Shinta
berlari melindungi tubuh Rahwana yang telah sekarat berlumuran banyak
darah.
“Shinta, apa kamu sudah gila!!! menyingkirlah darinya!!!”,
ucap Rama Wijaya. Tamparan Shinta langsung mendarat di pipi kanan
Rama Wijaya (Plaak!!!), “TIDAK AKAN!!!”, Shinta bersikeras
melindungi Rahwana yang sekarat, terlihat air mata mengalir di
pipinya.
“Haanomaan!!! tolong kau bawa Shinta secepatnya ke
Ayodya!!!”, perintah Rama Wijaya. Hanoman langsung menarik paksa
tangan Shinta membawanya masuk ke dalam Helikopter dan mengunci
pintunya. Mesin Helikopter telah dinyalakan, baling-balingnya
berputar, langsung terbang keluar dari Istana Alengka. Shinta hanya
dapat menangis bersama Trijata di dalam Helikopter.
Setelah
helicopter itu sudah terbang cukup jauh, Rama Wijaya dihadang
Kumbokarno dengan pasukannya yang berada di dalam Mobil anti peluru
Jeep Wrangler SAHARA 1998 milik Rahwana dan 3 Mobil Suzuki Swift
beriringan datang ke lapangan udara belakang Istana. Kumbokarno
melemparkan beberapa pisau ke arahnya, secepatnya Rama mengindari
pisau-pisau terbang itu agar tidak mengenai Leksmana tapi karena
tenaganya sudah terkuras bertarung, gerakannya melambat, betis
kanannya terkena pisau lempar Kumbokarno. Wibisana yang masih
kesakitan terkapar di tanah, menyadari kehadiran Kumbokarno pastilah
untuk menyelamatkan Rahwana dan Indrajid.
Rama
Wijaya berusaha membawa tubuh Leksmana berlindung di balik pintu.
Tibalah pasukan bantuan yang telah dihubungi Wibisana melalui
handphone miliknya. Pasukan Kumbokarno dengan cepat berhamburan
keluar dari kendaraan melemparkan pisau-pisau ke tangan, kaki, leher
maupun dada dan punggung para pasukan bantuan yang bersenjata AK47
yang datang dari dalam pintu gerbang belakang Istana Alengka.
Kumbokarno langsung mengangkat tubuh Rahwana ke dalam Mobil anti
peluru Jeep Wrangler SAHARA 1998 milik Rahwana dan seorang tentara
pensiunan mengangkat tubuh Indrajid ke Mobil Suzuki Swift. Kejadian
itu membuat pasukan Kumbokarno berkurang 10 orang, rombongan mobil
itu langsung kabur berangkat meninggalkan area Istana Alengka.
Wibisana
diminta untuk mengejar mobil yang telah membawa kabur Rahwana dan
Indrajid. Tapi Wibisana menolak permintaan Rama Wijaya karena
tugasnya sudah selesai yaitu meyelamatkan Shinta keluar dari Istana
Alengka, serta ditunjukkan jam 6.30 pagi dari handphone miliknya.
Wibisana mengikat betis kanan Rama Wijaya dengan kain perban dalam
kotak P3K yang dibawa olehnya. Kemudian memerintahkan pasukan bantuan
yang selamat untuk membawa Rama Wijaya dan Leksmana ke Mobil Avanza
dan Nissan March, mengingat semua Rumah Sakit dan Puskesmas di
Alengka pastilah penuh dengan para korban perang, jadi lebih baik
mereka ke Kapal Selam di pelabuhan untuk diberangkatkan ke Rumah
Sakit Pusat di Ayodya.
Biar
bagaimanapun Wibisana masih saudara dari Rahwana, hatinya sudah cukup
merasa sangat berdosa karena telah membuat Sarpakenaka tewas di
tangan Leksmana hingga nyawa Rahwana pun dalam bahaya. Wibisana
langsung memberitakan ke radio dan televisi bahwa keadaan Negara
Alengka sudah kembali aman dan terkendali. Diteleponnya juga Tim
Medis dari semua Rumah Sakit dan Puskesmas untuk membantunya membawa
para korban yang masih selamat dan terluka parah, sementara yang
tewas langsung dibawa ke rumah duka untuk dipeti-eskan, setelah
dimandikan dan disholatkan/didoakan oleh sanak keluarganya, barulah
dibawa ke taman makam pahlawan, yang akan dipimpin langsung upacara
penguburannya oleh Wibisana. Setelah itu, Wibisana menemui Patih
Prahasta dan menjelaskan keterpaksaannya menembak sambil mengobati
lukanya dan meminta tim medis membebaskan ikatan dan borgolnya lalu
membawa Patih Prahasta ke Rumah Sakit Pusat Alengka.
