Sebelum Berbicara Hendaknya Dipikirkan Baik2 (Bila Perlu 3x24 Jam), Sudah Baik dan Pantaskah Apa yang Diucapkan oleh Mulut Lidah ini, TerKadang Tidak Sadari, Begitu Mudahnya berbicara, Begitu Mudahnya Berucap Janji, Begitu Mudahnya Berdusta, Memang lidah tidak bertulang Tapi LIDAH LEBIH TAJAM dari Sebilah Pisau Belati. "Before Talking..., PLEASE CONNECT your tongue To The Brain!".
Sunday, June 30, 2013
Before Talking... PLEASE CONNECT Your Tongue To The Brain!
Sebelum Berbicara Hendaknya Dipikirkan Baik2 (Bila Perlu 3x24 Jam), Sudah Baik dan Pantaskah Apa yang Diucapkan oleh Mulut Lidah ini, TerKadang Tidak Sadari, Begitu Mudahnya berbicara, Begitu Mudahnya Berucap Janji, Begitu Mudahnya Berdusta, Memang lidah tidak bertulang Tapi LIDAH LEBIH TAJAM dari Sebilah Pisau Belati. "Before Talking..., PLEASE CONNECT your tongue To The Brain!".
Wednesday, June 26, 2013
JANGAN MENYERAH "NEVER GIVE UP"
Hidup adalah Sebuah Proses, Hidup adalah Belajar tanpa ada batas Umur, tanpa ada kata Tua. Kedewasaan seseorang Tidak dapat diukur dari umurnya ataupun berapa banyak pengalaman hidup yang telah dialaminya. Namun Ketika kita TerJatuh, dan Berdirilah lagi... Ketika kita Kalah, dan Terus Mencoba lagi..., Saat Gagal, dan Kembali Bangkit lagi.. disanalah jiwa seseorang ditempa sekuat apakah dalam menghadapi hidup dengan menyikapinya secara Bijaksana. Maka "JANGAN MENYERAH" sampai Tuhan berkata : "WAKTUNYA PULANG".
SABAR
Sabar Arti Huruf Tiongkok kuno "Pisau diatas Hati"
Menempatkan 'pisau' di atas 'hati': Aksara Mandarin untuk Sabar adalah : Ren (忍) terdiri dari huruf untuk "hati", 心 (xīn), di bagian bawah, dan Rèn (刃), mengacu pada mata pisau.
Aksara Mandarin 忍 (rěn) adalah huruf piktophonetic, yakni huruf yang dibentuk dengan menggabungkan komponen yang menunjukkan makna dengan komponen yang menunjukkan suara.
Rěn (忍) berarti bersabar, berkorban atau toleran. Ia juga mengandung konotasi menahan diri dan kontrol diri. Ia tersusun oleh huruf untuk “hati”, 心 (xīn) di bagian bawah, yang memberi makna, dan huruf 刃 (rèn) di atas, yang memberi pelafalan.
Rèn (刃), mengacu pada bilah pisau atau mata pisau, memberi kandungan makna dari huruf 忍.
Jadi, 忍, berarti kesabaran, dibentuk dengan menempatkan sebuah "pisau" di atas "hati," seolah-olah menyiratkan bahwa kualitas ini tidak mudah diraih oleh orang biasa, tetapi membutuhkan tingkat kultivasi, disiplin dan tekad yang lebih tinggi.
Apa hasil positif dari bersabar?
Menurut Kata-Kata Peringatan Mengenai Sabar (無名氏忍 箴) Tiongkok kuno (Penulis anonim) dinyatakan: "Jika orang kaya bisa bersabar, mereka akan melestarikan keluarga dan keturunannya. Jika orang miskin dapat bersabar, mereka akan bebas dari penghinaan dan aib.
"Jika ayah dan anak bisa bersabar, mereka akan memperlakukan satu sama lain dengan bakti dan belas kasih orang tua. Jika antar saudara bisa bersabar, mereka akan memperlakukan satu sama lain dengan kelurusan dan ketulusan.
"Jika antar teman bisa bersabar, persahabatan mereka akan abadi. Jika suami- istri bisa bersabar, hubungan mereka akan harmonis.
"Di tengah penderitaan, orang yang bersabar mungkin diolok-olok dan ditertawakan oleh orang lain. Namun, setelah penderitaan dilewati, mereka yang mengejek dan menertawakan akan malu dan merasa rendah diri.
Dalam kebudayaan tradisional Tiongkok, banyak kata-kata inspiratif dan cerita tentang kesabaran telah tercatat dalam buku-buku sejarah dan hikayat selama ribuan tahun.
Orang bijak kuno menanggung banyak derita untuk mengajarkan orang bersikap toleran, sabar dan pemaaf (忍讓寬恕, rěn ràng kuān shù) dan mampu menahan penghinaan dan mengemban tanggung jawab luhur (忍辱負重, rěn rǔ fù zhòng), sehingga menciptakan "budaya sabar" (忍文化, rěn wén huà) yang kaya dan tak ternilai.
Sumber : Erabaru : Cerita Budi Pekerti
KISAH KASIH BHISMA DEWABRATA DAN DEWI AMBA
Bhisma adalah sosok ksatria sejati dalam epos Mahabrata. Awal cerita Mahabrata ditandai dengan kisah kelahirannya, sedang dalam akhir cerita Bharatayuda ditandai dengan kisah kematiaanya. Selama masa hidupnya Bhisma tampil sebagai penjaga kerajaan Astina, sehingga walaupun sempat dipimpin oleh raja-raja yang tidak kompeten, Astina tetap menjadi suatu negara yang besar dan disegani oleh negara-negara lainnya.
Bisma
(Bhīshma) merupakan putra dari Prabu Sentanu, Raja Astina dengan
Dewi Gangga, nama aslinya sejak kecil adalah Dewabrata (Dévavrata)
yang berarti keturunan Bharata yang luhur.
Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Ia tinggal di pertapaan Talkanda. Dia merupakan seorang Resi yang sakti, berwatak satria, dapat dipercaya, sabar, serta pemberani. Dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina, ia rela tidak menjadi raja.
Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata, namun berganti nama menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa.
Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati, istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa/Byasa, yang ditemuinya di dekat Sungai Yamuna. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu.
Untuk menjadi suaminya, sang putri pun mengajukan persyaratan bahwa kelak anak-anaknya lah yang berhak untuk menjadi raja di Astina. Prabu Santanu pun menolak syarat ini, mengingat dia telah menetapkan bahwa Dewabhrata lah putra mahkota Astina. Tetapi setelah itu dia menjadi sakit karena selalu teringat akan sang putri.
Saat masih muda, Dewabrata merupakan putra mahkota dari kerajaan Astina. Prabu Santanu mengirim Dewabhrata untuk berguru pada ksatria-ksatria dan resi-resi ternama untuk dididik ilmu ketatanegaraan, rohani, militer dan kanuragan. Di antara para gurunya adalah Resi Bhraspati. Resi Sukra, Resi Markandya, dan Resi Wasista. Dewabhrata pun tumbuh menjadi seorang lelaki yang sakti dan berilmu tinggi.
Suatu saat tibalah hari dimana Dewabrata akan diangkat menjadi raja Astina menggantikan sang ayah Prabu Sentanu. Namun Dewi Durgandini membawa anaknya lalu berbicara pada Prabu Sentanu.
"Kakanda Prabu, ingatkah dulu siapa yang menolongmu saat terluka di hutan? Akulah orangnya lalu anak yang kubawa ini adalah putramu,
Dulu engkau pernah berkata : 'mintalah apapun, pasti akan kupenuhi' namun aku tak meminta apapun, kita hanya bercinta waktu itu dan anak inilah yang kubawa adalah putramu", lanjut Durgandini.
"Lalu sekarang apa maumu ?" jawab sang Prabu Sentanu.
"Pintaku, Jadikan dia Raja!" kata Durgandini dengan permintaannya yang setengah memaksa Prabu Sentanu.
Dewabrata sadar bahwa Ayahnya tidak dapat memungkiri janjinya, maka dengan lapang dada, Ia menyerahkan takhta Astina pada adik Tirinya. Namun Durgandini berkata lagi, "Aku mempercayai ketulusan Dewabrata mau memberikan Takhta Astina pada puteraku, tapi bagaimana dengan keturunannya nanti? Akankah anak-anaknya akan menjadi Raja juga?" Tanya Durgandini dihadapan Dewabrata yang menjadi Ibu tirinya sekarang.
Sebagai seorang anak yang berbakti Dewabhrata bersedia melepaskan mahkota kerajaan untuk adiknya nanti. Tetapi Prabu Santanu mengkhawatirkan akan terjadi pertentangan antara keturunan Dewabhrata dengan keturunan raja (adik tirinya) dan menimbulkan pertumpahan darah. Karena cintanya kepada kerajaan dan Ayahnya, Dewabrata bersumpah untuk tidak menikah hingga akhir hayatnya mati. Sumpah ini dikenal dengan sumpah Brahmacahya. Gemparlah seluruh jagad raya, dan sejak saat itu ia dikenal dengan nama Bisma yang berarti 'menggemparkan'. Suatu sumpah yang kelak akan disesalinya sendiri. Bukan karena harus hidup membujang, tapi karena justru keturunan Dewi Durgandini sendiri yang menyeret Astina pada suatu perang saudara yang besar, Bharatayuda. Atas ketulusannya ini, Prabu Santanu menganugrahi Dewabhrata suatu mantra, 'Aji Swacandomarono' yaitu aji mantra dimana ia bisa mati hanya atas kemauannya sendiri dengan memilih sendiri hari kematiannya.
Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Waktupun berlalu, hingga suatu ketika Bisma mengikuti sayembara di Kerajaan Kasi untuk mendapatkan 3 Putri dari Kerajaan tersebut lalu akan dijadikan permaisuri bagi adik tirinya, Wicitrawirya, raja Hastinapura. 3 putri tersebut adalah Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika.
Sudah menjadi tradisi, bahwa kerajaan Kasi akan memberikan putrinya kepada pangeran keturunan Kuru. Namun, saat Wicitrawirya mewarisi takhta Hastinapura, tradisi itu tidak dilaksanakan. Kerajaan Kasi mengadakan sayembara untuk menemukan jodoh para puterinya. Bisma kemudian datang mengikuti sayembara itu, dan ia berhasil mengalahkan semua peserta yang ada, termasuk Raja Salwa, yang sebenarnya sudah dipilih Amba untuk menjadi suaminya. Namun hal itu tidak diketahui Bisma, dan Amba pun tidak berani untuk mengatakannya.
Bersama dengan Ambika dan Ambalika, Amba diboyong ke Hastinapura untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Ambika dan Ambalika akhirnya menikah dengan Wicitrawirya, namun tidak dengan Amba. Hatinya sudah tertambat kepada Salwa, dan ia pun mejelaskan bahwa sebenarnya ia sudah memilih Salwa untuk menjadi suaminya. Wicitrawirya merasa bahwa tidak baik menikah dengan wanita yang sudah terlanjur mencintai orang lain, dan ia akhirnya mengizinkan Amba untuk pergi menghadap Salwa.
Amba kemudian pergi menghadap Salwa, namun apa yang ia dapatkan ternyata tidak sama dengan yang menjadi harapannya. Salwa menolaknya, karena ia enggan menikahi wanita yang telah direbut darinya. Salwa merasa, Bisma lah yang pantas menikah dengan Amba, karena Bisma yang telah mengalahkan dirinya.
Dengan rasa malu dan kecewa, Amba kembali ke Hastinapura untuk menikah dengan Bisma. Namun Bisma juga menolaknya, karena Bisma telah berjanji bahwa ia tidak akan menikah seumur hidup. Hidup Amba akhirnya terkatung-katung di hutan, dalam hatinya timbul kebencian terhadap Bisma, orang yang telah memisahkannya dari Salwa dan membuat hidupnya menjadi tidak jelas.
Di dalam hutan, ia bertemu dengan Resi Hotrawahana, kakeknya. Amba menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Setelah mendengar masalah sang cucu, resi Hotrawahana meminta bantuan Rama Bargawa atau Parasurama, guru Bisma untuk membujuk Bisma agar menikah dengan Amba.
Namun, bujukan Parasurama juga terus ditolak oleh Bisma, hingga sang guru marah dan menantang untuk bertarung. Pertarungan antara guru dan murid itu berlangsung sengit, dan baru diakhiri setelah para dewa menengahi permasalah tersebut.
Amba pergi berkelana dan bertapa memuja para dewa, memohon agar bisa melihat Bisma mati. Sangmuka, putera dewa Sangkara, muncul dan memberi kalung bunga kepada Amba. Ia berkata, bahwa orang yang memakai kalung bunga tersebut yang akan menjadi pembunuh Bisma.
