Friday, January 27, 2017

KISAH UDIN KURIAK

Kisah ini dipopulerkan dan juga berasal dari daerah Sumatera Barat, Padang. Kemudian diterjemahkan kembali dari bahasa aslinya yakni Bahasa Minang (Padang) menjadi Bahasa Indonesia.

Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung pedalaman, alkisah tentang seorang pemuda yang bernama Udin Kuriak, sebutan nama Kuriak itu dikarenakan dia memiliki seekor ayam jantan yang tidak berbulu dari leher sampai ke kepala hanya tumbuh bercak-bercak di kulitnya, yang disebut Kuriak, oleh karenanya kesukaan Udin sejak kecil memelihara ayam itu, sehingga orang-orang kampung menyebutnya Udin Kuriak.

Semua yang melihat Udin Kuriak sehari-hari hanya sibuk mengurusi dan bermain dengan ayamnya itu hanya mencibir dan menghina padanya, karena ayam itu selain buruk dilihat juga tidak akan laku dijual di pasar, paling-paling hanya disembelih untuk dimakan sendiri.

Udin merasa kesal dan marah karena ulah cemoohan dan penghinaan dari teman-teman dan orang-orang sekampungnya. Mendengar kesedihannya, Ibunda Udin pun merasa iba kepada anaknya, dia pun memberikan ide cemerlang, agar Udin membawa ayam jantan kesayangannya itu ke kampung seberang yang bernama kampung “Mandiangin”, dimana terdengar dari berita gossip para pedagang keliling kampung menceritakan bahwa penduduk di kampung itu banyak para pehobi adu ayam, sehingga sering sekali diadakan lomba adu ayam, mungkin ayam kuriak itu dapat merubah nasibnya Udin.

Akhirnya, Udin pun pergi bersama ayamnya ke kampung seberang, dilihatnya banyak penduduk di sana yang merayunya agar mengadu ayamnya untuk mendapat banyak uang. Karena Udin tidak punya uang, dia pun akhirnya merelakan ayamnya untuk ikut lomba adu ayam. Ternyata yang menjadi lawannya adalah ayam jantan keturunan arab bertubuh besar, kekar  dan berbulu indah milik Pa Datuk, orang paling berkuasa dan terhormat di kampung “Mandiangin”. Udin pun merasa gugup dan takut, dalam hatinya pun meragukan kemenangan ayam kuriak miliknya yang kurus kering dan buruk rupa itu.

Tak disangka-sangka, ternyata ayam si Udin mampu mengalahkan ayam milik Pa Datuk, dengan tangkasnya, taji ayam si Udin dan kuku tajamnya langsung mencakar tepat mengenai kepala ayam arab itu, dengan seketika ayam Pa Datuk itu pun langsung tewas mengeluarkan banyak darah di kepala dan lehernya. Betapa bahagianya Udin melihat keahlian ayam jantan miliknya itu keluar menjadi pemenang lomba, dia pun langsung bergegas meminta hadiah uang taruhannya. Namun ternyata bukan uang yang diperolehnya, tapi caci maki permintaan ganti rugi akibat semua ayam pesaingnya mati dibunuh ayam si Udin. Mereka pun mengeroyok Udin dan merampas paksa ayam kesayangannya itu.

Baru saja dipegang ayam itu langsung mencakar mata orang yang berniat menangkapnya, karena kesakitan akhirnya ayam si Udin itu langsung dilepaskan lagi. Akibat ulah ayam si Udin membuat warga dan para pengawal Pa Datuk geram dan langsung mengeroyok Udin. Dengan sebisa mungkin Udin berusaha mengelak dari pukulan-pukulan maut keroyokan warga, untunglah datang anak perempuan dari Pa Datuk yang melihat kejadian itu, dia langsung menahan warga agar berhenti memukuli si Udin.

Tidak lama kemudian, datanglah Pa Datuk, orang paling terkaya, berkuasa dan terhormat di kampung itu. Dia juga pemilik ayam arab yang kalah mati oleh ayam si Udin. Melihat ayam kesayangannya tewas, Pa Datuk tidak terima kekalahannya, bukan memberikan hadiah, malah langsung menghukum si Udin. Sebagai hukumannya, Udin dibawa ke pinggir sungai untuk mengangkat satu persatu batu dari sungai, yang lalu ditumpuk untuk pembangunan jembatan hingga setinggi enam (6) meter. Titah Pa Datuk harus dilaksanakan dengan todongan senjata para pengawalnya. Bila Udin berhasil menyelesaikan hukumannya, barulah Udin diizinkan pergi dari kampung itu.

Ternyata menghukum Udin, belum membuat Pa Datuk puas dengan kemarahannya. Pa Datuk meminta seluruh pengawal dan warga di kampung agar mencari dan menangkap ayam milik si Udin. Pertama-tama, ayam milik si Udin ditemukan di areal taman bunga, dilihat ayam itu sedang berada di antara tanaman bunga mawar. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung mengepung dan menangkap ayam itu, tapi sial ternyata belum tangan mereka sampai meraihnya, ayam si Udin langsung terbang kabur. Warga yang mengepung malah kesakitan karena mukanya habis terkena duri-duri bunga mawar.