Sedangkan
iringi-iringan rombongan Kumbokarno membawa Rahwana dan Indrajid ke
Rumah Sakit Militer di kota Alengka. Rahwana dan Indrajid langsung di
bawa ke ruang ICU. Para dokter ahli langsung masuk ke ruang ICU
memeriksa Rahwana dan Indrajid. Setengah jam kemudian, Ketua pimpinan
para dokter ahli keluar dari ruangan dan mengatakan pada Kumbokarno:
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi sangat kecil
kemungkinan untuk menyelamatkan Indrajid, karena luka dalamnya sangat
parah mengenai ulu hati, limpa dan lambungnya, jadi konsentrasi kami
adalah mengoperasi Prabu Rahwana secepatnya, untuk mengangkat ginjal
kirinya yang terluka parah, operasi akan dilakukan 20 menit lagi,
menunggu reaksi obat bius yang sudah disuntikkan dan mempersiapkan
ruang operasi di lantai 2. Kami juga mohon agar memberitakan hal ini
pada Wibisana karena ilmu kedokteran beliau jauh lebih baik dari
kami, kemungkinan besar nyawa Rahwana dapat diselamatkan bila
Wibisana dapat segera menghubungi pihak Rumah Sakit Pusat Guangzhou
di Negeri Tiongkok Selatan.” Mendengar perkataan dokter, Kumbokarno
langsung menelpon Wibisana, menceritakan semua yang dijelaskan oleh
Ketua Tim dokter kepadanya dan memintanya untuk segera datang ke
Rumah Sakit Militer Alengka.
Saat
Wibisana mengambil jurusan kesusastraan seangkatan dengan Rama Wijaya
di Universitas Oxford tahun 2003 di London, dia tidak menyelesaikan
studinya karena dia memilih pergi ke Tiongkok tahun 2005 dan selama
hampir 10 tahun menetap di sana untuk belajar ilmu kedokteran di
Universitas Kedokteran Guangzhou dan berhasil lulus meraih gelar
dokter spesialis penyakit dalam (khusus organ dalam) tahun 2015,
empat tahun yang lalu.
Selang
waktu 15 menit kemudian, Wibisana datang tergesa-gesa dengan
kecepatan penuh menggunakan Mobil VW Beetle miliknya. Setibanya di
Rumah Sakit, dia langsung berlari menuju kamar ICU menemui Kumbokarno
yang tengah memperhatikan detik-detik terakhir nafas dan denyut
jantung keponakannya, Indrajid yang dipasangi alat bantu nafas dan
pacu jantung. Terdengar bunyi alat pendeteksi jantungnya semakin
melemah, tiiiiinit..
nit..nit….nit..niiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttt, dokter
mendengar hal itu langsung mengambil alat pengejut jantung beberapa
kali dikejutkan jantung Indrajid namun tetap saja sia-sia. Indrajid
telah dinyatakan meninggal dunia. Kumbokarno menangis tersedu-sedu,
dirangkul erat oleh Wibisana.
Wibisana
sebisa mungkin menahan emosinya sambil meminum banyak kopi akibat
stress, cemas dan sedih melanda pikiran dan perasaannya. Diambilnya
handphone langsung menelpon Rumah Sakit Guangzhou, tempat dia pernah
praktek kerja menjadi asisten dokter selama masih kuliah dulu. Cukup
lama dia berbicara dengan para dokter ahli untuk memberikan saran
padanya mengenai kondisi Rahwana yang tengah berada di ruang operasi
untuk mengangkat ginjal kirinya. Operasi berlangsung selama 7 jam,
dokter berhasil mengangkat ginjal kiri Rahwana, sambil memberikan
analisanya kepada Wibisana, bahwa Rahwana harus segera dibawa ke
Guangzhou untuk melakukan cangkok ginjal dari pendonor disana,
asumsinya di Alengka sudah banyak korban perang yang juga memerlukan
perawatan dan pertolongan dari para dokter. Rahwana juga harus
melakukan cuci darah setiap hari sekali selama belum mendapatkan
ginjal kiri yang baru dari pendonor dikarenakan ginjal kanannya pun
mulai melemah dan tidak berfungsi dengan baik akibat bekerja ekstra
karena luka pendarahan yang parah di ginjal kirinya.
Apa
boleh buat pikir Wibisana, dia langsung menelpon Hanoman, meminta
pertolongannya darinya sebagai timbal balik balas jasa
penyelamatannya dulu sewaktu hendak dibakar hidup-hidup di alun-alun
Alengka, (karena selain Rahwana hanya Hanoman yang mampu membawa
helicopter dan pesawat) agar segera membawa kembali Helikopter
“Airwolf” ke Alengka. Hanoman langsung menyanggupi, setelah
menurunkan Shinta dan Trijata dengan selamat di Negara Ayodya, dia
langsung mengisi bahan bakar helicopter itu di lapangan udara Ayodya
dan menerbangkannya kembali ke Alengka.
