Tuesday, August 20, 2013

Tragedi Rahwana Mencintai Shinta III

Shinta berlari melindungi tubuh Rahwana yang telah sekarat berlumuran banyak darah.
“Shinta, apa kamu sudah gila!!! menyingkirlah darinya!!!”, ucap Rama Wijaya. Tamparan Shinta langsung mendarat di pipi kanan Rama Wijaya (Plaak!!!), “TIDAK AKAN!!!”, Shinta bersikeras melindungi Rahwana yang sekarat, terlihat air mata mengalir di pipinya. 

“Haanomaan!!! tolong kau bawa Shinta secepatnya ke Ayodya!!!”, perintah Rama Wijaya. Hanoman langsung menarik paksa tangan Shinta membawanya masuk ke dalam Helikopter dan mengunci pintunya. Mesin Helikopter telah dinyalakan, baling-balingnya berputar, langsung terbang keluar dari Istana Alengka. Shinta hanya dapat menangis bersama Trijata di dalam Helikopter.

Setelah helicopter itu sudah terbang cukup jauh, Rama Wijaya dihadang Kumbokarno dengan pasukannya yang berada di dalam Mobil anti peluru Jeep Wrangler SAHARA 1998 milik Rahwana dan 3 Mobil Suzuki Swift beriringan datang ke lapangan udara belakang Istana. Kumbokarno melemparkan beberapa pisau ke arahnya, secepatnya Rama mengindari pisau-pisau terbang itu agar tidak mengenai Leksmana tapi karena tenaganya sudah terkuras bertarung, gerakannya melambat, betis kanannya terkena pisau lempar Kumbokarno. Wibisana yang masih kesakitan terkapar di tanah, menyadari kehadiran Kumbokarno pastilah untuk menyelamatkan Rahwana dan Indrajid.

Rama Wijaya berusaha membawa tubuh Leksmana berlindung di balik pintu. Tibalah pasukan bantuan yang telah dihubungi Wibisana melalui handphone miliknya. Pasukan Kumbokarno dengan cepat berhamburan keluar dari kendaraan melemparkan pisau-pisau ke tangan, kaki, leher maupun dada dan punggung para pasukan bantuan yang bersenjata AK47 yang datang dari dalam pintu gerbang belakang Istana Alengka. Kumbokarno langsung mengangkat tubuh Rahwana ke dalam Mobil anti peluru Jeep Wrangler SAHARA 1998 milik Rahwana dan seorang tentara pensiunan mengangkat tubuh Indrajid ke Mobil Suzuki Swift. Kejadian itu membuat pasukan Kumbokarno berkurang 10 orang, rombongan mobil itu langsung kabur berangkat meninggalkan area Istana Alengka.

Wibisana diminta untuk mengejar mobil yang telah membawa kabur Rahwana dan Indrajid. Tapi Wibisana menolak permintaan Rama Wijaya karena tugasnya sudah selesai yaitu meyelamatkan Shinta keluar dari Istana Alengka, serta ditunjukkan jam 6.30 pagi dari handphone miliknya. Wibisana mengikat betis kanan Rama Wijaya dengan kain perban dalam kotak P3K yang dibawa olehnya. Kemudian memerintahkan pasukan bantuan yang selamat untuk membawa Rama Wijaya dan Leksmana ke Mobil Avanza dan Nissan March, mengingat semua Rumah Sakit dan Puskesmas di Alengka pastilah penuh dengan para korban perang, jadi lebih baik mereka ke Kapal Selam di pelabuhan untuk diberangkatkan ke Rumah Sakit Pusat di Ayodya.

Biar bagaimanapun Wibisana masih saudara dari Rahwana, hatinya sudah cukup merasa sangat berdosa karena telah membuat Sarpakenaka tewas di tangan Leksmana hingga nyawa Rahwana pun dalam bahaya. Wibisana langsung memberitakan ke radio dan televisi bahwa keadaan Negara Alengka sudah kembali aman dan terkendali. Diteleponnya juga Tim Medis dari semua Rumah Sakit dan Puskesmas untuk membantunya membawa para korban yang masih selamat dan terluka parah, sementara yang tewas langsung dibawa ke rumah duka untuk dipeti-eskan, setelah dimandikan dan disholatkan/didoakan oleh sanak keluarganya, barulah dibawa ke taman makam pahlawan, yang akan dipimpin langsung upacara penguburannya oleh Wibisana. Setelah itu, Wibisana menemui Patih Prahasta dan menjelaskan keterpaksaannya menembak sambil mengobati lukanya dan meminta tim medis membebaskan ikatan dan borgolnya lalu membawa Patih Prahasta ke Rumah Sakit Pusat Alengka.