Tengah hari pun tiba saat Pa Datuk sedang asik bersantap siang, tidak disangka ayam si Udin sedang bertengger di atas lemari dapur rumah Pa Datuk. Kebetulan salah seorang pengawalnya masuk ke dalam rumah Pa Datuk, langsung diperintahkan olehnya agar menangkap ayam sialan itu. Belum juga tertangkap, ayam itu sudah terbang melompat ke meja makan, menginjak-injak lauk-pauk, gulai berkuah pedas dan sebagian kuah pedasnya diciprat-cipratkan kakinya ke muka Pa Datuk yang sedang asik makan itu langsung berteriak menjerit kesakitan akibat matanya perih terkena kuah cabe pedas.

Ayam sialan itu tidak terbang jauh, malah sengaja berdiri di jendela dapur rumah Pa Datuk. Di sangka jinak karena si ayam mungkin sudah lelah seharian, pengawal Pa Datuk perlahan-lahan dengan hati-hati tak bersuara, langsung secepat kilat melompat ke jendela, ingin menangkap ayam si Udin. Alhasil bukan ayam yang tertangkap, malah si pengawal terperosok jatuh ke luar dari jendela rumah gadang Pa Datuk, terjungkir ke luar halaman rumah, akibat tubuhnya terlalu berat, jendela dan pintu pun rusak hancur.

Pa Datuk marah sambil ke luar rumah melihat kerusakan yang terjadi dan si pengawal semakin jengkel akibat ulah ayam sialan itu. Tanpa habis pikir, Pa Datuk memerintahkan agar menembak mati ayam sialan itu, semua pengawal berkumpul membidik ayam sialan itu dengan senapan angin pistol panjang milik mereka. Beberapa tembakan diluncurkan, si ayam sialan itu melompat-lompat ke sana kemari, tak satupun peluru mengenai si ayam, malah sebuah peluru menyasar langsung mengenai kuping Pa Datuk.

Lagi-lagi Pa Datuk marah, dicarinya siapa yang menembak kupingnya, ternyata salah satu pengawalnya belum mahir memegang senapan, baru belajar menembak, belum sempat membidik ayam, senapan itu sudah meletus melesat ke kuping Pa Datuk. Bukan pujian yang didapat para pengawalnya, malah caci maki disertai lemparan sepatu sandal dari Pa Datuk.
  
Kekesalan para pengawal Pa Datuk belum berakhir, mereka mencari terus ayam si Udin. Dilihat warga ternyata sedang bertengger duduk di bambu kecil, tempat menimba air dan mencuci pakaian warga. Diambilnya potongan kayu besar untuk memukul ayam sialan itu, dengan sekuat tenaga dipukulnya ke arah ayam sialan itu, bukan ayam yang kena pukul malah bambu itu rapuh terbelah dua dan potongannya yang patah menghantam jidat mengenai kepalanya.

Melihat nasib si Udin, anak perempuan Pa Datuk merasa iba dan kasihan, namun tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong si Udin. Sering kali anak perempuan Pa Datuk datang membawa makanan untuk si Udin, namun para pengawalnya malah ikutan menghabiskan makanannya. Hingga suatu ketika, Pa Datuk melihat ulah anak perempuannya itu, disuruhnya agar cepat pulang ke rumah, karena Pa Datuk diundang Bapak Kepala Residen Kota untuk acara perjamuan makan bersama, sebagai acara syukuran tahunan. Undangan kehormatan itu sangatlah penting bagi Pa Datuk, tidak boleh terlewatkan. Dipilihnya dan diambilnya Pakaian termahal dan terbagus milik Pa Datuk untuk dipersiapkan oleh anak perempuannya.

Setelah selesai dicuci dan dirapihkan oleh anak perempuannya, pakaian Pa Datuk disiapkan dan ditaruh di dalam dinding ruangan keluarga. Setelah keesokan sore harinya, biasa Pa Datuk selesai mandi dan berganti pakain bersiap berangkat ke acara Undangan. Saat tengah mengenakan pakain kebesarannya itu, seolah-olah Pa Datuk mencium seuatu yang tidak asing baginya, bau kotoran ayam yang sangat menyengat, dicarinya di pakaian itu, tidak sengaja terasa basah di tangannya saat mencoba merogoh-rogoh saku bajunya, ditemukanlah kotoran ayam itu. Dengan kesalnya, Pa Datuk langsung membuang dan melemparkan pakaian satu-satunya yang paling mewah itu ke lantai.