Hanoman
tiba di lapangan udara Istana Alengka langsung disambut tim medis
kenegaraaan memberikan perawatan khusus pada Hanoman. Sementara itu,
Wibisana memimpin upacara pemakaman secara kemiliteran di Taman Makan
Pahlawan Alengka bersama Jenderal Kumbokarno (selaku inspektur
upacara) beserta pasukannya untuk menguburkan Sarpakenaka,
Karadusana, Indrajid dan semua prajurit yang telah tewas dalam
perang.
Seselesainya
upacara pemakaman, Wibisana dan Kumbokarno langsung kembali ke Rumah
Sakit Militer mengawal Rahwana yang dibawa Mobil Ambulance menuju
Lapangan Udara Istana Alengka. Setibanya iring-iringan Mobil
Ambulance, Hanoman langsung membantu para tim medis membawa masuk
Rahwana (yang masih tidak sadarkan diri) ke dalam Helikopter ditemani
Wibisana dan Kumbokarno yang ikut bersamanya, langsung berangkat ke
Guangzhou. Di Negeri Thailand, helicopter transit untuk mengisi
bensin dan beristirahat sebentar, kemudian kembali melanjutkan
perjalanan. Dalam tempo 6 jam (total waktu keseluruhan), Helikopter
“Airwolf” akhirnya tiba dengan selamat di Guangzhou.
Para
tim medis dari Guangzhou sudah menunggu kedatangan helicopter dari
Alengka, mereka langsung membantu memindahkan Rahwana ke Mobil
Ambulance ditemani Kumbokarno, Wibisana dan Hanoman, setelah itu
langsung berangkat ke Rumah Sakit Guangzhou. Sesampainya di Rumah
Sakit, Wibisana langsung memimpin operasi pencangkokan ginjal bersama
para dokter ahli dari Guangzhou. Kumbokarno ditemani Hanoman menunggu
di ruang kafetaria Rumah Sakit. Operasi pencangkokan ginjal telah
berhasil dan memakan waktu selama 8 jam. Wibisana keluar dari ruang
operasi bermandi keringat, namun kecemasan Wibisana dan Kumbokarno
belum berakhir karena Rahwana telah mengeluarkan banyak darah,
keadaan tubuhnya masih lemah dan berada dalam kondisi kritis.
Di
Negara Ayodya, Shinta dan Trijata langsung diantar Anggada menuju
Istana Keputren. Rombongan Rama Wijaya dan Leksmana tiba dengan
selamat di pelabuhan Negara Ayodya, langsung diantar ke Rumah Sakit
Pusat Ayodya oleh tim medis khusus kerajaan. Setelah mendengar
peristiwa perang di Negara Alengka, Ayahanda (Raja Negara Ayodya)
dari Rama Wijaya dan Leksmana datang menengok anaknya di Rumah Sakit.
Dalam waktu sebulan, Rama Wijaya diminta Ayahnya agar segera
bersiap-siap untuk melangsungkan acara pesta pernikahannya dengan
Shinta, sekaligus upacara kenaikan tahta bagi Rama Wijaya
menggantikan posisi Ayahnya menjadi Raja Ayodya.
Berita
itu begitu cepat tersebar ke seluruh pelosok Negara Ayodya bahkan ke
Negara-negara lain melalui para wartawan disebarkan ke media cetak
(majalah/tabloid dan koran/surat kabar) dan media elektronik
(televisi, radio, maupun internet, youtube dan website). Shinta yang
sedang dalam keadaan shock dan trauma berat setelah mengalami
serangkaian peristiwa berdarah di Negara Alengka memilih untuk
menyendiri, dalam kekacauan hatinya, Shinta menolak untuk bertemu
dengan Rama Wijaya. Trijata meminta Rama Wijaya untuk bersabar dan
memberikan waktu untuk Shinta mempersiapkan kondisi batinnya yang
masih terguncang. Anggada memberi saran pada Trijata agar membawa
Shinta pergi (tour and traveling) berliburan ke Negara Kiskenda
(kampung halamannya) yang indah di kelilingi gunung bersalju.
Kebetulan Rama Wijaya sedang senang hatinya dan langsung memberikan
izin untuk mengawal Shinta dan Trijata berangkat ke Kiskenda selama
dua minggu.
Anggada
langsung membawa Shinta dan Trijata dengan Pesawat Siluman (Stealth
Aircraft F-117, Nighthawk) anti peluru milik Hanoman menuju Kiskenda.
Sesampainya di Kiskenda, Paman Sugriwa langsung menyambut kedatangan
mereka dan mengantar ke Villa Kiskenda Indah dan meminta Anggada
menjadi tour guide/pemandu wisata bagi mereka.
