Wednesday, August 21, 2013

Tragedi Rahwana Mencintai Shinta I

Pada suatu ketika di Zaman Era Millenium sekitar tahun 2015 – 2020 di bagian arah utara benua Asia, terdapat Negara Mantili, yang terkenal memiliki banyak pesilat tangguh berilmu tinggi. Negara itu dipimpin oleh seorang Raja bernama Prabu Janaka, yang mempunyai seorang Putri yang sangat cantik jelita bernama Dewi Shinta.

Saat Putri mulai menginjak dewasa, Raja pun berupaya untuk mencarikan jodoh yang terbaik dan terhebat bagi Putrinya dari seluruh Negara Kerajaan di dunia persilatan. Untuk itulah Raja akhirnya membuat sayembara pertarungan hebat yang dihadiri oleh para pesilat (Ksatria) tangguh dari berbagai cabang ilmu bela diri dan kungfu di berbagai Negara dan siapapun yang berhasil memenangkan pertandingan akan mendapat berbagai hadiah, seperti : Hadiah Utama berupa Rumah senilai 99 Milyar, Hadiah peringkat kedua mendapat Mobil Lamborghini-Gallardo dengan design dan type terbaru, Hadiah peringkat ke tiga mendapat Motor Ducati (merk terkenal yang sering dipakai buat balapan motor sejagat) dan Terakhir sebagai Hadiah Harapan Utama akan bersanding menjadi calon suami bagi Dewi Shinta alias menjadi menantu Kerajaan Mantili.Pertarungan sengit terjadi antar para ksatria tangguh dan berakhir dimenangkan oleh Putera Mahkota dari Negara Kerajaan Ayodya, yang terkenal sangat tampan, rupawan (ketampanannya termasuk saingan berat Arjuna, yang jadi bintang “cover boy” di majalah sampul kisah perwayangan Mahabharata) dan berilmu silat tinggi (Gelarnya Sabuk Hitam / DAN Level 9). Akibat kegantengannya itu ternyata telah banyak menarik hati para gadis muda belia hingga para janda dan tante girang sejagat benua Asia, dialah Raden Rama Wijaya. Seselesainya acara pertandingan, Dewi Shinta langsung ditunangkan dengan Raden Rama Wijaya.


Terdengarlah berita tersebut yang terlambat tersebar ke telinga Prabu Rahwana, Raja dari Negara Alengka, sebuah Negara kecil yang telah berkembang sedikit lebih maju dalam bidang perekonomian, perdagangan, perindustrian maupun kepariwisataannya. Letaknya sedikit jauh ke arah selatan benua Asia, berada di seberang samudera, namun rakyatnya hidup sangat berkecukupan, makmur dan sejahtera serta sangat menghormati dan mencintai Rajanya yang adil dan bijaksana.


Saat mendengar berita itu, Sang Prabu yang terlambat menerima berita hanya dapat datang untuk menghadiri Undangan pesta acara pertunangan dari Raden Rama Wijaya dengan Dewi Shinta (Putri Raja Prabu Janaka di Negara Mantili). Setelah melihat wajah dari Dewi Shinta, Prabu Rahwana terkejut karena dipandangan matanya adalah sosok perempuan titisan Dewi Widowati, istri Prabu Rahwana yang telah meninggal dunia 25 tahun yang lalu akibat persalinannya kekurangan banyak darah saat melahirkan puteranya, Indrajid. Dan selama itu pula Rahwana menderita, hidup menduda, tidak menikah dengan siapapun lagi karena di hatinya, hanya untuk satu nama, Widowati.., yang terukir abadi selamanya. Selama acara pesta berlangsung, Rahwana hanya dapat melamun, terus teringat kembali pesan Dewi Widowati kepadanya di saat-saat sekarat menjelang ajalnya agar Rahwana tetap setia menunggunya datang menitis kembali ke kelahiran berikutnya.


Sang Prabu terus menahan air matanya, menangis pedih, perih dalam hatinya, saat melihat kenyataan pahit dihadapannya karena Dewi Shinta akan menjadi milik Raden Rama Wijaya. Dengan hati hancur, Sang Prabu pun berangkat pulang kembali ke Negara Alengka, sepanjang perjalanan di Kapal pelayaran melewati samudera, Sang Prabu hanya dapat terdiam, melamun, mengenang kembali kisah cintanya di masa lalu dengan kepedihan di hati, sambil menatap mendung di langit yang berubah murung, seolah ikut merasakan kenyerian yang luar biasa di hati Rahwana.