Setelah mendapat kalung bunga dari Sangmuka, Amba berkelana mencari ksatria yang bersedia memakai kalung bunganya. Tidak ada seorang pun yang mau memakai kalung bunga tersebut meskipun itu pemberian dewa, jika mengetahui lawannya adalah Bisma. Begitu juga dengan Drupada, raja kerajaan Panchala, ia juga takut jika harus melawan Bisma. Amba mencapai puncak kemarahannya dan melemparkan kalung bunga itu ke tiang balai pertemuan Raja Drupada.
Dengan penuh rasa kebencian terhadap Bisma, Amba melakukan tapa, dalam pikirannya, ia hanya ingin melihat Bisma mati. Melihat ketekunan Amba, Dewa Sangkara muncul dan berkata bahwa Amba akan bereinkarnasi sebagai pembunuh Bisma. Setelah mendengar pemberitahuan sang dewa, Amba membuat api unggun, lalu membakar dirinya sendiri.
Namun, dalam versi lain disebutkan bahwa kematian Amba adalah karena ketidaksengajaan Bisma. Ketika Usai Sayembara, Dewi Amba ternyata telah jatuh cinta pada Bisma. Untuk menjauhi Amba, Bisma lebih memilih untuk mengembara. Namun, Amba selalu mengikuti kemanapun Bisma pergi, hingga suatu ketika Amba memberanikan diri menemui Bisma:
"Mengapa kau mengikuti sayembara kerajaan jika kau tak mau menikah bersamaku?", tanya Dewi Amba.
"Aku mengikuti sayembara untuk adik tiriku, karena kau akan jadi permaisurinya", jawab Bisma.
"Tapi aku hanya mencintaimu dan ingin hidup bersamamu Bisma" Dewi Amba bersikeras atas perasaan hatinya.
"Amba, Maafkanlah aku..., (terus menghindari Amba dengan melepas peluk dan cium mesra Amba), aku tidak mungkin bersamamu dan menikahimu, aku telah bersumpah Brahmacahya, tak akan ingkar sumpahku demi Kerajaan Astina, aku tak akan menikah hingga aku mati" jawab Bisma.
Tapi Dewi Amba terus membujuk memanja, memohon, memaksa memeluk dan menciuminya agar Bisma mau menikah dengannya dan bukan dengan adik tiri Bisma. Bisma menjadi bertambah bingung, Ia terus mencoba menjauhi Amba, lalu mengeluarkan Busur Panahnya untuk sekedar menakut-nakuti Dewi Amba, agar Amba pergi darinya.
“Sudahlah
Amba, tolong jangan mendekat lagi, Atau aku tak akan segan-segan
panah ini membunuhmu jika terus memaksaku.”
Amba tidak takut dengan ancaman Bisma, ia berkata bahwa, “Baiklah, (sambil memejamkan mata) Cepat Bunuhlah aku, lebih baik aku mati dengan Bahagia di tanganmu, dari pada harus menanggung malu kembali ke kerajaan Kasi ataupun Hastinapura.” Bisma pun terdiam lama mendengar perkataan Amba yang pasrah. Dan karena terlalu lama ia merentangkan busur panahnya, membuat tangannya lemas bergetar berkeringat, tanpa sengaja, anak panah itu terlepas dari busurnya dan menembus dada Amba. Karena tidak disengaja, Bisma segera berlari memeluk erat dan membalut luka Amba dengan jubahnya sambil menangis tersedu-sedu. “Ambaaaa..., Maafkan aku, Amba... sejujurnya aku menginginkanmu.., Tolong bertahanlah Amba (terus membasuh luka darah di dada Amba yang sekarat), Maafkan...maafkan aku..” Namun, sebelum Amba menghembuskan napas terakhirnya, ia berpesan kepada Bisma, “Bismaaaaa...(ucapnya lirih), ingatlah..., aku bersumpah terlahir (reinkarnasi) sebagai anak Raja Drupada, akan ikut dalam perang Pandawa dan Korawa, dan aku sendiri yang akan membunuh dan menjemput kematianmu nanti..., Bismaa..., kita akan bersama selamanyaa...” (nafasnya pun terhenti, Amba tiada). “Yaa Amba (air mata terus meleleh), aku akan menunggumu..., aku siap mati dijemput olehmu..” jawab Bisma dengan rasa berdosanya. “AMBAAAAAA....!!!!!!” (Teriakan perih duka di hati Bisma, memecah hutan yang sunyi nan sendu diselimuti kabut dengan hujan gerimis yang turun seketika dari langit.)
Amba tidak takut dengan ancaman Bisma, ia berkata bahwa, “Baiklah, (sambil memejamkan mata) Cepat Bunuhlah aku, lebih baik aku mati dengan Bahagia di tanganmu, dari pada harus menanggung malu kembali ke kerajaan Kasi ataupun Hastinapura.” Bisma pun terdiam lama mendengar perkataan Amba yang pasrah. Dan karena terlalu lama ia merentangkan busur panahnya, membuat tangannya lemas bergetar berkeringat, tanpa sengaja, anak panah itu terlepas dari busurnya dan menembus dada Amba. Karena tidak disengaja, Bisma segera berlari memeluk erat dan membalut luka Amba dengan jubahnya sambil menangis tersedu-sedu. “Ambaaaa..., Maafkan aku, Amba... sejujurnya aku menginginkanmu.., Tolong bertahanlah Amba (terus membasuh luka darah di dada Amba yang sekarat), Maafkan...maafkan aku..” Namun, sebelum Amba menghembuskan napas terakhirnya, ia berpesan kepada Bisma, “Bismaaaaa...(ucapnya lirih), ingatlah..., aku bersumpah terlahir (reinkarnasi) sebagai anak Raja Drupada, akan ikut dalam perang Pandawa dan Korawa, dan aku sendiri yang akan membunuh dan menjemput kematianmu nanti..., Bismaa..., kita akan bersama selamanyaa...” (nafasnya pun terhenti, Amba tiada). “Yaa Amba (air mata terus meleleh), aku akan menunggumu..., aku siap mati dijemput olehmu..” jawab Bisma dengan rasa berdosanya. “AMBAAAAAA....!!!!!!” (Teriakan perih duka di hati Bisma, memecah hutan yang sunyi nan sendu diselimuti kabut dengan hujan gerimis yang turun seketika dari langit.)
Bertambah kalutlah perasaan Bisma mengetahui Amba yang ia cintai mati ditangannya sendiri. Namun apalah daya seorang Bisma, ia tetaplah ksatria, ia harus setia dengan sumpahnya. Bisma diselimuti perasaan bersalah karena telah memberikan harapan palsu pada Dewi Amba dan membuat seumur hidupnya menjadi kacau hingga kematiannya.
Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan pada Byasa, putra Durgandini dari suami pertama. Byasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Drestarata, orangtua Pandawa dan Korawa.
Roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh Bisma dalam perang Bharatayuddha. Lahirlah Srikandi anak Raja Drupada dari kerajaan Panchala yang merupakan reinkarnasi dari Amba. Srikandi adalah istri Arjuna, penengah Pandawa. Meskipun ia seorang wanita tetapi ia terampil dalam ilmu keprajuritan terutama ilmu memanah yang diajarkan Arjuna kepadanya. Srikandilah yang bersedia mengambil dan memakai kalung bunga Dewa Sangkara, dan itu berarti ia lah yang akan menjadi penyebab gugurnya Bisma.
Demi janjinya membela Astina, Bisma tampil saat perang Baratayudha, Bisma menjadi panglima Kurawa, sebab ia menepati janjinya akan melindungi Astina siapapun yang menjadi Rajanya. Walau di dalam hatinya Bisma tidak pernah setuju pada perbuatan dan tindakan para Kurawa.
Bisma yang sakti tak terkalahkan, semua panah, pedang dan tombak tidak ada yang mampu menembus tubuhnya yang sakti, semua rontok seperti rambut yang berjatuhan, dengan mudahnya Ia berhasil mengalahkan Seta ditepi Sungai Gangga, serta mengangkat dan melempar tubuh Drestajumna keluar dari pagar garis medan pertempuran.
Pada Malam harinya, Kresna yang sudah kehabisan akal mengajak Arjuna mengunjungi tenda Resi Bhisma. Berkat Aji Halimunan yang dimiliki oleh Arjuna, keduanya berhasil memasuki tenda Resi Bhisma tanpa diketahui oleh para pengawal Kurawa (tidak seperti Burisrawa, sebagai seorang ksatria sejati, Arjuna tidak menggunakan ajiannya ini pada saat berperang). Kresna membujuk Resi Bhisma untuk mengalah, Resi Bhisma tersenyum. Tetapi Bhisma menyadari di tangan Pandawa dan penerusnya, Astina akan mendapatkan kejayaan. Bhisma mengakui Laksmana mandarakomara, anaknya Suyudana, sebagai seorang yang tidak pantas menjadi raja. Bhisma juga menyadari bahwa dia jugalah yang menjadi hambatan besar bagi Pandawa untuk meraih kemenangan. Selain itu Bhisma juga terpengaruh oleh pernyataan Kresna yang menyatakan selama ini Bhisma tidak adil dengan menjadi pelindung Kurawa dan melalaikan Pandawa. Resi Bhisma dinilai tidak membela sama sekali saat Pandawa terusir dari negerinya, juga saat Dewi Drupadi, istri Yudistira mendapat penghinaan dari orang-orang Kurawa. Resi Bhisma terus berdalih bahwa dia selama ini tinggal di padepokannya yang jauh dari Astina Pura. Tetapi dalam hatinya mengakui bahwa dia telah menelantarkan para Pandawa. Akhrinya, Bhisma memberi petunjuk bahwa dia pantang menyerang seorang perempuan, maka tampilkanlah seorang perempuan untuk melawannya dan menjadi perisai bagi Arjuna.
Esok harinya, hari ke-10 Bharatayuda, Kresna menampilkan Srikandi, istri Arjuna, untuk mendampingi suaminya menghadapi Resi Bhisma. Pertimbangannya, Srikandi sangat mahir menggunakan panah. Kutukan Amba akhirnya memang menjadi kenyataan, saat perang akbar di Kurusetra, Srikandi turut terjun ke medan laga. Ia berhadapan dengan Resi Bisma. Saat Dewi Srikandi sudah berhadapan dengan Eyang Bisma. Dewi Srikandi berkali-kali dipukul oleh Resi Bisma, namun tidak membalas sedikitpun, entah kenapa Srikandhi merasa seperti pernah mengenal Bisma. Tiba-tiba Resi Bisma pun teringat, waktu memandang Dewi Srikandhi, seperti berhadapan dengan Dewi Amba. Ketika menatap dekat Srikandi, Resi Bhisma terkejut seketika, menyadari sepenuhnya, Srikandi adalah titisan Dewi Amba, di mata Resi Bhisma sekejap yang terlihat adalah wajah Dewi Amba seutuhnya. Pada saat memberitahu Kresna dan Arjuna semalam, Resi Bhisma tidak menyangka bahwa yang akan tampil adalah seorang titisan Dewi Amba. Dia melihat jiwa Dewi Amba berada pada raga Srikandi, pada saat itulah ia menyadari bahwa waktunya telah tiba, Amba telah datang menjemputnya. “Ambaa... kasihku, cintaku, engkaukah itu?”(Dalam hatinya terus bertanya kalut, merasa bersalah menyesal seumur hidupnya). Resi Bisma berdiam lama teringat dalam lamunannya, waktu Dewi Amba dengan manja memeluk dan mencium, menggoda paksa mempesona dihadapannya.
Melihat situasi yang sedemikian rupa, Prabu Kresna langsung memerintahkan Dewi Srikandi untuk memanah Resi Bisma, Dewi Srikandi segera memanah Resi Bisma, panahpun dengan cepat melesat kearah Resi Bisma. Betapa bahagianya ia, ketika panah Pasopati milik Arjuna diluncurkan oleh Srikandi.
Dengan cepat Arjuna membantu Srikandhi melayangkan serbuan anak panah lagi disertai dengan kekuatan tinggi mendorong panah Srikandi agar cepat mengenai dada Resi Bisma. Dengan seketika hujan panah itu begitu ajaibnya langsung tertancap di dada Resi Bisma, seolah pertanda sumpahnya telah tercabut, tubuh Bisma pun jatuh ke bumi di Tegal Kurusetra. Bisma merasakan bahwa inilah saatnya ia terlepas dari tanggung jawab sumpahnya sendiri dan ia bisa menjalin cintanya yang sempat tertunda di kehidupan selanjutnya.