Di
dalam Villa, Shinta mengaku di hadapan Trijata dan Anggada, bahwa dia
stress mengkhawatirkan nasib Rahwana, dalam hati terus gelisah dan
tidak tenang bertanya-tanya apakah Rahwana masih hidup ataukah sudah
mati, bahkan saat tertidur pun dia selalu bermimpi buruk tentang
Rahwana, seolah Rahwana telah menghantui pikirannya. Itulah yang
membuatnya enggan bertemu muka dengan Rama Wijaya. Bagaimanapun hati
seorang perempuan pastilah tidak akan tega, merasa iba dan dosa
karena persaingan memperebutkan cinta darinya berakibat terjadinya
pertumpahan darah dan banyak korban berjatuhan di Negeri Alengka.
“Trijata,
Anggada, tolong bantulah saya…, tolong kalian cari info keadaan
Rahwana, kabarkan kepada saya, apakah dia masih hidup atau sudah
tiada?”
“Taapii
Kak Shinta, bila ketahuan, Rama Wijaya pasti akan menghukum kami
berdua”, jawab Trijata.
“Apa
kamu semua belum cukup melihat peristiwa berdarah itu? Kapan Rama
Wijaya dan Rahwana dapat berdamai? bila seperti ini terus adanya,
maka selamanya tidak akan pernah selesai, seumur hidupku pun tidak
akan merasa tenang dan bahagia, sekalipun bulan depan nanti telah
menikah dan menjadi istri Rama. Apa untungnya bagiku? Aku merasa dosa
pada rakyat Negara Alengka maupun Ayodya yang harus mati sia-sia
hanya demi aku”, ucapan Shinta diakhiri dengan air matanya yang
terus mengalir membasahi pipinya. Trijata pun ikut menangis mendengar
semua penjelasan Shinta. Trijata menelpon ayahnya, Wibisana untuk
menanyakan tentang Paman Rahwana, sedangkan Anggada menelpon Hanoman,
keduanya menjelaskan (curhat) tentang keadaan Shinta, serta memohon
agar menolongnya mencari info tentang Rahwana. Hanoman dan Wibisana
yang mendengar cerita Anggada dan Trijata, menjadi iba pada Shinta,
namun sebelum menjelaskan semuanya, Hanoman maupun Wibisana meminta
agar merahasiakan tugas dan keberadaannya dari Leksmana maupun Rama
Wijaya, selama di Alengka maupun Guangzhou.
Dengan
sangat jelas Anggada dan Trijata menceritakan kembali semua
percakapannya dengan Hanoman kepada Shinta dan Trijata, serta
memberitakan bahwa keadaan Rahwana sedang kritis di Rumah Sakit
Guangzhou. Mendengar berita itu, Shinta bersikeras ingin pergi
menengok Rahwana ke Guangzhou. Anggada yang semula menolak terus
dibujuk Shinta dan Trijata, akhirnya sepakat berangkat juga ke
Guangzhou. Perjalanan di udara (naik pesawat siluman) selama 4 jam
dari Kiskenda akhirnya selamat juga tiba di Guangzhou.
Shinta,
Trijata dan Anggada langsung menyewa taxi dari bandara menuju Rumah
Sakit Guangzhou. Setibanya di Rumah Sakit, Shinta langsung mencari
ruang ICU dimana Rahwana terbaring kritis, masih tidak sadarkan diri
dengan alat infus dan alat bantu pernafasan. Trijata langsung
menangis melihat keadaan Paman Rahwana. Kumbokarno dan Wibisana (ayah
Trijata) berusaha menenangkan emosi Trijata. Shinta diizinkan
Wibisana dan Kumbokarno untuk masuk ke ruang ICU. Sambil menangis,
dia duduk di samping ranjang Rahwana dan kemudian dia mulai berdoa
dan berdzikir di telinga Rahwana. Hanoman dan Anggada bertugas
bergantian menunggu di luar ruang ICU.
Sudah
sekitar 9 hari, Rahwana masih tidak sadarkan diri juga dan setiap
malamnya selalu demam dan mengigau memanggil-manggil nama Shinta dan
putranya, Indrajid. Setiap hari Anggada harus berbohong, saat
mendapat telpon dari Rama Wijaya yang menanyakan keadaan Shinta.
Hingga hari ke 10, tiba-tiba saja Rama Wijaya menelpon Anggada, bahwa
dia akan berangkat ke Kiskenda naik Pesawat Boing 797 besok pagi
untuk membawa Undangan khusus kepada Paman Sugriwa. Dan sebelum
pulang, akan mampir sebentar untuk mengajak Shinta makan malam
bersamanya di Istana Kiskenda. Anggada langsung memberitau Shinta dan
Trijata, Hanoman dan Wibisana memberi saran agar Shinta segera
pulang, karena bila Rama Wijaya mengetahui kebohongan Anggada, nyawa
Rahwana akan terancam bahaya. Shinta dengan berat hati menuruti saran
mereka dan bergegas pulang menuju Kiskenda bersama Trijata dan
Anggada.
