Seorang guru merasa bosan dengan keluhan tentang kejamnya penderitaan hidup yang disampaikan oleh muridnya.
Suatu hari sang guru menyuruh muridnya mengambil garam, dan ketika muridnya kembali dengan membawa garam, sang guru menyuruhnya untuk mencampur segenggam garam dalam segelas air dan kemudian mengaduknya.
"Minumlah air garam itu dan rasakan bagaimana rasanya?" kata guru itu kepada muridnya.
"Asin campur pahit," jawab murid setelah meminum air garam tersebut.
Guru tersebut tersenyum, kemudian menyuruh muridnya untuk mengambil segenggam garam yang sama dan mengajaknya ke danau tak jauh dari tempat tinggal.
Sesampainya di tepi danau, sang guru menyuruh muridnya memasukan segenggam garam yang dibawanya ke dalam danau dan mengaduknya.
"Sekarang minumlah air dari danau itu," kata guru.
Muridnya mengambil air danau dengan kedua tangannya lalu meminumnya. Ketika air danau sudah ditelan, gurunya bertanya, "Bagaimana rasanya?"
"Segar," jawab murid.
"Apakah kamu merasakan garam?" tanya gurunya lagi.
"Tidak," jawab murid sambil melongo, tidak mengerti apa yang dimaksud oleh gurunya dengan melakukan itu semua.
Pada saat itu, sang guru langsung duduk di samping muridnya, dan menjelaskan dengan lembut.
"Penderitaan dari hidupmu adalah ibarat garam murni yang kamu bawa tadi, tidak lebih, tidak kurang. Jumlah penderitaan dalam hidup tetap persis sama banyaknya. Namun, jumlah kepahitan yang kamu rasa tergantung pada wadah dimana kamu menempatkan penderitaan yang masuk," kata guru itu dengan tenang.
"Jadi ketika kamu berada dalam penderitaan, satu-satunya hal yang dapat kamu lakukan adalah memperbesar wadah tempat menampungnya. Semakin besar daya tampung kamu, semakin tak terasa sakit atau penderitaanmu. Jadi berhentilah mengeluh, belajarlah berbesar hati untuk menampung penderitaanmu sehingga kamu tidak merasa menderita lagi. Mulai sekarang belajarlah menjadi sebuah danau, bukan sebuah gelas."
Sumber : Epochtimes
No comments:
Post a Comment