Sekembalinya Rahwana ke Negara Alengka, tidak seperti biasanya Rahwana yang energik, cerah ceria dan bersemangat hingga sering berpatroli keliling desa menemui para penduduk dan memantau keprajuritan, namun malah berubah seketika terus berdiam diri lama mengurung diri di ruang baca dalam Istananya. Hampir lewat 5 (lima) bulan lamanya, Kumbokarno (Ketua Pimpinan Keprajuritan), Indrajid (Putera Rahwana), Wibisana (adik bungsu Rahwana sebagai Penasehat Kerajaan sekaligus Sekertaris Kerajaan), Patih Prahasta (Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan) serta para Gubernur, Walikota, Bupati dan Kepala Desa pun kebingungan, akhirnya mereka semua berkumpul bersama di Pendapa Kerajaan Alengka untuk memberikan laporan dan menunggu perintah selanjutnya dari Sang Prabu sambil bertanya-tanya mengenai keadaan Prabu Rahwana, yang akhir-akhir ini jarang keluar Istana.


Tiba-tiba datanglah Sarpakenaka, adik perempuan satu-satunya saudara kandung Prabu Rahwana, berlari tergopoh-gopoh, penuh kecemasan menuju Pendapa Istana, berteriak-teriak meminta tolong para prajurit Istana agar memanggil segera Prabu Rahwana untuk menemuinya di Pendapa karena ada laporan penting yang ingin disampaikan olehnya.


Akhirnya Prabu Rahwana datang menampakkan diri ke Pendapa Istana. “Ada apa Adikku, Sapakenaka, Mengapa begitu cemas?”. “Mohon maaf Kakanda Prabu, bila hamba mengganggu Prabu yang tengah beristirahat. Duh, Prabu Tolong hamba!!!” (sambil menangis meminta tolong). “Masalahnya apa? Kok tiba-tiba minta tolong?!” sahut Rahwana.


Oooh..Kakanda Prabu, selama hamba berada di pedesaan Hutan Dandaka, hamba tertarik pada seorang Satria. Dia sangat tampan, rupawan dan gagah, namanya Leksmana, hamba berusaha mendekatinya tapi ternyataaa…,dia sungguh kejam tak berperasaan, kasar, menyakitkan, penuh kebencian, menampar dan memukul hamba hingga hidung hamba, lihatlah kakanda, darah mengucur dari hidung hamba, patah seperti ini…”Haduuuh Adikku…, sudahlah…, pergi aja ke dokter kerajaan, saya ini udah cukup sibuk dengan urusan Negara, bukankah kamu juga sudah punya kekasih? Gimana dengan perasaan Karadusana dan Kalamarica? Apa belum cukupkah kamu dicintai oleh mereka?”Dooh (kesal dan jengkel) Kakanda Rahwana!?, mengapa sama sekali tidak mengerti perasaanku, aku tidak mencintai mereka, aku hanya ingin Leksmana, adik Rama Wijaya itu, bahkan kakaknya si Rama Wijaya juga setuju dan mendekatkan hamba pada Leksmana, karena dia kan sudah tunangan sama Shinta, sedangkan Leksmana kan masih jomblo.”Hah!! Apa katamu?! Ngapain Si Rama Wijaya sama Shinta beserta Leksmana ke pedesaan Hutan Dandaka?”, ucap Rahwana yang sangat penasaran setelah mendengar tentang keberadaan Shinta.Memangnya Kakanda gak tau apa?, Ayahnya Rama Wijaya (Paduka Raja Ayodya) kan belum menyetujui pernikahan Rama dan Shinta, makanya Beliau memberi tugas penting untuk membangun Desa Hutan Dandaka, sekaligus melatih Leksmana menjadi Kepala Pasukan Sniper Kerajaan untuk meningkatkan kekuatan keprajuritan Kerajaan Ayodya dan Mantili. Bila tugasnya berhasil, barulah Ayahnya Rama itu mengizinkan melangsungkan pernikahan Rama dan Shinta, sekaligus kenaikan tahta bagi Rama menggantikan posisi Ayahnya menjadi Raja Ayodya.”Kalo kamu gak jelaskan, saya mana tau…”, jawab Rahwana dengan ketusnya.Lah salah Kakanda sendiri, setiap hari hanya mengurung diri gak jelas di ruang baca, bahkan adik sendiri pun gak dipedulikan sama sekali!!!”Yaaa sudah udaah…, baiklah, saya akan pergi ke sana untuk membuat perhitungan dengan Leksmana dan meminta penjelasan Rama mengenai hal ini. Kumbokarno!!! Cepat, Tolong kau suruh Kalamarica temani saya pergi kesana!!!”. Sesegera Jenderal Kumbokarno memanggil Kalamarica (Kepala Prajurit Baret Merah, pelindung Raja) untuk mempersiapkan keselamatan dan keberangkatan Raja Rahwana menuju Hutan Dandaka.