Sedangkan iringi-iringan rombongan Kumbokarno membawa Rahwana dan Indrajid ke Rumah Sakit Militer di kota Alengka. Rahwana dan Indrajid langsung di bawa ke ruang ICU. Para dokter ahli langsung masuk ke ruang ICU memeriksa Rahwana dan Indrajid. Setengah jam kemudian, Ketua pimpinan para dokter ahli keluar dari ruangan dan mengatakan pada Kumbokarno: “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi sangat kecil kemungkinan untuk menyelamatkan Indrajid, karena luka dalamnya sangat parah mengenai ulu hati, limpa dan lambungnya, jadi konsentrasi kami adalah mengoperasi Prabu Rahwana secepatnya, untuk mengangkat ginjal kirinya yang terluka parah, operasi akan dilakukan 20 menit lagi, menunggu reaksi obat bius yang sudah disuntikkan dan mempersiapkan ruang operasi di lantai 2. Kami juga mohon agar memberitakan hal ini pada Wibisana karena ilmu kedokteran beliau jauh lebih baik dari kami, kemungkinan besar nyawa Rahwana dapat diselamatkan bila Wibisana dapat segera menghubungi pihak Rumah Sakit Pusat Guangzhou di Negeri Tiongkok Selatan.” Mendengar perkataan dokter, Kumbokarno langsung menelpon Wibisana, menceritakan semua yang dijelaskan oleh Ketua Tim dokter kepadanya dan memintanya untuk segera datang ke Rumah Sakit Militer Alengka.

Saat Wibisana mengambil jurusan kesusastraan seangkatan dengan Rama Wijaya di Universitas Oxford tahun 2003 di London, dia tidak menyelesaikan studinya karena dia memilih pergi ke Tiongkok tahun 2005 dan selama hampir 10 tahun menetap di sana untuk belajar ilmu kedokteran di Universitas Kedokteran Guangzhou dan berhasil lulus meraih gelar dokter spesialis penyakit dalam (khusus organ dalam) tahun 2015, empat tahun yang lalu.

Selang waktu 15 menit kemudian, Wibisana datang tergesa-gesa dengan kecepatan penuh menggunakan Mobil VW Beetle miliknya. Setibanya di Rumah Sakit, dia langsung berlari menuju kamar ICU menemui Kumbokarno yang tengah memperhatikan detik-detik terakhir nafas dan denyut jantung keponakannya, Indrajid yang dipasangi alat bantu nafas dan pacu jantung. Terdengar bunyi alat pendeteksi jantungnya semakin melemah, tiiiiinit.. nit..nit….nit..niiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttt, dokter mendengar hal itu langsung mengambil alat pengejut jantung beberapa kali dikejutkan jantung Indrajid namun tetap saja sia-sia. Indrajid telah dinyatakan meninggal dunia. Kumbokarno menangis tersedu-sedu, dirangkul erat oleh Wibisana.

Wibisana sebisa mungkin menahan emosinya sambil meminum banyak kopi akibat stress, cemas dan sedih melanda pikiran dan perasaannya. Diambilnya handphone langsung menelpon Rumah Sakit Guangzhou, tempat dia pernah praktek kerja menjadi asisten dokter selama masih kuliah dulu. Cukup lama dia berbicara dengan para dokter ahli untuk memberikan saran padanya mengenai kondisi Rahwana yang tengah berada di ruang operasi untuk mengangkat ginjal kirinya. Operasi berlangsung selama 7 jam, dokter berhasil mengangkat ginjal kiri Rahwana, sambil memberikan analisanya kepada Wibisana, bahwa Rahwana harus segera dibawa ke Guangzhou untuk melakukan cangkok ginjal dari pendonor disana, asumsinya di Alengka sudah banyak korban perang yang juga memerlukan perawatan dan pertolongan dari para dokter. Rahwana juga harus melakukan cuci darah setiap hari sekali selama belum mendapatkan ginjal kiri yang baru dari pendonor dikarenakan ginjal kanannya pun mulai melemah dan tidak berfungsi dengan baik akibat bekerja ekstra karena luka pendarahan yang parah di ginjal kirinya.

Apa boleh buat pikir Wibisana, dia langsung menelpon Hanoman, meminta pertolongannya darinya sebagai timbal balik balas jasa penyelamatannya dulu sewaktu hendak dibakar hidup-hidup di alun-alun Alengka, (karena selain Rahwana hanya Hanoman yang mampu membawa helicopter dan pesawat) agar segera membawa kembali Helikopter “Airwolf” ke Alengka. Hanoman langsung menyanggupi, setelah menurunkan Shinta dan Trijata dengan selamat di Negara Ayodya, dia langsung mengisi bahan bakar helicopter itu di lapangan udara Ayodya dan menerbangkannya kembali ke Alengka.