Alhasil, tubuh Resi Bhisma pun dipenuhi oleh anak panah. Tubuhnya tidak menyentuh tanah karena tersangga oleh panah-panah yang menancap, hanya kepalanya yang tidak terkena anak panah, menjuntai. Melihat Resi Bhisma roboh, peperangan mendadak terhenti. Arjuna melompat dari keretanya dengan menangis menghampiri Resi Bhisma.
Resi Bhisma tidak segera mati. Dia mempunyai kesaktian untuk menentukan hari matinya. Pandawa, Kurawa serta para pini sepuh mendatangi Resi Bhisma. Resi Bhisma berkata bahwa dia butuh bantal untuk menyangga kepalanya. Suyudana segera menyuruh para Kurawa mengambil bantal yang empuk dan indah, berupa tilam bersulam emas dari Istana Astina. Tapi Resi Bhisma menolaknya seraya memanggil Arjuna. Arjuna mengerti maksudnya, dia segera melepaskan tiga buah anak panah yang menancap di tanah sedemikian rupa yang membentuk penyangga kepala Resi Bhisma. Sedangkan Werkudara memberikan perisai-perisai perajurit yang telah gugur untuk menyelimuti Resi Bisma. Pandawa juga membuatkan penutup kelambu untuk menghormati Resi Bisma. Kemudian Resi Bhisma meminta minum. Suyudana segera menyuruh para Kurawa menyediakan minuman buah-buahan yang lezat. Resi Bhisma kembali menolaknya dan meminta Arjuna menyediakan minuman baginya. Arjuna mengambil satu anak panah lagi dan dengan mantranya panah itu dilepas ke tanah yang dari tempatnya menancap muncullah semburan air yang menyiram muka Resi Bhisma. Setelah terpuaskan dahaganya, semburan air itu pun berhenti. Resi Bhisma berkata bahwa dia ingin menyaksikan Bharatayuda sampai akhir. Medan pertempuran pun digeser agar tidak mengganggu Resi Bhisma. Bharatayuda dilanjutkan.
Hanya delapan hari setelah kekalahan Resi Bhisma, Bharatayuda usai. Pandawa muncul sebagai pemenangnya. Pandawa kembali mengunjungi Resi Bhisma, bersama ibu mereka, Dewi Kunti Nalibrata, Sri Kresna dan Prabu Baladewa. Sebelum meninggal Resi Bhisma berpesan kepada Yudistira untuk tidak mengesampingkan kepentingan negara demi kepentingan lainnya. Bahkan meskipun itu demi kepentingan suatu sumpah yang suci.
Menjelang di akhir perang Bharatayuda, Srikandhi dibunuh saat tertidur lelap di tenda peristirahatan oleh Aswatama yang menyusup mencari bayi Parikesit. Roh Srikandhi pun kembali dalam wujud Dewi Amba yang telah menanti Bisma (sesaat itu pula Bisma pun tiada, Ia menghembuskan napas terakhirnya saat garis balik matahari berada di utara, Uttarayana), dengan tersenyum dan akhirnya arwah mereka bahagia, Bisma dan Amba bersama-sama bergandengan tangan menuju kehidupan selanjutnya. Bisma gugur sebagai ksatria sejati.
Demikianlah cerita Resi Bhisma Dewabhrata, orang yang paling dihormati dalam epos Mahabrata. Resi Bhisma adalah ahli strategi Perang yang handal, tipe lelaki yang lurus, cakap, tangguh, disiplin, jujur, penuh tanggung jawab, bijaksana dan berdedikasi tinggi. Walaupun tidak menjadi raja, dia tetap seorang pemimpin. Diantara sekian banyak ksatria keturunan Kuru Dialah putra terbaiknya. -TAMAT-
(By : Kepik Romantis / PVA)
DURYUDANA SELAMANYA MENCINTAI BANOWATI
Dalam
kisah Mahabarata, ada tokoh terkenal, Raja
Hastina,
yang
bernama Duryudana. Diceritakan
di
perwayangan,
Duryudana mempunyai banyak
nama
lainnya, diantaranya: Suyudana, Kurupati, Jaka Pitana, Jaya
Pitana, Gendari
Suta, Drestarata Atmaja, dan lain-lain.Arti
nama-nama tersebut sebagai berikut: Duryudana artinya dia mengenakan
mahkota prajurit, Suyudana artinya uangnya mengalir, dermawan karena
uangnya (dana) dan hartanya melimpah. Kurupati artinya raja para
Kurawa. Jaka Pitana artinya sejak muda rajin ibadah (melakukan
pemujaan). Jaya Pitana artinya ibadah ritualnya (ritual pemujaan)
sangat kuat. Gendari Suta artinya dia anak Dewi Gendari (ibunya).
Drestarata Atmaja artinya dia anak Drestarata (ayahnya).
Duryudana
lebih dikenal sebagai tokoh antagonis. Dia memiliki sifat dan sikap
yang amat sangat buruk. Berbagai watak yang tidak baik seperti tidak
peduli (cuex), mau menang sendiri (egois), kejam, tidak menghargai
dan tidak mengindahkan nasehat para sesepuh dan berbagai watak yang
tidak baik lainnya sudah menjadi watak kesehariannya.Namun
ternyata lain untuk urusan asmara cinta dan kasih sayang kepada
istrinya, Duryudana sangat berbeda. Duryudana menjadi sosok yang luar
biasa dan mungkin bisa menjadi contoh yang baik dalam mencintai dan
mampu menerima cinta apa adanya. Bahkan kesetiaan dia terhadap
istrinya begitu sangat luar biasanya (sampai-sampai penulis pun
terharu menulis kisah ini).
Berikut sepenggal kisah yang menandakan
betapa cinta dan setianya Duryudana dengan istrinya, Banowati. :Dikisahkan
Prabu Salya raja Mandaraka mempunyai tiga orang putri. Semuanya
cantik jelita, yakni: Erawati, Surthikanti dan Banowati. Yang paling
cantik sekaligus paling binal namanya Banowati. Disamping cantik dan
binal ia molek. Banyak lelaki tergila-gila melambungkan khayalan
kepadanya. Hukum dunia telah digariskan, wanita cantik berjodoh
dengan lelaki rupawan, yang binal dapat yang jalang. Banowati juga
tahu hukum dunianya itu, karenanya ia berani jatuh hati pada Arjuna,
sang penengah Pandawa, lelananging jagad (pejantan dunia), lelaki
paling jalang diantara yang jalang. Gayung bersambut, Playboy cap
kacang dua Kelinci ini, di dunia perwayangan tidak menampik kemolekan
Banowati. Maka terjadilah percintaan yang membirahi. Sejak
sebelum menikah, Dewi Banowati memang telah jatuh hati pada Arjuna
yang dinilainya sebagai lelaki paling tampan, jantan, gagah, sakti,
dan lemah lembut se-kampung, RT/RW, kabupaten, kotamadya, sekalipun
telah diketahui bahwa Arjuna sudah mempunyai kebanyakan istri, hingga
semua perempuan se-RT, RW, sampai se-Kabupaten dan Kotamadya selalu
mengejar-ngejar pesona Arjuna yg memikat hati semua perempuan
termasuk Banowati.(lebay ah…)
Kisah
cinta paling memusingkan biasanya dikenal dengan Cinta Segitiga, tapi
Khusus Banowati, rumus kisah asmara cintanya sudah berbentuk
Trapesium, “Yah… begitulah cinta, deritanya tiada akhir” sangat
sering mendengar kalimat itu, ternyata dalam perwayangan kalimat itu
sangat pas untuk penderitaan Aswatama (anak seorang guru yang
mumpuni, Drona, kepada Aswatama ia memberi pelajaran lebih, melebihi
apa yang ia berikan kepada Pandawa dan Kurawa. Akhirnya lambat laun
namun pasti, Aswatama telah menjelma menjadi pemuda paling tangkas
dan sakti. Tetapi Aswatama tahu diri, ia bukan berasal dari kasta
Ksatria, wajahnya pun pasaranlah, ia lebih baik tidak menonjolkan
diri, cenderung terus menutup diri. Biarlah para Ksatria dunia lain
yang menonjol, ia cukup dibelakang layar saja, toh menurutnya, dia
mampu mengambil peran yang lain).Sesungguhnya
selain Duryudana, Aswatama pun tak luput dari pesona Banowati. Ia
sangat tergila-gila, ngefans berat, sampai seluruh ruang kamarnya
penuh dengan gambar foto-foto syuur dan seksinya Banowati yang narsis
abis bagai artis terkenal di seluruh kerajaan. Tetapi malang,
Aswatama tetap minder, ia selalu diajari untuk tampil dibelakang
layar. Mental seperti inilah yang menjadikan Aswatama pemalu, bahkan
tidak berani untuk menyatakan cinta dan hasratnya yang terpendam pada
Banowati. Aswatama tahu diri, ia bukan dari kasta Ksatria ataupun
bangsawan dan wajahnya pun kalah rupawan dibandingkan dengan Arjuna,
yang terkenal dikejar-kejar para perempuan, semakin terpuruk dan
merendahlah dirinya. Aswatama terus memendam rasa, menanggung pilu
setiap saat Banowati semakin terus mendekat dengan Arjuna. Aswatama
menjadi sangat dendam, tetapi tidak berdaya. Karena nyatalah sudah
dia menyerah, sebab menurutnya, kasta/derajat adalah segala2nya.Kemampuan
dan kesaktian Aswatama dapat memastikan, di sudut sana, pujaan
hatinya tengah berdua dengan Arjuna. Dimana setiap malam Aswatama
selalu mengintip mengikuti pujaan hatinya yang selalu bercumbuan dan
bermain cinta dengan Arjuna. Asawatama sangat terluka, remuk, hancur
hatinya bagai pot kembang dilempar ke tanah. (kroopyaak…ancur…)
“Oh Banowati, cintaku…, mengapa dikau begitu bodohnya, teganya
engkau. Tetapi…tetapi…aku tetap cinta kau, meskipun kau telah
hancurkan hatiku ini.” (seirama lagunya olga, hancur…hancur…hancur
hatiku…).
Pertentangan
Pandawa dan Kurawa semakin hebat. Kedua kubu semakin aktif membangun
aliansi. Pada pertemuan di Balairung Hastina, Sangkuni memberi petuah
pada Doryudana.“Wahai
raja Astina memang sudah menjadi kehendak dewata jika perang bakal
meletus (kayak jerawat, aww…). Perang tentu akan dimenangkan oleh
pihak yang lebih kuat dan lebih banyak mendapat dukungan koalisi dari
negara tetangga. Hendaknya sang Prabu membangun persekutuan dengan
cara apapun. Ada satu kerajaan yang harus segera paduka dekati karena
disamping mereka kuat juga telah condong hatinya kepada Pandawa,
ialah negeri Mandaraka yang dipimpin Prabu Salya.”Duryodana
gelisah, “Bagaimana mungkin kita bisa merebut hati Prabu Salya?,
sedangkan mereka bertetanggaan dengan Pandawa sejak jaman kuda gigit
besi, patihku. Bukankah Salya itu masih iparnya Pandu, ayah Pandawa.”Sangkuni
terkekeh (wekekekekeke…, ketawanya meledak ala emak lampir, sambil
ngunyah kemenyan kruus.., krus… krus… kyak makan gorengan). Dari
mulutnya yang bau kemenyan itu meluncurlah saran yang jitu.“Paduka
jangan berkecil hati. Prabu Salya kan punya tiga orang putri yang
bahenol, bohay, molek, montok, seksi-seksi, cantik-cantik pula.
Pinanglah salah satunya, maka perkawinan paduka ini pasti akan
menyatukan dua kerajaan dengan mudah.” Doryudana pun terkesima...