Sesampainya
di Kiskenda, Shinta bertemu kembali dengan Rama Wijaya, tanpa
perasaan curiga, Rama Wijaya mengajaknya makan malam dan menjemputnya
pulang ke Ayodya bersama Trijata dan Anggada. Namun sikap Shinta
semakin berubah dingin dan menghindari pelukan, sentuhan, belaian dan
kecupan ciuman dari Rama Wijaya.
Hingga
suatu ketika di Ayodya, Rama Wijaya bertanya : “Mengapa kamu
bersikap begitu dingin padaku? Apa kamu sekarang sudah tergila-gila
dengan Rahwana?!.”
“Apa
kamu gak sadar juga, wahai Raden Rama?! Apa yang sudah kamu perbuat?
Berapa banyak korban di Alengka? Karena yang kau mau dariku hanyalah
untuk menikah demi kepentingan politikmu dengan memanfaatkan aku
untuk mendapatkan gelar kehormatan, kedudukan menjadi Raja Ayodya dan
memperluas wilayah daerah kekuasaan Ayodya sampai ke Negeri Mantili,
Dandaka, Kiskenda maupun Alengka. Kau ingin menikahi aku bukan karena
Cinta!!! Tapi karena alasan kepentingan ego dan nafsu pribadimu!!!”.
“Haaah!!!
CUKUP Shinta!!! Aku dah capek!!! Terserah kamu mau bilang apa dan mau
anggap apa aku ini, toh, seminggu lagi kau akan jadi istriku juga.
Bersiap-siaplah menjadi Permaisuri Kerajaan Ayodya!!!”, Rama Wijaya
pergi dengan hati kesal meninggalkan Shinta sendirian di Taman
Keputren Ayodya.
Tengah
malam di Rumah Sakit Guangzhou, Rahwana tiba-tiba sadarkan diri,
dilihatnya Kumbokarno sedang duduk di sampir ranjangnya. Rahwana
mencoba memaksakan diri bangun dari ranjangnya, “Aaaaccch!!!
Sial..”, kesal Rahwana kesakitan. Kumbokarno langsung melarangnya
untuk bangun dari ranjang. “Kumbokarno, dimana Indrajid?”, Tanya
Rahwana teringat puteranya terakhir jatuh dipukuli habis-habisan oleh
Leksmana.
“Maafkan
aku Kakanda Prabu, Indrajid…, sudah gak ada…”, Kumbokarno
menangis sambil bersujud di ranjang Rahwana.
“APA!!!
Astaga Puteraku, Indrajid…, Dimana Bajingan Wibisana?!! Akan ku
bunuh dia!!! Pengkhianat!!!”, Rahwana memaksakan diri berdiri dari
ranjang meski luka operasinya belum sembuh benar, sehingga
mengeluarkan darah lagi. Wibisana mendengar Rahwana dari luar ruangan
ICU, langsung masuk ke dalam ruangan dan berlutut di hadapan Rahwana.
“Kakanda Prabu, saya SIAP MATI untuk menebus semua dosa hamba…”,
ucap Wibisana dengan perasaan menyesal seumur hidupnya.
Rahwana
melihat Wibisana langsung mengamuk, mengambil pisau di pinggang
Kumbokarno hendak membunuhnya. Tapi langsung ditahan dengan cepat
oleh Kumbokarno, “JANGAN Kakanda Prabu!!! Dia sudah berusaha
menyelamatkan nyawa Prabu. Tidak ada siapapun yang benar dalam
masalah ini karena Semuanya juga Salah!!! Tolong pikirkan kembali!!!
Sesama Saudara biar gimanapun harusnya saling mengasihi, menyayangi,
menjaga, merawat dan melindungi. Bukan saling menyalahkan!!! Bukan
saling mencelakakan!!! Apalagi saling membunuh!!! Ingatlah Kakanda
Prabu, kita semua masih sedarah kandung!!!.”
Rahwana
langsung membanting pisau di tangannya mengenai televisi di depannya
yang langsung hancur seketika. Kumbokarno memberi isyarat pada
Wibisana (jarinya ke arah pintu) agar Wibisana segera keluar dari
ruangan, sementara Kumbokarno mencoba menenangkan emosi jiwa Rahwana,
yang sedang terguncang hatinya dengan mendudukkan Rahwana di ranjang
agar darahnya tidak banyak keluar lagi. Rahwana hanya dapat menangis
penuh kemarahan, melempar meja dan kursi ke kaca ruangan ICU sampai
hancur semuanya, saat mengingat kembali Indrajid adalah anak
satu-satunya, kesayangannya telah tiada.
Tiga
hari sebelum acara upacara pernikahan Shinta, hati dan pikiran Shinta
semakin kacau, tidak tenang, tidak dapat tidur nyenyak, dia mencoba
menelpon Hanoman dan Wibisana menanyakan bagaimana keadaan Rahwana.
