“Shintaa…,
kalaupun kujelaskan.., kau tidak akan pernah mau mengerti, saya
melakukan semua ini terpaksa demi kebaikanmu dan suatu saat nanti kau
akan percaya, mengapa aku melakukan semua ini, karena aku
menyayangimu, mencintaimu…(Tangan Rahwana yang kuat langsung
merengkuh Shinta dengan erat memeluknya, hingga Shinta tak mampu
melepaskan pelukannya yang kuat), tau gak kamu, aku cinta sama kamu,
sepenuh hatiku, apapun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia,
meskipun aku harus mati demi mendapatkan cintamu…(mengatakan di
telinga Shinta sambil merengkuhnya dalam dekapan yang kuat dan ciuman
paksa di bibir Shinta, yang takkan mampu dilepaskan oleh Shinta).”
Shinta berusaha melepaskan dekapan dan ciumannya, namun kekuatannya
tak berdaya menghadapi Rahwana, Shinta meronta marah dan menggigit
bibir Rahwana sekencangnya hingga berdarah, rasa sakit dan luka dari
gigitan Shinta membuat Rahwana menyerah dan melepaskan pelukannya,
Shinta pun menampar pipi kanan Rahwana dengan kencang (Plaaak…)
lalu berlari menjauhi Rahwana. Sementara Rahwana terdiam tidak
melawan apalagi membalas tamparan Shinta, namun malah berjalan
menjauhi… meninggalkan Shinta sendirian di Taman Argasoka, kembali
masuk ke dalam Istana sambil mengusap bibirnya yang terus
mengeluarkan banyak darah.
Di
Kejauhan, Mayor Hanoman sedang mengintai Kerajaan Alengka dengan
menggunakan Pesawat Siluman miliknya, dilihatnya Kapal Vicem Yachts
92 seperti penjelasan Kapten Jatayu kepada Leksmana sesaat sebelum
dia meninggal dunia, Kapal Vicem Yachts 92 menjadi barang bukti
penting melacak jejak penculikan Dewi Shinta. Mayor Hanoman pun
mendaratkan Pesawat Silumannya di perbukitan Kerajaan Alengka yang
masih sepi jauh dari rumah penduduk, sehingga tidak ada penduduk yang
mengetahui kedatangannya. Hanoman berjalan mengendap-endap melewati
rumah penduduk dan mencuri beberapa baju penduduk yang sedang dijemur
di depan rumahnya, dengan menggunakan pakaian penduduk, Hanoman dapat
menyamar sambil mencari informasi keberadaan Dewi Shinta. Sesampainya
di dekat pelabuhan, dimana Kapal Vicem Yachts 92 berada, Hanoman
menanyakan kepada nelayan sekitar mengenai siapa pemilik Kapal Vicem
Yachts 92 tersebut. Diketahuilah oleh Hanoman, ternyata Rahwana yang
telah menculik Dewi Shinta. Hanoman pun berangkat menuju Istana
Alengka. Dengan keahlian kungfunya, sangat mudah baginya menyelinap
ke dalam Istana dan masuk ke kamar prajurit pengawal Istana untuk
mencuri pakaian pengawal Istana Alengka. Penyamaran Hanoman pun
dimulai, dia menyelinap mengamati keadaan Istana Alengka dan
mendapati Dewi Shinta (sesuai dari foto wajah Shinta pemberian Putera
Mahkota Rama Wijaya padanya) sedang melamun berada di Taman Argasoka
sambil marah dan melempar semua makanan dan minuman pemberian
dayang-dayang, serta mengusir semua dayang untuk pergi
meninggalkannya sendiri.
Saat
Shinta sedang sendirian dalam sedih dan menangis, sambil melihat
situasi, setelah sepi jauh dari para dayang dan pengawal, Mayor
Hanoman mendekati Dewi Shinta. Dari balik pepohonan Hanoman
melantunkan puisinya : “Dewi yang cantik jelita…., sungguh
menderita batinnya, menangis dalam duka nestapa…., merindukan sang
kekasih Rama Wijaya. Di Negeri Ayodya, Putera Mahkota sangat
menderita, terus mencari-cari bayangan wajah Sang Dewi, kekasih
hati…, pujaan jiwanya, kemana perginya Dewi Shinta…, dimanakah
Dewi berada…? Ucap gundah Sang Putera Mahkota Ayodya…”
“Siapakah
gerangan yang berpuisi indah? Saya adalah Dewi Shinta, mohon Sang
Pujangga menunjukkan diri, saya ingin sekali bertemu dengan Rama
Wijaya, tolong katakan bagaimana saya dapat bertemu kembali
dengannya.., saya sangat merindukannya..”.
Mayor
Hanoman menujukkan dirinya dan memberi hormat kepada Dewi Shinta,
“Hormat hamba, Hanoman.. pada Dewi Shinta, hamba diutus Putera
Mahkota Rama Wijaya untuk melacak dan mencari keberadaan Dewi
Shinta.”
“Mengapa
bukan Kakanda, Rama Wijaya sendiri yang mencari dan datang ke sini,
kenapa harus mengutusmu, Hanoman?”
“Mohon
maafkanlah Dewi Shinta, Hanoman hanyalah utusan, bila hamba tidak
membawa bukti keberadaan Dewi Shinta, hamba tidak boleh pulang
kembali ke negeri hamba di Kiskenda sebelum melaporkan keberadaan
Dewi Shinta kepadanya.”
“Berikan
Cincin emas ini…, cincin ini adalah pemberian Raden Rama Wijaya
saat pertunangan di Mantili, tunjukan saja cincin ini, sebagai bukti
pada Raden Rama Wijaya.” Hanoman mengambil cincin yang telah
dilepaskan oleh Shinta dari jari manis tangan kirinya. Lalu bergegas
mohon pamit kepada Dewi Shinta untuk pergi ke Negeri Ayodya. Suasana
langit mulai menggelap di sore hari menjelang malam (sudah magrib
rupanya) Dewi Shinta pun berjalan masuk menuju Istana Keputren
Alengka.