Di Hutan Dandaka, Rama Wijaya, Putera Mahkota Kerajaan Ayodya bersama adiknya Leksmana dan calon istrinya, Shinta. tengah beristirahat di Villa Pondokan Dandaka Indah, rumah milik seorang pedagang kaya yang mempunyai pabrik kayu ukiran, mebel dan furniture terkenal.
Sepanjang perjalanan, Rahwana hanya memikirkan Shinta, perasaan cintanya pada Shinta yang berwajah begitu mirip dengan Dewi Widowati telah membuatnya tidak nyenyak tidur, tidak berselera makan (nafsu makan menurun), pikirannya menjadi gelap, semakin kacau, emosinya menggebu, jantungnya berdegup kencang, ingin hatinya mendekati dan berbicara langsung, mengungkapkan perasaannya pada Shinta, namun pastilah Rama dan Leksmana akan merasa terganggu, mencurigai dan menghadang keinginannya itu. Sesampainya di dekat Villa Pondokan Rama Wijaya, Rahwana menghentikan niatnya yang semula untuk bertemu muka dengan Rama dan Leksmana. Keraguan dan Kekacauan pikiran Rahwana meminta Kapten Kalamarica dan pasukannya untuk memata-matai dan memantau gerak-gerik Rama, Shinta dan Leksmana.


Dari kejauhan, Kapten Kalamarica memantau bersama Prabu Rahwana diikuti beberapa pasukan penyamar memberikan situasi laporan menggunakan nirkabel Bluetooth ditempel di kuping (walkie talkie modern ala detektif agent terkenal). Prabu Rahwana meminjam salah satu binocular milik pasukan Kalamarica, meneropong jarak jauh, Rahwana melihat perempuan yang dicintainya itu sedang duduk di ayunan Pondokan, wajah Shinta tampak bosan, dia pun beranjak pergi menuju kebun pekarangan halaman belakang memperhatikan tanaman bunga mawar yang tumbuh beraneka macam warna-warni sedang bermekaran sangat indah. Saat itu pula timbul niat Rahwana untuk mendekati dan menemui Shinta yang sedang murung dan kesepian.


Rahwana pun menyusun strategi bersama Kapten Kalamarica untuk membuat Raden Rama Wijaya dan Leksmana terusir jauh dengan membuat keadaaan seolah-olah menyibukkan mereka, mengacaukan konsentrasi mereka agar meninggalkan Shinta sendirian. Kapten Kalamarica memerintahkan pergi bersama beberapa pasukannya menggunakan Mobil Kijang Innova melempari Mobil Alpard milik Rama Wijaya dengan botol dan batu hingga pecah kaca spionnya, serta menembak ban mobilnya dengan Baretta M9 hingga kempes semua. Mendengar kejadian itu Rama Wijaya pun terpancing amarah, namun sebelum berangkat bersama Leksmana, dia meminta Leksmana menyuruh beberapa pengawal sniper (penembak jitu) pasukan terbaiknya menjaga ketat dan melarang Shinta keluar selangkah jengkalpun dari Villa Pondokan tanpa seijin dari Rama Wijaya. Setelah itu, Rama Wijaya dan Leksamana bergegas mengejar Mobil Kijang Innova menggunakan Motor Kawasaki Ninja GT 250R milik beberapa pasukannya. Terjadilah keributan, kejar-kejaran di jalan-jalan dalam pedesaan Hutan Dandaka.