Syukurlah, Rahwana sudah diperbolehkan pulang ke Alengka, namun masih
harus dirawat inap di Rumah Sakit Militer Alengka untuk pemulihan
lukanya.
Saat
Rahwana hendak diterbangkan ke Alengka, dilihatnya Hanoman menjadi
pilot helicopter “Airwolf” miliknya, sebelum Rahwana mengamuk,
Wibisana langsung menyuntikan obat tidur ke tubuh Rahwana dengan
dosis yang telah dihitung untuk lama waktu perjalanan ke Alengka,
sehingga kemarahannya hilang karena langsung merasa lemas, mengantuk
dan tertidur sampai tiba di ruang kamar VIP Rumah Sakit Militer
Alengka. Seselesainya membawa Rahwana ke Alengka, Hanoman pulang
kembali ke Ayodya dengan Pesawat Boing 799 dari Bandara Internasional
Alengka.
Semalam
sebelum hari pernikahannya, Shinta berbicara kepada Trijata,
memintanya untuk menyamar besok pagi menjadi pengantin, karena Shinta
merasa belum siap menjadi isteri Rama Wijaya, hatinya tetap merasa
tidak tenang dan berdosa, bagaimana dia bisa menikah jika pikirannya
memikirkan Rahwana di Alengka dalam keadaan rapuh dan hancur.
Sedangkan dirinya bersenang-senang diatas kehancuran Negara Alengka
hanya demi mendapat gelar kehormatan sebagai seorang permaisuri
Kerajaan Ayodya. Shinta tidak mau, Shinta hanya ingin cinta yang
tulus, bukan cinta demi status pernikahan yang didasari atas nafsu
dan ego kepentingan politik tertentu.
Melihat
garis hitam begitu tebal di kelopak bawah mata Shinta yang terlihat
kurang tidur, hingga air matanya terus mengalir karena kekacauan
pikiran dan hatinya, Trijata merelakan dirinya menolong Shinta,
ditelponnya Anggada agar ikut membantunya menolong Shinta keluar dari
Istana Ayodya. Lalu Shinta berganti pakaian dengan dayang Istana
Ayodya, dia berjalan keluar dari pintu belakang Istana, dimana
Anggada tengah menunggunya di dalam mobil taxi, setelah membuatkan
identitas palsu (KTP dan Passport palsu untuk Shinta) untuk
membawanya kabur ke pelabuhan Ayodya dikarenakan lebih aman menyusup
dengan Kapal Pengangkut Barang Besar yang kurang diperhatikan petugas
saat di dalamnya mengangkut para buruh (tenaga kerja imigran gelap)
ke luar daerah. Bila menggunakan pesawat udara pasti akan tertangkap
petugas bandara pada saat melakukan check in karena mudah dikenali
dari identitas pasport Shinta. Setelah mengantarkan Shinta, Anggada
kembali pulang ke Istana agar tidak dicurigai oleh Rama Wijaya.
Tepat
jam 5 pagi, Shinta telah tiba dengan selamat di Pelabuhan Alengka,
dia langsung berangkat naik motor ojek dari terminal pelabuhan ke
Rumah Sakit Militer Alengka. Sementara di Negara Ayodya, semua
dayang-dayang diminta Trijata (yang menyamar menjadi pengantin
perempuan) dan Anggada untuk berpura-pura seolah-olah tidak terjadi
apa-apa demi menolong Shinta.
Kira-kira
satu jam sebelum upacara pernikahan Shinta, ternyata Rama Wijaya
mendadak datang ke Keputren untuk menjemput Shinta, diketahuilah
olehnya Trijata yang mengenakan pakaian pengantin, Rama Wijaya
langsung marah dan menanyakan keberadaan Shinta, karena Trijata diam
saja, Rama hendak memukul Trijata, namun Anggada langsung menahan
Rama Wijaya dan meminta Rama mengampuni Trijata barulah Anggada
bersedia mengatakan kepergian Shinta ke Alengka. Rama Wijaya sangat
marah dan memanggil Leksmana untuk menahan Trijata, Anggada serta
Hanoman. Leksmana mengancam pada Hanoman akan menghukum mati Anggada
dan Trijata bila tidak mau mengantarkan Rama Wijaya dan Leksmana
beserta beberapa pasukannya ke Alengka dengan Pesawat Siluman
(Stealth Aircraft F-117, Nighthawk) anti peluru miliknya. Leksamana
memborgol tangan kanan Hanoman diborgolkan ke tangan kirinya Leksmana
agar Hanoman tidak dapat melarikan diri. Leksmana dan Rama membawa
serta pasukannya berangkat mengejar Shinta ke Alengka.