”Ooowoow…wooow (terbayang-bayang bentuknya)”Tetapi
memang Balairung itu ruangan terbuka, maka sudah pasti banyak kuping
yang mendengar dan siasat itu pun terbongkar dan diketahui banyak
orang.Prabu
Duryudana datang menemui Prabu Salya, memohon menjadi menantu raja
Mandraka, Prabu Salya. Mula-mula ia bertunangan dengan Dewi Erawati,
Puteri Prabu Salya yang tertua, tetapi gagal karena Erawati diculik
oleh Baladewa untuk diperistri, Salya yang sombong semula keberatan
jika Erawati diperistri oleh Baladewa, namun keberatannya baru
mencair setelah Salya tahu bahwa Baladewa juga Raja di Mandura.Kedua
kalinya Prabu Duryudana bertunangan dengan puteri Prabu Salya yang
kedua, bernama Dewi Surtikanti, tetapi puteri itu diperisteri oleb
Raden Suryaputra, yang kemudian bernama Adipati Karna. Surthikanti
diikhlaskan menjadi milik Karna, sebagai jaminan kesetiaannya Karna
agar bersedia membela Kurawa. (Apesnya…, Prabu Duryudana, belum
laku-laku juga, kuaci-an…)
Akhirnya,
Ketiga kalinya, tinggal satu-satunya harapan yang tersisa, Duryudana
bertunangan dengan Dewi Banowati, puteri Prabu Salya yang ketiga,
Tetapi hati Doryudana ragu, bukankah ia telah berpacaran dengan
Arjuna, musuh besarnya. Tetapi ini politik, keraguan pun harus
disimpan, dikubur, dipendam dalam-dalam dikunci di laci kusam, maka
luluslah perkawinan ini. Tetapi sebenarnya, puteri Banowati tidak
suka pada Prabu Duryudana, karena Banowati berharap akan diperisteri
oleh Raden Arjuna. Pinangan
segera dilakukan, Salya akhirnya menerima pinangan itu karena
Doryudana memberikan seserahan harta yang berlimpah ruah: Rumah mewah
seharga 10 Milyar, Mobil Ferrari+Mercedes Benz, Cincin Platinum lapis
Kromium lapis Emas 24 karat dengan Berlian sebesar telor ayam,
beserta pundi-pundi perhiasan seluruh harta karun kekayaan se-tas
koper penuh (cring… cring… cring… gemerincing bunyinya, wooow
mata Salya pun gemerlap sampai kelilipen senangnya…), lengkap
dengan sertifikatnya asli pula dicap kerajaan. Tetapi Banowati tetap
menolak dengan cara sangat halus. Banowati menetapkan syarat yang
pastinya akan ditolak oleh Doryudana. Apakah itu?
(Jreng..jreng..jreng.., eng ing eng…)“Ayahanda,
saya akan menerima pinangan Doryudana tetapi dengan satu syarat yaitu
kelak menjelang perkawinan, saya minta dalam ritual siraman
dimandikan di ruangan tertutup.” Mendengar penuturan putrinya Salya
tertawa tersenyum bahagia. Karena itu syarat yang mudah “Hahaha…
gampang itu bisa diaturlah...”. Namun ternyata ada kalimat
selanjutnya, “Tapi yang memandikan hanyalah Arjuna.” Salya
langsung kaget, shock, tawanya tersedak kayak keselek biji salak,
terkejut seketika minum kopi sampai nyembur mukanya Duryodana
(biuuuh…) hampir semaput, keluar keringat dingin sambil menjawab
“Waaaaa..(semaput pingsan) mustahil!!!, ngawur!!!, yang benar aja
kamu!!! masa yang memandikan Arjuna?!!!”
Mendengar
syarat itu Doryudana begitu terpukul. Harga dirinya tersinggung,
jantungnya serasa robek, terbakar panas, dahsyat. (yang tadinya duduk
santai, terbangun beranjak akan pergi, angkat kaki, ingin
meninggalkan ruangan) ”Apaaaa katanya???!!! Weegaaah, Aku Gak Akan
Terima!!! calon isteriku mandi siraman dengan Arjuna!!!”. Tetapi
Patih Sangkuni segera menengahi.“Paduka,
sabar toh, tenang-tenang, sudahlah…., sebaiknya syarat itu diterima
sajalah, (lah dari pada gak laku-laku Duryodana). Ingat toh,
Kemenangan di Kurusetra jauh lebih penting dari pada sekedar
persyaratan embel-embel kayak gituan, kan gak penting bangetlah.
Ingat (inga..inga), Paduka adalah Raja yang bertugas melindungi
seluruh Hastina. Para Nabi yang bijak bestari pun sejak dahulu hingga
sekarang senantiasa melangsungkan perkawinan politik, demi negara,
ingat itu Prabu.”Dada
Duryodana yg berkecamuk panas, mulai sedikit mendingin, “Tetapi
bukan dengan cara begini paman patih, dimana muka saya harus ditaruh
dihadapan rakyat Hastina, harga diri saya sebagai Raja serasa
diinjak-injak oleh Arjuna, (Dalam hati marah, kesel, Uasem….,
sialan, monyong, kampret, Arjuna, sambil mengepal keras kedua
tangannya penuh emosi jiwa).”“Coba
Prabu bersabar dan pikirkan kembali, Mandaraka punya seratus ribu
prajurit. Jumlah sebanyak itu akan jatuh ke tangan Pandawa manakala
Banowati bila sampai benar-benar diperistri Arjuna. Prabu harus
bertindak lebih cepat, jangan sampai Banowati terlepas juga seperti
halnya Erawati dan Surthikanti. (apes banget sih nasibmu Duryodana),
Toh, nanti Prabu lambat laun pasti dapat meluluhkan hatinya, bilamana
tak mampu merebut hatinya, (udah bête, bosen) kan dapat
menceraikannya kayak berita-berita di infotainment gitu loh, ah tiap
hari banyak berita gituan, terus kan dapat cari istri lain lagi.”
Kalimat terakhir ini diucapkan Sangkuni dengan mata berkedip-kedip
(bagai bintang di langit biru, cling… cling… cling… kinclong
lah siiieep… bagai tanda isyarat).
Doryudana
yang berhati lemah lembut penuh cinta seperti kain sutera kapas itu
akhirnya menuruti kata Sangkuni. Kepentingan kekuasaan menutupi
kehormatan dan harga dirinya yang rela dihancurkan demi kepentingan
rakyat kerajaan. Pernikahan tanpa cinta dari kedua belah pihak
akhirnya dilangsungkan juga. Dan sejak itu juga, Aswatama semakin
tenggelam (seperti loncat terjun bebas nyemplung byuuuurrr… ke
dalam lautan samudera pasifik) dalam perasaannya sendiri yang makin
hancur, luluh lantak, persis luka dihantam pisau bertubi-tubi, perih
pedihnya semakin merusak pikirannya yang kacau tidak jelas. Sebagai
pelampiasan kemarahannya Aswatama giat berlatih olahraga
keprajuritan. Ia semakin sakti, kuat tak tertandingi. Banowati
walau telah menjadi istri Doryudana selain melayani Doryudana juga
masih (backstreet/selingkuh) membuka hati, baju dan tali syurga
kutangnya untuk Arjuna. Ini dilakukan tidak sekali, tetapi
berkali-kali, Saat Doryudana sedang pergi bertugas menghimpun rapat
gabungan koalisi partai kerajaan ataupun pergi berburu di hutan. Dan
Aswatamalah yang paling tahu tentang rahasialan itu. Rasa cintanya
ternyata belum pupus juga, karenanya ia selalu mengamati sang dewi,
termasuk kala Arjuna menyelinap ke taman sari. Aswatama tahu,
cemburu, dendam, tetapi hanya terdiam, mengintip tidak mampu. Wahai
dewata, apa yang harus aku perbuat dengan kenyataan ini, hatinya
menjerit menangis, sangat perih. Aswatama pernah mencoba melaporkan
perselingkuhan itu kepada sidang kerajaan, tetapi ditolak
mentah-mentah oleh Salya, dikatakan bahwa Aswatama hanyalah cemburu
buta dan berkhayal, bermimpi berhalusinasi yang bukan-bukan.Sampailah
pada saat yang mengguncang marcapada. Banowati akhirnya hamil, lalu
melahirkan bayi laki-laki. Kebetulan saat itu Doryudana dan keluarga
Kurawa sedang dinas di luar kerajaan, sehingga tidak melihat langsung
bagaimana rupa bayi yang baru dilahirkan itu, ternyata ia begitu
mirip wajahnya dengan Arjuna. Dengan cepat Banowati mengirim pesan
singkat (lewat Hpnya, trini nininit… pesan berhasil terkirim) ke
Arjuna, tertulis pesan bahwa aib dan hukuman akan menimpa anaknya itu
karena rupa bayi itu mirip dengan Arjuna. Lelananging jagad itu pun
segera berdoa dengan kekuatan kesaktiannya agar memohon diberi
perlindungan. Alhasil bayi itu berubah wajah menjadi figur yang
sedemikian berbeda dengan Arjuna (kalo zaman sekarang dioperasi
plastik mungkin yaa..). Bayi itu diberi nama Lesmana Mandrakumara.
Anehnya dalam perwayangan selalu menyaksikan keburukan tanpa malu
senantiasa menutupi aib/dosa para jagoannya.Sekalipun
mereka dikarunia dua anak, Lesmana Mandrakumara dan Dewi
Lesmanawati/Dursilawati.
Dewi Banowati terlihat sangat menurut dipermaisuri oleh Prabu
Duryudana, meskipun tetap saja dia pergi mengendap-ngendap menemui
Arjuna sewaktu-waktu mencuri kesempatan.
Karena
berkat doa-doanya Arjuna pulalah si bayi, Lesmana Mandrakumara itu
pun tumbuh menjadi pemuda yang idiot, bloon, goblok, dableg,
pas-pasan otaknya dan ilmu silatnya rendah cetek payah. (Kelak dalam
perang bharatayuda, Lesmana Mandrakumara mati dibunuh oleh Abimanyu –
putra Arjuna dengan Sumbadra (Hukum karma pun lambat laun berbuah)).Akhirnya
Bharatayuda memasuki hari keempat belas. Kurawa menampilkan senopati
tangguh, Drona. Kubu Pandawa mengalami kerusakan hebat. Siapa yang
bisa menandingi kesaktian Drona? Hanya Kresna – titisan wisnu –
yang sanggup membendung Drona. Tetapi Kresna sudah berjanji tidak
akan turun langsung dalam kancah peperangan. Kresna diam, seperti
biasa ia memohon agar dibukakan rahasia langit. “Kabarkan pada
Drona bahwa Aswatama telah mati. Berbohonglah karena ini siasat
perang.”“Aswatama
mati! Aswatama mati!..” Rakyat Kurusetra gempar, Drona terguncang.
Drona melolong bagai anjing mencium arwah. “Tiiidaaaaakk…tidak
mungkin!!!”“Wahai
rakyatku, Benarkah Aswatama, anakku sudah mati?” Teriakan itu
begitu nyaring. “Dimanakah dikau wahai Aswatama putra
terkasihku?”..Tidak ada jawaban. Berulang-ulang teriakan mantra
ilmu sakti telepatinya tetap tidak memberi jawaban (sinyalnya putus
atau Hp batereinya lowbat, sinyalnya kurang kuat, terganggu,
diteleponin, Hp-nya Aswatama bunyinya, telepon yang anda tuju sedang
tidak aktif atau berada di luar jangkauan).
Akhirnya
Drona terpaksa menemui Pandawa, pribadi-pribadi yang dikenalnya
jujur. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa semua mengatakan Aswatama
telah mati sesuai pesannya Kresna. Drona melolong perih. Ia lebih
baik mati saja menyusul Aswatama sesuai sumpahnya. Tetapi Drona tidak
lantas percaya sebelum menyaksikan sendiri jasad putranya itu.“Dimana
Yudistira? Aku harus menanyakan padanya karena ia paling jujur di
muka bumi.” Yudistira sengaja bersembunyi menghindari pertanyaan
Drona. Walau ini strategi perang ia tetap tidak mau berbohong. Apapun
yang terjadi ia harus jujur. Itu sudah darmanya. Kresna memahami,
cepat atau lambat Drona akan menemukan Yudistira dan akan
terbongkarlah rahasia itu, bahwa Aswatama memang belum mati.
Ditemuinya Yudistira. “Wahai putra Pandu, katakan pada Drona bahwa
Aswatama telah mati.” ucap Kresna kepada Yudistira.“Tidak
kakang, apa kata dunia?! akan menilaiku buruk jika aku sengaja
berbohong.”Kresna
memahami bahwa Yudistira bukan pribadi yang bisa ditawar. Dengan
perhitungan yang luar biasa. Kresna membawa seekor gajah yang
langsung dibawa kehadapan Yudistira. “Ketahuilah gajah ini aku beri
nama Aswatama.”Lalu
gajah itu dibunuhnya (gedubraak…mati).“Lihatlah
Gajah Aswatama telah mati. Jika kau ditanya Drona, ceritakan bahwa
Gajah Aswatama telah mati. Namun pada saat mengucapkan kata “Gajah”
itu dipelankan sedikit suaranya sehingga kuping tua Drona yang sudah
kurang pendengarannya itu hanya mendengar Aswatama telah mati.”Sejurus
kemudian, tak lama Drona pun datang menemui Yudistira.“Wahai
Yudistira, benarkah Aswatama, anakku telah mati?”.“Benar,
(Gajah) Aswatama telah mati.” Pengucapan gajah begitu pelan sekali,
sangat dikecilkan suaranya sehingga Drona menjadi yakin bahwa
Yudistira, sang manusia jujur, telah menjadi saksi kematian Aswatama.Drona
menjerit…”Anaaaakku…Tiidaaaak….!!!(menangis pedih gak karuan,
kalang kabut, kusut, stress gila berlari-lari)”, Ia tidak lagi
menghiraukan statusnya sebagai senopati, ia berlari sambil
teriak-teriak seperti orang gila. Kresna menyimpulkan inilah saat
yang tepat untuk membunuh Drona. Saat kewaspadaannya telah menguap
dari raganya, dan Aswatama sejati belum juga muncul di medan perang.
