Tuesday, December 10, 2019

Namo Buddhāya!

Ditulis oleh: Up. Santavira (2019)

Namo Buddhāya!
Namo Buddhāya!
Namo Buddhāya!
      Banyak umat Buddha di Indonesia yang belum mengetahui bahwa ada cara yang mudah, singkat, dan bahkan seharusnya sangat dianjurkan untuk mendapatkan manfaat tak terhingga dari Buddha Dhamma. Apakah cara itu? Sekte Mahayana Tiongkok menyebutnya “nian-fo” atau pelafalan nama Buddha. Sekte Theravada menyebutnya “Buddhanussati” atau Perenungan Buddha. Umat Buddha Indonesia mungkin bisa menyebutnya “Perenungan Buddha”.
        Di dalam Mahayana Tiongkok, nama Buddha yang “dipilih” adalah Amitabha. Mereka menyebutnya “Namo Amitofo”. “Fo” adalah kata bahasa Mandarin yang artinya “Buddha”. Kata “Amita” berasal dari kata “Amida” adalah dalam bahasa Sansekerta artinya “Cahaya tidak Terbatas”. Jadi kata “Namo Amitofo” yang sering disebutkan umat Mahayana salah satu cara mengartikannya adalah “Aku Bersujud pada Buddha Amitabha, Cahaya yang Tidak Terbatas”. Tentu ini sah-sah saja, jika kita hidup di Tiongkok, atau tinggal di lingkungan keturunan Tionghoa. Tapi “Fo” asal katanya adalah kata Bahasa Mandarin. Apa kata Bahasa Indonesianya? “Buddha”! Sehingga, jika kita mau terjemahkan ke Bahasa Indonesia, seharusnya kita bilang “Namo Buddha Amitabha”. Karena, Orang Jepang menyebutnya sebagai “Namo Amidabutsu”. (“Butsu” = Buddha dalam bahasa Jepang) Untuk Orang Hokkian, “Namo Omitohud!” Orang Tibet menyebutnya “Om ami dewa hri”, dan bahasa aslinya (Sansekerta), menyebutnya “ॐ अमिताभ ह्रीः" (oṃ amitābha hrīḥ).
        Nah, umat Buddha Indonesia di dalam masyarakat sebaiknya menyebut apa? Saran saya: “Namo Buddhāya!” Cukup dua kata, lima suku kata. Sederhana, jelas, padat makna, dan mudah disebutkan, bahkan di dalam pidato kenegaraan pun frase “Namo Buddhāya!” tersebut sudah masuk sebagai salam pembuka. Kata ini sangat efektif, dan jika diucapkan berulang minimal tiga kali sehari waktu pagi setelah bangun pagi (“Namo Buddhāya, Namo Buddhāya, Namo Buddhāya!), dan tiga kali sebelum tidur, maka kita sudah melakukan apa yang disebut “perenungan Buddha” atau Buddhanussati.
        Apa manfaatnya? Dalam perjalanan di Samsara, tentu kita tidak akan lepas dari dukkha. Baik dukkha yang langsung menghantam, dan ada juga dukkha yang tersembunyi atau menghantam nanti dari kegelapan. Perenungan Buddha dapat meringankan, bahkan melenyapkan banyak halangan-halangan fisik dan mental dalam perjalanan kita di Samsara, karena kita selalu dilindungi oleh semua Buddha. Kamma baiknya juga luar biasa, karena kita memuji yang patut dipuji. Tidak ada ilmu apapun (hitam atau putih) yang dapat menembus perlindungan dari Sang Buddha. Dengan perenungan Buddha pun, perlahan ilmu pengetahuan Dhamma kita akan terus meningkat, karena kita akan mendekatkan atau menyelaraskan diri pada Buddha Dhamma. Tidak perlu disebutkan lagi bahwa Dana, Sila, dan Samadhi yang kita lakukan akan lebih dalam maknanya dari sebelumnya, karena dilakukan semata-mata untuk Buddha, sehingga kita bisa mencapai Panna, buahnya, kebijaksanaan. Manfaat terbesarnya, kita nanti juga menjadi seorang Buddha.
       Contoh, ketika nanti kita mendapatkan berkah, maka kita secara otomatis berseru “Namo Buddhāya!”. Kalau kita mendapatkan sedikit masalah karena ada di samsara pun “Namo Buddhāya!”. Ketika kita sedang senang, “Namo Buddhāya!”. Ketika kita tidak terlalu senang, “Namo Buddhāya!”. Bahkan ketika kita melakukan hal yang tidak terlalu memerlukan pikiran, misalnya menyetir, memasak, bekerja, dll kita bisa terus renungkan “Namo Buddhāya! Namo Buddhāya! Namo Buddhāya!”.
        Efeknya, nanti ketika kita mencoba duduk latihan Bhavana (tapa/meditasi), jika ada halangan yang tiba-tiba muncul, yang tidak pernah kita lihat pada kehidupan biasa, nanti kita akan refleks “Namo Buddhāya!”, dan halangan itu akan buyar dengan sendirinya. Ini penting, karena dalam meditasi mendalam, lima indera yang biasa kita gunakan tidak aktif, dan semua lapisan pelindung yang ada di diri kita biasanya pada waktu non-meditatif tidak aktif juga, sehingga satu-satunya pelindung yang tersisa adalah Sang Buddha.
        “Namo Buddhāya!” juga dapat mengarahkan kita kepada hal-hal lainnya yang tidak terbatas, karena Buddha Dhamma, ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, juga berasal dari Buddha. Dengan mengingat Buddha, akan juga mengingat Buddha Dhamma dengan sendirinya, dan sebaliknya, bila mengingat Buddha Dhamma, kita mengingat Buddha. Jika mengingat Bhikkhu/Bhikkhuni Sangha, kita akan mengingat Buddha Dhamma, dan Sang Buddha.
         Dalam salah satu kesepakatan yang dipublikasikan tahun 2015, Sangha Theravada Indonesia (STI) telah menyatakan bahwa istilah “Namo Buddhāya” setara dengan frasa “Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sammāsambuddhassa”, “Namatthu Buddhassa”, “Namo Ratanattayāya”, dan beberapa lainnya.
           Ketika kita menyebut “Namo Buddhāya”, maka dalam satu aspek bisa dikatakan juga bahwa kita sedang memuji semua Buddha, baik di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sutra Amitabha menyebutnya Buddha dari Tiga Masa. Buddha di masa lalu misalnya Buddha Dīpaṃkara, dan 27 Buddha sebelum Buddha Gotama. Buddha masa kini adalah Buddha Gotama. Buddha di masa depan setelah Buddha Gotama adalah Buddha Metteyya/Maitreya. Para Bodhisatva nantinya akan juga menjadi Buddha di masa depan, setelah Buddha Maitreya. Begitu pula sebelum 28 Buddha yang tertulis namanya di Tipitaka Pali, ada lagi para Buddha di kalpa-kalpa sebelumnya. Oleh karena itu, ketika kita menyebutkan pujian “Namo Buddhāya”, kita dapat mengarahkan penghormatan kita kepada satu Buddha, atau semua Buddha, maka kebajikannya tidak terhitung besarnya.
         Terima kasih kepada saudari admin yang memberikan masukan dan kritik membangun. Semoga dapat dipahami pembaca dan bermanfaat. Semua manfaat adalah semata-mata karena kekuatan Buddha Dhamma.
Namo Buddhāya!
Editing by : Kepik Romantis / PVA

No comments:

Post a Comment