Hanoman tiba di lapangan udara Istana Alengka langsung disambut tim medis kenegaraaan memberikan perawatan khusus pada Hanoman. Sementara itu, Wibisana memimpin upacara pemakaman secara kemiliteran di Taman Makan Pahlawan Alengka bersama Jenderal Kumbokarno (selaku inspektur upacara) beserta pasukannya untuk menguburkan Sarpakenaka, Karadusana, Indrajid dan semua prajurit yang telah tewas dalam perang.

Seselesainya upacara pemakaman, Wibisana dan Kumbokarno langsung kembali ke Rumah Sakit Militer mengawal Rahwana yang dibawa Mobil Ambulance menuju Lapangan Udara Istana Alengka. Setibanya iring-iringan Mobil Ambulance, Hanoman langsung membantu para tim medis membawa masuk Rahwana (yang masih tidak sadarkan diri) ke dalam Helikopter ditemani Wibisana dan Kumbokarno yang ikut bersamanya, langsung berangkat ke Guangzhou. Di Negeri Thailand, helicopter transit untuk mengisi bensin dan beristirahat sebentar, kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Dalam tempo 6 jam (total waktu keseluruhan), Helikopter “Airwolf” akhirnya tiba dengan selamat di Guangzhou.

Para tim medis dari Guangzhou sudah menunggu kedatangan helicopter dari Alengka, mereka langsung membantu memindahkan Rahwana ke Mobil Ambulance ditemani Kumbokarno, Wibisana dan Hanoman, setelah itu langsung berangkat ke Rumah Sakit Guangzhou. Sesampainya di Rumah Sakit, Wibisana langsung memimpin operasi pencangkokan ginjal bersama para dokter ahli dari Guangzhou. Kumbokarno ditemani Hanoman menunggu di ruang kafetaria Rumah Sakit. Operasi pencangkokan ginjal telah berhasil dan memakan waktu selama 8 jam. Wibisana keluar dari ruang operasi bermandi keringat, namun kecemasan Wibisana dan Kumbokarno belum berakhir karena Rahwana telah mengeluarkan banyak darah, keadaan tubuhnya masih lemah dan berada dalam kondisi kritis.

Di Negara Ayodya, Shinta dan Trijata langsung diantar Anggada menuju Istana Keputren. Rombongan Rama Wijaya dan Leksmana tiba dengan selamat di pelabuhan Negara Ayodya, langsung diantar ke Rumah Sakit Pusat Ayodya oleh tim medis khusus kerajaan. Setelah mendengar peristiwa perang di Negara Alengka, Ayahanda (Raja Negara Ayodya) dari Rama Wijaya dan Leksmana datang menengok anaknya di Rumah Sakit. Dalam waktu sebulan, Rama Wijaya diminta Ayahnya agar segera bersiap-siap untuk melangsungkan acara pesta pernikahannya dengan Shinta, sekaligus upacara kenaikan tahta bagi Rama Wijaya menggantikan posisi Ayahnya menjadi Raja Ayodya.

Berita itu begitu cepat tersebar ke seluruh pelosok Negara Ayodya bahkan ke Negara-negara lain melalui para wartawan disebarkan ke media cetak (majalah/tabloid dan koran/surat kabar) dan media elektronik (televisi, radio, maupun internet, youtube dan website). Shinta yang sedang dalam keadaan shock dan trauma berat setelah mengalami serangkaian peristiwa berdarah di Negara Alengka memilih untuk menyendiri, dalam kekacauan hatinya, Shinta menolak untuk bertemu dengan Rama Wijaya. Trijata meminta Rama Wijaya untuk bersabar dan memberikan waktu untuk Shinta mempersiapkan kondisi batinnya yang masih terguncang. Anggada memberi saran pada Trijata agar membawa Shinta pergi (tour and traveling) berliburan ke Negara Kiskenda (kampung halamannya) yang indah di kelilingi gunung bersalju. Kebetulan Rama Wijaya sedang senang hatinya dan langsung memberikan izin untuk mengawal Shinta dan Trijata berangkat ke Kiskenda selama dua minggu.

Anggada langsung membawa Shinta dan Trijata dengan Pesawat Siluman (Stealth Aircraft F-117, Nighthawk) anti peluru milik Hanoman menuju Kiskenda. Sesampainya di Kiskenda, Paman Sugriwa langsung menyambut kedatangan mereka dan mengantar ke Villa Kiskenda Indah dan meminta Anggada menjadi tour guide/pemandu wisata bagi mereka.

