Pada
akhir Dinasti Shang (1562 SM-1066 SM), ada seorang yang sangat cerdas bernama
Jiang Shang (yang juga dikenal sebagai Jiang Ziya atau Jiang Taigong).
Dia
membantu Kaisar Wen dan putranya Kaisar Wu dari Dinasti Zhou (1066 SM-256 SM)
untuk menaklukkan Dinasti Shang dan menyumbang banyak pembangunan pada Dinasti
Zhou.
Kemudian
ia berhak sebagai penguasa Daerah Qi (Shandong
saat ini). Dia juga adalah nenek moyang dari Negara Qi dalam masa Musim Semi
dan Gugur (770 SM-476 SM).
Jiang
dulunya hanya perwira kecil. Namun, ia mengundurkan diri karena dia tidak
menyukai aturan kejam Kaisar Zhou. Dia tinggal di tempat terpencil dekat Sungai
Weishui di Shaanxi setelah ia mengundurkan diri. Dalam rangka untuk mendapatkan
perhatian pemimpin klan Zhou Ji Fa (Kaisar Wen) dan kesempatan untuk bekerja
padanya, ia biasanya berpura-pura mencari ikan di sebuah sungai kecil dengan
kail ikan tanpa umpan, guna menarik perhatian mereka.
Karena
Jiang menghabiskan waktu seharian memancing, keluarganya mulai bermasalah.
Istrinya yang bermarga Ma, sering ngomel karena mereka miskin. Jadi ia tidak
mau hidup bersama lagi dengan suaminya dan memutuskan untuk pergi. Jiang
berusaha membujuk istrinya agar jangan berpisah dan berkata bahwa kehidupan
mereka akan lebih baik, cepat atau lambat. Namun, Ma tetap pergi.
Beberapa
tahun kemudian, Jiang mendapat kepercayaan dari Kaisar Wen dan membantu Kaisar
Wu untuk mengalahkan tentara Kaisar Zhou dari Dinasti Shang. Kaisar Wu
memberikan dia jabatan perdana menteri dan penguasa Daerah Qi. Ia menjadi kaya
dan terkenal. Mantan istrinya menyesal meninggalkan dia setelah melihat itu.
Dia menemui Jiang dan ingin memperbaiki pernikahan mereka.
Jiang
tahu sifat wanita ini. Dia tidak mau menikah lagi dengannya, jadi dia
menumpahkan semangkuk air ke lapangan dan menyuruh mantan istrinya untuk
mengumpulkan air tersebut kembali ke mangkuk.
Ma
buru-buru merangkak di lapangan untuk mengumpulkan air. Namun, apa yang ia
dapatkan hanyalah lumpur. Jiang mengatakan padanya dengan dingin.
Sumber : http://www.erabaru.net/kehidupan/budi-pekerti/1273-air-tumpah-tak-dapat-dikumpulkan-lagi
Seperti Kata-kata yang sudah keluar tidak dapat ditarik kembali, seberapapun kita berusaha untuk memperbaiki, tetap akan ada akibat dari setiap perkataan yang sudah kita ucapkan. Harusnya sebelum berkata-kata kita berfikir tentang sebab akibat dari setiap perkataan kita, apakah perkataan itu akan menyakiti orang lain atau tidak, karena jika sudah terlanjur menyakiti orang lain, mungkin tidak akan ada lagi kesempatan untuk memperbaikinya...
ReplyDelete@Gunarto : Betul sekali, Siep (b^_^d) Trims yah.. dah selalu mampir.. hehehe.. (^_^)
Delete