Shinta
sampai di Rumah Sakit Militer Alengka langsung masuk mencari Rahwana
di Kamar VIP lantai 7 (naik lift). Sesampainya di Lantai 7, ternyata
Rahwana sudah tidak ada di kamarnya, menurut keterangan suster, baru
5 menit yang lalu Rahwana dibawa pulang oleh kedua saudaranya,
Kumbokarno dan Wibisana. Shinta turun lagi ke lantai dasar
secepatnya, untunglah Rahwana masih duduk di ruang tunggu bersama
Kumbokarno, sementara Wibisana sedang menyelesaikan administrasi dan
pembayaran obat di Rumah Sakit.
“Rahwana..!!”,
teriak Shinta sambil berlari menemuinya. “Shinta?! Mengapa kau ada
di sini? Bukankah kau akan menikah hari ini?”, jawab Rahwana
kebingungan. “Iyaa itu benar, tapi kau melihatku masih di sini
bukan?”, jawaban Shinta membuat hati Rahwana serasa diguyur air
terjun Niagara, Rahwana langsung memeluk Shinta dengan erat dan
menciumnya, tanpa memperdulikan orang-orang di dalam Rumah Sakit
melihat mereka sedang berpelukan dan berciuman (kali ini
ciumannya tidak digigit oleh Shinta). Air mata Shinta membasahi dada
Rahwana yang gagah, menangis bahagia dalam pelukannya, Shinta merasa
tenang dan nyaman, seolah semua perasaan takut, bersalah dan dosa
dalam hatinya telah sirna dalam genggaman erat pelukan dan ciuman
Rahwana.
Wibisana
keluar Rumah Sakit untuk mempersiapakan para tentara yang akan
menyetir Mobil Jeep Wrangler SAHARA 1998 milik Rahwana dan Mobil
dinas Suzuki Swift milik Kumbokarno dari parkiran garasi bawah Rumah
Sakit (lantai groud), sementara dia sendiri mempersiapkan mobil VW
Beetle miliknya, yang masih diparkirkan di depan Rumah Sakit Militer
Alengka. Tiba-tiba saja mobilnya ditembaki para pasukan Leksmana
hingga pecah semua kaca mobil dan kempes semua bannya. Tentara
Kumbokarno yang berjaga di luar Rumah Sakit baku tembak dengan
tentara pasukan Rama dan Leksmana. Wibisana terluka tembak di bahu
dan kaki kanannya, Rama Wijaya menghampirinya sambil menodong pistol
ke kepalanya, “Katakan Dimana Shinta sekarang?!!”.
“Bunuh
saja.., Matipun aku tidak takut. Sadarlah…Rama, kau sudah kalah,
Shinta sudah muak dengan permainan politikmu demi tahta di Ayodya.
Hatinya sudah berpaling pada Rahwana, Kau tidak akan berhasil
mendapatkan cintanya kembali…”, ucap Wibisana menasehati Rama
Wijaya sambil dilihatnya Hanoman pun bernasib sama diancam pistol
Leksmana untuk mengantar mereka mengejar Shinta. Rama Wijaya langsung
menghantam wajah Wibisana dengan pistol revolvernya hingga jatuh
pingsan, tidak sadarkan diri. Kumbokarno dan Rahwana mendengar suara
tembak-tembakan keluar dari Rumah Sakit, sementara Shinta diminta
Rahwana tetap diam di dalam Rumah Sakit, namun Shinta tetap berjalan
membuntuti di belakang Rahwana, dilihatnya Wibisana dihatam Rama
Wijaya. Kumbokarno langsung mengeluarkan pistol revolvernya hendak
menembak Rama Wijaya, “AWAS!!!”, teriak Leksmana dari jauh,
mendengar teriakan Leksmana, Rama lompat menghindari tembakan
Kumbokarno dan membalas 3 kali tembakan ke dada Kumbokarno, seketika
pelurunya menembus jantung Kumbokarno, Rahwana melihat Kumbokarno
tumbang, menahan tubuhnya yang berlumuran darah, “Maafkan aku
Kakanda Prabu…, hamba mohon paamit…”. “TIDAAAK!!!”, teriak
Rahwana melihat Kumbokarno telah gugur. Leksmana kehilangan
kosentrasinya saat memperhatikan Rama, seketika pukulan tangan kiri
Hanoman mendarat di wajahnya beberapa kali hingga Leksmana jatuh
pingsan, Hanoman segera mencari kunci borgol di saku celana kanan
Leksmana.