Sementara itu Rahwana terus memperhatikan Shinta dari jauh, meminta beberapa pasukan detektifnya menyamar menjadi tukang buah, sayuran dan tukang kayu, yang semuanya gagal terus saat mencoba masuk ke Pondokan karena diusir dan dipukuli oleh pasukan Sniper Leksmana. Akhirnya Rahwana mencari akal lain agar pasukannya mencari model baju yang mirip seorang pertapa tua di desa dan Rahwana menyamar menggunakan baju lusuh compang-camping, jenggot dan alis panjang palsu menggunakan kapas, kepala ditutup topi jerami dan tangannya menggunakan tongkat bamboo, berjalan bungkuk tertatih-tatih menunju Villa Pondokan.


Permisi tuan-tuan dan nyonya…, mohon sedikit sedekah, makanan dan minumannya,.. Kasihanilah hamba, yang sudah tua ini, berjalan jauuuh…, sangat lelah sekali..., mohon ketulusan hati tuan dan nyonya…”(sambil suaranya Rahwana dibuat berakting menjadi serak menyedihkan seperti seorang kakek yang tua renta). “Heeeh!!! Pengemis tua, pergi sana!!! Di sini Bukan Panti Jompo Tau!!!” ujar salah seorang sniper itu sembari mencoba mengusir si kakek tua. “Aduh Gusti Allah, uhuk-uhuk… uhuk(terbatuk-batuk sambil ngelus-ngelus dada)…kasihanilah hamba, Tuan-tuan…hamba mohon tolonglah hamba...” (dengan gaya memelasnya). “Haallaaaah! Udah deh, pergi aja!!! Reseh banget sih!!! Udah Tua renta makin Gak tau diri, bukannya diem di rumah aja, malah keluyuran kemana-mana!!! Pulang aja deh kerumahmu Pa Tua!!!”. Kata prajurit yang satunya lagi menyahut si kakek sembari menarik paksa si kakek hingga terjatuh tersungkur ke tanah agar pergi menjauh dari rumah pondokan. “Haduuuh…aduuh..(terjatuh), Yaaa.. Allah…, kasihanilah hamba…, rumahku jauh sekali nak, masih 200 kilometer dari sini, mohon kasihanilah hamba…”.


Melihat kejadian itu dari jendela, Shinta menjadi sangat iba, hatinya pedih dengan kelakuan kasar para pengawal Leksmana terhadap seorang kekek tua. “Apa-apaan kalian ini!!! Keterlaluan!!! Beginikah cara kalian memperlakukan orang tua kalian di rumah!!!” kemarahan Shinta memuncak memaki-maki para pengawal snipernya sambil melangkah keluar dari pagar Pondokan seraya melihat si kakek. “Taaa.. pii, tap..(ii)..Puteri, perintah Komandan Leksmana untuk…”. “Haaaah, UDAH CUKUP!!! (plaakk.., plookk..., sambil menampar satu-satu pasukan sniper yang sedari tadi ngoceh dan berprilaku kasar itu), Perintah lagi, perintah lagi, dari Leksmana lagi, terus mau berapa banyak lagi penduduk desa lainnya yang jadi korban kalian gara-gara demi perintah Leksmana!!!.” “Tapii…Puteri..”. Shinta tidak perduli lagi omongan dan ucapan pengawalnya, Shinta terus berjalan dan meraih tangan si kakek yang terjatuh lalu memapahnya berdiri sambil membersihkan bajunya yang kotor. “Koong…, Engkong baik-baik aja kan? Ada yang luka gak? Aduh, Engkong…, saya Mohon maafkan semua perkataan dan kelakukan para pengawal sinting yang gak tau diri itu, yah…”, ucap Shinta yang tersenyum manis sangat cantik, bersuara lembut dan hatinya penuh kasih sayang itu. “Terima kasih…yah nak, gak apa-apa wong ayu…(sambil menyentuh lembut pipi Shinta yang tersenyum).”
Kalimat terakhir Rahwana itu ternyata sebuah sandi khusus, Rahwana segera menarik Shinta dengan cepat dalam pelukannya agar tidak terkena peluru nyasar pasukannya yang serentak keluar tiba-tiba dari semak-semak di sekeliling Pondokan, gerakannya secepat kilat, mengagetkan, menakutkan dan langsung melumpuhkan para pengawal sniper yang bersenjata M93 dan Remington 700 (didikan Leksmana itu) dengan pisau lempar mereka (gaya pasukan katak angkatan laut) dan peralatan senjata M16 yang dilengkapi alat kedap suara. Shinta kaget, ingin teriak tapi tidak berani, lemas karena takut mati setelah melihat pisau lempar yang berterbangan beberapa inci hampir saja mengenai rambut dan hidungnya, sambil samar-samar melihat pengawal snipernya lumpuh seketika (jatuh terkulai kesakitan tanpa menghilangkan nyawa satupun sesuai titah Prabu Rahwana) ditembaki pasukan yang tidak terlihat dari arah semak-semak hutan. Pasukan Rahwana segera melucuti senjata mereka, mengikat dan menutup mulut para pasukan sniper itu agar tidak berteriak lagi.