Tetapi siapa yang sanggup membunuhnya? Drona tetap saja berbahaya.
Tidak ada yang berani menyongsong tubuh yang terus melolong itu dari
arah depan.“Panggil
Drestajumna”, titah Kresna dengan keyakinan yang pasti.
Dilangit
tinggi puluhan gagak melayang kesana-kemari. Suaranya yang buruk itu
membuat orang-orang menggigil mendengarnya. Drestajumna, si mesin
pembunuh, telah menunggu peran dan takdirnya. Sebagai mesin pembunuh
ia tidak terikat darma dan hukum perang. Tanpa perasaan secuil pun,
Drona yang tengah kalang kabut ditebasnya dengan mudah dari belakang
dalam hitungan detik sekejab mata berkedip. Perlahan tubuh si tua itu
pun tumbang.., terjerembab jatuh tersungkur ke tanah berlumuran
darahnya.. Semua terdiam, hening, Kurusetra terkesima. Senja sore
mengundurkan diri berganti dengan malam kelam yang sedih sendu.
Yudistira menunduk pilu meratap sedih. Kurawa akhirnya kehilangan
benteng terkuatnya.
Sementara
itu, sewaktu Duryodana sedang menderita migren pusing berat, mencoba
beristirahat di kamarnya, Banowati datang menghampiri bertanya,
“Suamiku, bagaimana kabar dari perang Bharatayuda? Apakah sudah
berakhir? Apakah Kanda telah menyerahkan sebagian negeri Astina
kepada Pandawa?”Mendengar
pertanyaan dari bibir indah istrinya Banowati, seakan menusuk perih
jiwa Duryudana, seperti pisau belati tajam mengiris jantung hatinya.
Ia sadar betul, apa maksud dari pertanyaan istrinya itu, bahwa
sebenarnya, dia hanya ingin memastikan keselamatan kekasih abadinya,
Arjuna. Tetapi kelembutan hatinya menatap kemolekan Banowati,
membuatnya tak mampu berkata-kata marah, menyindir, menyakiti maupun
memaki-maki, ia menahan perih batinnya dan tak ingin menyakiti hati
Banowati.“Istriku
tercinta (sambil memeluk dan menciumi Banowati), perang masih
berlangsung. Sudah habis semua pepunden harta dan persediaan makanan,
beserta orang-orang terkasih telah gugur dalam peperangan ini. Eyang
Bisma, telah gugur membela negeri. Guru kami Durna, pun telah tiada.
Dan suami dari kakakmu Surtikanti, Kanda Karna, pun gugur setelah
menjadi senapati Astina. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati, setelah
melihat kematian Karna.” geram Duryudana membayangkan gugurnya para
jagoan-jagoan andalannya dalam pertempuran itu.“Lalu
apa kata dunia nanti, bila mereka-mereka yang telah rela berkorban
memberikan nyawa untuk negeri ini, sementara aku datang hanya untuk
menyerah kalah? Sungguh aku akan dicap pengecut bodoh yang tak tahu
diri, bagai pecundang. Berpesta pora di atas darah, air mata dan
peluh orang-orang yang membantu atas kemulyaan kita. Ingat Banowati
istriku, selama tubuh Duryudana ini masih mampu bernafas, berjalan
tegak dan nyawaku masih berada dalam jasadku, maka selama itu pula
aku akan tetap berjuang melanjutkan peperangan ini.” Tekad kuat
Duryudana dengan menahan amarah dan dendam membara di jantung
hatinya.“Bukankah
Pandawa itu kan masih saudara kita sendiri toh, Kangmas? Kangmas
cukup memberikan hak-hak mereka dari sepenggalan tanah di Astina ini
dan bukankah Ayahanda Prabu Salya pun telah bersedia memberikan
negeri Mandraka bila Kangmas menghendakinya, jadi perang saudara ini
pun tidak perlu diperpanjang lagi kan?” pedih hati Banowati tidak
berdaya.“Ooooh
Banowati, mengapa dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini
menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa. Meskipun
itu tidak diperolehnya dengan cuma-cuma (mana ada yang
gretongan/gratisan). Banyak ksatria mereka yang tewas, tapi Pandawa
masih lengkap berjumlah lima, sedangkan Kurawa? Tinggal berjumlah
lima, dinda. Cobalah dinda hitung deh, pliiss deh, dari seratus,
sekarang cuma tinggal lima. Bagaimana pertanggungjawabanku terhadap
adik-adikku yang berkorban demi kemulyaan kakaknya, kalau aku saat
ini menyerah begitu saja. Tidak, dinda!!! Tidak saat ini dan tidak
untuk selama-lamanya!!! Meskipun Pandawa itu masih bersaudara dekat
denganku, meskipun masa kecil kami telah dilalui bersama, namun saat
ini keyakinanlah yang membuat peperangan antara kami harus
terjadi!!!.”“Oleh
karenanya, kakanda pamit kepadamu dinda tercinta (sambil memeluk
Banowati erat-erat dan menciumnya dengan mesra). Ijinkanlah suamimu
ini maju ke medan laga. Perang hanya menghasilkan dua pilihan. Antara
menang… atau kalah sebagai pecundang, antara hidup… atau mati
meregang nyawa. Itu yang kanda sadari dan tentunya dinda tahu
bagaimana cinta kakanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini
tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku
memang buta, tidak peduli akan terpaan, hinaan, tertawaan, ejekan
sindiran, cibiran bahkan kejadian buruk apapun itu dan sekalipun itu
datang dari gejolak di hatimu, yang setidaknya aku sudah ketahui
semuanya.” Dengan lembutnya Duryudana mengungkapkan hal itu.
Kembali
tergambar dalam ingatannya, masa-masa dimana Banowati akhirnya
berhasil dinikahinya meskipun dia tahu bahwa tak akan pernah mampu
memiliki hati dan cintanya. Cinta kasih Banowati telah terengkuh
dibawa pergi oleh Arjuna. Duryudana sadar akan kelemahan dirinya.
Akan tetapi cintanya telah tertanam dan tertancap kuat dalam relung
hatinya. Biarlah, masa bodoh apa kata orang tentang istrinya dan
apapun sikap istrinya terhadap dirinya yang adakalanya tersirat
mengungkapkan harapan sejatinya, tetap saja baginya, Banowati adalah
satu-satunya wanodya (wanita) yang dikasihinya sepenuh hati dan tiada
tergantikan oleh perempuan/wanita manapun. Meskipun dia mampu mencari
dan dapatkan puluhan bahkan ratusan wanita/perempuan lain yang tidak
kalah cantik dengan Banowati, namun Duryudana tiada tega, tidak mampu
untuk melakukan itu, karena Banowati selalu memenuhi pandangan di
setiap relung sisi hatinya. (suit… suiit… oowwwhh… so
sweet…aaah, ckckck…, cuma perempuan sebodoh Banowati yang
tega-teganya menolak cinta pria, sebaik dan selembut Duryodana, hmm…
penulis gak terima Duryodana dicampakkan begitu hatinya).
Saat
dia harus maju seorang diri ke medan perang, yang diingatnya hanyalah
Banowati. Keselamatan Banowati adalah yang paling utama, maka dia
memerintahkan agar semua prajurit kerajaan pergi untuk mengamankan
istri tercintanya agar segera mungkin dibawa ke tempat persembunyian
yang teraman. Sebelum dia maju berperang melawan Pandawa, Duryudana
harus yakin betul akan keselamatan Banowati, meskipun dia maju untuk
menjemput maut. Sebenarnya
Prabu Duryudana seorang yang sangat sakti, tetapi tak pernah
menunjukan kesaktiannya. Dalam perang Baratayudha ia bertanding
dengan Raden Werkudara. Prabu Duryudana tak dapat dikalahkan. Tetapi
ternyata ketahuan oleh Werkudara dari isyarat yang diberikan Prabu
Kresna dengan menepuk-nepuk paha kirinya yang merupakan titik
kelemahannya. Dipukulah dengan gada Werkudara, paha kirinya
Duryudana, dan seketika ia terjatuh sekarat, terdengar lirih suaranya
“Banowatiku tercinta, maafkanlah suamimu ini, sudah tak mampu
melindungimu lagi...”, nafasnya terhenti, air matanya mengalir,
telah gugur Prabu Duryudana. Kelemahan pahanya ini dikarenakan
sewaktu muda, Duryudana dimandikan dengan air sakti, ternyata ada
bagian paha yang tertutup dengan daun beringin, maka tertinggallah
bagian paha itu yang tidak terkena oleh air sakti yang membasahi
seluruh badannya.
Cinta
membirahi memang tidak mengenal malu. Begitu perang usai, Banowati –
permaisuri Doryudana (telah menjadi janda dua anak) menyeberang
dengan sukacita ke Petilasan Pandawa dan meminta diperistri oleh
Arjuna. Aswatama yang luput dari maut karena bukan termasuk figur
yang diincar (kayak buronan) oleh Pandawa, mengetahui kenyataan,
menyimpan dendam membara kepada Pandawa yang telah membunuh ayahnya
secara licik. Ia pun merencanakan balas dendam dengan cara menyusup
seperti ninja pembunuh dengan sasarannya adalah si bayi Parikesit,
cucu Arjuna. Menurut alam pikirnya, dengan terbunuhnya Parikesit,
sudah dipastikan klan Bharata akan punah dan kemenangan Pandawa akan
sia-sia.Bersama
Kartamarma, sahabatnya, ia menggali lubang di tanah, meniru landak,
menembus benteng Pandawa. Saat Aswatama muncul ditengah Benteng
alangkah terkejutnya ia tatkala matanya bersirobok dengan tubuh
cantik yang dikenalnya, Banowati. Karena Banowati hendak menjerit
“Maaa (ling)…”, disongsongnya tubuh Banowati dengan keris
(jleeeb….), seketika tubuh perempuan pujaannya hatinya itu meregang
nyawa dalam pelukannya. Aswatama menyadari, ia masih mencintainya. Ia
peluk erat tubuh yang nyaris kehilangan denyut itu. Ini pelukan yang
pertama sekaligus terakhir. Pelukan kematian, pelukan yang susah
untuk ditafsirkan. “Banowati…, mengapa harus terjadi seperti
ini?”.Terjadi
kegaduhan didalam benteng, rupanya Kartamarma telah tertangkap pihak
musuh. Aswatama segera menghilang berkelebat secepat angin (wuuusshh…
ilang). Dalam sedih dan guncang ia tetaplah anak Drona.Akhirnya
Aswatama menemukan kamar si bayi, Parikesit. Tanpa berpikir panjang
ia hendak menyerbu bayi itu dengan hujaman keris. Entah kurang
beberapa detik langkah kakinya menuju si bayi, seketika bayi suci itu
dengan kesaktiannya mampu merasakan kehadiran aura jahat, tiba-tiba
terkejut, menyepak senjata pasopati yang dipersiapkan di kakinya,
meluncur deras menghantam dada Aswatama. Dalam regangan nyawa
Aswatama berucap lirih, “Tunggu aku… Banowati..”. –TAMAT-
Pesan
Penulis (PVA/Kepik Romantis) untuk para Pembaca yang budiman:
>Janganlah
berwatak seperti Banowati, belajarlah untuk setia dan menghargai
perasaan orang lain karena mempermainkan dan mengkhianati kebaikan
dan kesungguhan hati seseorang hanya akan membawa malapetaka bagi
diri sendiri.
>Janganlah
berwatak seperti Aswatama, belajarlah untuk membuka hati, membuka
pikiran, terbuka jujur apa adanya, karena menutup diri selamanya
tidak akan menyelesaikan masalah dalam hidup, hanya akan merusak/
menghancurkan diri sendiri, akhirnya bila jiwanya tidak kuat akan
bunuh diri atau menjadi psikopat yang kelainan jiwa akibat terus
memendam kebencian dan amarah, membendung energy negative dalam
dirinnya. Pribadi seperti ini banyak dilihat di dunia nyata,
terlihat baik luarnya namun pikiran dan jiwanya sudah rusak akibat
memendam amarah, tidak segan-segan dapat bertindak sendiri diluar
jalur hukum, membunuh, menyakiti, merusak karena rasa keadilan
kebaikan dalam hatinya telah lama padam akibat tertutup oleh nafsu,
amarah dan kebencian. Manusia seperti ini perlu direhabilitasi,
diobati kejiwaannya agar mau belajar membuka pikiran dan hatinya,
dan harus ditemani orang-orang bijaksana, bila tidak akan cenderung
mudah untuk berbuat buruk.
