah mati ikut
tertindih tumpukan batu. Dibawanya ayam itu pergi berjalan keluar kampung, tapi
di tengah-tengah perjalanannya pergi keluar kampung, si Udin dicegah oleh anak
perempuannya Pa Datuk, dia memberikan sebuah bingkisan untuk dibawa sebagai
bekal perjalanan untuk si Udin, sekaligus permohonan maaf dari anak
perempuannya atas kekhilafan dan perlakuan buruk ayahnya yang telah meninggal.
Sesampainya
pulang di kampung kelahirannya, biasa semua teman-temannya kembali mengejek dan
mencemoohnya, prihal hasil yang diperoleh si Udin selama beradu ayam di kampung
seberang. Kemarahannya memuncak, si Udin pun mengingat kembali penderitaannya
selama menumpuk batu di sungai akibat ulah si ayam yang tidak memberikannya
hasil menguntungkan malah penderitaan baginya. Langsung diambilnya pisau, diasahnya untuk menyembelih si ayam sialan itu. Baru saja berniat untuk
menyembelih ayam sialan itu, tiba-tiba temannya berteriak memanggil-manggil si Udin secepatnya, untuk melihat bingkisan yang dibawa oleh si Udin. Ternyata bukan
makanan yang dibingkiskan, melainkan batangan emas yang berlimpah dari
pemberian anak perempuan Pa Datuk kepadanya. Dengan senang berbahagia si Udin
pun mengurungkan niatnya menyembelih si ayam kuriak itu, malah kembali
menyayanginya karena kini si Udin telah menjadi orang paling terkaya di kampung
kelahirannya. TAMAT.
Written
by : Tn. Asri Agus (Komikus)
Editor Terjemahan Bhs. Indonesia : Kepik Romantis / PVA
Sumber
Photo : 4.bp.blogspot.com ; img.youtube.com