Sementara
Rama Wijaya mengisi peluru revolvernya dan akan bersiap menembak
Rahwana, Shinta melihat Rama dari balik pot tanaman palem, penghias
pintu luar Rumah Sakit. Saat Rama Wijaya menembak Rahwana, Shinta
menubrukkan tubuhnya untuk melindungi Rahwana, peluru revolver Rama
Wijaya menembus ke ulu hati Shinta, melihat kejadian itu, Rama Wijaya
menyesal, tangannya langsung gemetar melepaskan pistolnya dan
bergegas ingin meraih tubuh Shinta. Rahwana kembali berteriak,
“SHINTAAAA!!! (dipeluknya Shinta sambil menangis), Shinta
bertahanlah…, Shinta jangan mati.., kita akan selalu bersama
selamanya, Shinta…”, namun Shinta sudah tidak sadarkan diri dan
mengeluarkan banyak darah, saat melihat Rama hendak menghampiri
Shinta, dihajarlah Rama dengan seluruh kekuatannya, Rama terlempar ke
kaca pintu Rumah Sakit hingga pecah, lalu Rahwana langsung mengambil
pistol di dekat tangan Kumbokarno dan meminta Hanoman membopong tubuh
Shinta, membawanya masuk ke UGD Rumah Sakit Militer Alengka.
Rahwana
belum selesai memukul Rama, diangkatnya tubuh Rama yang sudah lemas
(merasa menyesal seumur hidup), tidak melawan sedikitpun semua
pukulan tangan Rahwana (menghajarnya dengan pistol revolver
Kumbokarno ditangannya) yang penuh dendam kemarahan, “Ini…(pukulan
pertama) untuk Sarpakenaka!!! Ini…(pukulan kedua) untuk anakku,
Indrajid!!! Lalu ini…(pukulan ketiga) untuk Kumbokarno!!! Dan yang
terakhir ini…(sambil ditariknya pelatuk pistol revolver Kumbokarno
yang ada di tangan kanannya ke arah kepala Rama Wijaya), adalah untuk
Shinta…”. Leksmana siuman, tersadar dilihatnya dari jauh,
kakaknya akan mati dibunuh Rahwana, langsung dengan cepat mengambil
pistol snipernya, ditembaklah Rahwana berkali-kali hingga peluru
snipernya habis. Rahwana belum sempat melepaskan tembakan, ternyata
peluru-peluru sniper Leksmana sudah lebih dulu menembus tubuhnya,
Rahwana yang kuat dan kokoh itupun terjatuh seketika, terhempas
tubuhnya berlumuran darah ke tanah Alengka, denyut jantungnya mulai
berhenti, nafasnya tercekik dan rasa dingin menusuk tubuhnya yang
sakit dan perih, terucap satu kata terakhir dari bibirnya sebelum
memejamkan kedua matanya, “Shinta…”.
Setelah
Rahwana tiada, Leksmana memapah tubuh Rama berjalan masuk ke dalam
UGD Rumah Sakit Militer Alengka. Namun alhasil dilihatnya Hanoman
tengah menangis di samping tubuh Shinta yang sudah tidak bernyawa
karena kehabisan banyak darah. Saat Rama Wijaya melihat Shinta yang
sudah tidak bernyawa, Rama menyesal, menyadari semua kesalahannya
selama bersama Shinta, dia tidak pernah berusaha mencintai Shinta
dengan sungguh-sungguh, terlalu sibuk dengan urusan politiknya,
membuat Shinta menderita, serta memaksakan diri Shinta untuk menjadi
miliknya setelah kehilangan cintanya di Alengka, hingga amarah dan
keegoisannya telah membuat Shinta mati terbunuh olehnya. Ingin
rasanya Rama mati menyusul Shinta, Rama yang sedang gelap hati dan
pikirannya, langsung mencabut pisau di pinggang Leksmana (ingin bunuh
diri) namun usahanya dicegah Hanoman dan Leksmana.
Setelah
peristiwa tragis di Rumah Sakit Alengka, jasad tubuh Rahwana dan
Kumbokarno dikebumikan di Taman Makam Pahlawan oleh Wibisana sebagai
Raja Alengka menggantikan Rahwana. Sementara jasad Dewi Shinta
dikebumikan di Taman Makam Khusus Kerajaan Ayodya oleh Rama Wijaya
dan Leksmana. Kemudian Leksmana naik tahta menjadi Raja Ayodya,
karena Rama Wijaya memilih hidup menjadi pertapa untuk melepas semua
nafsu angkara dan hal-hal keduniawian. Hanoman dan Anggada pulang ke
Kiskenda membawa Trijata untuk dinikahkan dengan Kapi
Jembawan (Paman pengasuh/Guru silatnya Subali dan Hanoman), dan
kemudian tinggal di Desa Pegunungan Gadamadana. Dari perkawinannya
mempunyai seorang putri yang bernama Dewi Jembawati, yang setelah
dewasa menjadi istri Prabu Kresna. –TAMAT-
Demikianlah akhir dari semua tragedi berdarah di Negeri Alengka.
(Written by: Kepik Romantis / Padma Varsa A.) NB
: Cerita ini fiksi, khayalan dan imajinasi belaka.
No comments:
Post a Comment