Di dalam Villa, Shinta mengaku di hadapan Trijata dan Anggada, bahwa dia stress mengkhawatirkan nasib Rahwana, dalam hati terus gelisah dan tidak tenang bertanya-tanya apakah Rahwana masih hidup ataukah sudah mati, bahkan saat tertidur pun dia selalu bermimpi buruk tentang Rahwana, seolah Rahwana telah menghantui pikirannya. Itulah yang membuatnya enggan bertemu muka dengan Rama Wijaya. Bagaimanapun hati seorang perempuan pastilah tidak akan tega, merasa iba dan dosa karena persaingan memperebutkan cinta darinya berakibat terjadinya pertumpahan darah dan banyak korban berjatuhan di Negeri Alengka.

Trijata, Anggada, tolong bantulah saya…, tolong kalian cari info keadaan Rahwana, kabarkan kepada saya, apakah dia masih hidup atau sudah tiada?”

Taapii Kak Shinta, bila ketahuan, Rama Wijaya pasti akan menghukum kami berdua”, jawab Trijata.

Apa kamu semua belum cukup melihat peristiwa berdarah itu? Kapan Rama Wijaya dan Rahwana dapat berdamai? bila seperti ini terus adanya, maka selamanya tidak akan pernah selesai, seumur hidupku pun tidak akan merasa tenang dan bahagia, sekalipun bulan depan nanti telah menikah dan menjadi istri Rama. Apa untungnya bagiku? Aku merasa dosa pada rakyat Negara Alengka maupun Ayodya yang harus mati sia-sia hanya demi aku”, ucapan Shinta diakhiri dengan air matanya yang terus mengalir membasahi pipinya. Trijata pun ikut menangis mendengar semua penjelasan Shinta. Trijata menelpon ayahnya, Wibisana untuk menanyakan tentang Paman Rahwana, sedangkan Anggada menelpon Hanoman, keduanya menjelaskan (curhat) tentang keadaan Shinta, serta memohon agar menolongnya mencari info tentang Rahwana. Hanoman dan Wibisana yang mendengar cerita Anggada dan Trijata, menjadi iba pada Shinta, namun sebelum menjelaskan semuanya, Hanoman maupun Wibisana meminta agar merahasiakan tugas dan keberadaannya dari Leksmana maupun Rama Wijaya, selama di Alengka maupun Guangzhou.

Dengan sangat jelas Anggada dan Trijata menceritakan kembali semua percakapannya dengan Hanoman kepada Shinta dan Trijata, serta memberitakan bahwa keadaan Rahwana sedang kritis di Rumah Sakit Guangzhou. Mendengar berita itu, Shinta bersikeras ingin pergi menengok Rahwana ke Guangzhou. Anggada yang semula menolak terus dibujuk Shinta dan Trijata, akhirnya sepakat berangkat juga ke Guangzhou. Perjalanan di udara (naik pesawat siluman) selama 4 jam dari Kiskenda akhirnya selamat juga tiba di Guangzhou.

Shinta, Trijata dan Anggada langsung menyewa taxi dari bandara menuju Rumah Sakit Guangzhou. Setibanya di Rumah Sakit, Shinta langsung mencari ruang ICU dimana Rahwana terbaring kritis, masih tidak sadarkan diri dengan alat infus dan alat bantu pernafasan. Trijata langsung menangis melihat keadaan Paman Rahwana. Kumbokarno dan Wibisana (ayah Trijata) berusaha menenangkan emosi Trijata. Shinta diizinkan Wibisana dan Kumbokarno untuk masuk ke ruang ICU. Sambil menangis, dia duduk di samping ranjang Rahwana dan kemudian dia mulai berdoa dan berdzikir di telinga Rahwana. Hanoman dan Anggada bertugas bergantian menunggu di luar ruang ICU.

Sudah sekitar 9 hari, Rahwana masih tidak sadarkan diri juga dan setiap malamnya selalu demam dan mengigau memanggil-manggil nama Shinta dan putranya, Indrajid. Setiap hari Anggada harus berbohong, saat mendapat telpon dari Rama Wijaya yang menanyakan keadaan Shinta. Hingga hari ke 10, tiba-tiba saja Rama Wijaya menelpon Anggada, bahwa dia akan berangkat ke Kiskenda naik Pesawat Boing 797 besok pagi untuk membawa Undangan khusus kepada Paman Sugriwa. Dan sebelum pulang, akan mampir sebentar untuk mengajak Shinta makan malam bersamanya di Istana Kiskenda. Anggada langsung memberitau Shinta dan Trijata, Hanoman dan Wibisana memberi saran agar Shinta segera pulang, karena bila Rama Wijaya mengetahui kebohongan Anggada, nyawa Rahwana akan terancam bahaya. Shinta dengan berat hati menuruti saran mereka dan bergegas pulang menuju Kiskenda bersama Trijata dan Anggada.