Setelah
selesai menghadap Dewi Shinta, Mayor Hanoman yang semula ingin
langsung beranjak pergi, ternyata dalam hatinya masih merasa
penasaran akan kehebatan pasukan Alengka, dalam benaknya ingin sekali
mencoba, menguji kekuatan pasukan Kerajaan Alengka. Dibuatnya
kegaduhan dengan merusak Taman Argasoka, dihancurkan meja dan kursi
Taman dibanting ke pepohonan, lalu menghantam pancuran kolam di Taman
hingga rusak dan mencabut semua tanaman bunga di pot, serta
melemparkan pot-pot bunga ke dalam Istana Alengka hingga pecah semua
kaca-kaca Istana Alengka. Para Prajurit bersenjata revolver (pistol
peluru isi enam) berhamburan keluar Istana dan mengepung Hanoman,
satu-persatu prajurit dilempari pisau-pisau kecil milik Hanoman,
habis semua prajurit babak belur kesakitan tangan dan kakinya oleh
Hanoman. Keluarlah Indrajid, Putera Rahwana bersama pasukan
bersenjata laras panjang M16 mengepung Hanoman. Melihat telah
terkepung Hanoman menyerah setelah senjata M16 ditodongkan pasukan
Indrajid ke kepala Hanoman. Pasukan Indrajid langsung memborgol kedua
tangan Hanoman dan menggiring Hanoman untuk menghadap Ayahnya, Prabu
Rahwana.
Di
Pendapa Istana Alengka, Prabu Rahwana didampingi Sarpakenaka, adik
Rahwana, Kumbokarno, Wibisana dan Patih Prahasta melihat Hanoman yang
dibawa masuk digiring pasukan Indrajid. “Hormat pada Ayahanda, ini
adalah si pengacau yang telah merusak Taman Argasoka barusan.”
“Bajingan!!!
Beraninya kamu mengacau dan merusak keindahan Taman Argasoka!!!”
ujar Rahwana yang mengamuk. “Bunuh aja dia!!! bakar hidup-hidup
biar tau rasa!!!”, kata Sarpakenaka memanas-manasi hati Rahwana.
“JANGAN!!!
Kakanda Prabu Rahwana, Tolong pertimbangkan kembali, dia ini adalah
Hanoman, ilmu kungfunya terkenal lumayan tinggi, lebih baik di
penjarakan saja untuk diintrogasi agar tidak membahayakan keadaan
Istana, bisa jadi ini hanyalah taktiknya untuk mengetahui dan
menyelidiki kekuatan pasukan kita”, jawab Kumbokarno menyanggah
ucapan Sarpakenaka yang hendak memanas-manasi Prabu Rahwana yang
sedang emosi meledak-ledak.
“Haaah…omong
kosong!!! Sudah bunuh saja dia!!! Bila dibiarkan hidup malah semakin
berbahaya!!! Bisa-bisa Dewi Shinta dibawa kabur olehnya!!!”, ujar
Sarpakenaka kembali memanas-manasi hati Rahwana yang sedang kacau
pikirannya.
“JANGAN!!!
Kakanda Prabu mohon pertimbangkan lagi!!! Semua kata-kata Kumbokarno
benar adanya!!! Bila kita membunuhnya, akan menimbulkan kemarahan
pihak Kerajaan Kiskenda, tempat asal Hanoman, dan peperangan besar
akan terjadi sebab berdasar info dari BIN (Badan Intelligent
Negara): Kiskenda dan Ayodya sudah menjadi Negara persekutuan.
Pikirkan kembali!!! bagaimana nasib rakyat Alengka bila sampai
peperangan besar ini harus terjadi?!(Kumbokarno dan Wibisana sambil
bersujud memohon kepada Rahwana), Tolong…Kakanda Prabu, Kasihanilah
nasib rakyat Alengka.”
“CUKUP!!!
Indrajid, Bawa dia dan Bakar hidup-hidup!!!”, Rahwana yang kalut
pikirannya tanpa perduli perkataan Kumbokarno maupun Wibisana
langsung memberikan titah kepada Indrajid untuk membunuh Hanoman.
“Tapiii… Kakandaa.. mohon..”, Kumbokarno dan Wibisana terus
menunduk memohon.
“Haaaah,
SUDAH CUKUP!!! Kamu mau berKhianat padaku?!!! Mulai sekarang Indrajid
yang menjadi Jenderal di Alengka dan Patih Prahasta mengambil alih
semua kewajiban Wibisana.”
“Baiklah
kalo begitu (Kumbokarno dan Wibisana berdiri), mulai sekarang kami
tidak perduli lagi.”
“Pergi
aja deh jauh-jauh, gak usah tinggal di Istana, Dasar Pengkhianat!!!”,
Sarpakenaka kembali memanas-manasi Rahwana.
“Yaa,
saya lebih baik pergi dari pada merasa terhina di sini.., Permisi
Kakanda Prabu, hamba mohon diri…”, Kumbokarno memberi hormat dan
langsung berjalan, beranjak pergi keluar Istana. Wibisana (adik
bungsu Rahwana) melihat Kakaknya Kumbokarno pergi, dia pun ikut
memberi hormat pada Rahwana, terdiam sambil berjalan mengikuti
Kumbokarno keluar Istana Alengka bersama dengan iringan prajurit
Indrajid yang membawa Hanoman untuk menghukum mati.