Rahwana juga langsung menutup mulut dan mata Shinta, serta mengikat tangan Shinta, lalu membopong Shinta masuk ke Mobil anti peluru Jeep Wrangler SAHARA 1998 miliknya, dikawal beserta iring-iringan Mobil Suzuki Escudo dan Katana yang membawa para pasukan pelindung Raja berangkat kembali pulang menuju Negara Alengka.


Di pedesaan dalam Hutan Dandaka, kejar-kejaran Motor Kawasaki Ninja Rama Wijaya dan Leksmana dengan Mobil Kijang Innova yang dibawa Kalamarica masih terus berlangsung. Terjadilah tembak-tembakan pasukan Kapten Kalamarica dari dalam mobil Kijang mengarah ke motor Leksmana, sementara motor Rama Wijaya berhasil mengecoh pasukan Kalamarica dan menyusul di depan Mobil Kijang Kalamarica, sekejap Motor Rama Wijaya pun ngesot berbalik arah dan berhenti mencegah Mobil Kijang lalu menembak dengan shotgun AA12 automatic tepat ke kaca sopirnya (Kapten Kalamarica), tembakan kedua ke arah salah satu ban mobilnya dan terakhir ke mesin depan mobil, seketika Kalamarica kaget terkena tembak dan hilang kendali, mobil terguling lalu meledak. Booomm.. (Tewaslah Kapten Kalamarica). Setelah kejadian itu, Komandan Leksmana hendak memberitakan (lewat telepon selular) keadaan kepada Kepala pasukan snipernya di Pondokan ternyata berulang-ulang kali dicoba tidak mendapat jawaban sama sekali. Firasat Leksmana mengatakan kejadian ini adalah siasat jebakan Kapten Kalamarica dan memastikan situasi dalam bahaya telah terjadi di Pondokan. Dengan cepat Komandan Leksmana langsung mengajak Putra Mahkota Rama Wijaya untuk kembali pulang ke Pondokan.


Perjalanan Prabu Rahwana membawa Dewi Shinta tidaklah berjalan mulus, pada saat melakukan penyeberangan dengan Kapal Vicem Yachts 92 (Luxury Yachts) keluar pulau Hutan Dandaka menuju Negara Alengka, saat itu Rahwana hendak memberi minum dan makanan untuk Shinta, dibukanya penutup mata dan mulut Shinta, ternyata Shinta malah berteriak ketakutan, “Toloooong!!! Toloong!!! Tolong!!! Saya dicuu…(lik)!!!” dengan sigap dan cepat kedua tangan kokoh Rahwana langsung menutup mulut Dewi Shinta selama berada di kapal, namun ternyata teriakan Shinta itu sedang berada di tengah garis perbatasan wilayah perairan laut continental Negara Kepulauan lain, terdengarlah teriakan Shinta oleh seorang nelayan dari negara lain dan mencoba mengirim pesan singkat (sms) darurat melalui handphone ke nomer telepon Pangkalan Kapal Udara Patroli Penyelamatan nelayan terdekat di kepulauan kecil tengah-tengah samudera, sebelah arah tenggara (jika dilihat dari peta, letaknya sedikit ke utara tenggara Negara Alengka). Kapten Pesawat Helikopter Patroli Penyelamatan (Tim SAR), Jatayu yang sedang bertugas menerima pesan dari nelayan, langsung berangkat menuju lokasi TKP (tempat kejadian perkara). Dilihatnya dari jauh dalam Kapal tersebut terdapat seorang tawanan, Dewi Shinta, Puteri dari Prabu Janaka, sahabat karibnya waktu seangkatan kuliah di Universitas Leiden, Amsterdam tahun 1990.