Sesampainya di Kiskenda, Shinta bertemu kembali dengan Rama Wijaya, tanpa perasaan curiga, Rama Wijaya mengajaknya makan malam dan menjemputnya pulang ke Ayodya bersama Trijata dan Anggada. Namun sikap Shinta semakin berubah dingin dan menghindari pelukan, sentuhan, belaian dan kecupan ciuman dari Rama Wijaya.

Hingga suatu ketika di Ayodya, Rama Wijaya bertanya : “Mengapa kamu bersikap begitu dingin padaku? Apa kamu sekarang sudah tergila-gila dengan Rahwana?!.”

Apa kamu gak sadar juga, wahai Raden Rama?! Apa yang sudah kamu perbuat? Berapa banyak korban di Alengka? Karena yang kau mau dariku hanyalah untuk menikah demi kepentingan politikmu dengan memanfaatkan aku untuk mendapatkan gelar kehormatan, kedudukan menjadi Raja Ayodya dan memperluas wilayah daerah kekuasaan Ayodya sampai ke Negeri Mantili, Dandaka, Kiskenda maupun Alengka. Kau ingin menikahi aku bukan karena Cinta!!! Tapi karena alasan kepentingan ego dan nafsu pribadimu!!!”.

Haaah!!! CUKUP Shinta!!! Aku dah capek!!! Terserah kamu mau bilang apa dan mau anggap apa aku ini, toh, seminggu lagi kau akan jadi istriku juga. Bersiap-siaplah menjadi Permaisuri Kerajaan Ayodya!!!”, Rama Wijaya pergi dengan hati kesal meninggalkan Shinta sendirian di Taman Keputren Ayodya.

Tengah malam di Rumah Sakit Guangzhou, Rahwana tiba-tiba sadarkan diri, dilihatnya Kumbokarno sedang duduk di sampir ranjangnya. Rahwana mencoba memaksakan diri bangun dari ranjangnya, “Aaaaccch!!! Sial..”, kesal Rahwana kesakitan. Kumbokarno langsung melarangnya untuk bangun dari ranjang. “Kumbokarno, dimana Indrajid?”, Tanya Rahwana teringat puteranya terakhir jatuh dipukuli habis-habisan oleh Leksmana.

Maafkan aku Kakanda Prabu, Indrajid…, sudah gak ada…”, Kumbokarno menangis sambil bersujud di ranjang Rahwana.

APA!!! Astaga Puteraku, Indrajid…, Dimana Bajingan Wibisana?!! Akan ku bunuh dia!!! Pengkhianat!!!”, Rahwana memaksakan diri berdiri dari ranjang meski luka operasinya belum sembuh benar, sehingga mengeluarkan darah lagi. Wibisana mendengar Rahwana dari luar ruangan ICU, langsung masuk ke dalam ruangan dan berlutut di hadapan Rahwana. “Kakanda Prabu, saya SIAP MATI untuk menebus semua dosa hamba…”, ucap Wibisana dengan perasaan menyesal seumur hidupnya.

Rahwana melihat Wibisana langsung mengamuk, mengambil pisau di pinggang Kumbokarno hendak membunuhnya. Tapi langsung ditahan dengan cepat oleh Kumbokarno, “JANGAN Kakanda Prabu!!! Dia sudah berusaha menyelamatkan nyawa Prabu. Tidak ada siapapun yang benar dalam masalah ini karena Semuanya juga Salah!!! Tolong pikirkan kembali!!! Sesama Saudara biar gimanapun harusnya saling mengasihi, menyayangi, menjaga, merawat dan melindungi. Bukan saling menyalahkan!!! Bukan saling mencelakakan!!! Apalagi saling membunuh!!! Ingatlah Kakanda Prabu, kita semua masih sedarah kandung!!!.”

Rahwana langsung membanting pisau di tangannya mengenai televisi di depannya yang langsung hancur seketika. Kumbokarno memberi isyarat pada Wibisana (jarinya ke arah pintu) agar Wibisana segera keluar dari ruangan, sementara Kumbokarno mencoba menenangkan emosi jiwa Rahwana, yang sedang terguncang hatinya dengan mendudukkan Rahwana di ranjang agar darahnya tidak banyak keluar lagi. Rahwana hanya dapat menangis penuh kemarahan, melempar meja dan kursi ke kaca ruangan ICU sampai hancur semuanya, saat mengingat kembali Indrajid adalah anak satu-satunya, kesayangannya telah tiada.