Kumbokarno
langsung menuju rumah dinasnya untuk berkemas-kemas bersama isteri
dan anak-anaknya (Dewi
Aswani
dan anak-anaknya, Kumba
dan Aswanikumba/Nikumba)
pergi dari Istana Alengka, pulang ke rumah keluarga istrinya di desa
dan menjalani hidup sebagai rakyat biasa. Sementara Wibisana yang
kecewa, mengurung diri di kamarnya. Sudah cukup sering dia dan
puterinya Trijata, menasehati Rahwana hampir setiap hari agar
mengembalikan Shinta kepada Rama Wijaya demi melindungi keselamatan
rakyat Alengka dan sekaligus menghindari terjadinya peperangan besar
dengan Negara Ayodya, namun Rahwana tidak pernah mempercayainya
karena Rahwana mengetahui persahabatan Wibisana dengan Rama Wijaya
sudah terjalin sejak masih kuliah seangkatan di Universitas Oxford
tahun 2003 di London. Setelah merenung cukup lama, akhirnya
kemarahan, kekecewaan dan sakit hatinya itu membuahkan ide untuk
menyelamatkan Hanoman, sebagai bentuk pelampiasan kekesalannya
terhadap Rahwana, yang selama ini lebih mempercayai, mendengarkan,
menuruti dan memanjakan Sarpakenaka, Indrajid dan Patih Prahasta,
dibandingkan dirinya yang tidak pernah dihargai setiap nasehat maupun
usaha kerjanya demi rakyat Negara Alengka.
Malam
harinya tepat jam 12 malam (dini hari) di Alun-alun Istana Alengka,
telah dipersiapkan bara api unggun yang besar untuk menghukum mati
Hanoman. Pasukan Indrajid mengikat Hanoman di tengah-tengah alun-alun
Istana, seluruh tubuh Hanoman diguyur minyak tanah dan bensin, serta
di bawah kakinya pun telah dipersiapkan kayu bakar, tinggal menunggu
Indrajid datang membawakan obor membakarnya hidup-hidup.
Saat
pasukan Indrajid tiba membawa serta obor besar, mereka dikejutkan
dengan kehadiran 10 pasukan berbaju hitam-hitam bercadar (tertutup
wajahnya) mengendarai Motor Bajaj menembaki pasukan Indrajid dengan
senjata laras pendek Baretta M9 dan Colt Double Eagle 10mm Automatic
(milik Wibisana) melindungi Hanoman, 2 orang dari pasukan bercadar
itu melepaskan ikatan Hanoman. Dengan cepat Hanoman melompat dan
mengambil beberapa kayu bakar di kakinya dan melemparkan ke Atap-atap
Istana Alengka terdekat maupun ke pasukan Indrajid, sementara
Wibisana yang tengah menyamar bersama pasukan “Bayangan” (sebutan
nama pasukan underground didikan Wibisana) langsung melemparkan
beberapa korek api “Zippo”, seketika api pun membakar Atap-atap
rumah Istana dan beberapa orang pasukan Indrajid. Hanoman langsung
naik ke motor Wibisana melarikan diri bersama pasukan “Bayangan”
itu menembus kabut masuk ke dalam hutan Alengka. Pasukan Indrajid
kocar-kacir, beberapa lari menyelamatkan diri, ada yang mengambil air
sambil membunyikan alarm Kerajaan, berteriak-teriak, “Kebakaran!!!
Kebakaran!!!” meminta tolong, karena api telah merambat ke beberapa
rumah sekitar Istana Alengka. Indrajid kesal melihat kejadian itu,
dia mengambil motor RX King miliknya bersama beberapa pasukan
kepercayaannya mengejar “geng” motor yang membawa Hanoman kabur
ke dalam hutan. Patih Prahasta dan Sarpakenaka langsung berlari
keluar Istana dan memerintahkan para prajurit Istana untuk memadamkan
api. Rahwana langsung memerintahkan pasukan khusus melindungi dan
menjaga wilayah Keputren, tempat Shinta dan Trijata tinggal dalam
Istana Alengka.
Di
dalam hutan Alengka, pasukan “Bayangan” membawa Hanoman masuk ke
sebuah gua, tempat persembunyian mereka. Wibisana langsung membuka
cadar yang menutup wajahnya. Hanoman terkaget dan bertanya “Mengapa
anda menyelamatkan hamba?”. “Sebenarnya saya masih bersahabat
dengan Rama Wijaya dan selain itu juga saya tidak setuju dengan
perintah dan tindakan Kakak saya, Rahwana.”
“Begini
saja, bagaimana kalo Anda ikut saja dengan hamba ke Ayodya, karena
keselamatan Anda pun berbahaya bila tetap tinggal di Alengka, cepat
atau lambat pasti akan diketahui oleh Rahwana.”
“Bagaimana
mungkin saya melarikan diri, pasti keponakan saya, Indrajid itu sudah
mengejar ke hutan ini. Meski dia tidak akan berani menangkap Pamannya
sendiri. Tapi kita gak punya banyak waktu dan gak punya pilihan
kecuali Anda sendiri yang pergi ke Ayodya.”
“Tenanglah..,
saat datang ke sini, hamba telah mendaratkan pesawat persis di dalam
hutan ini juga, jadi lebih baik ikuti jejak hamba saja ke pesawat.”
“Baiklah
kalo gitu. Dengar semuanya kita simpan motor di sini dan ikut
berangkat bersama Hanoman!.” Wibisana bersama pasukan “Bayangan”nya
masuk hutan berjalan kaki bersama Hanoman, sesampainya di lokasi
pesawat siluman (Stealth Aircraft F-117, Nighthawk) anti peluru milik
Hanoman, rombongan dihadang Indrajid dan delapan pasukan
kepercayaannya yang menembaki mereka dengan senapan laras panjang M16
miliknya. Ke-Tujuh orang pasukan Indrajid dengan senjata laras pendek
Baretta M9 tertembak, Tiga orang tewas, Empat diantaranya cedera luka
tembak di tangan dan kaki. Tembak-tembakan antar pasukan terjadi
sangat sengit di malam yang berkabut menutupi cahaya bulan yang
samar-samar menerangi hutan Alengka. Sisa tiga pasukan Wibisana yang
selamat(tidak tertembak) langsung berlindung didekat pesawat,
sementara Hanoman membuka pintu pesawat dan menyelamatkan Wibisana
masuk bersama beberapa pasukan yang selamat. Pasukan Wibisana yang
cedera tertembak mengatakan pada Wibisana (melalui nikabel Bluetooth)
tidak akan ikut ke pesawat demi melindungi pesawat Hanoman agar pergi
melarikan diri dengan selamat ke Ayodya.