>Janganlah
berwatak seperti Arjuna, meskipun dia punya banyak kelebihan dan
kebaikan di dirinya, tetapi kesombongan dan nafsu egonya telah
merusak alam pikirnya, tanpa merasa malu ataupun hina, tanpa merasa
dosa terus menuruti nafsu ego-nya sendiri, mencelakakan bayi yang
tidak berdosa (Lesmana), yang merupakan hasil perbuatannya, menjadi
korban akibat nafsunya sendiri.
>Akhir
kata, belajarlah untuk setia, menyayangi dan mencintai dengan
kesungguhan hati seperti Duryudana, tidak kenal putus asa, terbuka
jujur mau menerima apa adanya, dan bersikap kesatria. Banyak manusia
yang terlihat baik, namun belum tentu hatinya lembut dan baik,
berbeda dengan Terlepas dari label Duruyudana yang terlihat dicap
buruk wataknya, tetapi di dalam hatinya tersimpan benih yang sangat
mulia dan penuh kasih sayang.
KISAH CINTA GATOTKACA DAN PERGIWA
Tersebutlah
rencana pernikahan antara Gatotkaca dan Pergiwa putri Arjuna dengan
Dewi Manuhara (kalo sekarang dikenal Manohara) sudah menyebar ke mana
mana. Persiapan di Yodipati tempat Werkudoro, Ayah Gatotkaca sudah
sangat lengkap semuanya dari mecari tempat pemberkatan akad nikah,
tempat resepsi, mendesign tempat resepsi pernikahan,memilih menu
makanan, mencari gaun pengantin, mencari cincin kawin 24 karat,
membuat serta menyebarkan kartu-kartu undangan hasil percetakaan/printing,
mencari photografer terkenal, sampai ke persiapan bulan madu anaknya
(sewa hotelnya, pesen tiket pesawat, beli paket tour jalan-jalan 3
hari 3 malam ke bali & lombok) buat anaknya Gatotkaca. Rencananya
pesta akan dilakukan di 3 tempat yaitu Hotel Mewah Madukoro bintang
7*******, Hotel Mewah Yodipati bintang 5***** dan di Rumah Istana
Pringgondani. Kabar pun tersebar ke Hastina, tempat kediaman para
wangsa Kurawa. Disana pertemuan agung besar-besaran di gelar. Hadir
sesepuh kurawa Prabu Duryodana, Patih Sengkuni, Danyang Drona. Mereka
pun membahas tentang cara agar Pandawa bisa dilenyapkan. Danyang
Drona memberi usul memecah belah Pandawa dengan sesegera mungkin
mengawinkan Lasmana dengan Pergiwa mendahului Gatotkaca dengan
harapan Werkudoro akan marah, sebel, bete, ngamuk dan segera membunuh
adiknya Arjuna. Rencana yang tersusun sangat lengkap itupun
dipersiapkan.
Rombongan
pelamar dan manten dari Hastinapura pun berangkat seperti layaknya
iring-iringanan mantenan, disertai panji-panji kebesaran, perlengkapan seserahan,
lengkap dengan pasukan dan segala macam jenis umbul umbul kebesaran
dan simbol pernikahan. Sesampainya di Madukoro Danyang Drona yang
berbicara layaknya mucikari dan mulai merayu Arjuna. Maka dengan
segala tipu muslihat liciknya itu, akhirnya Arjuna pun tergiur dan
tidak mampu menolak. Lamaran Hastinapura yang akhirnya diterima.
Lesmana segera bersanding dengan Pergiwa. Kesedihan Pergiwa pun
menjadi-jadi, ketakutan batinnya mulai gelisah, goyah memohon doa
perlindungan terus-terusan dalam hatinya agar Gatotkaca sesegera mungkin
datang (bila perlu kawin lari dalam hati Pergiwa bersedih akibat
kekhilafan Ayahya, Arjuna), kemudian dikirimlah para utusan ke
Yodipati untuk mengirimkan kabar bahwa lamaran Gatotkaca sudah
ditolak, sedangkan rombongan penganten dari Hastina pun dipersilahkan
untuk menginap di Hotel Mewah Madukoro.
Di
Yodipati, Punakawan berlari datang membawa kabar penolakan lamaran
Gatotkaca. Werkudoro yang tadinya tampak segar bugar, riang gembira,
tiba-tiba langsung murung, kusut, diam dan tiduran di halaman
kadipaten. Tanpa banyak berbicara, dia berkata "Jangan berisik,
Jangan diganggu..". Sementara itu Gatotkaca tampak sangat
kecewa, stress, gelisah hatinya tidak karu-karuan, kemerungsung, kalang
kabut, galau abis tapi dengan dihibur oleh para Punakawan, Gatotkaca
mulai sedikit tenang, dan Petruk berjanji akan berusaha mempertemukan
cinta mereka berdua kembali. Maka berangkatlah Gatotkaca ke Madukoro.
Dengan ilmu silat meringankan tubuhnya yang sakti, dapat dengan
mudahnya menyelinap bersama Petruk ke kaputren Madukoro tempat
Pergiwa tinggal di dalamnya.
Petruk
bertugas menjaga diluar seperti satpam. Sementara Gatotkaca pun masuk
ke dalam menemui Pergiwa, yang sedang menangis gak karuan habis tissu
100 gulungan di ember dan baskom. Pergiwa dengan senang hati
menyambut Gatotkaca dengan pelukan lembut dan hangatnya serasa takut
kehilangan Gatotkaca selama-lamanya.
Gatotkaca:
"Apakah benar berita, dinda Pergiwa akan menikah dengan kakang
Lesmana?"
Pergiwa:
"Benar berita itu kakang Gatotkaca, hikz hikz.." (sambil
memeluk erat Gatotkaca dan menumpahkan semua air matanya basah kuyup
di dada Gatotkaca yg gagah berani).
Gatotkaca:
"Apakah dinda Pergiwa menerima lamaran dari kakang Lesmana?"
Pergiwa:
"Iya, kakang Gatotkaca, saya menerima dan siap melayani kakang
Lesmana sebagai suami."
Gatotkaca:
(melepaskan pelukan Pergiwa bergegas keluar dari kamarnya Pergiwa)
"Kalau begitu aku turut bahagia untukmu, sebagai hadiahnya,
terimalah jantungku ini.. (Gatotkaca menyabut keris...siap-siap mau bunuh
diri di depan Pergiwa)"
Kemudian
Gatotkaca ditampar (tabok bolak balik, plok plak plak plak... sampai
Gatotkaca melepaskan Kerisnya) oleh Pergiwa, lantas dipeluk erat
terus gak mau lepas.
Pergiwa
mengaku bahwa dia cuma ingin menguji kecintaan Gatotkaca, dan
menyatakan bahwa dia menerima lamaran karena tidak enak dengan
ayahnya, Arjuna. Akhirnya Gatotkaca dan Pergiwa pun kembali masuk
kamar sambil peluk-pelukan.
Di
luar Lesmana datang menyambangi Pergiwa calon istrinya. "Calon
istriku dimana dikau, kemarilah sayangku.." dihadang Petruk,
"Eh, Lesmana kalo berani ketemu Pergiwa hadapi dulu aku",
dan terjadi perkelahian. Lesmana pun mengetahui Gatotkaca ada di
dalam kamar Pergiwa, dan Lesmana berlari segera berteriak-teriak
memanggil para Kurawa menyerang istana kaputren. Gatotkaca pun keluar
dari kamar Pergiwa, "Hayo kalo berani maju, lawan aku",
dengan kekuatan dan kesaktiannya Gatotkaca mampu mengalahkan semua
pasukan Kurawa termasuk danyang Drona.
Danyang
Drona marah dan mengadu pada Arjuna bahwa Gatotkaca telah berbuat tak
senonoh dengan Pergiwa. Arjuna marah, ngamuk naik darah tingginya
kumat dan segera datang menghadapi Gatotkaca. "Owwh, Bocah
tengik, kurang ajar, berani kamu ganggu putriku, Pergiwa",
Arjuna pun langsung mengeluarkan beberapa pusakanya sementara
Gatotkaca takjim, mengelak terus tak berani melawan pamannya sama
sekali. Arjuna makin marah mengira diremehkan, "Uasem...awas
yoo!!!". Petruk sangat kuatir melihat keadaan ini. Apalagi
Arjuna mengeluarkan cemeti kyai pamuk yang terus dihantamkan ke tubuh
Gatotkaca berulang ulang kali.
Petruk
segera lari ke Yodipati, dan mencoba membangunkan Werkudoro, tapi
karena Werkudoro ngorok ileran tidur ngimpi nyeyak sekali, diteriakin
dibangunkan berulang-ulang tak bangun-bangun juga. Petruk ingat kisah
Kumbokarno yang bisa bangun ketika bulu kakinya dicabut, lalu dengan
cepat Petruk mencabut bulu kaki Werkudoro "selepet... dapet
kena, ganjil genap ya?" (sambil Petruk ngitung bulu kakinya
Werkudoro yang kecabut) dan Werkudoro kaget terbangun "Aww..aww
aww, aduh ada apa toh?", diceritakan anaknya sedang dihajar
habis-habisan Arjuna. Werkudoro cuek tenang aja (gak nyambung) sambil
bilang, "Ah itu biasa itu kan tugas Arjuna sebagai pamannya toh
ngajari Gatotkaca tentang kebenaran jurus-jurus silatnya." Petruk
jadi bingung, lalu dia bilang Gatotkaca bisa mati, Werkudoro bilang
biar saja, tidak masalah.
Petruk
tidak hilang akal menghadapi ketenangan Werkudoro, dia bilang kalau
Arjuna mengumpat umpat dan menjelek-jelekan Werkudoro goblok, gak tau
diri jadi Ayahnya gak ada otaknya, bisanya makan tidur melulu,
otaknya di dengkul, sambil menyiksa Gatotkaca sampai kepala
pelipisnya bocor-bocor keluar darah kayak Chis John. Langsung Werkudoro
naik darah, "Apa!!! Sontoloyo, Keparat Arjuna, kurang ajar dia,
Arjuno sialan, ta hajar gundulmu!!!", sangking marahnya segera
berlari ke Madukoro. Petruk ditabrak sampai jatuh terjengkang
guling-guling ngegelundung. Sampai di Madukoro Werkudoro mengamuk dan
menghajar habis-habisan Arjuna sejadi-jadinya. "Arjunoo!!!, kau
apakan anakku Gatotkoco." Berganti Arjuna kaget, yang harus
lari-lari menghindari serangan ngamuk Werkudoro (Bima) ke rombongan
Ngamarta yg baru datang.
Kresna
segera datang melihat hal ini terjadi. "Stop..stop..stoop, cut
cut cut..., istirahat dulu, ada apa ini?" Untunglah sesegera
dilerai Kresna dan puntadewa. Akhirnya dijelaskan mengapa Petruk
melakukan kebohongan, semuanya demi menolong Gatotkaca, dan ahirnya
Werkudoro pun berdamai dengan Arjuna. Arjuna menyadari kesalahanya.
Pergiwa ditanya apakah bersedia menikah dengan Gatotkaca. Pergiwa pun
menerima, "SIAP!!!" (Langsung loncat ke pelukan Gatotkaca
sambil diciumi dibersihkan luka-luka di pelipisnya yang bocor).
Akhirnya Gatotkaca pun menikah dengan Pergiwa. Rombongan Hastina
dihajar habis semuanya ludes rata oleh Werkudoro dan pulang balik
kocar-kacir dengan tangan hampa ke Hastinapura.
Catatan:
versi diatas adalah versi pernikahan Gatotkaca tanpa menyertakan
adegan Antasena cari Bapa. Dalam versi lain diceritakan saat
Gatotkaca di kaputren muncul Antasena yg mencari Werkudoro, ayahnya.
Petruk mengaku menjadi Werkudoro, dan akhirnya Antasena membantu
Petruk sehingga semua jagoan Hastina kalah, bahkan Werkudoro dilawan
dan kalah. Akhirnya Antaredja yg menyadarkan adiknya itu bahwa yang
sebenernya Werkudoro itu yang mana. Akhirnya bersamaan Gatotkaca
menikah dan Antasena sujud kepada Werkudoro, ayahnya.