Tiga hari sebelum acara upacara pernikahan Shinta, hati dan pikiran Shinta semakin kacau, tidak tenang, tidak dapat tidur nyenyak, dia mencoba menelpon Hanoman dan Wibisana menanyakan bagaimana keadaan Rahwana. Syukurlah, Rahwana sudah diperbolehkan pulang ke Alengka, namun masih harus dirawat inap di Rumah Sakit Militer Alengka untuk pemulihan lukanya.

Saat Rahwana hendak diterbangkan ke Alengka, dilihatnya Hanoman menjadi pilot helicopter “Airwolf” miliknya, sebelum Rahwana mengamuk, Wibisana langsung menyuntikan obat tidur ke tubuh Rahwana dengan dosis yang telah dihitung untuk lama waktu perjalanan ke Alengka, sehingga kemarahannya hilang karena langsung merasa lemas, mengantuk dan tertidur sampai tiba di ruang kamar VIP Rumah Sakit Militer Alengka. Seselesainya membawa Rahwana ke Alengka, Hanoman pulang kembali ke Ayodya dengan Pesawat Boing 799 dari Bandara Internasional Alengka.

Semalam sebelum hari pernikahannya, Shinta berbicara kepada Trijata, memintanya untuk menyamar besok pagi menjadi pengantin, karena Shinta merasa belum siap menjadi isteri Rama Wijaya, hatinya tetap merasa tidak tenang dan berdosa, bagaimana dia bisa menikah jika pikirannya memikirkan Rahwana di Alengka dalam keadaan rapuh dan hancur. Sedangkan dirinya bersenang-senang diatas kehancuran Negara Alengka hanya demi mendapat gelar kehormatan sebagai seorang permaisuri Kerajaan Ayodya. Shinta tidak mau, Shinta hanya ingin cinta yang tulus, bukan cinta demi status pernikahan yang didasari atas nafsu dan ego kepentingan politik tertentu.

Melihat garis hitam begitu tebal di kelopak bawah mata Shinta yang terlihat kurang tidur, hingga air matanya terus mengalir karena kekacauan pikiran dan hatinya, Trijata merelakan dirinya menolong Shinta, ditelponnya Anggada agar ikut membantunya menolong Shinta keluar dari Istana Ayodya. Lalu Shinta berganti pakaian dengan dayang Istana Ayodya, dia berjalan keluar dari pintu belakang Istana, dimana Anggada tengah menunggunya di dalam mobil taxi, setelah membuatkan identitas palsu (KTP dan Passport palsu untuk Shinta) untuk membawanya kabur ke pelabuhan Ayodya dikarenakan lebih aman menyusup dengan Kapal Pengangkut Barang Besar yang kurang diperhatikan petugas saat di dalamnya mengangkut para buruh (tenaga kerja imigran gelap) ke luar daerah. Bila menggunakan pesawat udara pasti akan tertangkap petugas bandara pada saat melakukan check in karena mudah dikenali dari identitas pasport Shinta. Setelah mengantarkan Shinta, Anggada kembali pulang ke Istana agar tidak dicurigai oleh Rama Wijaya.

Tepat jam 5 pagi, Shinta telah tiba dengan selamat di Pelabuhan Alengka, dia langsung berangkat naik motor ojek dari terminal pelabuhan ke Rumah Sakit Militer Alengka. Sementara di Negara Ayodya, semua dayang-dayang diminta Trijata (yang menyamar menjadi pengantin perempuan) dan Anggada untuk berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apa-apa demi menolong Shinta.

Kira-kira satu jam sebelum upacara pernikahan Shinta, ternyata Rama Wijaya mendadak datang ke Keputren untuk menjemput Shinta, diketahuilah olehnya Trijata yang mengenakan pakaian pengantin, Rama Wijaya langsung marah dan menanyakan keberadaan Shinta, karena Trijata diam saja, Rama hendak memukul Trijata, namun Anggada langsung menahan Rama Wijaya dan meminta Rama mengampuni Trijata barulah Anggada bersedia mengatakan kepergian Shinta ke Alengka. Rama Wijaya sangat marah dan memanggil Leksmana untuk menahan Trijata, Anggada serta Hanoman. Leksmana mengancam pada Hanoman akan menghukum mati Anggada dan Trijata bila tidak mau mengantarkan Rama Wijaya dan Leksmana beserta beberapa pasukannya ke Alengka dengan Pesawat Siluman (Stealth Aircraft F-117, Nighthawk) anti peluru miliknya. Leksamana memborgol tangan kanan Hanoman diborgolkan ke tangan kirinya Leksmana agar Hanoman tidak dapat melarikan diri. Leksmana dan Rama membawa serta pasukannya berangkat mengejar Shinta ke Alengka.