Setelah
Pesawat Hanoman berangkat, pasukan “Bayangan” Wibisana yang
tertinggal, tewas seketika ditembaki Indrajid dan pasukannya.
Indrajid marah dan kesal karena telah gagal membunuh Hanoman. Saat
beberapa pasukan Indrajid membuka cadar penutup wajah para mayat
pasukan berbaju hitam itu, terkejutlah semuanya (Indrajid dan
pasukannya), bahwa para mayat pasukan itu ternyata adalah pasukan
Intelligent
Negara Alengka dibawah pimpinan Wibisana, Pamannya Indrajid.
Di
Negara Ayodya, Rama Wijaya bersama Leksmana menyusun strategi,
melatih para prajurit dan mengumpulkan semua tentara dari kedua
Negara : Kiskenda dan Ayodya. Tibalah Pesawat Hanoman di Lapangan
Udara Negara Ayodya dengan selamat. Hanoman langsung membawa serta
Wibisana dan Tiga orang pasukannya yang selamat menuju Istana Ayodya.
Kedatangan Wibisana dan Hanoman langsung disambut oleh Rama Wijaya
dan Leksmana. Hanoman langsung memberikan cincin Shinta kepada Rama
Wijaya dan melaporkan semua peristiwa yang terjadi di Alengka hingga
membawa Wibisana bersamanya.
Rama
Wijaya berunding bersama Wibisana dan Leksmana di ruang rapat
Kerajaan Ayodya, sementara Hanoman menelpon dan mengirim pesan kepada
Paman Sugriwa meminta bantuan berupa Pesawat Hercules, yang akan
dikemudikan oleh Anggada (Putera Paman Sugriwa) untuk menerjunkan
para pasukan Leksmana dan Rama Wijaya langsung ke pantai-pantai,
pelabuhan dan tengah hutan Alengka pada malam hari.
Leksmana
dan Hanoman sepakat ikut terjun bersama Rama Wijaya dan pasukannya
melalui Pesawat Hercules, sedangkan Wibisana membawa pasukan “katak”
sebagai bala bantuan dengan Kapal Angkatan Laut Selam yang dilengkapi
rudal torpedo milik Negara Ayodya bersiaga memantau keadaan di dekat
pelabuhan Alengka. Sebelum berangkat, Wibisana berpesan pada Rama
Wijaya dan Leksmana, serta Hanoman agar menuruti semua rencananya
bila ingin Shinta selamat dan meminta untuk tidak menghancurkan
Negara Alengka dengan gempuran rudal Pesawat tempur tanpa seizin
darinya, sebab biar bagaimanapun Negara Alengka adalah tanah airnya
sejak terlahir di dunia.
Lima
hari setelah kejadian kebakaran di Alengka dan peristiwa melarikan
diri Hanoman menggemparkan suasana Alengka. Rahwana marah besar
kepada Indrajid dan Patih Prahasta, Rahwana memerintahkan semua
pasukan dari darat, laut dan udara untuk bersiaga. Setiap 15 menit
mobil patroli lalu lintas harus memantau jalan-jalan di kota dan desa
Alengka serta keadaan di lapangan udara Istana Alengka, tempat
diparkirkan helicopter “Airwolf” tercanggih anti peluru, yang
jarang digunakan Rahwana, hanya keadaan darurat dipersiapkan khusus
untuk keselamatan Rahwana, yang berada 500 meter di samping kanan
belakang Istana Alengka dekat dengan kediaman Rahwana. Pemerintah
pusat juga mengumumkan untuk menutup sementara (tidak boleh
beroperasi): semua dermaga pelabuhan, semua terminal (bus, taxi,
angkutan kota dan desa), bandara udara internasional Alengka dan
stasiun kereta, selama kurang lebih dua sampai tiga hari. Penjagaan
diperketat di semua tempat umum seperti pantai, jalan-jalan di kota
dan desa, pasar tradisonal, toserba, supermarket, mall, hotel-hotel,
gedung-gedung pemerintahan, komplek perumahan di kota dan desa dalam
hutan, sampai ke pos-pos penjagaan Istana, terlebih di Keputren
Istana Alengka.
Malam
harinya tepat saat bulan purnama penuh di pertengahan September, para
tentara Alengka yang tengah berjaga-jaga di tepi pelabuhan, diserang
tiba-tiba oleh pasukan Wibisana yang menyelam dari Kapal Selam
(membawa 60 orang pasukan) di dasar lautan dengan bersenjatakan laras
panjang AK47 dilengkapi alat kedap suara, pelabuhan Alengka dengan
mudah telah dikuasai oleh 20 pasukan katak, angkatan laut Ayodya
pimpinan Wibisana. Sementara di hutan Alengka, Pesawat Hercules
dengan pilotnya Anggada menerjunkan Hanoman, Rama Wijaya dan Leksmana
beserta 30 pasukan elite (terbaik) pilihannya (Hanoman 10 pasukan
angkatan udara, Leksmana 10 pasukan sniper dan Rama Wijaya 10 pasukan
angkatan darat) yang langsung turun menembaki pos-pos penjagaan di
hutan Alengka. Tentara pasukan AK47 dilengkapi Revolver beserta
Baretta M9 didikan Rama Wijaya dan Wibisana serta pasukan Sniper
bersenjata M93 dan Remington 700 didikan Leksmana, yang kesemua
senjata tersebut telah dilengkapi alat kedap suara. Hanya pasukan
Hanoman yang cukup bersenjata pisau dan pistol revolver seadanya
mengandalkan kecepatan ilmu silat kungfunya. Semua daerah hutan
Alengka telah dikuasai dengan mudah berkat sumber data dari para
pasukan BIN (Badan Intelligent Negara) didikan Wibisana (Kepala Badan
Intelligent Negara merangkap Penasihat Negara Alengka sebelum
digantikan Patih Prahasta).