Baru saja beranjak dari ruangan, tidak tahunya terlihat ayam si Udin sedang bersembunyi di bawah meja tamu rumahnya. Pa Datuk diam-diam merangkak ke bawah meja ingin menangkap ayam sialan itu perlahan-lahan dari belakangnya. Belum menyentuh ekornya, ayam itu sudah lari sambil lalu memberaki muka Pa Datuk dengan kotoran baunya.

Makin marahlah hati Pa Datuk, ingin hati mencekik dan memelintir leher ayam sialan itu untuk disembelihnya lalu dijadikan lauk. Diikutinya ayam itu lari ke sebuah lorong kecil yang menuju ke arah dapur kotor di belakang rumahnya, karena sudah menjelang magrib, suasana hari sudah semakin gelap. Pa Datuk yang berlari mengejar ayam itu malah bertubrukan dengan salah seorang pengawalnya yang melewati lorong yang sama. Sialnya lagi, Pa Datuk mencium aroma rendang daging di mulut si pengawal, lantas dicaci-makilah si pengawal karena Pa Datuk curiga si pengawal diam-diam mencuri makanan rendang daging kesukaannya.

Hampir lewat seminggu lamanya, Pa Datuk penasaran ingin melihat hasil kerja si Udin di sungai. Dugaannya benar, si Udin sudah menyelesaikan tumpukan batu setinggi enam (6) meter yang telah menjadi hukumannya. Pa Datuk pun harus menepati janjinya untuk membebaskan dan mengizinkan si Udin keluar dari kampungnya.
Belum sempat berbicara dengan si Udin, para pengawal Pa Datuk berteriak-teriak melihat ayam sialan milik si Udin sedang berada di atas tumpukan batu dan kelihatan seperti sedang terjepit, tidak mampu terbang lagi di antara tumpukan bebatuan itu. Disuruhnya semua pengawalnya itu, untuk naik dan menangkap ayam sialan itu, tetapi semua pengawalnya kali ini hanya menggelengkan kepala, menolak dan berdiam diri saja, karena merasa takut terjatuh melihat sangat tinggi tumpukan bebatuan itu.

Terpaksa Pa Datuk sendiri memanjat ke bebatuan itu dengan amarah kebenciannya yang memuncak pada si ayam itu membuatnya tidak perduli lagi akan keselamatan jiwanya. Tanpa berpikir panjang, belum juga sampai menyentuh ayam kuriak itu, batu-batu yang dipijaknya ternyata tidak seimbang karena berat tubuh Pa Datuk yang tambun, batu-batu itu pun berjatuhan, membuat Pa Datuk kehilangan kesimbangan terjatuh terjungkal dan tertimpa batu-batuan yang jumlahnya tak terhingga itu. Si Udin dan para pengawal yang melihat kejadian itu langsung berlari menghindar menyelamatkan diri dari reruntuhan batu setinggi enam (6) meter yang berguling-guling dan berjatuhan kemana-mana. Pa Datuk pun tewas seketika karena tertindih ratusan batu yang berjatuhan ke tubuhnya.

Habis sudah pikir si Udin yang telah kehilangan semuanya, di saat sedih itu ternyata tiba-tiba muncul ayam si Udin menghampirinya, yang dikiranya sudah mati ikut tertindih tumpukan batu. Dibawanya ayam itu pergi berjalan keluar kampung, tapi di tengah-tengah perjalanannya pergi keluar kampung, si Udin dicegah oleh anak perempuannya Pa Datuk, dia memberikan sebuah bingkisan untuk dibawa sebagai bekal perjalanan untuk si Udin, sekaligus permohonan maaf dari anak perempuannya atas kekhilafan dan perlakuan buruk ayahnya yang telah meninggal.

Sesampainya pulang di kampung kelahirannya, biasa semua teman-temannya kembali mengejek dan mencemoohnya, prihal hasil yang diperoleh si Udin selama beradu ayam di kampung seberang. Kemarahannya memuncak, si Udin pun mengingat kembali penderitaannya selama menumpuk batu di sungai akibat ulah si ayam yang tidak memberikannya hasil menguntungkan malah penderitaan baginya. Langsung diambilnya pisau, diasahnya untuk menyembelih si ayam sialan itu. Baru saja berniat untuk menyembelih ayam sialan itu, tiba-tiba temannya berteriak memanggil-manggil si Udin secepatnya, untuk melihat bingkisan yang dibawa oleh si Udin. Ternyata bukan makanan yang dibingkiskan, melainkan batangan emas yang berlimpah dari pemberian anak perempuan Pa Datuk kepadanya. Dengan senang berbahagia si Udin pun mengurungkan niatnya menyembelih si ayam kuriak itu, malah kembali menyayanginya karena kini si Udin telah menjadi orang paling terkaya di kampung kelahirannya. TAMAT.

Written by : Tn. Asri Agus (Komikus)
Editor Terjemahan Bhs. Indonesia : Kepik Romantis / PVA
Sumber Photo : 4.bp.blogspot.com ; img.youtube.com

No comments:

Post a Comment