Shinta sampai di Rumah Sakit Militer Alengka langsung masuk mencari Rahwana di Kamar VIP lantai 7 (naik lift). Sesampainya di Lantai 7, ternyata Rahwana sudah tidak ada di kamarnya, menurut keterangan suster, baru 5 menit yang lalu Rahwana dibawa pulang oleh kedua saudaranya, Kumbokarno dan Wibisana. Shinta turun lagi ke lantai dasar secepatnya, untunglah Rahwana masih duduk di ruang tunggu bersama Kumbokarno, sementara Wibisana sedang menyelesaikan administrasi dan pembayaran obat di Rumah Sakit.

Rahwana..!!”, teriak Shinta sambil berlari menemuinya. “Shinta?! Mengapa kau ada di sini? Bukankah kau akan menikah hari ini?”, jawab Rahwana kebingungan. “Iyaa itu benar, tapi kau melihatku masih di sini bukan?”, jawaban Shinta membuat hati Rahwana serasa diguyur air terjun Niagara, Rahwana langsung memeluk Shinta dengan erat dan menciumnya, tanpa memperdulikan orang-orang di dalam Rumah Sakit melihat mereka sedang berpelukan dan berciuman (kali ini ciumannya tidak digigit oleh Shinta). Air mata Shinta membasahi dada Rahwana yang gagah, menangis bahagia dalam pelukannya, Shinta merasa tenang dan nyaman, seolah semua perasaan takut, bersalah dan dosa dalam hatinya telah sirna dalam genggaman erat pelukan dan ciuman Rahwana.

Wibisana keluar Rumah Sakit untuk mempersiapakan para tentara yang akan menyetir Mobil Jeep Wrangler SAHARA 1998 milik Rahwana dan Mobil dinas Suzuki Swift milik Kumbokarno dari parkiran garasi bawah Rumah Sakit (lantai groud), sementara dia sendiri mempersiapkan mobil VW Beetle miliknya, yang masih diparkirkan di depan Rumah Sakit Militer Alengka. Tiba-tiba saja mobilnya ditembaki para pasukan Leksmana hingga pecah semua kaca mobil dan kempes semua bannya. Tentara Kumbokarno yang berjaga di luar Rumah Sakit baku tembak dengan tentara pasukan Rama dan Leksmana. Wibisana terluka tembak di bahu dan kaki kanannya, Rama Wijaya menghampirinya sambil menodong pistol ke kepalanya, “Katakan Dimana Shinta sekarang?!!”.

Bunuh saja.., Matipun aku tidak takut. Sadarlah…Rama, kau sudah kalah, Shinta sudah muak dengan permainan politikmu demi tahta di Ayodya. Hatinya sudah berpaling pada Rahwana, Kau tidak akan berhasil mendapatkan cintanya kembali…”, ucap Wibisana menasehati Rama Wijaya sambil dilihatnya Hanoman pun bernasib sama diancam pistol Leksmana untuk mengantar mereka mengejar Shinta. Rama Wijaya langsung menghantam wajah Wibisana dengan pistol revolvernya hingga jatuh pingsan, tidak sadarkan diri. Kumbokarno dan Rahwana mendengar suara tembak-tembakan keluar dari Rumah Sakit, sementara Shinta diminta Rahwana tetap diam di dalam Rumah Sakit, namun Shinta tetap berjalan membuntuti di belakang Rahwana, dilihatnya Wibisana dihatam Rama Wijaya. Kumbokarno langsung mengeluarkan pistol revolvernya hendak menembak Rama Wijaya, “AWAS!!!”, teriak Leksmana dari jauh, mendengar teriakan Leksmana, Rama lompat menghindari tembakan Kumbokarno dan membalas 3 kali tembakan ke dada Kumbokarno, seketika pelurunya menembus jantung Kumbokarno, Rahwana melihat Kumbokarno tumbang, menahan tubuhnya yang berlumuran darah, “Maafkan aku Kakanda Prabu…, hamba mohon paamit…”. “TIDAAAK!!!”, teriak Rahwana melihat Kumbokarno telah gugur. Leksmana kehilangan kosentrasinya saat memperhatikan Rama, seketika pukulan tangan kiri Hanoman mendarat di wajahnya beberapa kali hingga Leksmana jatuh pingsan, Hanoman segera mencari kunci borgol di saku celana kanan Leksmana.