Gua
tempat penyimpanan motor Bajaj pasukan Wibisana (saat melarikan diri
bersama Hanoman) menjadi basis kekuatan dan berkumpulnya Leksmana,
Rama Wijaya dan Hanoman. Di dalam gua, Rama Wijaya berkomunikasi
langsung dengan Wibisana via handphone dari kapal selam, menyiapkan
strategi rencana penyerbuan ke Istana Alengka dalam waktu Sembilan(9)
jam dimulai pukul 9 malam dan harus selesai jam 6 pagi, termasuk
usaha penyelamatan Shinta di Keputren Istana Alengka.
“Wibisana,
gimana situasi di pelabuhan sekarang?”, Rama Wijaya memanggil
Wibisana dengan Handphone HTC 3D miliknya sambil dilihatnya jam Seiko
kinetic miliknya menunjukan pukul 8 malam.
“Semua
pangkalan pelabuhan Alengka telah dikuasai, bagaimana dengan keadaan
di Hutan Alengka?”, jawab Wibisana dengan Handphone Samsung Galaxy
Note III miliknya.
“Baguslah
kalo gitu, kami sudah di gua persembunyian pasukan Bayangan menyimpan
motor Bajaj. Kira-kira kita perlu persiapan apa lagi yang masih
kurang sebelum menuju kota Alengka?”.
“Siapkan
rompi anti peluru, prisai, peralatan P3K (suntikan anti pendarahan
dan obat penahan sakit), granat dan gas beracun bila perlu, serta
amunisi senjata tambahan, cek saja semua perlengkapan dan ambil dalam
gudang persenjataan di Istana Alengka sebelah barat, kiri dekat pintu
masuk menuju taman Istana Keputren. Hati-hati dengan jarum beracun
andalan Sarpakenaka, gerakannya sangat cepat dan gesit, karena dia
mendalami ilmu silat ninja bersama pacarnya Karadusana selama kuliah
di Osaka, Jepang. Kelemahan Sarpakenaka pastilah sudah tau semua
mengenai kasusnya (dengen Leksmana) selama di hutan Dandaka.
Karadusana jago ilmu silat setingkat Sarpakenaka, gerakannya cepat
dan jago menembak tapi sayang mudah tergiur dengan judi, rokok dan
minuman keras. Sudah dipastikan Karadusana hampir setiap malam asik
mengendap-ngendap main judi dan mabuk-mabukan sama pasukannya di
ruang aula Asrama Keprajuritan sebelah Barat laut Istana Alengka.
Prahasta jago bertarung, ilmu silatnya Mongolian Utara keahlianya
Tinju geledek dan menembak jarak dekat. Indrajid ilmu silatnya masih
payah, tapi cerdik, cekatan, cerdas dan ilmu menembaknya jangan
dianggap enteng, karena dia selama sekolah di Texas, Amerika sering
ikut club menembak dan selalu menang medali emas dalam Olimpiade
Kejuaraan menembak dunia. Sedang Rahwana ahli segala bidang ilmu
silat dan menembak, tapi kurang cekatan, gerakannya agak lambat.
Sekiranya itu aja info yang dapat saya tambahkan saat ini.”
“Bagaimana
dengan Kumbokarno?”, jawab Hanoman yang mengakui pernah seperguruan
bersama, mendalami ilmu persilatan dengan Kumbokarno selama di Negeri
Tibet.
“Semenjak
kejadian melarikan diri waktu itu, saya belum mendapat kabar
keberadaannya. Kemungkinan dia sudah pulang ke rumah keluarga
istrinya, setelah pergi dari Istana. Keahliannya memang setingkat
dengan Rahwana, namun gerak-geriknya sulit diprediksi dan pasukan
kepercayaannya cukup loyal padanya. Bila dia muncul dan keadaan
pasukan terdesak langsung kabari saja, saya sudah standby di
pelabuhan dan akan menuju kota Alengka, pergilah ke lapangan udara
kecil yang berada 500 meter di samping Timur kanan belakang Istana
Alengka dekat kediaman Rahwana, Hanoman dapat membawa helicopter
“Airwolf” milik Rahwana untuk menyelamatkan Shinta.”
“Baik,
Trima kasih Wibisana, setidaknya kita sudah cukup mendapat info untuk
berhati-hati pada Sarpakenaka dan Patih Prahasta, serta focus rencana
utama tetap melakukan penyerbuan guna menyelamatkan Shinta di Istana
Keputren Alengka. Kita ketemu di Alun-alun kota Alengka tepat jam 9
malam, Semua Siap berangkat!!!.”, jawab Rama Wijaya mengakhiri
kontak telepon selularnya dengan Wibisana.
Wibisana
melabuhkan Kapal Selam Ayodya di dermaga serta mempersiapkan 20
pasukannya menuju kendaraan Toyota Avanza dan Nissan March di sekitar
pelabuhan menuju kota Alengka. Sementara sisa pasukan lainnya, yang
20 orang kru yang diam di dalam Kapal Selam, 20 orang pasukan lainnya
menunggu perintah dari Wibisana, tugasnya sebagai pasukan bala
bantuan (backing) yang berjaga-jaga di dekat mobil Suzuki Carry
(Mobil bak terbuka pengangkut barang) menunggu di sekitar pelabuhan.
Di dalam hutan Alengka, Rama Wijaya dan Leksmana beserta 20 orang
pasukannya langsung menaiki 10 motor Bajaj (1 motor dengan 2 orang)
menuju kota Alengka, sedangkan Hanoman dan 10 pasukan angkatan udara
(terkenal tangguh dan cepat) memilih berjalan kaki, menembus hutan
melalui jalan pintas yang telah dipelajari Hanoman menuju desa
Alengka yang dekat dengan pusat kota.