(By : Kepik Romantis/PVA)
SUTRA BAKTI SEORANG ANAK KEPADA ORANG TUA
SUTRA KASIH YANG MENDALAM DARI ORANG TUA
DAN KESULITAN MEMBALASNYA
Demikianlah yang aku
dengar, Suatu ketika Hyang Buddha berdiam di Shravasti, di Hutan
Jeta, di Taman Pelindung Anak – anak Yatim Piatu dan Para Pertapa,
bersama sama dengan sekumpulan Mahabhikshu, yang seluruhnya berjumlah
seribu dua ratus lima puluh dan dengan semua Bodhisattva, jumlahnya
tiga puluh delapan ribu semuanya.
Pada waktu itu, Hyang Bhagava memimpin kumpulan besar itu dalam perjalanan menuju selatan. Tiba tiba mereka menjumpai seonggok tulang manusia di samping jalan. Hyang Bhagava berpaling menghampirinya, dan bersikap anjali dengan penuh hormat.
Ananda dengan bersikap anjali kemudian bertanya kepada Hyang Bhagava, “Tathagata adalah guru agung dari Triloka dan bapak yang terkasih dari makhluk-makhluk yang berasal dari empat jenis kelahiran. Beliau dihormati dan dicintai seluruh umat. Apakah sebabnya kini beliau menghormati seonggok tulang-tulang kering ?”
Hyang Buddha berkata kepada Ananda, “Meskipun engkau adalah siswaku yang utama dan telah cukup lama menjadi anggota Sangha, engkau masih belum mencapai pengertian yang jauh. Onggokan tulang itu mungkin adalah milik para leluhur pada kehidupan masa lampau. Mereka mungkin adalah orang tuaku dalam banyak kehidupan yang telah lalu. Itulah sebabnya sekarang aku bersujud..”
Hyang Buddha melanjutkan pembicaraannya, “Tulang-tulang yang kita lihat ini dapatlah dibagi menjadi dua kelompok. Yang satu adalah tulang tulang lelaki, yang berat seperti giok dan putih warnanya. Kelompok yang lain adalah tulang-tulang perempuan, yang ringan dan berwarna hitam”
Ananda berkata kepada
Hyang Buddha, “ Duhai Hyang Bhagava, sewaktu para lelaki masih
hidup di dunia, mereka menghiasi badan dengan jubah, pengikat
pinggang, sepatu, topi dan pakaian-pakaian indah lainnya sehingga
mereka jelas-jelas nampak perkasa. Ketika perempuan masih hidup,
mereka mengenakan kosmetik, minyak wangi, bedak dan wangi wangian
yang menarik untuk menghiasi tubuh mereka, sehingga dengan jelas
menampakkan kewanitaannya. Namun tatkala para lelaki dan perempuan
itu meninggal, semua yang tertinggal adalah tulang-tulang. Bagaimana
seseorang dapat membedakannya? Ajarilah kami bagaimana membedakannya.
Hyang Buddha menjawab
Ananda, “Ketika para lelaki ada di dunia, mereka memasuki rumah
ibadah, mendengarkan penjelasan-penjelasan tentang sutra sutra dan
vinaya, menghormati Hyang Triratna dan menyebut nama-nama Buddha.
Tatkala mereka meninggal tulang-tulangnya menjadi berat seperti giok
dan putih warnanya. Kebanyakan wanita dalam dunia mempunyai sedikit
kebijaksanaan dan dipenuhi emosi. Mereka melahirkan dan membesarkan
anak-anak, merasakan sebagai kewajiban. Setiap anak bergantung pada
air susu ibunya demi kehidupan dan makanan, dan susu adalah darah
ibunya yang telah berubah. Oleh karena penghisapan (penyedotan) dari
badan ibu ini saat anak mengambil susu untuk makanannya, ibu menjadi
letih dan menderita dan karenanya tulang-tulang mereka berubah
menjadi hitam dan ringan.”
Ketika Ananda mendengar kata-kata ini, Ia merasakan kepedihan dalam hatinya, karena seolah olah telah tertusuk pedang dan karenanya ia diam-diam menangis. Ia mengatakan kepada Hyang Bhagava,” Bagaimana caranya seseorang dapat membalas kasih dan kebajikan ibunya?”
Hyang Buddha mengatakan kepada Ananda, “ Dengarlah baik-baik dan Aku akan jelaskan hal ini kepadamu dengan terperinci. Janin tumbuh dalam kandungan selama sepuluh bulan perhitungan chandra sangkala. Alangkah menderitanya ibu selama janin berada di situ.
Pada bulan pertama
kehamilan, hidup janin tidaklah menentu seperti titik embun pada daun
yang kemungkinan tidak akan bertahan dari pagi hingga sore, tetapi
akan menguap pada tengah hari.
Pada bulan kedua, janin
menjadi kental seperti susu kental,
Pada bulan ketiga Ia
seperti darah mengental, Pada bulan keempat janin mulai berwujud
sedikit seperti manusia.
Selama bulan kelima
dalam kandungan, kelima anggota badan anak (dua kaki, dua tangan dan
kepala) mulai terbentuk.
Pada bulan keenam
kehamilan, anak mulai mengembangkan inti keenam alat inderanya yaitu
mata, telinga, hidung, lidah badan, dan pikiran.
Selama bulan ketujuh,
ketiga ratus enam puluh tulang-tulang dan persendian mulai terbentuk.
Dan kedelapan puluh empat ribu pori pori rambut juga telah sempurna.
Dalam bulan kedelapan
kehamilan, kecerdasan dan kesembilan lubang terbentuk. Pada bulan
kesembilan, janin telah belajar menyerap sari buah buahan, dan kelima
macam padi padian. Bagian dalam tubuh ibu adalah organ yang padat
untuk fungsi menyimpan dan ia bergantung ke arah bawah, sedangkan
organ dalam yang berguna untuk mengolah. Begitu jugalah pembekuan
darah ibu dari organ-organ dalamnya membentuk zat tunggal yang
menjadi makanan anak. Selama bulan kesepuluh kehamilan, badan janin
disempurnakan dan siap untuk dilahirkan.
Bila anak itu sangat
berbakti dia akan lahir dengan telapak tangan disatukan sebagai tanda
menghormat dan kelahiran itu akan aman dan baik. Ibunya tidak akan
terluka oleh kelahiran itu dan tidak akan menderita kesakitan. Tetapi
bila anak itu sangat pemberontak sifatnya hingga melakukan kelima
perbuatan jahat, maka dia akan merusak kandungan ibunya, mengoyak
jantung dan hati ibunya, akan tersangkut di tulang-tulang ibunya.
Kelahiran itu akan
seperti sayatan seribu pisau tajam menikam jantungnya. Itulah
kesakitan-kesakitan yang terjadi dalam kelahiran anak nakal dan yang
pembangkang.
Untuk menjelaskan lebih
jelas ada sepuluh jenis kebaikan yang diperbuat oleh seorang ibu
kepada anaknya:
1. Kebaikan didalam
memberikan perlindungan dan penjagaan selama anak dalam kandungan
Sebab-sebab dan
kondisi-kondisi dari banyak kalpa yang terkumpul bertumbuh menjadi
berat, sehingga dalam hidup ini anak berakhir dalam kandungan ibunya.
Dengan berlalunya
bulan, kelima organ penting berkembang dalam waktu tujuh minggu,
keenam alat indera mulai tumbuh, Badan ibu menjadi seberat gunung,
diamnya dan gerakan-gerakan janin adalah laksana bencana angin
kalpic.
Baju baju ibu yang
cantik tidak dapat dipakai dengan baik lagi dan begitu juga cerminnya
pun berdebu.
2. Kebaikan dalam
menanggung penderitaan selama kehamilan.
Kehamilan berlangsung
selama sepuluh bulan penanggalan Chandra Sangkala dan puncaknya
adalah kesulitan dengan semakin dekatnya kelahiran. Sementara itu
setiap pagi ibu merasa sangat sakit, dan sepanjang hari terasa
mengantuk dan lamban, ketakutan dan kegelisahannya sukar dilukiskan,
kesedihan dan air mata memenuhi dadanya. Dia dengan khawatir
mengatakan kepada keluarganya bahwa ia hanya takut maut akan menimpa
dirinya.
3. Kebaikan untuk
melupakan semua kesakitan begitu anak telah dilahirkan.
Pada saat ibu akan
melahirkan anak, kelima organ tubuh terbuka lebar, menyebabkan ia
sangat letih dalam badan dan pikiran, darah mengalir laksana seekor
domba yang disembelih, tetapi ketika mendengar anaknya terlahir
sehat, dia dipenuhi dengan kegembiraan yang melimpah, tetapi sesudah
kegembiraan, kesedihan datang kembali, dan rasa sakit kembali
mengaduk aduk bagian dalam tubuhnya.
4. Kebaikan dari
memakan bagian yang pahit bagi dirinya dan menyimpan bagian yang
manis bagi anak.
Kebaikan kedua orang
tua sangat besar dan dalam, penjagaan dan pengabdiannya tidak pernah
berhenti, tidak pernah beristirahat, ibu senantiasa menyimpan yang
manis untuk anak, dan tanpa mengeluh menelan yang pahit bagi dirinya.
Cintanya amat besar dan emosinya sukar tertahankan, Kebaikannya
adalah mendalam dan begitu juga kasihnya. Hanya menginginkan anak
mendapat cukup makanan, Ibu yang kasih tidak membicarakan
kelaparannya sendiri.
5. Kebaikan untuk
memindahkan anak ke tempat yang kering dan dirinya sendiri berbaring
di tempat yang basah.
Ibu rela berada di
tempat yang basah agar dengan demikian anak dapat berada di tempat
yang kering. Dengan kedua payudaranya ia memuaskan rasa haus dan
lapar sang anak.
Menutupi dengan
kainnya, dia melindungi anak dari angin dan dingin. Dalam
kebaikannya, kepala ibu jarang lega diatas bantal, dan bahkan ia
melakukan dengan gembira selama anak dapat merasa senang.
6. Kebaikan menyusukan
anak pada payudaranya dan memberi makan dan membesarkan anak.
Ibu yang baik adalah
bagaikan bumi yang besar, Ayah yang tegar adalah laksana langit yang
mengasihi. Yang satu melindungi dari atas yang lainnya menunjang dari
bawah.
Kebaikan orang tua
adalah sedemikian rupa sehingga mereka tidak membenci dan marah pada
anaknya, dan tetap menyukainya sekalipun anak terlahir lumpuh.
Sesudah ibu mengandung anak dan melahirkannya, Orang tua bersama sama
memelihara dan melindungi sampai akhir hayatnya.
7. Kebaikan dalam
membersihkan yang kotor.
Mula mula ibu mempunyai
wajah yang cantik dan tubuh yang indah, semangatnya kuat dan
bergelora, Alis matanya seperti daun willow hijau yang segar dan
warna kulitnya bagaikan mawar merah jambu. Tetapi kebaikan ibu begitu
mendalam sehingga ia melepaskan wajah yang cantik, sekalipun mencuci
yang kotor merusak badannya, Ibu yang baik bertindak hanya demi untuk
kepentingan putra putrinya, dan dengan rela menerima kecantikannya
yang memudar.
8. Kebaikan dari selalu
memikirkan anak bila dia berjalan jauh.
Kematian dari orang
yang dicintai sukar terlukiskan penderitaannya, tetapi berpisah dari
orang yang dikasihi juga sangat menyakitkan. Bila anak berjalan jauh,
Ibu merasa khawatir di kampungnya. Dari pagi hingga malam hatinya
selalu bersama anaknya. Dan air mata berderai jatuh dari matanya.
Sedikit demi sedikit
hatinya hancur.
9. Kebaikan karena
kasih sayang yang dalam dalam pengabdian.
Alangkah besarnya
kebaikan orang tua dan gejolak emosinya, kebaikannya mendalam dan
sukar membalasnya, dengan rela mereka menderita untuk kepentingan
anaknya. Bila anak bekerja berat, orang tua pun merasa tidak senang.
Bila mereka mendengar bahwa dia berjalan jauh, mereka khawatir bahwa
pada waktu malam sang anak berbaring kedinginan. Bahkan kesakitan
sebentar yang diderita putra putrinya akan menyebabkan orang tua lama
bersusah hati.
10. Kebaikan karena
rasa welas asih yang dalam dan simpati.
Kebaikan orang tua
adalah besar dan penting, perhatiannya yang lemah lembut tidak pernah
berhenti dari saat mereka bangun tiap pagi, pikiran mereka adalah
pada anaknya. Apakah anak anak dekat atau jauh, orang tua selalu
memikirkan mereka, sekalipun seorang ibu hidup untuk seratus tahun,
dia akan selalu mengkhawatirkan anaknya yang berumur delapan puluh
tahun.