Sementara Rama Wijaya mengisi peluru revolvernya dan akan bersiap menembak Rahwana, Shinta melihat Rama dari balik pot tanaman palem, penghias pintu luar Rumah Sakit. Saat Rama Wijaya menembak Rahwana, Shinta menubrukkan tubuhnya untuk melindungi Rahwana, peluru revolver Rama Wijaya menembus ke ulu hati Shinta, melihat kejadian itu, Rama Wijaya menyesal, tangannya langsung gemetar melepaskan pistolnya dan bergegas ingin meraih tubuh Shinta. Rahwana kembali berteriak, “SHINTAAAA!!! (dipeluknya Shinta sambil menangis), Shinta bertahanlah…, Shinta jangan mati.., kita akan selalu bersama selamanya, Shinta…”, namun Shinta sudah tidak sadarkan diri dan mengeluarkan banyak darah, saat melihat Rama hendak menghampiri Shinta, dihajarlah Rama dengan seluruh kekuatannya, Rama terlempar ke kaca pintu Rumah Sakit hingga pecah, lalu Rahwana langsung mengambil pistol di dekat tangan Kumbokarno dan meminta Hanoman membopong tubuh Shinta, membawanya masuk ke UGD Rumah Sakit Militer Alengka.

Rahwana belum selesai memukul Rama, diangkatnya tubuh Rama yang sudah lemas (merasa menyesal seumur hidup), tidak melawan sedikitpun semua pukulan tangan Rahwana (menghajarnya dengan pistol revolver Kumbokarno ditangannya) yang penuh dendam kemarahan, “Ini…(pukulan pertama) untuk Sarpakenaka!!! Ini…(pukulan kedua) untuk anakku, Indrajid!!! Lalu ini…(pukulan ketiga) untuk Kumbokarno!!! Dan yang terakhir ini…(sambil ditariknya pelatuk pistol revolver Kumbokarno yang ada di tangan kanannya ke arah kepala Rama Wijaya), adalah untuk Shinta…”. Leksmana siuman, tersadar dilihatnya dari jauh, kakaknya akan mati dibunuh Rahwana, langsung dengan cepat mengambil pistol snipernya, ditembaklah Rahwana berkali-kali hingga peluru snipernya habis. Rahwana belum sempat melepaskan tembakan, ternyata peluru-peluru sniper Leksmana sudah lebih dulu menembus tubuhnya, Rahwana yang kuat dan kokoh itupun terjatuh seketika, terhempas tubuhnya berlumuran darah ke tanah Alengka, denyut jantungnya mulai berhenti, nafasnya tercekik dan rasa dingin menusuk tubuhnya yang sakit dan perih, terucap satu kata terakhir dari bibirnya sebelum memejamkan kedua matanya, “Shinta…”.

Setelah Rahwana tiada, Leksmana memapah tubuh Rama berjalan masuk ke dalam UGD Rumah Sakit Militer Alengka. Namun alhasil dilihatnya Hanoman tengah menangis di samping tubuh Shinta yang sudah tidak bernyawa karena kehabisan banyak darah. Saat Rama Wijaya melihat Shinta yang sudah tidak bernyawa, Rama menyesal, menyadari semua kesalahannya selama bersama Shinta, dia tidak pernah berusaha mencintai Shinta dengan sungguh-sungguh, terlalu sibuk dengan urusan politiknya, membuat Shinta menderita, serta memaksakan diri Shinta untuk menjadi miliknya setelah kehilangan cintanya di Alengka, hingga amarah dan keegoisannya telah membuat Shinta mati terbunuh olehnya. Ingin rasanya Rama mati menyusul Shinta, Rama yang sedang gelap hati dan pikirannya, langsung mencabut pisau di pinggang Leksmana (ingin bunuh diri) namun usahanya dicegah Hanoman dan Leksmana.

Setelah peristiwa tragis di Rumah Sakit Alengka, jasad tubuh Rahwana dan Kumbokarno dikebumikan di Taman Makam Pahlawan oleh Wibisana sebagai Raja Alengka menggantikan Rahwana. Sementara jasad Dewi Shinta dikebumikan di Taman Makam Khusus Kerajaan Ayodya oleh Rama Wijaya dan Leksmana. Kemudian Leksmana naik tahta menjadi Raja Ayodya, karena Rama Wijaya memilih hidup menjadi pertapa untuk melepas semua nafsu angkara dan hal-hal keduniawian. Hanoman dan Anggada pulang ke Kiskenda membawa Trijata untuk dinikahkan dengan Kapi Jembawan (Paman pengasuh/Guru silatnya Subali dan Hanoman), dan kemudian tinggal di Desa Pegunungan Gadamadana. Dari perkawinannya mempunyai seorang putri yang bernama Dewi Jembawati, yang setelah dewasa menjadi istri Prabu Kresna. –TAMAT- Demikianlah akhir dari semua tragedi berdarah di Negeri Alengka. 

(Written by: Kepik Romantis / Padma Varsa A.NB : Cerita ini fiksi, khayalan dan imajinasi belaka.

No comments:

Post a Comment