Patroli
Mobil Pasukan Indrajid yang berkeliling setiap 15 menit melewati
pelabuhan Alengka, menemukan Kapal Selam berlabuh di sana. Kepala
Kepolisian Patroli Mobil langsung menyerbu dan menelpon kepada
Indrajid bahwa terdapat Kapal Selam dengan beberapa pasukan tidak
dikenal telah menguasai salah satu pantai dan pelabuhan Alengka.
Terjadi tembak menembak pasukan Polisi Alengka dengan Pasukan
angkatan laut Ayodya di pelabuhan. Pasukan patroli petugas kepolisian
Alengka dengan mudah dilumpuhkan karena tidak sebanding keahlian
menembaknya dengan pasukan Ayodya yang ada di pelabuhan. Saat
menerima laporan itu, Indrajid langsung meminta pasukannya di Istana
maupun di luar Kerajaan untuk membunyikan Sirine dan Alarm di semua
Kantor Pusat Kota Alengka dan memberitakan langsung ke radio dan
televisi bahwa Negara Alengka dalam keadaan Bahaya dan meminta para
warga untuk tetap tenang dan berdiam diri dalam rumah sampai
mendengar berita selanjutnya, jika telah dipastikan Negara aman dan
terkendali dari pemerintah Alengka. Keadaan yang semula tenang di
malam hari langsung berubah panic dan mencekam, rakyat Alengka dengan
cepat langsung berhamburan keluar mengunci pagar, pintu dan jendela
rumah mereka bahkan ada juga yang sampai mematikan lampu rumahnya
hingga terlihat gelap gulita di banyak desa. Para warga yang memiliki
rumah besar langsung bersembunyi ke garasi atapun ruang bawah tanah
rumahnya.
Kumbokarno
yang tengah bersama keluarganya (isterinya, Dewi
Aswani
dan anak-anaknya, Kumba
dan Aswanikumba/Nikumba)
mendadak tidak tenang hatinya karena telah meninggalkan Rahwana,
bagaimanapun hati seorang adik tidak akan tega meninggalkan kakaknya
dalam situasi bahaya, dia mengkhawatirkan keselamatan Rahwana, karena
firasatnya mengatakan perang besar akan terjadi di Alengka.
Sebagaimana seorang mantan prajurit, dia akhirnya mohon pamit dengan
isteri, mertua, saudara dari keluarga istrinya dan anak-anaknya untuk
berangkat berperang ke Istana Alengka, karena sudah menjadi tugas dan
kewajibannya untuk melindungi seluruh rakyat Alengka. Dengan
menggunakan Motor Suzuki Shogun, dia berangkat untuk mengumpulkan
kembali para tentara pensiunan yang sama-sama ikut melepaskan jabatan
saat kepergiannya keluar dari Kerajaan Alengka. Di telponnya beberapa
nomor penting yang ada di Handphone Sony miliknya, beberapa
diantaranya lurah dan camat untuk bertemu dengannya mengadakan rapat
darurat khusus di Kantor Bupati dan Walikota Alengka. Kumbokarno juga
menelpon beberapa orang sahabat seperjuangannya yang masih tinggal di
dalam wisma dan asrama sekitar Istana Alengka untuk melaporkan
keadaan yang terjadi di sana (sms atau telpon langsung ke no.hp
Kumbokarno).
Di
Alun-alun kota Alengka bersiaga Patih Prahasta bersama 50 orang
pasukannya berjaga-jaga di setiap pos penjagaan, pintu gerbang dan
tembok Istana Alengka. Indrajid dengan 20 orang pasukannya menjaga di
dalam Istana Alengka. Karadusana dengan 20 orang pasukannya berjaga
di dekat Taman Keputren dan gudang senjata. Dan 10 Pasukan elit
(terbaik) Rahwana menjaga kediaman dan lapangan terbang Helikopter
“Airwolf” miliknya. Sisanya masih ada 100 prajurit biasa
(satpam/pamong praja dan kepolisian lalu lintas), yang tersebar tidak
jelas di setiap komplek perumahan, pertokoan, perindustrian,
desa-desa dan kota Alengka. Namun tidak hanya itu, karena masih ada
lagi 30 orang pasukan elit kepercayaan yang loyalitasnya tinggi
bernama “Green Barret” atau Baret Hijau) dan 20 orang pensiunan
tentara terbaik yang pernah bekerja di bawah pimpinan Kumbokarno,
yang beberapa diantaranya menjadi camat, lurah, bupati maupun
walikota di Negara Alengka. Keberadaan 30 orang pasukan elit
Kumbokarno itu masih sangat misterius, sudah menyamar menjadi
penduduk biasa (ada yang jadi pedagang gorengan, buka warung nasi,
dagang sayur dan buah, pedagang mebel dan kayu, pedagang barang
antik, dagang kue dan roti, tukang kebun, tukang sampah, tukang sapu
jalan, petani di desa hingga menjadi nelayan, tukang ojek maupun
sopir taxi), dikarenakan mereka tidak mau diperintah selain dari
Kumbokarno.
Tepat
jam 9 malam, berkumpul semua pasukan Rama Wijaya, Leksmana, Hanoman
dan Wibisana di pasar Alun-alun Kota Alengka. Rama Wijaya dan
Leksmana telah sepakat akan menyerbu pasukan Patih Prahasta di
alun-alun kota dan masuk dari pintu utama Istana. Wibisana dan
Hanoman akan berpencar lewat pintu belakang Istana Alengka untuk
menyerbu pasukan Indrajid dan Rahwana dalam Istana Alengka. Semua
pasukan akan mengarah ke Taman Keputren Istana Alengka untuk
menyelamatkan Shinta.