Pesawat Helikopter Kapten Jatayu langsung mencegah Kapal Rahwana dan meminta untuk segera melepaskan tawanannya, Dewi Shinta. Terjadilah perang sengit tembak-tembakan antara Helikopter Jatayu dan Kapal Vicem Yachts 92 milik Rahwana, salah seorang prajurit Rahwana menembakkan senjata Bazooka M1 (Rocket Launcher) ke arah Badan Ekor Helikopter Jatayu. Seketika itu juga Helikopter Jatayu kehilangan kendali, Kapten Jatayu melompat dari helicopter terjun bebas ke lautan. Booomm… (helikopternya meledak di laut), Jatayu berenang di tengah-tengah lautan sekuatnya, lalu diselamatkan kapal nelayan yang lewat.


Setibanya di Pondokan, Rama Wijaya dan Leksmana terkejut melihat pasukan snipernya telah diikat, tidak berkutik di dalam Villa Pondokan. Setelah melepaskan ikatan mereka, dilaporkan kejadian sebenarnya di Pondokan. Rama Wijaya merasa tertipu oleh jebakan Kalamarica dan Rahwana. Dengan perasaan kesal, Pasukan Rama Wijaya dan Leksmana terus mencoba melacak jejak kepergian Mobil Jeep Rahwana. Sesampainya di pelabuhan kapal terdekat, dilihatnya seorang nelayan tengah membawa Kapten Jatayu.


Rama Wijaya dengan emosi meledak-ledak mengira Kapten Jatayu berkomplot menculik Dewi Shinta. Rama Wijaya menyuruh Leksmana dan pasukannya menangkap, menginterogasi dan menghajar habis babak belur Kapten Jatayu sambil menanyakan dibawa kemana lokasi Dewi Shinta disembunyikan.


Kapten Jatayu yang malang nasibnya, belum sempat menceritakan apapun masih terus dipukuli hingga sekarat akibat amukan para pasukan Leksmana. Sesaat akan dibunuh oleh Rama Wijaya, Leksmana mencegah kakaknya. Leksmana mencoba menenangkan amarah Rama Wijaya dan meminta gilirannya untuk menginterogasi Kapten Jatayu. Akhirnya Kapten Jatayu diberi kesempatan untuk menceritakan semua kejadian sebenarnya hingga nafasnya berhenti (kematiannya). Putera Mahkota Rama Wijaya merasa bersalah dan memberi penghormatan terakhir dengan menguburkan Jenazah Kapten Jatayu secara kemiliteran kerajaan.


Rombongan Putera Mahkota Rama Wijaya dan Komandan Leksmana berjalan pulang ke Negara Kerajaan Ayodya dengan perasan kacau (bête, galau abiz..), sedih dan hampa setelah kehilangan jejak Dewi Shinta. Mereka bersiap membuat strategi untuk mengumpulkan kekuatan pasukan demi melanjutkan misi pencarian dan penyelamatan Dewi Shinta.


Setibanya di Pendapa Istana Ayodya, Putera Mahkota Rama Wijaya mendapat laporan telah kedatangan tamu agung, Mayor Hanoman dari Desa Persilatan di Pegunungan Kiskenda.


Baiklah, panggilkan Mayor Hanoman menghadap saya sekarang juga”, titah Rama Wijaya kepada seorang pengawal istana. Sesaat itu juga datanglah Mayor Hanoman menghadap Rama Wijaya. “Salam Hormat hamba, Hanoman, kepada Paduka Putera Mahkota”, (sambil berlutut dan memberikan salam hormat). “Ada apakah maksud dari kedatangan Mayor Hanoman ke Istana Ayodya?”.Mohon maaf Paduka Putera Mahkota Rama Wijaya, hamba datang diutus oleh Paman Sugriwa memohon bantuan pertolongan untuk menyelamatkan isterinya, Dewi Tara, yang direbut oleh Kakaknya yang sangat sakti dan berilmu tinggi bernama Paman Subali akibat perebutan tahta kekuasaan Kerajaan.”Maaf Mayor Hanoman, saya sendiri pun sedang berduka dan mengalami masalah besar yang sama, kehilangan calon isteri saya, Dewi Shinta”, ujar Rama Wijaya menceritakan (curhat) kesedihannya. “Begini deh, Bila Paduka Putera Mahkota bersedia membantu hamba, maka sebagai balasannya hamba berjanji akan setia mengabdi pada Negara Ayodya dan meminta Paman Sugriwa beserta pasukannya untuk bekerja sama menolong masalah Paduka Putera Mahkota, tapi ini semua terserah kepada Paduka Putera Mahkota, gimana baiknya aja?!”.