Inginkah anda
mengetahui bilakah kebaikan rasa cinta yang demikian itu berakhir?
Ia bahkan tidak pernah
berkurang hingga akhir hidupnya.
Hyang Buddha berkata kepada Ananda,” Bila aku merenung tentang makhluk-makhluk hidup, aku melihat bahwa sekalipun mereka dilahirkan sebagai manusia, mereka adalah bodoh dan dungu dalam pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan mereka.
Mereka tidak mempertimbangkan kebaikan dan kebajikan orang tua mereka. Mereka tidak menghormati dan melupakan kebaikan dan apa yang benar. Mereka kurang manusiawi dan kurang berbakti ataupun patuh pada orang tua.
Selama sepuluh bulan ibu mengandung anak, dia merasakan kesusahan setiap kali dia bangun, seolah olah ia mengangkat beban yang berat. bagai seorang cacat yang parah, dia tak mampu menelan makanan dan meminum. Bila waktu sepuluh bulan telah berlalu dan waktu melahirkan telah datang, dia menderita segala macam kesakitan dan penderitaan supaya anak dapat dilahirkan. Dia takut akan kematiannya seperti seekor babi atau domba menunggu untuk disembelih. kemudian darah darah mengalir diatas tanah. Inilah penderitaan penderitaan yang dialaminya.
Setelah anak lahir, dia menyimpan apa yang manis untuk anak dan menelan yang pahit bagi dirinya sendiri. Dia menggendong anak dan memberinya makan serta membersihkan kotorannya. Tiada pekerjaan atau kesukaran yang tidak bersedia dia kerjakan demi kepentingan anaknya. Dia menahan baik rasa dingin dan panas dan tiada pernah menyebutkan apa yang telah dialaminya. Dia memberikan tempat yang kering untuk anaknya dan ia sendiri tidur di tempat yang lembab.
Orang tua terus menerus mengajar dan membimbing anak anaknya tentang apa yang patut dan bermoral, selama anak tumbuh menjadi dewasa. Mereka mengatur perkawinan bagi anak anaknya dan menyediakan harta benda dan kekayaan atau mengusahakan cara cara untuk mendapatkannya bagi anak anak mereka. Mereka bertanggung jawab dan bersusah susah sendiri dengan kerja dan semangat yang besar dan tiada pernah membicarakan kasih sayang dan kebaikan mereka.
Bial putra putrinya sakit, orang tua khawatir dan takut sehingga mereka sendiri mungkin jatuh sakit. Mereka berada disamping anak, terus menerus menjaganya dan hanya bila anak sembuh orang tua menjadi gembira sekali.
Dengan cara ini mereka menjaga dan membesarkan anak – anaknya dengan harapan yang terus menerus bahwa keturunan mereka akan segera menjadi dewasa. Alangkah sedihnya bila acapkali anak anaknya justru tidak berbakti, sebagai balasannya bila berbicara dengan sanak saudara yang seharusnya mereka hormati, anak-anak tidak mau menunjukan kepatuhan mereka. Ketika mereka seharusnya bersikap hormat, mereka malah tidak mau bertingkah laku baik. Mereka mendelik kepada orang yang seharusnya mereka segani dan menghina paman dan bibi mereka. Mereka memarahi saudara-saudaranya dan menghancurkan perasaan kekeluargaan yang ada di antara mereka. Anak- anak seperti itu tidak mempunyai rasa hormat atau perasaan yang patut. Anak anak mungkin bisa diajar dengan baik, tetapi mereka tetap tidak berbakti, mereka tidak akan memperdulikan pengajaran atau mematuhi aturan-aturan. Jarang sekali mereka menuruti bimbingan orang tua mereka, mereka menentang dan membangkang bila bergaul dengan saudara-saudara mereka. Mereka datang dan pergi dari rumah tanpa memberitahu kepada orang tua. Kata-kata dan tindakannya sangat sombong dan mereka bertindak tiba-tiba tanpa membicarakannya dengan yang lain. Anak-anak yang demikian tidak mengacuhkan teguran dan hukuman yang dibuat oleh orang tuanya.
Kebajikan dan kebaikan
orang tua sungguh luas dan tidak terbatas, Bila seseorang berbuat
kesalahan karena tidak berbakti, alangkah sukar membayar kembali
kebaikan itu. Pada ketika itu, setelah mendengar Hyang Buddha
berbicara tentang dalamnya kebaikan orang tua, setiap orang dalam
kumpulan besar itu menjatuhkan diri mereka ke tanah dan mulai
memukuli dada mereka dan menghempaskan diri mereka hingga semua pori-pori mereka mengeluarkan darah, Beberapa orang pingsan diatas tanah,
sedangkan yang lain menghentakan kakinya dalam kesedihan. Lama baru
mereka dapat mengatasi diri mereka .
Dengan suara keras mereka meratap, “Alangkah menderitanya, Alangkah sakitnya, kami semua bersalah. Kami adalah penjahat yang tidak pernah sadar, seperti mereka yang berjalan di malam yang gelap. Kami baru sekarang menyadari kesalahan-kesalahan kami dan hati kami tercabik-cabik. Kami hanya berharap bahwa Hyang Bhagava mengasihi dan menyelamatkan kami. Mohon ajarilah kami bagaimana mengembalikan kebikan yang mendalam dari orang tua kami.”
Pada waktu itu
Tathagata memakai delapan macam suara yang sangat dalam dan bersih ,
seraya berkata kepada kumpulan besar itu,” Anda semua harus
mengetahui ini, sekarang Kujelaskan beberapa segi dari hal ini”
“Bila ada seseorang
yang mengangkat ayahnya dengan bahu kirinya dan ibunya dengan bahu
kanannya, dan oleh karena beratnya menembus tulang sumsumnya sehingga
tulang-tulangnya hancur menjadi debu, dan orang tersebut mengelilingi
puncak semeru seratus ribu kalpa lamanya sehingga darah yang keluar
dari kakinya membasahi pergelangan kakinya, orang tersebut belum
cukup membalas kebaikan yang mendalam dari orang tuanya”
“Bila ada seseorang
yang selama waktu satu kalpa yang penuh dengan kesukaran dan
kelaparan, memotong sebagian dari daging badannya sendiri untuk
memberi makan orang tuanya dan ini diperbuatnya sebanyak debu yang ia
lalui dalam perjalanan seratus ribu kalpa, orang itu belum membalas
kebaikan yang mendalam dari orang tuanya”
“Bila ada satu orang
yang demi orang tuanya, mengambil sebuah pisau yang tajam dan
mencungkil kedua belah matanya dan mempersembahkannya kepada
Tathagata, dan terus melakukannya hingga beratus ratus ribu kalpa,
orang tersebut masih tetap belum membalas kebaikan yang mendalam dari
orang tuanya”
“Bila ada orang yang
demi ayah dan ibunya mengambil sebuah pisau tajam dan mengeluarkan
jantung dan hatinya sehingga darah mengucur dan menutupi tanah dan
dia melakukan ini dalam beratus ribu kalpa, tiada sekalipun mengeluh
tentang kesakitannya, orang tersebut masih tetap belum membalas
kebaikan yang mendalam dari orang tuanya”
“Bila ada orang yang
demi orang tuanya, menghancurkan tulang-tulangnya sendiri sampai ke
sumsum dan melakukan ini hingga beratus ribu kalpa, orang itu tetap
belum membalas kebaikaan yang besar dari orang tuanya”
Bila ada orang yang
demi orang tuanya menelan butiran-butiran besi yang mencair dan
berbuat demikian hingga beratus ribu kalpa, orang itu tetap belum
dapat membalas kebaikan yang mendalam dari orang tuanya”
Pada waktu itu, ketika mendengar Buddha membicarakan kebaikan dan kebajikan orang tua, setiap orang dalam kumpulan besar itu menangis diam-diam dan merasakan kepedihan dalam hatinya. Mereka merenungkannya dan segera merasa malu dan berkata kepada Hyang Bhagava, “Oh, Hyang Bhagava, bagaimana kami dapat membalas kebaikan yang dalam dari orang tua kami?” Hyang Buddha menjawab,” Wahai siswa-siswa Buddha, bila engkau ingin membalas kebaikan orang tuamu, tulislah sutra ini untuk mereka, Kumandangkanlah sutra ini untuk mereka, bertobatlah atas pelanggaran-pelanggaran dan kesalahan-kesalahan demi mereka. Untuk kepentingan orang tua berikanlah persembahan kepada Hyang Triratna, demi orang tua patuhlah kepada perintah untuk hanya memakan makanan suci dan bersih. Demi orang tua biasakanlah berdana dan mencari keberkahan, Bila engkau dapat melakukan ini engkau adalah anak yang berbakti, Bila engkau tidak melakukannya, engkau adalah orang yang akan menuju pada alam sengsara.
”Hyang Buddha mengatakan kepada Ananda,” Bila seseorang tidak berbakti ketika hidupnya berakhir dan badannya membusuk, dia akan jatuh kedalam neraka avici yang tidak terbatas. Neraka yang besar ini kelilingnya delapan puluh ribu yojana, dan dikelilingi dinding besi pada keempat sisinya. Diatasnya ditutup oleh jaring jaring dan lantainya juga terbuat dari besi. Api akan membakar dengan berkobar kobar, sementara itu petir bergemuruh dan sambaran kilat yang berapi api akan membakar. Perunggu yang cair dan cairan besi akan disiramkan keatas badan orang-orang yang bersalah.
Anjing-anjing perunggu dan ular-ular besi terus menerus memuntahkan api dan asap yang membakar orang–orang bersalah dan memanggang badan dan lemaknya hingga menjadi bubur” “Oh, penderitaan yang hebat! sukar menahankannya, sukar menanggungkannya, Ada galah, pengait, lembing- lembing, tombak–tombak besi dan rantai besi, pemukul–pemukul dari besi dan jarum–jarum besi. Roda–roda dari pisau besi turun bagai hujan dari udara. Orang yang bersalah itu dicincang, dipotong atau ditikam dan mengalami hukuman–hukuman yang mengerikan ini selama berkalpa–kalpa tidak henti–hentinya. Kemudian mereka memasuki neraka berikutnya, dimana kepala mereka akan ditutupi dengan mangkok -mangkok yang panas sekali, sedangkan roda–roda besi akan menggilas badan mereka secara mendatar dan tegak lurus sehingga perut mereka pecah dan daging seta tulang tulangnya menjadi lebur.
Dalam satu hari mereka
akan mengalami beribu ribu kelahiran dan kematian. Penderitaan–penderitaan yang demikian adalah akibat melakukan kelima perbuatan
jahat dan karena tidak berbakti selama seseorang masih hidup.
Pada waktu itu, Setelah mendengar Hyang Buddha membicarakan sutra tentang kebajikan orang tua, setiap orang dalam kumpulan besar itu menangis dengan sedihnya dan berkata kepada Tathagata, ” Pada hari ini, bagaimana kami dapat membalas kebaikan yang dalam dari orang tua kami?” Hyang Buddha berkata “Wahai siswa-siswa Buddha, bila engkau ingin membalas kebaikan kebaikan mereka, maka demi mereka salinlah sutra ini, bila sesungguhnya membalas kebaikan mereka. Bila seseorang dapat menyalin satu saja, maka ia akan melihat satu Buddha, Bila seseorang dapat menyalin sepuluh buku maka ia akan melihat 10 Buddha, Bila seseorang dapat menyalin seratus, maka ia akan bertemu dengan 100 Buddha, Bila seseorang menyalin 1000, maka ia akan melihat 1000 Buddha, Bila seseorang dapat menyalin 10.000, maka ia akan melihat 10.000 Buddha. Inilah kekuatan yang diperoleh bila orang-orang saleh menyalin sutra, semua Buddha akan selamanya melindungi orang yang demikian itu dan dapat segera menyebabkan orang–orang tua mereka lahir kembali di surga, untuk menikmati segala kebahagiaan dan meninggalkan penderitaan–penderitaan mereka.
Pada ketika itu, Ananda dengan agung dan perasaan damai, bangkit dari tempat duduknya dan bertanya kepada Hyang Buddha, “Hyang Bhagava, apakah nama sutra ini bila kami mengikutinya dan menjaganya?"
Pada ketika itu, kumpulan besar itu, Dewa Dewa, Manusia Manusia, Asura, dan lain lainnya, mendengar apa yang telah dikatakan oleh Hyang Buddha, betul-betul merasa gembira. Mereka mempercayainya, menerimanya dan menyesuaikannya dengan tingkah laku mereka dan kemudian menunduk hormat dan berlalu.
Subscribe to:
Posts (Atom)