Seketika
itu juga pasukan Rama Wijaya langsung menembaki pasukan Patih
Prahasta. Leksmana dan pasukannya snipernya melindungi pasukan Rama
Wijaya dengan menembak dari jarak jauh. Patih Prahasta langsung
mundur, masuk ke dalam Istana dan memerintahkan prajurit untuk segera
menutup pintu gerbang utama Istana Alengka. Saat hampir menutup pintu
gerbang, Rama Wijaya langsung mengeluarkan senjata shotgun AA12
automatic miliknya beberapa kali ke arah pintu gerbang hingga
ambruk/jebol, ditembaknya pula prajurit yang hendak menutup pintu
gerbang, langsung tewas seketika, motor Bajaj Rama Wijaya dan
pasukannya dihadang ke pintu gerbang menghantam prajurit lain
lainnya. Motor Bajaj Leksmana ikut masuk mengikuti di belakang
pasukan Rama Wijaya dan para pasukannya snipernya langsung menuju
tempat-tempat tinggi Istana Alengka seperti tembok gerbang dan
pos-pos penjaga Istana untuk memantau dan melindungi pasukan Rama
Wijaya yang telah berada di dalam Istana Alengka.
Pasukan
Hanoman dan Wibisana tidak terlalu sulit masuk dari pintu belakang
karena Wibisana mengetahui jalan rahasia dalam Istana Alengka.
Leksmana langsung masuk ke asrama keprajuritan dan menghabisi
Karadusana dan pasukannya yang tengah tertidur pulas (habis
mabuk-mabukan) dengan pisau lipatnya. Rama Wijaya dan pasukannya baku
tembak dengan pasukan Patih Prahasta. Setelah para pasukannya
kehabisan peluru, semua menuju ke gudang senjata. Hanoman dan
pasukannya tengah masuk ke gudang senjata dan Wibisana bersama
pasukannya membantu pasukan Rama Wijaya. Indrajid dan Rahwana keluar
bersama pasukannya ikut membantu pasukan Patih Prahasta. Rahwana
memerintahkan pasukan elitnya langsung menuju ke Taman Keputren untuk
melindungi Shinta. Trijata yang sekamar dengan Shinta langsung
mengajak Shinta keluar dari Keputren.
Sarpakenaka
terusik dan keluar dari kamarnya, dilihatnya Leksmana sedang
menembaki pasukan Rahwana yang hendak menuju Taman Keputren. “Owwh,
Si Ganteng Leksmana sudah datang rupanya, terimalah pembalasanku!!!”
Langsung di keluarkannya jarum beracun dari dalam rompi baju
Sapakenaka, saat jarum-jarum itu hendak mengenai tubuh Leksmana,
Hanoman melompat dengan cepat membawa prisai milik kepolisian Alengka
yang terdapat di gudang senjata, untungnya Leksmana dilindungi
Hanoman. Sarpakenaka marah karena Hanoman mengganggunya,
konsentrasinya berpindah karena dihadang pasukan Hanoman. Leksmana
melihat keadaan itu langsung menembak Sarpekenaka dengan Sniper
Remington 700 miliknya dari jarak jauh tepat menembus jantungnya
Sarpakenaka. Seketika itu juga Sarpakenaka terjatuh dan tewas saat
hendak mengeluarkan pistol revolver dari paha kirinya.
Rahwana
mengamuk setelah melihat adik perempuannya tewas dibunuh Leksmana.
“Adikkuuu…, TIDAAAAK!!! Bajingan kau Leksmana!!!”, langsung
diarahkannya semua tembakan senjata M16 ke Leksmana dan pasukannya.
Indrajid membantu Ayahnya menghabisi semua pasukan Leksmana karena
keahlian menembaknya. Hanoman dan pasukannya langsung membantu
pasukan Rama Wijaya memberikan amunisi tambahan yang telah diambil
dari gudang senjata. Rama Wijaya melihat keadaan Leksmana berbahaya,
langsung memerintahkan pasukan AK47 didikannya dan pasukan Wibisana
untuk melindungi Leksmana dari tembakan Rahwana dan Indrajid.
Kemudian
Hanoman dan pasukannya mengejar Patih Prahasta yang sisa 20 orang
pasukannya kabur bersembunyi ke dalam Pendapa Istana karena kehabisan
peluru, sambil mengambili senjata dari para pasukan yang telah tewas
tertembak. Pasukan Patih Prahasta satu persatu lumpuh, habis
ditembaki dan dilempari pisau oleh pasukan Hanoman, setelah terpojok,
Hanoman dengan cepat melemparkan pisau dari jauh ke arah Patih
Prahasta, lemparan Hanoman ternyata meleset, Patih Prahasta sudah
melompat, pisau Hanoman kena kursi yang ada disamping Patih Prahasta.
Kesal Hanoman langsung menyerang menghantamnya, ditangkis beberapa
kali oleh tangan Patih Prahasta, dengan cepat tangan kirinya
mendaratkan pukulan tinju geledek ke tubuh Hanoman. Kekuatan Patih
Prahasta memukul membuat Hanoman terjatuh muntah darah, pasukan
Hanoman mencoba melindunginya, namun satu persatu pasukan Hanoman
jatuh terkapar kesakitan dihantam tinju mautnya. Wibisana yang
melihat keadaan di Pendapa, langsung menembak dengan Colt Double
Eagle 10mm Automatic ke kaki dan tangan Patih Prahasta, saat
tangannya telah meraih dan mengangkat tubuh Hanoman untuk dihabisi
oleh tinju mautnya, seketika itu juga dia terjatuh kesakitan. Wajah
Wibisana yang berpenutup cadar hitam sangat sulit diketahui oleh
Patih Prahasta, dia langsung memborgol kedua tangan Patih Prahasta
dan mengikat tubuhnya dengan benang baja ke tembok pendapa, lalu dia
berjalan menuju Hanoman untuk memberikan obat pil khusus “Yunan
Baiyou” yang mujarab dari Negeri Tiongkok khusus untuk menyembuhkan
luka dalam pendarahan akibat pukulan ataupun kecelakaan.