Rama Wijaya yang hendak beranjak pergi dari Pendapa, tiba-tiba kembali memikirkan tawaran bantuan Mayor Hanoman, dikarenakan terkenalnya Hanoman yang berilmu silat lumayan tinggi serta ahli dalam segala bidang kemiliteran di Pegunungan Kiskenda, yang juga terkenal dengan Kecanggihan Pesawat tempurnya F-35 (type terbaru dari F-16 yang terkenal sebelumnya) dan Pesawat Siluman F-117 (Stealth Aircraft / Nighthawk) yang mampu menghilang dan memata-matai dari jarak ketinggian yang tidak mampu dijangkau oleh radar pelacak manapun milik musuh. “Hmmm…,(menghela nafas sejenak) Baiklah kalau begitu, saya akan coba membantu semampunya.”
Berangkatlah rombongan Mayor Hanoman mengantar Rama Wijaya dan Leksmana beserta pasukannya dengan menggunakan Pesawat Hercules menuju kediaman Paman Sugriwa. Tanpa menunggu terlalu lama, setelah rombongan tiba di Lapangan Terbang Pegunungan Kiskenda, langsung diterima oleh Paman Patih (PM/Perdana Menteri) Sugriwa, rombongan pun langsung diantarkan Sugriwa ke lokasi TKP di salah satu dari banyaknya Goa dalam Pegunungan Kiskenda, rumah tinggal Kakaknya Subali menyimpan isterinya Sugriwa, Dewi Tara bersama puteranya Anggada.


Dengan kecanggihan pasukan sniper M93 dan Remington 700 didikan Leksmana beserta pasukan laras panjang AK47 milik pasukan Rama Wijaya, dalam hitungan beberapa detik seluruh pasukan penjagaan rumah Subali tewas seketika di tempat. Subali keluar beserta prajuritnya dari dalam rumahnya terkejut karena telah dikepung oleh pasukan Leksmana, terjadi tembak-menembak senjata laras pendek revolver antara pasukan Hanoman dan Subali, namun karena pasukan inti Subali dilengkapi baju anti peluru, tidak mudah mengalahkan pasukan Subali. Sugriwa dan Hanoman pun melawan Subali dan pasukannya dengan tangan kosong, sementara rombongan pasukan Rama Wijaya dan Leksmana menyusup ke dalam goa untuk menyelamatkan Dewi Tara dan Anggada. Setelah berhasil membawa keluar mereka dari dalam goa, pasukan Leksmana dan Rama Wijaya mengepung pasukan Subali, dalam hitungan beberapa detik dapat melumpuhkan dan menewaskan pasukan Subali. Dengan cepat Subali pun ditangkap dan diikat oleh gabungan pasukan Rama Wijaya dan Leksmana. Namun saat Rama Wijaya menodongkan senjata ke kepala Subali hendak membunuh Subali, Sugriwa mencegahnya, Sugriwa meminta agar Subali cukup dipenjarakan di bawah tanah saja.


Subali dibawa pasukan Hanoman menuju penjara bawah tanah, sementara rombongan Rama Wijaya dan Leksmana pun pamitan kepada Raja Sugriwa, (setelah menjatuhkan kekuasaan Subali, Sugriwa menjadi Raja di Kiskenda), Permaisuri Dewi Tara dan Anggada untuk kembali ke Negara Ayodya bersama Mayor Hanoman.


Sebulan sudah waktu yang terlewati semenjak kejadian penculikan calon istrinya (tunangannya), Dewi Shinta di Desa Hutan Dandaka. Rama Wijaya tidak nyenyak tidur, terus gelisah memikirkan dimana keberadaan Dewi Shinta. Mayor Hanoman diutus terus mencari jejak keberadaan Dewi Shinta dan titah Rama Wijaya, Mayor Hanoman tidak boleh pulang menemui Rama Wijaya maupun Leksamana sebelum mendapat kabar bukti keberadaan Dewi Shinta. BERSAMBUNG… ke Sesion II. Written by: Kepik Romantis / Padma Varsa A.). NB : Cerita ini fiksi, khayalan dan imajinasi belaka.


No comments:

Post a Comment