Shinta
yang tengah bergandengan dengan Trijata berjalan keluar dari Taman
Keputren langsung ditarik oleh Pasukan Wibisana, yang bercadar hitam
dan Pasukan Rama Wijaya yang telah mengisi peluru (amunisi tambahan)
terus menembaki satu persatu pasukan Indrajid, sehingga Pasukan
Rahwana dan Indrajid terdesak karena persediaan peluru mereka
terbatas. Rahwana meminta Indrajid dan semua pasukannya melindungi
Helikopter miliknya.
Kumbokarno
yang menerima laporan dari tentaranya yang menyamar dalam Istana
Alengka langsung memerintahkan para pasukannya untuk berkumpul di
halaman garasi, tempat semua kendaraan dinas pejabat Kerajaan Alengka
diparkirkan, letaknya di belakang tembok sisi Utara Istana kira-kira
200meter dari pintu belakang Istana Alengka. Pasukannya tetap
menyamar sebagai penduduk dengan pisau tentara sebagai senjata
andalannya. Misi strategi Kumbokarno adalah menyelamatkan Rahwana dan
Indrajid keluar dari Istana. Dari ke-30 pasukan elite Kumbokarno itu,
20 diantaranya berjaga-jaga di jalan-jalan rahasia menuju rumah sakit
pusat yang sudah dipeta-kan oleh Kumbokarno dari Istana Alengka.
Bersama 20 orang pensiunan tentara, Kumbokarno masuk mengendap-endap
menyerbu ke dalam Istana Alengka. Sisanya tinggal 10 orang pasukan
elit yang berjaga di dalam garasi Kerajaan, beberapa orang
diantaranya diminta untuk bersiap mengendarai Mobil anti peluru Jeep
Wrangler SAHARA 1998 milik Rahwana dan 3 Mobil Suzuki Swift.
Pasukan
Rama Wijaya terus dibantu pasukan Wibisana yang membawa serta Trijata
dan Shinta. Leksmana dan Hanoman terus berjalan mengikuti arah
Wibisana ke lapangan Helikopter. Akhirnya habis semua peluru pasukan
Rahwana, Indrajid, maupun pasukan Rama Wijaya dan Wibisana. Dari
pertarungan tembak-tembakan berlanjut perkelahian pukul-pukulan, baku
hantam antar para prajurit maupun antara Rama Wijaya dan Rahwana,
begitu pula Indrajid dengan Leksmana. Wibisana membawa Shinta dan
Trijata masuk ke dalam Helikopter, sambil menelpon pasukan bala
bantuan yang masih ada di pelabuhan. Hanoman berjalan tertatih
terluka kesakitan sambil berusaha mengaktifkan semua mesin Helikopter
“Airwolf” milik Rahwana.
Rahwana
melihat Hanoman hendak membawa lari Shinta, langsung mengejar dan
menarik tubuh Hanoman lalu membantingnya ke tanah. Melihat hal itu,
Wibisana tidak tega dan berusaha menyerang Rahwana untuk melindungi
Hanoman. Rahwana tidak asing dengan jurus silatnya Wibisana, dia
langsung menarik penutup cadar hitam dari wajahnya dan berteriak :
“Wibisana Keparat!!! Pengkhianat kau!!!”. Mendengar teriakan
Ayahnya, Indrajid terkaget kehilangan konsentrasinya, saat itu
Leksmana langsung mendaratkan pukulan bertubi-tubi menghantam
Indrajid hingga terjatuh ke tanah. Semua pasukan Indrajid dan Rahwana
habis dipukuli Rama Wijaya. Kemarahan Rahwana semakin menjadi-jadi
melihat anaknya jatuh terkapar memuntahkan banyak darah, ilmu silat
Wibisana tidak sebanding dengan Rahwana, dengan mudah tubuh Wibisana
diangkat dan dilemparkan ke arah pasukannya, Leksmana langsung
membantu Wibisana, lagi-lagi tidak ada yang mampu menandingi kekuatan
Rahwana, Leksmana pun bernasib sama dengan Wibisana. Hanya tinggal
tersisa Rama Wijaya dan Rahwana.
Rama
Wijaya langsung menyerang Rahwana dengan jurus tendangan tanpa
bayangan dan pukulan kilatnya. Rahwana tetap bertahan meskipun
gerakan pukulan dan tangkisannya sudah tidak secepat Rama Wijaya,
tapi tenaganya masih kuat menghantam beberapa kali ke wajah dan dada
Rama Wijaya hingga kepala, hidung dan bibirnya berdarah-darah.
Kecepatan Rama Wijaya memanfaatkan tenaga Rahwana, membanting tubuh
Rahwana dengan mudah dengan ilmu silat Aikido Sabuk Hitam/DAN level 9
yang telah dikuasainya. Beberapa kali Rahwana jatuh terbanting tapi
kekuatan Rahwana tidak dapat disepelekan Rama, meskipun sudah
terjatuh berkali-kali, Rahwana yang berilmu silat setingkat sama
tingginya bertarung seimbang dengan Rama, dengan mudah Rahwana dapat
berguling saat terjatuh sehingga tidak terlalu cedera saat tubuhnya
terbanting beberapa kali ke tanah.
Leksmana
yang masih terkapar kesakitan melihat kakaknya sudah mulai kehabisan
tenaga, kewalahan menghadapi Rahwana, dia langsung mengambil pisau di
saku celananya, dengan cepat melemparkan ke tubuh Rahwana, kenalah
ginjal kirinya Rahwana langsung mengeluarkan banyak darah, melihat
hal itu, Rama mendapat kesempatan memukul habis Rahwana hingga
terjatuh terkapar muntah banyak darah.
Shinta
mengetahui pasti Rama Wijaya akan menghabisi nyawa Rahwana, dia
langsung berlari keluar dari helicopter dan berteriak “CUKUP!!!
SUDAH!!! HENTIKAN RAMA!!! Kasihanilah dia…!!!”. BERSAMBUNG… ke
Sesion III. (Written
by: Kepik Romantis / Padma Varsa A.) NB
: Cerita ini fiksi, khayalan dan imajinasi belaka.